Sabtu, 28 Juli 2018

Mengembangkan Bakat Anak

Pada waktu sekarang ini banyak orangtua yang menjejali anakanak mereka dengan berbagai macam les, walaupun belum tentu anak mememiliki keterampilan. Memang usia sekolah adalah usia yang ideal untuk mengembangkan bakat anak. Bahkan, untuk keterampilan tertentu seperti piano, biola, senam atau balet, lebih dini lagi lebih baik.

Dalam buku Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak oleh Reni Hawadi Akbar pada tahun 2001, sampai usia 10 tahun, anak masih bisa menyesuaikan dirinya, namun di atas itu rasanya sulit dan sudah agak kaku. Jadi, mungkin dengan pertimbangan ini, banyak anak yang dijejali les ini dan itu oleh ibunya dengan harapan salah satu dari kegiatan itu bisa berbuah.

Perlu Motivasi dan Disiplin
Memasukkan anak dalam berbagai kegiatan adalah bagus, tetapi hendaknya dipertimbangkan pula faktor kelelahan. Sebab semakin banyak kegiatan, setiap hari ada les, anak tentu akan capek dan bisa bisa malah menolak seluruh kegiatan itu.


Pilih kegiatan yang betul-betul sesuai dengan minat dan kebutuhan anak, bukan karena orangtua yang ingin atau karena dulu ibu dan ayahnya tidak berhasil menjadi penyanyi maka anaknya pun juga diajarkan menjadi penyanyi. Sebab dari pengamatan, banyak terjadi kasus dimana anak merasa terpakasa mengikuti kegiatan tertentu demi ayah atau ibunya.

Mungkin pada anak tertentu pemaksaan ini berhasil, yaitu anak akan menunjukkan prestasi dalam bidang yang diinginkan orangtuanya, tetapi pada banyak anak malah terjadi sebaliknya, anak kurang terdorong dan akhirnya berhenti di tengah jalan.

Yang jauh lebih penting jika orangtua dan anak sepakat untuk mengikuti kegiatan tertentu entah balet, piano atau lainnya adalah dorongan dan disiplin latihan. Jangan anak hanya berlatih saat les saja, tetapi justru latihan di rumah yang penting.

Mengembangkan bakat anak memang membutuhkan ketelatenan, kesabaran yang ekstra sebab membutukan proses dan bukan mendadak menjadi bisa. Kalau kita membaca cerita atlet kita yang sukses, maka terlihat itu adalah hasil kerja keras bertahun tahun dan disiplin yang tinggi, baik anak maupun orangtua sejak dini. Memang ada yang mengibaratkan bakat dengan tanaman di mana memerlukan perawatan, perhatian, air, dan pupuk sehingga tumbuh menjadi tanaman yang sehat.

Perlu Saingan
Sebagian orang berpendapat bahwa kita tidak boleh membanding-bandingkan anak dengan anak lain sebab akan mematikan motivasi anak. Tetapi ada juga yang berpendapat lain bahwa saingan tetap diperlukan bagi anak agar bisa mempunyai patokan yang jelas tentang apa yang dituju.


Saingan memang diperlukan tetapi hendaknya orangtua mencari saingan anak dengan grade yang tidak terlalu jauh dari diri anaknya, sehingga anak merasa bisa dan mampu menjangkaunya.
Dalam membandingkan anak dengan anak lain memang harus hati-hati jangan justru menjadi bumerang yang akhirnya anak malah mogok. Orangtua harus meyakinkan anak bahwa, ”Kamu pasti bisa, ibu yakin…. Kalau temanmu bisa, kamu juga bisa asal kamu rajin belajar.”

Bakat Bisa Hilang
Setiap manusia mempunyai bakat, jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa kamu tidak berbakat. Yang jelas dalam hal ini kita belum tahu persis bakat kita itu apa dan untuk itu perlu bantuan lingkungan dalam menggalinya. Sebaliknya bakat yang ada kalau tidak dikembangkan bisa hilang.


Sumber : <http://www.psikologizone.com/mengembangkan-bakat-anak/06511952>

Persiapan Pendidikan Anak Umur Awal di Masa Pra-Sekolah

Ketika umur pada 0-6 th., otak anak terima serta menyerap beragam jenis info, tidak lihat baik atau jelek. Tersebut masa-masa yang di mana perubahan fisik, mental ataupun spiritual anak juga akan terjadi. Karenanya banyak yang mengatakan masa itu yaitu masa-masa emas pada anak (golden age).
Pada th. 2016, Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan RI mewajibkan tiap-tiap anak untuk ikuti pendidikan anak umur awal (PAUD) paling tidak sepanjang satu tahun, sebelumnya masuk tahap sekolah basic. PAUD dipandang jadi bagian perlu untuk perubahan tiap-tiap anak. Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Umur Awal, Nonformal serta Informal (PAUDNI). Prof. Reni menyebutkan, aktivitas di PAUD bisa memberi rangsangan atau stimulasi pendidikan yang sesuai sama step tumbuh kembang anak umur pra sekolah.

Menurut pendapat dari Nurul Fauziyah mahasiswa PG Paud Kampus Pendidikan Indonesia, Pendidikan yang didapatkan untuk anak umur 3-6 th. bukan sekedar mempunyai tujuan memperkenalkan anak pada sebagian bagian pelajaran maupun melatihnya berhubungan dengan anak sebaya. Lebih jauh dari itu,  PAUD mempunyai peranan paling utama meningkatkan semuanya segi perubahan anak, mencakup perubahan kognitif, bhs, fisik (motorik kasar serta halus), sosial serta emosional.

Supaya lebih terang tersebut beragam faedah yang juga akan beresiko pada anak sesudah memperoleh pendidikan di PAUD/play group atau TK :
• Mengenalkan anak pada dunia sekolah
Pengalaman belajar di PAUD juga akan menolong anak untuk lebih siap dalam terima pelajaran resmi di bangku pendidikan setelah itu (SD). Hal semacam ini sebagai satu diantara argumen UNESCO mereferensikan tiap-tiap anak memperoleh pendidikan anak umur awal pada umur pra sekolah. Lingkungan belajar di sekolah pasti berlainan dengan lingkungan dirumah. PAUD bisa menjembatani ketidaksamaan situasi di ke-2 tempat itu. Si Kecil juga akan belajar berhubungan dengan anak sepantarannya, ikuti ketentuan yang diputuskan di playgroup atau TK, belajar menyesuaikan dengan kebiasaan, dsb. Anak yang terlebih dulu memperoleh pendidikan di PAUD kerapkali mempunyai kekuatan yang tambah baik dalam berkomunikasi waktu sekolah. Hal semacam ini karena ia telah punya kebiasaan untuk bermain, belajar, sampai makan dengan rekan yang mempunyai umur sebaya.

• Membiasakan anak pada aktivitas terstruktur
Walau bukanlah instansi pendidikan resmi, tetapi, aktivitas yang diselenggarakan di playgroup atau TK didesain spesial supaya sesuai sama peranan pendidikan anak umur awal. Satu diantara tujuannya yaitu melatih anak supaya punya kebiasaan pada kebiasaan serta beberapa aktivitas terstruktur. Umpamanya, anak juga akan belajar olahraga, berbaris, membuat puzzle, dsb.

• Mengajari anak untuk disiplin serta ikuti ketentuan
Dirumah, si Kecil pasti punya kebiasaan bermain sesuka hati. Ia juga mungkin saja telah punya kebiasaan ikuti “aturan” yang Mam tentukan, yang umumnya termasuk lentur dibanding “aturan” yang ada diluar tempat tinggal. Nah, umur pra sekolah yaitu waktu yang pas baginya untuk belajar ikuti alur aktivitas ataupun ketentuan beda diluar tempat tinggal. Ikuti aktivitas pendidikan anak umur awal juga akan melatihnya menyesuaikan dengan lingkungan baru serta ketentuan baru. Ia akan belajar sharing, mengantre, menanti, serta mengerti kalau nyatanya tidak segalanya yang ia kehendaki dapat ia peroleh. Begitu, ia akan tidak kaget atau stres waktu masuk SD serta mesti belajar dalam kondisi yang begitu terstruktur serta menuntut kedisiplinan.

• Membuat basic kepribadian anak
Pada fase golden age, otak anak alami perubahan yang begitu cepat. Pengalaman yang didapat si Kecil di periode ini ikut membuat kepribadiannya serta juga akan merubah sosoknya sampai nantinya ia dewasa. Oleh karena itu, Prof. Reni mengingatkan, pendidikan ciri-khas memanglah baiknya diawali mulai sejak awal. Lewat pendidikan anak umur awal, si Kecil juga akan memperoleh beragam contoh serta aktivitas positif yang juga akan ia ingat serta praktikkan dalam kehidupannya.

Yakinkan evaluasi yang di peroleh anak di PAUD/play group/TK sesuai sama yang di ajarkan di lingkungan tempat tinggal anak. Sebab, walau pendidikan anak umur awal ini punya pengaruh perlu untuk perubahan anak, tetapi peranan orangtua lah yang yang paling perlu jadi pendidik paling utama untuk anak tidak bisa tergantikan.

Pemahaman Mengenai Anak Berbakat

Menurut Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah memiliki komitmen yang besar dengan bidang yang disukainya. Tak hanya itu, anak yang berbakat pun akan terus-menerus mengembangkan kemampuan yang dimilikinya itu. ”Kememapuannya melampaui di atas rata-rata,” ujar penggagas Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI itu.

