Jumat, 27 Juli 2018

Cara Mengasah Anak Berbakat


Anak berbakat membutuhkan dukungan dan motivasi. Karena anak adalah pribadi yang unik maka setiap orang tua akan merasa bangga dengan anak-anak mereka. Ternyata menurut Dr Reni Akbar-Hawadi SPsi, hanya 3% saja dari jumlah populasi anak yang dikatagorikan berbakat.

Pakar