Tak hanya itu, anak yang berbakat juga memiliki kemampuan intelegensi yang jauh di atas rata-rata. Anak yang unik ini juga dikarunia komitmen yang besar dan berbakat kreatif dalam bidang yang disukainya. Sehingga, bidang itu bisa kembangkannya untuk menjadi lebih besar lagi. ”Misalnya ada anak yang senang olahraga. Kalau anak itu berbakat maka ia akan terus mencari bahan tentang olahraga yang disukainya,” tutur psikolog kelahiran Kota Bandung ini. Dengan begitu, si anak akan tahu tokoh, hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut. ”Anak berbakat itu akan all out.”Begitu juga dengan anak yang suka dengan matematika. Anak berbakat akan terlihat lain. Menurut Reni, akan berbakat akan punya komitmen untuk mempelajari matematika hingga mampu menciptakan rumus-rumus baru. ”Orang yang berbakat main piano dan yang tidak berbakat akan lain saat memainkan tuts piano. 


Sentuhannya akan lain,” ungkapnya. Sedangkan, lanjut Reni, anak disebut cerdas, karena memiliki taraf intelijensia yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum tentu memiliki komitmen yang besar dan belum tentu mampu berkreativitas. Sementara, istilah anak pandai, kata dia, adalah istilah yang diberikan masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking tinggi di kelasnya.

Pandai,Cerdas, dan Berbakat
”Anak pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas,” kata Reni. Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250 anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20 persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. Mungkin Anda bertanya, ”Kok bisa sih anak yang nggak cerdas mendapat ranking?” Menurut Reni, hal itu tentu sangat mungkin terjadi. Sebab, pelajaran di SD terbilang masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk belajar.”Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena mereka harus belajar mandiri.”

Sukses Orang Tua atau Sukses Anak?

Setiap orang menginginkan yang terbaik bagi anak - anaknya. Segala hal yang dianggap terbaik dilakukan agar kelak anak menjadi ' manusia super'. Hati - hati terjebak dalam 'hyper parenting'.
Gim adalah bocah berusia tujuh tahun. Ia baru duduk di kelas dua sekolah dasar. Tapi jangan tanya soal kesibukannya. Dalam sehari waktu Gim dipadati dengan aneka kegiatan. Mulai dari les matematika, bahasa Inggris, komputer, piano, dan masih banyak lagi. Gim bukan seorang atlet, tapi soal nutrisi orang tuanya amat memperhitungkan asupan protein, vitamin, dan zat gizi lainnya yang harus dikonsumsi si buyungnya itu.

Orangtua Gim, William dan Gresy mengatur dengan seksama semua itu. Bagi mereka inilah yang harus dilakukan agar Gim putra semata wayangnya ingin tumbuh jadi sempurna dan menjadi orang yang berguana di masa datang. " Kami ingin sangat serius dalam merawat Gim, kami tidak ingin Gim seperti kami yang semasa kecil tidak mendapat cukup rangsangan dari orangtua," tegas William.

Bagaimana anak berkembang?
Bermain, bereksplorasi, berekspresi, berpendapat, dan bahagia. Inilah seharusnya yang dilakukan anak - anak dalam kehidupan. Melalui keempat hal tersebut anak - anak bisa mempelajari sesuatu sehingga bisa mengembangkan seluruh potensi kecerdasan dan tumbuh kembangnya. Orangtua hanya perlu memberi stimulasi yang sesuai dengan usia dan tahapan tumbuh kembang anak. Stimulasi ini dapat diberikan setiap ada kesempatan. Menurut psikologi pendidikan anak, DR. Reni Akbar Hawadi, jika anak memiliki kemampuan melebihi tugas perkembangannya, misal di usia tiga tahun anak sudah bisa mengeja huruf, orangtua boleh saja memacu kemampuan anak supaya mereka bisa membaca,asalkan, dengan stimulasi yang benar. " Tidak memaksakan kehendak, penuh kasih sayang dan kegembiraan. Sehingga anak merasa nyaman dengan stimulasi tersebut," papar Reni.

Dalam perkembangannya anak - anak harus melalui tahapan - tahapan perkembangan. Anak tidak bisa dipaksa untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Orangtua juga tak bisa memaksa anak menguasai atau menyenangi semua hal yang dianggap baik. " Setiap anak punya bakat yang berbeda, inilah yang perlu kita asah karena biasanya sesuai dengan keinginan anak," ungkap Reni. Kursus atau kegiatan lain hanyalah stimulasi tambahan bukan yang utama. Makanan yang bergizi juga sangat penting, tapi tidak salah jika sekali - kali Anda mengajak anak makan resto fastfood sekedar untuk berekreasi. "Tapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Bermain dan interaksi dengan orangtua dan teman sebaya justru menjadi tambahan saja," imbuh Reni. Bisa dibayangkan anak - anak tidak lagi hidup dalam kehidupan anak - anak. Jangan heran jika banyak anak yang stres, tidak bahagia, dan tidak nyaman dengan dirinya.

Hyper parenting?
Pasangan William dan Gresy tentu berhak menyimpan harapan bagi anaknya, Gim. Seperti orangtua pada umumnya, mereka pun ingin anaknya bisa tumbuh optimal. Tapi, bahagiakah Gim dengan pengasuhan yang diterapkan orangtuanya? Benarkah semua itu bisa mendongkrak kesiapan Gim menghadapi masa depannya? Alvin Rosenfeld, M.D., dan Nicole Wise,peneliti, pengamat perkembangan anak, dan penulis buku ' Hyper - Parenting: Are You Hurting Your Child by Trying Too Hard?" mengkategorikan William dan Gresy sebagai profil orangtua yang menjalankan ' hyper parenting' 'Hyper parenting' adalah sebuah upaya orangtua untuk mengontrol semua lingkungan anak. Hal ini dilakukan agar mendapat output atau profil anak yang sempurna. Biasanya menurut kedua ahli ini, orangtua seperti ini menyimpan kekuatiran yang sangat dalam akan masa depan anak - anak mereka. Akibatnya, segala upaya baik dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan si anak itu sendiri. Singkatnya ' hyper parenting ' adalah ' over scheduling' dan ' over enriching' kepada anak - anak.

Sementara itu, menurut Reni Akbar, 'hyper parenting' terjadi karena orangtua merasa tak puas dengan pola asuh yang mereka dapatkan semasa kecil. Biasanya mereka juga tak puas dengan semua yang sudah didapat saat ini. "Bisa jadi mereka tidak puas dengan karir atau kehidupan mereka secara keseluruhan," ungkap dosen psikologi Indonesia ini. Akibatnya semua 'ketidakberuntungan ' itu dibebankan kepada anak. Orangtua berharap anak - anak bisa memberikan dan mendapatkan apa yang mereka tidak dapatkan. Padahal, belum tentu hal ini sesuai dengan kebutuhan apalagi keinginan anak. Orangtua yang hyper kerap tak menyadari bahwa upaya yang mereka lakukan justru bisa menjadi bumerang bagi anak. Hanya karena orangtua yang hyper anak yang mempunyai potensi bagus menjadi runtuh kepercayaan dirinya. Bisa juga anak yang sebenarnya anak sangat penurun, karena gaya pengasuh 'hyper parenting' akan menjadi pemberontak. "Kita suka lupa bahwa anak mempunyai kehidupan dan perkembangannya sendiri. Kita hanya melihat anak sebagai obyek untuk meraih sesuatu," ungkap Reni.

Membesarkan Generasi Multibahasa

Menguasai beberapa bahasa sekilas merupakan nilai tambah bagi seseorang. Perlukah mereka lancar berbahasa Inggris, fasih berbahasa Prancis, tanpa melupakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sang ibu?

Anda mungkin terkagum-kagum menyaksikan seorang balita pribumi bisa mengucapkan satu dua kalimat bahasa Inggris. Bahkan ada balita yang bisa berbahasa asing lain di luar bahasa Inggris dan bahasa ibunya. Anak-anak Indonesia berpotensi mampu dwibahasa bahkan multibahasa. Selain bahasa Indonesia, anak-anak kita umumnya juga diajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan secara tak langsung juga mampu berbahasa daerah melalui orang tua atau keluarga.

Meningkatkan kemampuan multibahasa atau multilingual anak sebetulnya tidak terlalu sulit. Setiap anak dilahirkan dengan kemampuan meniru bunyi bahasa apapun. Seiring dengan waktu, saat bayi berusia 10 bulan, dia mulai mempersempit cakupan bunyi yang ia dengar dari orang-orang di sekitarnya. Jadi, jika Anda ingin mengajarkan anak bahasa yang lain, sangat baik melakukannya di tahun pertama kehidupan anak.

Stimulasi Bahasa Sejak Dini
Anak sudah terpapar bahasa sejak Anda belum mengajari dia kemampuan apapun. Di perut ibu, si bayi mendengarkan Anda bicara dan belajar mengenali suara. Setelah lahir, proses pemahaman bahasa kian berkembang, sejak dia belajar membedakan berbagai bunyi dan nada bicara. Anak-anak sangat antusias dan punya kemampuan luar biasa untuk belajar bahasa.

 
Perkembangan bahasa anak meningkat pesat ketika ia menginjak usia 3 tahun. Pada usia tersebut, anak memantapkan artikulasi, susunan kalimat, dan sudah memiliki banyak kosakata. Usia 3 tahun ke atas adalah periode emas mengajarkan bahasa kepada anak, termasuk bahasa asing. “Mengenalkan anak kepada bahasa asing boleh dilakukan sedini mungkin. Hal itu baik untuk perkembangan otak anak karena dia menerima berbagai stimulasi. Kemampuan otak anak untuk memelajari bahasa kedua atau ketiga paling baik saat balita dan kemampuan itu bertahan hingga usia 8 tahun,” jelas Dr. Setyo Handryastuti, SpA, dokter spesialis anak dari Divisi Neurologi Anak RSCM-FKUI.

Namun Anda juga perlu memerhatikan kondisi anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa keahlian berbahasa memerlukan talenta. “Itu yang disebut dengan polyglot, yaitu seseorang yang memiliki bakat atau kemampuan untuk menggunakan dua atau lebih bahasa secara aktif,” kata Ibnu Wahyudi, SS, MA, pengajar Jurusan Sastra Indonesia pada Universitas Indonesia. Bahasa juga termasuk satu dari sembilan kecerdasan (multiple intelligences) yang dipopulerkan oleh Howard Gardner. Sehingga memang ada anak yang punya kemampuan bahasa lebih menojol dibandingkan anak lain yang sebaya. Juga ada kasus tertentu dimana secara biologis seorang anak kesulitan menguasai bahasa.

Fase Peka Bahasa
Ketika seorang anak diperkenalkan dengan lebih dari satu bahasa, otaknya yang sedang tumbuh tidak menyadari bahwa sesungguhnya ia sedang mempelajari dua bahasa yang berbeda. Otak menerima kedua bahasa tersebut sebagai satu sistem. Para ahli membuktikan dengan hasil pemeriksaan otak yang menunjukkan, dua bahasa tersebut disimpan di tempat yang sama dalam otak.

Bayi memiliki sensitivitas yang luar biasa dalam pendengaran. Mereka sanggup membedakan bunyi, yang sangat mirip sekalipun, dalam berbagai macam bahasa. Ketajaman itu tak lagi dimiliki oleh orang dewasa. Selain itu, struktur mulut, terutama langit-langit yang sedang tumbuh, pada batita masih sangat elastis sehingga mereka mampu menirukan segala bentuk bunyi dalam berbagai bahasa. Namun, begitu satu atau dua bahasa diserap, langit-langit akan beradaptasi dengan bahasa yang dominan dipakai sehari-hari tersebut. Dan kemampuan anak yang sudah beranjak dewasa untuk menirukan segala bentuk bunyi menjadi terbatas.

Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa semakin dini anak belajar bahasa asing atau bahasa kedua, dia akan semakin mudah menguasai bahasa tersebut. Bahkan banyak pakar berpendapat, hingga usia 10 tahun, anak bisa menguasai bahasa kedua hampir sebaik penguasaan dia terhadap bahasa pertama. Dan mereka bisa berbicara tanpa aksen. Setelah lewat usia 10 tahun, penggunaan bahasa kedua menjadi tidak alami dan anak sudah mulai sulit menghilangkan aksen bahasa sehari-hari yang dominan mereka gunakan di lingkungan keluarga maupun pergaulan.


Pada penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu, dikenal istilah fase kritis (critical period). Sementara pada penguasaan bahasa kedua atau bahasa asing, ada istilah fase peka (sensitive period). Berdasarkan penelitian Mark Patkowski, seorang maestro bahasa lisan, masa peka penguasaan bahasa asing adalah sampai anak berusia 15 tahun.

Lingkungan yang Mendukung
Perlu ada motivasi yang kuat dari dalam diri anak untuk belajar bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya. Motivasi bisa didapatkan dari kondisi yang diciptakan di dalam rumah maupun terbentuk dari lingkungan sekitar anak. Jika ayah atau ibu fasih berbahasa asing karena lama menetap di luar negeri atau memelajari bahasa kedua saat kuliah maupun kursus, anak bisa termotivasi mempelajari bahasa yang kerap digunakan oleh ayah atau ibu.


Lingkungan keluarga di Indonesia yang banyak memakai bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari juga bisa dipandang sebagai potensi untuk mengajarkan lebih dari satu bahasa kepada anak. Karena bisa dilihat sebagai kekayaan linguistik yang dimiliki anak, terutama di era yang semakin modern dimana anak-anak mungkin sudah tidak lagi akrab dengan bahasa daerah ibu atau ayah.

Media yang efektif untuk mengajarkan bahasa asing kepada anak adalah buku cerita, lagu-lagu berbahasa asing, acara televisi, CD interaktif, dan berbagai jenis permainan – seperti flashcards – maupun melalui media komputer.

PERLU DWIBAHASA?
Sebagai penghubung antara seseorang dengan dunia sekitar, bahasa yang perlu dipelajari adalah bahasa yang “hidup” di lingkungan keluarga maupun pergaulan seorang anak.


“Kalau anak tinggal di Jakarta, paling baik jika bahasa pertama yang ia pelajari adalah bahasa Indonesia. Kalau dia tinggal di Yogya, tambahkan bahasa Jawa karena bahasa daerah digunakan sehari-hari, untuk keperluan anak bermain. Dan jika sang ayah berasal dari Prancis, tambahkan bahasa Prancis karena suatu hari anak akan berkomunikasi dengan nenek atau keluarga besar dari ayah yang menggunakan bahasa Perancis,” jelas penasihat PARENTS, Dr. Reni Akbar Hawadi, MPsi.

Seiring pertambahan usia anak, minat dan nilai tambah menjadi pertimbangan dalam memelajari bahasa. Menginjak usia sekolah, seorang anak bisa saja tertarik belajar bahasa Inggris karena ia kerap membaca dongeng berbahasa Inggris. Atau bisa saja ia tergerak belajar bahasa Jepang setelah hampir setiap hari menonton film kartun khas negeri Sakura. “Stimulasi bisa Anda berikan namun jangan sampai memaksakan kehendak Anda kepada anak,” kata Dr. Reni yang berprofesi sebagai psikolog pendidikan.

Sumber: https://www.sahabatnestle.co.id/content/gaya-hidup-sehat/tips-parenting/membesarkan-generasi-multibahasa.html

Tak Ada Komunikasi 2 Arah Antara Anak & Orantua

Dede Suryana
JAKARTA - Rivaldi (11), harus tewas ditangan Rsk (11), teman bermainnya sendiri, setelah bermain perang-perangan menggunakan benda tajam serupa piranti tawuran. Apa kata psikolog?

Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Reni Akbar Hawadi berpendapat, tingkah laku anak yang cenderung garang dan buas ini dipengaruhi oleh salahnya pola asuh dan kurangnya komunikasi antara anak dengan orangtua.

Berikut petikan wawancara okezone Guru Besar Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi UI:

Apa latarbelakangi anak seusai itu melakukan kekerasan, bahkan membunuh?


Peristiwa ini menyedihkan sekali dan ini berhubungan dengan masyarakat sekitar dalam mengasuh anak. In iindikasi betapa orangtua cuek terhadap perkembangan dan kebutuhan anak. Jadi indikasi betapa masyarkat sudah hidup nafsi-nafsi (sendiri-sendiri), tidak care terhadap orang lain.

Kecelakaan ini juga menunjukan betapa anak-anak pada fase perkembangan, dimana lebih banyak bersama peers (teman sebaya) dan ada kebutuhan besar untuk mengeksplorasi lingkungan.

Peran lingkungan?


Ya. Rasa ingin tahu yang besar pada anak, ingin mencoba sesuatu yang baru dan bertentangan dengan hal-hal yang belum diketahuinya. Satu sisi kebutuhan ini perlu diakomodasi oleh lingkungan sang anak.

Jangan sampai kurang bimbingan tentang mana bahaya dan tidak bahaya. Dan perlu selalu diigatkan bahwa orangtua berperan besar, sangat besar malah, pada seluruh aspek perkembangan anak.

Lingkungan dalam hal ini berawal dari rumah, kemudian sekolah, masyarakat dan bangsa secara makro memiliki andil besar dalam pembentukan karakter anak.

Bagaimana cara mendidik anak agar lebih peduli lingkungannya?


Anak perlu diarahkan dibimbing. Masalahnya proses pola asuh di Indonesia dianggap given. Padahal tidak bisa demikian. Bahwa pola asuh anak haruslah diajar atau dilatih. Ini bagian pencerdasan untuk kaum ibu. Jadi pemerintah sudah waktunya memberi perhatian besar dalam pendidikan ibu. Ibu itu harus cerdas agar anaknya juga cerdas.

Dalam kasus ini tampak sekali bahwa anak dengan santainya bermain perang-perangan dengan benda tajam tanpa mendapat teguran dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Orangtua mungkin berpikir anak seharusnya tahu sendiri, mikir sendiri. Tapi hal ini tidak bisa. Tetap orangtua harus ada komunikasi.

Kasus yang terjadi ini juga mewakili kondisi masyarakat kita. Memang kurangnya komunikasi dua arah atau dialog antara anak dengan orangtua.

Bukankah usia 11 tahun sudah mulai beranjak remaja?


Kalau ya, bagi saya ini malah mengherankan karena dari sisi perkembangan inteligensinya sudah mencapai tahap konkret operasional, artinya anak usia antara 7-12 sudah mulai menggunakan imajinasi mental dan simbol-simbol dalam proses berpikirnya dan bisa kebalikan proses tersebut.

Artinya apa, anak sudah memiliki pemahaman tentang benda-benda tajam yang akan dipergunakan dalam permainnaya adalah berbahaya (walaupun orangtua misalnya tidak memberi tahu sebelumya) tetapi yang terjadi pada anak ini seolah tidak tahu. Pertanyaanya, apakah anak ini memiliki taraf intelejensi normal?

(ded)

Sumber: https://news.okezone.com/read/2011/03/11/62/433739/tak-ada-komunikasi-2-arah-antara-anak-orantua

Bikin Anak Melek Gizi dari Bekal yang Dibawa ke Sekolah

Aditya Eka Prawira
Gizi kurang atau gizi buruk yang terjadi pada anak tidak semata-mata karena orangtuanya tidak mampu dalam hal finansial, tetapi juga karena orangtuanya minim pengetahuan akan gizi yang tepat untuk anak. Selain bervariasi dalam memberikan buah-buahan, orangtua juga harus kreatif dalam memilih bekal ke sekolah agar anak sadar gizi.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal (PAUDNI), Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, menjelaskan, orangtua kerap memberikan menu yang itu-itu saja untuk bekal makanannya. Parahnya, ada orangtua yang membekali anaknya dengan makanan kemasan yang mengandung MSG.

"Jangan selalu roti. Untuk chiki, itu harus dilarang. Bekalnya juga harus buah-buahan," kata Reni dalam acara 'Ayo, Melek Gizi: Menumbuhkan Kecintaan Anak Pada Gizi Sejak Dini', di Kembang Goela, Jakarta, Selasa (21/5/2013).

Kalau bisa, harap Reni, orangtua yang menerapkan tema dalam membekali anak-anaknya. Misalnya, hari ini sayur bayam dengan pendamping buahnya apel, lalu susu. Hari berikutnya, cari menu yang lain. Yang terpenting bagi Reni, anak harus diajarkan sedini mungkin untuk memahami gerakan sadar gizi.

"Ajarkan pada anak usia dini agar sadar gizi di kemudian hari," ujarnya menutup.

(Adt/Mel/*)

Sumber: https://www.liputan6.com/health/read/592294/bikin-anak-melek-gizi-dari-bekal-yang-dibawa-ke-sekolah

Bukan Asal Tebak

TEMPO Interaktif, Seni membaca tulisan, tanda tangan, wajah, garis tangan, dan tarot bukan tak bisa dijelaskan dengan akal. Sumber seni membaca wajah, garis wajah, dan tarot memang didasarkan pada budaya Cina dan Latin. Tapi bukan berarti ilmu turun-temurun tak bisa dipelajari.

Bagaimana dengan kemampuan membaca tulisan dan tanda tangan atau disebut grafologi? Ternyata ilmu yang juga dipelajari di dunia psikologi ini secara umum gampang-gampang sulit.

Menurut psikolog dan pakar keberbakatan, Reni Akbar Hawadi, menganalisis tulisan tangan itu seperti melihat lukisan. Jika diperhatikan, setiap lukisan--sama halnya dengan tulisan--memiliki kesan umum. "Coba lihat tarikan garisnya, kemudian baru tentukan energi emosional si penulis," kata Reni ketika dihubungi beberapa waktu lalu.

Energi emosional ini bisa dilihat pada tekanan tulisan. Seberapa besar tekanan garis, maksudnya ketebalan dan kehitaman garis yang dibuat. Ini dapat diraba di belakang permukaan kertas yang ditulis. "Muncul atau tidak tekanannya," tutur doktor psikologi ini.

Energi emosional ini sangat merepresentasikan kepribadian penulis. Energi emosional memiliki dampak langsung terhadap karakter kepribadian si penulis. Energi ini, kata dia, merupakan kombinasi fisik dan tingkat energi.
Mereka yang memiliki tekanan besar--garis tulisannya tebal-tebal--biasanya memiliki kesuksesan tinggi. Mereka memiliki banyak vitalitas dan pengalaman emosional yang bertahan lama. Sebaliknya, tulisan yang garisnya tipis akan menghindari situasi yang menguras energi.

Indikator lainnya adalah kemiringan garis pada tulisan. Kemiringan garis ini adalah indikasi respons si penulis terhadap dunia luar. Misalnya miring ke kanan, "Itu tanda dari seseorang yang memiliki respons kuat terhadap situasi emosionalnya," kata mantan delegasi Indonesia di forum bakat internasional ini.
Miring ke kanan diartikan juga bersifat penuh perhatian, hangat, dan outgoing. "Mereka pada dasarnya memakai hati untuk mengendalikan pikiran mereka," Reni memberi tahu. 

Sedangkan garis tegak lurus menunjukkan bahwa si penulis mencoba bersikap rasional. Yang ini sebaliknya, "Pikiranlah yang menguasai hati mereka." Terakhir, tulisan yang miring ke kiri. Itu menunjukkan sifat penulis yang dingin dan indifferent.

Secara ilmiah, Reni menjelaskan, tangan itu dipandu oleh otak. Segala yang keluar dan tertuang dalam bentuk garis di kertas mirip dengan hasil dari sirkuit dua arah otak dan refleks motor tangan. Jadi, Reni melanjutkan, tulisan tangan menjadi poligraf atau oscilloscope seseorang.

Tapi tidak selalu mudah. Kesulitan membaca kepribadian lewat tulisan, menurut Achsinfina H. Soemantoro, grafolog Ashanda Consulting, akan muncul ketika sejumlah ketentuan mulai diperhatikan, seperti margin, spasi, bentuk huruf, garis dasar, atau kemiringan. "Jadi tak semudah membaca isi tulisan seseorang," katanya.

Namun lulusan magister psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini menekankan, untuk mempresentasikan karakter individu, seseorang tidak cuma dilihat dari satu ketentuan di atas--melihat bentuk margin saja. Harus diperhatikan pula ketentuan-ketentuan lain yang sesuai dengan ilmu grafolog.
Misalnya untuk penekanan tertentu pada tulisan. Individu dengan bentuk tulisan tangan yang tampak berbentuk bulat akan cenderung mengedepankan cinta dan kasih sayang. Jadi biasanya memiliki karakter yang lemah lembut. Sedangkan yang kotak cenderung sebagai individu yang termotivasi untuk bekerja dengan tangan serta berpikir secara logis, praktis, juga disiplin.
HERU TRIONO

Universitas Indonesia Kukuhkan Dua Guru Besar Perempuan

TEMPO Interaktif, Depok - Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan dua guru besar perempuan: Reni Akbar Hawadi sebagai guru besar bidang psikologi pendidikan dan Atiek Soemiati sebagai guru besar bidang farmasi. Keduanya dikukuhkan oleh Rektor UI Gumilar Soemantri di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (1/7).

Reni Akbar Hawadi yang pernah menjadi Konsultan Psikologi Bidang Pendidikan Anak Berbakat dan Berkemampuan Luar Biasa akan membawakan pidato pengukuhan berjudul “Membangun Peran Psikolog Dalam Pendidikan Nasional”. 

Dalam pidato tersebut ia mengungkapkan perlunya pemerintah melakukan diversifikasi jenis pendidikan mulai dari jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Pasalnya tidak semua murid sekolah dasar (SD) memiliki kecerdasan intelektual memadai untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.

“Untuk mereka yang memiliki IQ berkisar 70 – 89 sebaiknya disediakan sekolah khusus setaraf SMP untuk menampung mereka,” ujar dia dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Deputi Direktur Kantor Komunikasi UI. 

Sedangkan murid SD dengan kecerdasan tinggi diarahkan untuk terus melanjutkan ke SMP, SMA, dan Universitas. Khusus mereka dengan klasifikasi highly gifted (IQ di atas 145), disarankan untuk dididik khusus dan diberi beasiswa untuk mengembangkan diri dalam bidang-bidang yang relevan.
Sementara, Atiek Soemiati memaparkan pidato berjudul “Potensi Mikroba Endofit dalam Ekplorasi Bahan Baku Obat yang Ramah Lingkungan.” Beberapa kajian terhadap jenis jamur endofit terbukti mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi, baik sebagai bahan baku obat seperti : antibiotik, antikanker, antioksidan, antiinflamasi, imunosupresi, serta antidiabetes maupun penghasil senyawa bioaktif lain yang bemanfaat di bidang pertanian, farmasi, maupun industri. 

Ia mengharapkan ke depannya mikroba endofit dapat benar-benar dimanfaatkan dan dikembangbiakkan di Indonesia sehingga mampu memenuhi pasokan bahan baku obat-obatan di dalam negeri.
TIA HAPSARI

Jumat, 27 Juli 2018

Kiat untuk Punya Anak Pintar Ber-IQ Tinggi

Seorang anak tak cukup bila hanya mempunyai kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. Sebab orang ber-IQ tinggi belum tentu menjadi pintar bila dia salah asuhan. Tapi pintar saja --tanpa ditopang IQ tinggi-- hasilnya tak akan maksimal, karena dibatasi oleh ukuran 'gelas potensinya'. Karena itu, yang terpenting adalah mencetak anak ber-IQ tinggi yang pintar. Bagaimana caranya?
Dalam soal pembentukan IQ, sejumlah ahli salah satunya Dr Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, Amerika Serikat mengatakan faktor genetik atau bawaan berperan 48 persen dalam pembentukan IQ anak. Sebanyak 52 persen lainnya dibentuk oleh faktor lingkungan, antara lain lewat gizi, kasih sayang orangtua, serta stimulasi atau rangsangan.
Bahkan, menurut Dr Reni Akbar Hawadi Psi, kepala Bagian Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ada aliran psikologi yang saat ini berpendapat potensi genetis itu hanya 20 persen. Selebihnya adalah faktor lingkungan. ''Faktor lingkungan itu berperan sejak bayi masih berada di dalam kandungan ibunya,'' katanya.
Sejumlah penelitian, tutur Reni, membuktikan bahwa pada usia kehamilan 20 pekan atau lima bulan, seorang ibu sudah bisa berinteraksi dengan bayinya, sehingga sudah bisa memberikan stimulasi. Baik dengan berbicara langsung kepada bayinya, membacakan buku, hingga memperdengarkan musik klasik yang irama ketukannya sama dengan perkembangan sinaps atau simpul saraf otak.
''Setelah dilakukan penelitian terhadap ibu hamil yang memberikan stimulasi kepada bayinya pada usia 20 pekan dan yang tidak, ternyata bayi-bayi ibu yang diberi stimulasi berkembang jauh lebih baik,'' kata Reni. Sumber : Republika.co.id

Menyiapkan Anak Cerdas Ber IQ Tinggi

Dailykirukkal - Menyiapkan Anak Cerdas Ber IQ Tinggi, bila anak ber-IQ di bawah rata-rata saja bisa pintar, anak ber-IQ tinggi bisa jauh lebih pintar. Seseorang anak tak cukup bila hanya mempunyai kecerdasan intelektual (IQ) tinggi. Sebab orang ber-IQ tinggi belum tentu menjadi pintar bila dia salah asuhan. Akan tetapi pintar saja tanpa ditopang IQ tinggi hasilnya tak akan maksimal, karena dibatasi oleh ukuran `gelas potensinya`. Karena itu, yang terpenting adalah mencetak anak ber-IQ tinggi yang pintar. Bagaimana caranya?

Dalam soal pembentukan IQ, sejumlah ahli salah satunya Dr Bernard Delvin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, Amerika Serikat mengatakan faktor genetik atau bawaan berperan 48 persen dalam pembentukan IQ anak. 
 
Sebanyak 52 persen lainnya dibentuk oleh faktor lingkungan, antara lain lewat gizi, kasih sayang orang tua, serta stimulasi atau rangsangan. Bahkan menurut Dr Reni Akbar Hawadi Psi, kepala bagian Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ada aliran psikologi yang saat ini berpendapat potensi genetis itu hanya 20 persen. Selebihnya adalah faktor lingkungan. "Faktor lingkungan berperan sejak bayi mesih berada di dalam kandungan ibunya," katanya kepada Republika di jakarta.

Sejumlah penelitian, tutur Reni membuktikan bahwa pada usia kehamilan 20 pekan atau 5 bulan, seorang ibu sudah bisa berinteraksi dengan bayinya, sehingga sudah bisa memberikan stimulasi. Baik dengan berbicara langsung kepada bayinya, membacakan buku, hingga mendengarkan musik klasik yang irama ketukannya sama dengan perkembangan sinaps atau simpul saraf otak. "Setelah dilakukan penelitian terhadap ibu hamil yang memberikan stimulasi kepada bayinya usia 20 pekan dan tidak, ternyata bayi-bayi ibu yang diberi stimulasi berkembang jauh lebih baik," kata Reni. Selain mengkonsumsi makanan bergizi sejak dalam kandungan yang disertai stimulasi, Reni mengatakan langkah berikutnya adalah dengan menyusui bayi. Selain karena air susu ibu (ASI) mengandung lemak esensial seperti DHA dan AA serta taurin yang membantu pematangan sel-sel otak, saat menyusui pun terjadi stimulasi dan pemberian kasih sayang.

Anak Kebutuhan Khusus Diperhatikan Pemerintah, Lho!

Menanggapi keluhan atas sikap pemerintah yang dianggap pilih kasih dalam memberikan bantuan pendidikan, terutama sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di daerah terpencil, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi menyebutkan, sudah banyak sekali bantuan yang diberikan pemerintah untuk sekolah anak-anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah.

"Nah, untuk anak yang berkebutuhan khusus, kita ada yang namanya LKPK (Layanan Khusus Pendidikan Khusus) dan itu menjadi prioritas kita," ujar wanita yang biasa disapa Prof. Reny, di Jakarta, Selasa (21/5/2013).

LKPK, kata Lydia, secara khusus dibentuk untuk anak-anak yang menyandang autisme, hiperaktif, berbakat intelektual, tunanetra dan lain-lainnya.

Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan bantuan langsung berupa dana dan training untuk para guru. "Itu kita berikan di setiap provinsi," terangnya.

Karena anak-anak yang berkebutuhan khusus di Indonesia tidak banyak, hanya ada 2,5 persen, maka terkesan pemerintah tidak memberikan apa-apa, padahal tidak seperti itu, kata Lydia.

Yang sulit adalah mencari guru untuk sekolah anak berkebutuhan khusus. Tidak hanya yang mampu mengajar, tetapi juga harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya untuk anak spesial itu. "Justru itu susahnya, mencari guru yang mampu memberikan pelayanan yang baik".

(Adt/Mel/*)


Sumber:  https://www.liputan6.com/health/read/592334/anak-kebutuhan-khusus-diperhatikan-pemerintah-lho

Dirjen PAUDNI: Satu Desa Satu PAUD

Direktur Jenderal Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Dirjen PAUDNI) Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psi menegaskan visi Kemdikbud tahun 2012 penguatan pelayanan dengan satu desa satu PAUD.

Menurut Prof. Reni Hawadi Akbar—sapaan akrab Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, upaya menerapkan satu desa minimal satu PAUD merupakan suatu keharusan. Ia mengharapkan pemerintah daerah dapat mendukung program tersebut.

Pernyataan itu Reni lontarkan seusai penandatangan MoU antara Ditjen PAUDNI, Pemda Kabupaten Sumbawa Barat, dan PT Newmont Nusa Tenggara, belum lama ini.

Kesepakatan kerja sama antara Ditjen PAUDNI, Pemda Kabupaten Sumbawa, dan PT Newmont Nusa Tenggara ini berkaitan dengan peningkatan mutu dan pengembangan program dalam rangka percepatan pembangunan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat.
Dalam MoU tersebut disepakati Ditjen PAUDNI bertugas dan bertanggung jawab menetapkan standar mutu pendidik dan tenaga kependidikan sehingga memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas secara profesional.

Selain itu, Ditjen PAUDNI juga menetapkan standar pembinaan dan pengelolaan lembaga dan melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program PAUDNI.

Sementara itu Pemda Kabupaten Sumbawa Barat menyiapkan dan menetapkan pendidik dan tenaga kependidikan seperti guru, tutor, fasilitator, pamong belajar, penilik, dan tenaga administrasi sesuai dengan kebutuhan dan jumlah lembaga, menetapkan lokasi pembangunan dan menyediakan fasilitasi anggaran pembiayaan pendidikan PAUDNI, yang proprosional melalui APBD.

Pemda Sumbawa Barat juga sepakat untuk menetapkan pedoman penyelenggaraan PAUDNI berbasis budaya dan kearifan lokal, serta melaksanakan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program PAUDNI.

Sedangkan PT Newmont Nusa Tenggara menyiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas pembelajaran untuk menunjang program PAUDNI melalui dana CSR, menyediakan dukungan untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan, dan peningkatan mutu dan tenaga kependidikan PAUDNI, serta melakukan publikasi tentang program kerjasama ini kepada masyarakat luas. (Sugito/HK)

7 Hal Ini Bisa Bantu Tingkatkan Kreativitas Anak

Oleh Melly Febrida
Jakarta - Kalau kita nggak kreatif, rasanya iri banget ya melihat orang-orang yang kaya akan kreativitas. Nah, kreativitas itu nggak serta-merta ada begitu saja. Ibarat pisau, kreativitas perlu ditumbuhkan sejak dini.

Kata pakar perkembangan anak, usia 5-6 tahun itu usia emas dalam pengembangan kreativitas anak. Tapi apa yang harus orang tua lakukan agar anak kreatif?

Sebanrnya banyak cara mengasah kreativitas anak, Bun. Salah satunya adalah dengan menciptakan lingkungan rumah yang mendukung kreativitas si kecil. Hal ini diperkuat pendapat Dr Reni Akbar Hawadi dalam bukunya 'Psikologi Perkembangan Anak, Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak', yang mengatakan kondisi rumah memang bisa memengaruhi perkembangan kreativitas anak.

Tika Bisono MPsiT.,Psi., seorang psikolog dan dosen di Universitas Mercubuana, juga mengatakan pentingnya mengasah kreativitas. Salah satu caranya adalah dengan tidak melewatkan satupun ide atau gagasan yang dilontarkan anak.

"Setiap anak menyampaikan idenya, kita tanya apa, kalau memang tidak sesuai bisa dibelokkan sedikit-sedikit," sebut Tika saat berbincang dengan detikHealth beberapa waktu lalu.

Beberapa kiat ini bisa kita praktikkan agar kreativitas anak terasah, seperti ditulis di buku 'Parents Guide Growing Up Usia 5-6 Tahun':

1. Sediakan Material Konstruktif

Bunda bisa menyediakan lilin-lilinan (plastisin), tanah liat yang bentuknya mudah diubah, krayon, dan kertas. Bahan-bahan tersebut sederhana, nggak terlalu banyak detail yang bisa menghambat kebebasan anak Bun.

Sebaiknya memberikan kertas polos, bukan buku mewarnai yang sudah ditetapkan gambarnya dan biarkan anak membuat gambarnya sendiri.

Biarkan anak bermain dan berkreasi bebas dengan bahan yang ada. Agar aman dan nyaman, sediakan juga ruang dan peralatan yang memadai.

Bunda bisa menunjukkan cara menggunakan peralatan dan bahan itu. Oya Bun, jangan lupa menyediakan spons atau lap agar anak bisa membersihkan sendiri tempat kerjanya. Cara ini bisa melatih anak untuk mandiri, bertanggung jawab, dan percaya diri.

Kalau anak sudah bosan, kita bisa memberikan potongan atau lembaran daun kering, bulu ayam, kulit kacang, atau karton. Biarkan anak membuat sesuatu dari benda tersebut. Menerima ide-idenya akan mendorong anak mencoba hal baru.

Sebaiknya nggak memilih mainan hanya karena tampilan yang bagus dan lucu. Lihatlah manfaatnya apa bisa mengembangkan motorik, menunjang keterampilan intelektual atau sosial anak ya, Bun.


2. Menjawab Pertanyaan Anak

Kadang kalau lelah kita suka diam 'malas' menjawab pertanyaan anak. Apalagi kalau pertanyaannya itu lagi, itu lagi. Padahal anak penuh dengan rasa ingin tahu dan kaya ide. Jangan kaget kalau anak menanyakan hal yang aneh demi menjawab rasa ingin tahunya.

Misalnya saja mengapa langit warnanya biru atau mengapa pelangi warna-warni. Nah, bunda bisa menjawabnya dengan cara bijak, melalui bahasa yang sederhana.

Kalau Bunda nggak bisa jawab, katakan sebenarnya disertai alasannya. Ini bisa menunjukkan kalau orang tua tidak selalu tahu jawaban dari semua hal dan semua pertanyaan. Nah, selanjutnya ajak anak mencari jawabannya entah itu dari buku atau menanyakan ke ahlinya.



3. Merangsang Imajinasi

Imajinasi dan daya pikir anak perlu dirangsang agar berkembang. Caranya dengan mengajukan pertanyaan, misalnya apa yang terjadi kalau kamu bisa terbang, dan bagaimana rasanya jika nggak punya kaki.

Cara lain, kita bisa mengajak anak jalan keliling rumah. Selanjutnya kita menanyakan ke anak ketemu siapa saja, ada apa saja, dan melakukan apa saja. Kalau begini, imajinasi anak akan terus hidup.

4. Dorong Anak Bermain Peran

Anak-anak berintelegensi tinggi suka mainan ini Bun. Misalnya biarkan si kecil jadi dokter dan bunda pasiennya saat main dokter-dokteran. Tentu saja untuk permainan ini perlu ada peralatan yang mendukung. Tapi nggak harus beli kok, Bun. Kita bisa pakai peralatan di rumah yang bentuknya mirip untuk dijadikan stetoskop, suntikan, dan sebagainya.

5. Beri Kesempatan Anak Bersosialisasi

Ini penting agar anak bisa bermain dengan teman sebayanya Bun. Saat bermain, si kecil akan belajar keterampilan sosial seperti komunikasi, persahabatan, toleransi, penyesuaian diri, dan kerja sama. Ini sangat berguna untuk melatih kecerdasan emosi anak, Bun.


6. Puji Keberhasilan Anak

Si kecil mungkin saja menggambar sesuatu yang nggak masuk akal. Tapi tetap berikan pujian karena ia sudah mencoba hal baru. Pujian yang diberikan tentunya dengan tulus dan sungguh-sungguh agar anak terdorong untuk membuat sebaik-baiknya.

7. Pahami Keterbatasan Anak

Berikan kegiatan yang menantang ya, Bun, tapi sesuai kemampuannya. Kalau anak berhasil, itu bisa meningkatkan rasa percaya dirinya. Sebaliknya kalau permainannya sulit dan anak nggak mampu menyelesaikannya, bisa membuat anak down dan kehilangan rasa percaya diri. (vit/vit)


Sumber:  https://www.haibunda.com/aktivitas/d-3818692/7-hal-ini-bisa-bantu-tingkatkan-kreativitas-anak


Seks Sehat Hindari IMS


SETIAP biduk rumah tangga memiliki problem. Bagaimana jika pasangan terkena infeksi menular seksual (IMS)? 

Janji manis sehidup semati seolah terlupakan ketika biduk rumah tangga terhadang masalah. Apalagi ketika salah satu pasangan terinfeksi penyakit menular seksual akibat kehidupan seks yang tidak sehat.

Spesialis Kulit Kelamin dari Siloam Hospitals dr Hannah K.M Damar SpKK menyarankan untuk selalu menjaga kehidupan seks yang sehat.

"Sebuah perkawinan adalah proses belajar untuk mengenal satu sama lain. Masing-masing pasangan harus saling memelihara, mengingatkan, menyayangi demi kelangsungan rumah tangga," tutur alumnus Universitas Diponegoro seraya menambahkan untuk mengobati penyebab penyakit ini sampai bersih dan tuntas.

Penyakit menular seksual terkadang tidak merasakan gejala apa pun. Tidak jarang orang tidak mengetahui telah terinfeksi dalam stadium lanjut. Penderita tidak merasakan sakit karena tidak merasakan nyeri, gatal, keluar cairan atau gejala yang lain.

Beberapa penyakit menular seksual tergantung dari penyebabnya seperti bakteri, virus, protozoa, jamur atau kutu. Bakteri dapat menyebabkan penyakit sifilis, gonorhoea, dan chlamydia.

Adapun penyakit herpes, HIV, Papilloma dan Moluscum disebabkan virus. Kemudian, Protozoa menyebabkan trichomonas, jamur menyebabkan candida dan kutu menyebabkan scabies dan kutu celana.

Hannah menekankan, penting bagi pasutri untuk melakukan pemeriksaan dini dan perawatan yang tepat. Terutama, infeksi mudah menyebar ke organ tubuh bagian lain dan menyebabkan komplikasi serius.

Bila salah satu pasangan suami-istri tertular, tentu akan menjadi penderitaan pasangan lain sepanjang hidup.

"Mengetahui pasangan mengalami penyakit seksual sudah merupakan pukulan tersendiri. Benar-benar dibutuhkan kebesaran hati dan ketabahan pasangan untuk mau dan mampu menerima," kata Konsultan Perkawinan dari Badan Penasihat Perkawinan Perceraian DR Reni Akbar-Hawadi Psi.

Beban akan semakin bertambah karena stigma negatif masih melekat masih begitu buruk. Praktis, masyarakat akan bereaksi dengan mengasingkan, bahkan mengucilkan diri. Situasi ini merupakan reaksi yang wajar terjadi. Di sinilah kesetiaan diuji untuk menerima keadaan pasangan dalam kondisi apa pun.

Saling menyalahkan, marah, kecewa, tidak menerima kenyataan merupakan reaksi yang muncul saat terdiagnosis pertama kali.

"Tentu wajar jika pasutr saling menyalahkan. Namun, tidak bisa lari dari kenyataan dan memungkiri kenyataan yang ada. Karena bagaimanapun, masalah kesehatan bukan hanya masalah salah satu pasangansaja," sebut alumnus Universitas Indonesia itu.

Jika ada salah satu pasangan tertular, maka seharusnya pasangan yang lain membantu dan mendorong untuk menjalani perawatan. Selain membantu dalam perawatan, mengasuh dan mendampingi anakanak tidak boleh diabaikan. Namun, masalah ini bukanlah akhir dari suatu perjalanan rumah tangga.

Reni menuturkan, perlunya melakukan introspeksi perjalanan rumah tangga oleh pasutri. "Misalkan, suami tertular akibat sering melakukan hubungan seks yang tidak sehat dari perselingkuhan. Perlu dicari tahu kenapa bisa sampai terjadi perselingkuhan. Karena perselingkuhan bisa disebabkan oleh banyak faktor, seperti jenuh dengan pasangan, komunikasi tidak jalan sehingga sering kali melakukan tindakan irasional," tandas Reni.

Menurut dia, seks merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Jika bermasalah dalam kehidupan rumah tangga, tak ayal mencari kompensasi lain dan tidak memikirkan risiko. Selain itu, bisa juga para suami sedang mengalami masalah pekerjaan.

Dalam melakukan pertahanan diri menghadapi masalah, ada yang positif dan negatif. Dampak negatif, seperti menarik dan melarikan diri dari masalah dengan "merusak" dirinya sendiri. Karena itu pasutri perlu saling mendukung.
(tty)

Sumber: https://lifestyle.okezone.com/read/2008/03/29/24/95710/seks-sehat-hindari-ims

Mengintip Bakat Besar Dibalik Gangguan Perilaku

Tidak semua anak berbakat punya perilaku layaknya anak-anak normal. Ada juga di antara mereka yang memiliki gangguan autisme dan pemusatan perhatian. Saat berusia batita Jason dikenal sebagai bocah hiperaktif dan ADHD (gangguan pemusatan perhatian). Ia tak pernah bisa diam dan kadangmenunjukkan agresivitasnya. Ia sangat hobi mengutak-atik sekaligusmerusak atau menghancurkan barang-barang di rumahnya. Karenasikapnya itu, orang tua Jason membiarkan rumahnya kosong melompong. Di balik itu Jason juga termasuk sosok pendiam dan sulit bergaul.
Namun, tak ada yang menyangka, bocah hiperaktif macam Jason ternyata memiliki kelebihan super yang tak dimiliki anak-anak seusianya.Kecerdasannya di bidang matematika luar biasa. Tak heran jika diusia 10 tahun ia sudah bisa masuk SMP dan di usia 13 tahun sudahduduk di bangku kelas 2 SMU.


Jason, menurut Dr. Reni Akbar Hawadi, M.Psi., termasuk kategori anak-anak gifted (berbakat) sekaligus handicapped (memilikihambatan). "Di satu sisi, dia merupakan sosok hiperaktif yangditandai dengan berbagai perilaku agresifnya. Di sisi lain, ia jugamerupakan seorang jenius karena memiliki IQ 145 poin, selainkreativitasnya yang tinggi," ungkap pengajar di Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia yang juga peneliti anak-anak berbakat.

 

BERBAKATKAH ANAK ANDA?
Hal senada diungkapkan Astri S. Widianti, Psi., psikolog dari EssaConsulting Group. Menurutnya, anak berbakat adalah mereka yangmemiliki kelebihan di atas anak-anak normal. Kelebihan itu punsetidaknya mencakup tiga hal yang sebagian sudah bisa ditunjukkan diusia batita.

 

* IQ tinggi
IQ tinggi ditandai dengan ingatan yang kuat. Otaknya seolahberfungsi bak mesin pemotret. Kalau orang tua menjelaskan berbagaijenis kendaraan kepada si anak, contohnya, maka keesokan harinya iasudah mampu mengingat dan menyebutkan semua kendaraan yangdijelaskan tadi sampai detail. Selain itu, perbendaharaan katanyarelatif luas/banyak, sehingga biasanya gemar nimbrung ketika orangtuanya bercakap-cakap.Ia pun mampu berpikir logis dan kritis, sehingga saat menginjak usia prasekolah ia sudah mampu memecahkan soal-soal aljabar sederhana. 


Kejeniusannya terlihat dari kesenangannya mempelajari berbagaibacaan tebal seperti kamus, ensiklopedi, dan sejenisnya, serta mampu memecahkan berbagai soal dengan cepat, selain cepat pula menemukan kesalahan maupun kekeliruan. Tak jarang anak juga menunjukkan kemampuan supernya seperti mampu membaca lebih cepat di usia yang relatif lebih muda dibanding anak sebayanya. Kadang kemampuan membaca ini muncul tanpa pernah diajari sebelumnya secara khusus.

 

* Kaya Kreativitas
Kreativitas ditandai oleh dorongan ingin tahu yang sangat besar, sering mengajukan pertanyaan yang berbobot, memberi banyak gagasan dan usulan terhadap suatu masalah, bebas saat menyatakan pendapat,memiliki rasa keindahan, menonjol dalam salah satu bidang seni, punya pendapat sendiri, dapat mengutarakan pendapatnya dan tak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain, punya rasa humor yang tinggi,daya imajinasinya kuat, serta orisinalitasnya tinggi yang tampakkala ia mengungkapkan gagasan, buah pikiran, dan sejenisnya. Selain itu, ia juga mampu bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, dan mampu mengembangkan/merinci suatu gagasan (kemampuan elaborasinyabagus).

 

* Motivasi Kuat
Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu lama dan tak mau berhenti sebelum selesai), ulet menghadapi kesulitan (tak lekas putus asa), tak memerlukan dorongan dari luar untuk menunjukkan prestasi, ingin mendalami materi/bidang pengetahuan yangdiberikan, selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin (tak cepatpuas dengan prestasi yang diraihnya), menunjukkan minat terhadap aneka masalah "orang dewasa" semisal soal pembangunan, korupsi,keadilan, dan sebagainya. Ia pun senang dan rajin belajar serta penuh semangat, hingga cepat bosan pada tugas-tugas rutin, memiliki orientasi pada tujuan-tujuan jangka panjang disamping bisa menunda pemuasan kebutuhan sesaat. Singkatnya, "Jika seorang anak memiliki tiga kriteria tersebut, maka ia termasuk anak berbakat," tandas Reni.Ia lalu menuturkan, saat ini memang terjadi perdebatan besar mengenai anak-anak berbakat (gifted) dengan disability learning(kesulitan belajar). Sayangnya, berbagai gangguan dan kekuranganyang ditunjukkan sang anak kerap menutup mata orang tua untuk melihat berbagai kelebihan di baliknya.
 

BELUM POPULER
Memang, tidak semua anak autis memiliki kelebihan-kelebihan yangdimiliki anak-anak gifted. Penyandang autisme umumnya memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata, bahkan 70% di antaranya menunjukkan retardasi mental. Mereka juga kurang mampu berkonsentrasi, sehingga memerlukan terapi secara rutin. Kendati begitu, tidak sedikit penyandang autisme ataupun anakhiperaktif yang memiliki bakat luar biasa dan ber-IQ tinggi. Sepintas, anak-anak ini umumnya terlihat hiperaktif, kurang konsentrasi, ceroboh, pembosan dan kadang agresif. Padahal, dalam dirinya tersimpan potensi yang sangat besar.Itulah mengapa, cara pandang bahwa keberbakatan hanya bisa dimiliki anak-anak normal harus diubah. Anak berbakat tidak mengenal batasan negara, strata sosial, dan berbagai kekurangan ataupun gangguan perilaku yang dimiliki seorang anak. Kalau sudah ditakdirkan gifted,ya gifted.

Memang kategori gifted-handicapped ini, ungkap Reni, masih belumpopuler di Indonesia. "Ini berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Australia. Mereka sudah memiliki perkumpulan khusus yang menangani anak-anak gifted sekaligus memiliki gangguan seperti autis dan hiperaktif atau gifted-handicapped."

PERBEDAAN AUTIS DAN GIFTED-HANDICAPPED
Menurut Reni, membedakan anak autis sekaligus gifted memang bukan perkara mudah. "Namun orang tua yang memiliki anak gifted-handicapped biasanya akan bisa merasakan adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki buah hatinya."Reni lantas mencontohkan seorang ibu yang sempat "mencurigai" kelebihan-kelebihan yang dimiliki batitanya yang autis. Si anak hiperaktif, tak mau menoleh kalau dipanggil, tapi sudah menguasai beberapa program sederhana di komputer. Akhirnya, setelah melaluipemeriksaan di luar negeri, anak tersebut dikategorikan sebagai gifted-handicapped child. Memang sayang, instrumen penelitian untuk mengetahui keakuratan gifted-handicapped belum ada di Indonesia. "Alhasil, jika inginmengetahui anaknya gifted atau tidak, harus melalui pemeriksaan dinegara-negara maju seperti Singapura, Belanda, dan Australia,"lanjut Reni. Jadi bukan perkara gampang untuk menentukan apakah seorang anak berbakat atau tidak, termasuk pada anak autis. Namun, tanpa perangkat tes sebetulnya bisa saja keberbakatan ini dilihat dan diukur dari performa anak secara kasat mata. 


Contoh konkretnya, meski konsentrasi anak-anak autis cepat buyar dan perhatiannya mudah teralih, tapi dalam bidang tertentu ia bisamen curahkan konsentrasinya. Semisal, anak batita yang bisa mengoperasikan beberapa program komputer yang relatif njlimet untuk anak seusianya.

BUTUH PENANGANAN KHUSUS
Anak-anak berbakat sekaligus memiliki gangguan ini, ungkap Reni danAstri, memang perlu penanganan khusus. Kecepatannya dalam menerima pelajaran, contohnya, membuat mereka tak bisa disamakan dengan anak-anak normal lainnya. Jika anak lain masih berkutat di materi A, makaa nak gifted sudah bisa menguasai materi C. Demikian halnya dengan anak-anak gifted-handicapped.Hal ini berlaku baik saat menjalani terapi maupun saat menstimulasi kognisi si anak. Untuk terapi, misalnya, anak-anak gifted-handicapped tidak bisa disamakan dengan anak-anak autis pada umumnya.Kecepatannya menerima materi terapi membuat anak gifted-handicapped cepat bosan. Tak heran jika mereka biasanya ogah diterapi yang ditunjukkan dengan sikap marah, kerewelan atau menangis saat diterapi. Meski begitu ia sangat menguasai materi terapi

STIMULASI YANG BISA DIBERIKAN
Astri menganjurkan orang tua dengan anak-anak seperti itu untuk banyak memberikan penjelasan tentang segala sesuatu yang dirasa menarik buat si kecil. Misalnya saat turun hujan, orang tua mampu menjelaskan mengapa bisa terjadi fenomena alam seperti itu. Jelaskan dengan cara sederhana dan singkat.
Begitu juga saat melihat berbagai hal menarik yang diamatinya diteve. Orang tua cukup menerangkannya secara singkat kepada si anak,sebab tak jarang konsentrasi anak-anak gifted ini pendek sehingga cepat bosan. Jangan segan-segan pula membacakan berbagai cerita menarik kepada sikecil. Setelah itu, biarkan ia menanggapinya. Agar kreativitasnya semakin terasah, orang tua juga bisa mengajukan berbagai pertanyaan kritis kepada anak. Lengkapi juga fasilitas keluarga dengan sarana dan prasarana yang mengandung unsur edukasi, seperti buku-buku pengetahuan dan fiksi,video, mainan, alat-alat musik, alat lukis, alat permainan aktif seperti bola kaki, bola basket lengkap dengan jaring, dan sebagainya. Dengan sarana edukasi tersebut, orang tua bisa melihatsejauh mana bakat si anak. Setelah bakatnya ketahuan, orang tua bisa menyalurkan bakat si kecil lebih lanjut. Jika terlihat berbakat melukis, contohnya, orang tuabisa memasukkannya ke sanggar lukis khusus buat anak.

Saeful Imam. Ilustrator: Pugoeh

http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?rubrik=batita&edisi=05255

Cara Mengasah Anak Berbakat


Anak berbakat membutuhkan dukungan dan motivasi. Karena anak adalah pribadi yang unik maka setiap orang tua akan merasa bangga dengan anak-anak mereka. Ternyata menurut Dr Reni Akbar-Hawadi SPsi, hanya 3% saja dari jumlah populasi anak yang dikatagorikan berbakat.

Pakar keberbakatan ini mengatakan, sebagian besar orang tua masih belum memahami bahwa buah hatinya adalah anak berbakat. Selama ini, pemahaman masyarakat atas istilah berbakat, cerdas, dan pintar masih tumpang tindih. Padahal, ketiga istilah itu berbeda. 

Menurut Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah memiliki komitmen yang besar dengan bidang yang disukainya. Kemampuannyapun terus-menerus dikembangkan dan kemampuan intelegensinya jauh di atas rata-rata.

Seperti pengembangan pada minatnya. Semisal dia suka olahraga, anak berbakat akan terus mencari bahan tentang olahraga yang disukainya. Anak ini akan tahu tokoh, hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut secara all out.

Begitu juga dengan anak yang suka dengan matematika. Anak berbakat akan terlihat lain. Menurut Reni, akan berbakat akan punya komitmen untuk mempelajari matematika hingga mampu menciptakan rumus-rumus baru. Bahkan dalam memainkan alat musik akan beda improvisasinya antara mereka yang berbakat dengan yang tidak. Sentuhannya akan berbeda. 

Anak mendapat julukan cerdas, karena memiliki taraf intelijensia yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum tentu memiliki komitmen yang besar dan belum tentu mampu berkreativitas. Sementara, anak pandai, merupakan istilah yang diberikan masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking tinggi di kelasnya.

”Anak pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas," ujar Reni. Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250 anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20 persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. 

Hal ini dapat terjadi karena pelajaran di SD terbilang masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk belajar. "Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena mereka harus belajar mandiri," imbuh Reni.

Sangat mudah jika orang tua ingin mengetahi apakah anaknya termasuk berbakat atau tidak, Ketika masuk taman kanak-kanak (TK). Orang tua, bisa melihat dari kecenderungan-kecenderungan anak yang muncul setiap hari.

Reni memaparkan, anak berbakat ditandai dengan kritis, banyak tanya, agak susah diatur, punya rasa ingin tahu yang besar dan memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi. Mungkin bagi orang tua anak berbakat ini dipandang anak yang merepotkan.

Kalau mau jujur, sudahkah orangtua memenuhi kebutuhan anak tersebut baik secara pengetahuan maupun finansial.? Menurut Reni, yang perlu diingat adalah mendidik anak berbakat merupakan tugas mulia.

Untuk membesarkan anak-anak berbakat, orang tua perlu berkonsultasi dengan psikolog tentang cara membesarkan anak-anak berbakat itu. Lengkapi refrensi orang tua dengan buku bacaan agar bisa mengimbangi rasa ingin tahu anaknya yang besar.

Sekolah pun sering kali dianggap mematikan anak-anak berbakat. Biasanya di sekolah, anak-anak berbakat sering ditempatkan di pojok. Itu terjadi karena kebanyakan sekolah lebih senang dengan anak yang rata-rata. Guru pun tak mau susah.
 

"Sebab, anak berbakat ini biasanya selalu kritis, bertanya terus, nggak mau kalah dan terus mengejar apa yang ingin diketahuinya," Tak heran, bila guru merasa terpojok. Sementara, penilaian guru biasanya bersifat subjektif.

Sering kali guru menilai muridnya dari kesopanan dan perilakunya. Malah, kepatuhan dan kesopanan dijadikan indikator siswa berbakat. Padahal, kata Reni, di negara lain kedua hal itu tak masuk kategori penilaian anak berbakat. 


Sumber:  http://mamrozi.blogspot.com/2009/03/cara-mengasah-anak-berbakat.html

Prof. Reni Sosok Perempuan Sangat Disiplin

Oleh Fatin Rohmah Nur Wahidah
Mahasiswa Profesi Pendidikan Tahun 2016


Prof. Reni yang saya kenal adalah seorang perempuan yang sangat disiplin. Hal ini terlihat dalam setiap pembimbingan kasus TK yang saya lakukan bersama beliau. Pertama, timeline bimbingan harus dibuat berdasarkan deadline pengumpulan kasus. Sy harus berkomitmen dg timeline yang sy buat tersebut. Kedua, tempat penyimpan file seperti map juga perlu disiapkan agar file tidak tercecer dan progres laporan dapat terpantau dengan baik. Ketiga, waktu bimbingan  harus sesuai jadwal yang telah disepakati, sepekan atau tiga hari sebelumnya.

Dalam proses pengerjaan, beliau membantu saya dalam 'menata' pola pikir saya agar lebih sistematis dan terarah, baik dalam menyusun laporan maupun menemukan permasalahan kasus. Hal ini biasanya dilakukan melalui diskusi, serta pembuatan tabel dan bagan.

Selain disiplin, Prof. Reni yang saya pahami pun menyukai kecepatan kerja. Beliau dapat merespon dengan cepat ketika saya membutuhkan bantuan tentang permasalahan kasus di lapangan maupun saat memberikan feedback laporan. Berkat kedisiplinan dan kecepatan kerja beliau, penyelesaian kasus saya dapat selesai tepat waktu.

Sejujurnya, karakter Prof. Reni yang kuat tersebut selalu membuat saya merasa cemas dan tidak tenang setiap kali akan bimbingan dengan baliau. Namun, di akhir pembimbingan dengan beliau akhirnya saya menyadari ada banyak pelajaran yang saya peroleh. Saya mendapat pengalaman baru yang berharga, yang membuat saya menjadi semakin tertantang untuk lebih memiliki kedisiplinan, kecepatan, dan tentunya komitmen dalam bekerja.

Rabu, 25 Juli 2018

Potensi Tersembunyi Si Kecil

Kinara, 7 tahun, makin mahir menebak aneka gambar para pahlawan yang ditunjukkan gurunya. Dengan cepat gadis kecil berkulit hitam manis dengan mata tertutup itu mampu menebak gambar para pahlawan yang diajukan sang guru. "Saya puas. Awalnya Kinar tidak suka belajar, maunya bermain. Tetapi, setelah mengikuti program BCL, potensi bakat dan kemampuan akademiknya makin teruji," kata Roli, ibu Kinara, dengan perasaan bahagia.

Memang orang tua sering kali menguji anaknya cerdas dan berbakat hanya dari sisi akademisi. Alat ukurnya adalah tes intelligence quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual. Kalau IQ si kecil tinggi, orang tua pun sangat puas hati. Kini perkembangan zaman makin memberikan peluang untuk mencari alternatif mengembangkan potensi tersembunyi yang dimiliki si kecil, tak hanya kecerdasan intelektual, tapi juga bakat dan lainnya. Salah satunya melalui program Brain Child Learning (BCL), yang baru diluncurkan di Indonesia beberapa waktu lalu.

Jason Theo, yang mengusung program ini dari Singapura, mengatakan, "BCL merupakan program pikiran abad ke-21 yang sengaja dirancang untuk menonjolkan potensi tersembunyi si kecil. Ya, bakat, akademi, dan lainnya."

BCL diperkenalkan ke pasar internasional pada 2003 di negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Singapura, Manila, dan Malaysia. Tahun ini program itu masuk ke Indonesia. Jason mengatakan programnya akan mengasah potensi tersembunyi dalam diri anak melalui metode sidik jari atau fingerprint yang dikombinasikan BCL. Dia menuturkan, ilmu sidik jari dikembangkan oleh Profesor Roger Lin dari Taiwan. Prof Lin membawa pulang hasil penelitian yang dia lakukan di Harvard University, lalu diperkenalkan di Taiwan dan Singapura.

Menurut dia, metode sidik jari bertujuan mengetahui potensi tersembunyi seorang anak. "Alat sidik jari ini mampu membaca kemampuan, kelebihan, dan kekurangan anak beserta solusinya dengan keakuratan hingga 95 persen," ujarnya sambil menjelaskan bahwa ada empat sidik jari, yakni jenis whorl, ulnar loop, radial loop, dan arch.

Adapun Lydia Freyani, guru besar psikologi Universitas Indonesia, mengatakan metode sidik jari tidak hanya dilakukan untuk melihat bakat dan kecerdasan anak. Namun bisa pula dipakai untuk orang dewasa yang ingin mengetahui bakat dan karier yang cocok baginya. "Metode ini lebih baik dari tes IQ. Sebab, kita dengan cepat dapat mengetahui potensi yang tersembunyi si kecil, seperti bakat dan kecerdasan," ujarnya.

Menurut dia, program ini kuat karena dikombinasikan dengan fingerprint. Wanita yang biasa disapa Frey ini menilai program itu merupakan penyeimbangan otak, yakni mengaktivasi otak bagian tengah. Menurut dia, selama ini otak bagian tengah jarang diaktifkan. Otak bagian tengah anak usia 5-15 tahun dapat diaktifkan. "Anak yang diaktifkan otak bagian tengahnya, daya ingat dan prestasi akademiknya akan lebih bagus. Bila anak melihat dengan mata ditutup, ia mahir membaca dan sebagainya, bukan magis atau sekadar permainan. Tapi otak tengahnya sudah diaktifkan dengan program ini," ujarnya.

Sementara itu, Leonardus Eko, pemegang lisensi BCL untuk Indonesia, menerangkan, keistimewaan programnya memacu anak memiliki mental reading. Tak aneh jika si kecil yang sudah mengikuti program ini dapat membaca atau melihat dengan mata tertutup. "Pada prinsipnya kombinasi fingerprint dan BCL mengoptimalisasi dan mengaktivasi otak yang bangun dari hibernasi," ujarnya.

Namun Frey menyebutkan keberhasilan program ini tidak dijamin 100 persen. Selain harganya mahal, berkisar di atas Rp 2 juta, seharusnya program ini dioptimalkan untuk prestasi akademi, bukan sekadar mainan tebak-tebakan. Dia menyarankan agar orang tua harus dilibatkan. "Jangan si anak saja yang ikut program ini. Akibatnya, bila tidak didampingi orang tua, hasilnya pun tidak optimal," ujarnya.

Empat Jenis Sidik Jari

Anak yang mempunyai sidik jari jenis whorl memiliki sifat ingin tahu; puas dengan alasan; ketika setuju dan percaya, dia akan melakukan sedikit atau setahap pekerjaan saja; berorientasi pada tujuan; dianggap keras kepala; serta cenderung menciptakan sistem mereka sendiri.

Adapun pemilik sidik jari jenis ulnar loop memiliki sifat sangat patuh dan peka terhadap orang lain, suka belajar dengan menyalin atau meniru, mudah dipengaruhi oleh lingkungan, cepat akrab dengan orang lain, ramah, kooperatif, dan cenderung mengikuti sistem.

Yang bersidik jari jenis radial loop cenderung memiliki pola pemikiran yang terbalik, model pemikiran yang tidak umum, menggunakan salah satu kepentingan sebagai pedoman ketika melakukan pekerjaan (bukan semata-mata logis atau alasan praktis), sangat setia kepada teman, cara mengekspresikan diri lebih unik, dan sulit mengungkapkan cinta dalam hatinya.

Pemilik sidik jari jenis arch dikenal sebagai genius print, di mana potensi yang mereka miliki tidak terbatas. Dalam hal belajar, jika ada hal yang dipelajari, hal tersebut dipelajari hingga dipahami. Namun mereka juga lebih terpengaruh oleh emosi, lebih konservatif, tidak menyukai perubahan, dan protektif. l HADRIANI P

Sumber: Tempointeraktif.Com

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia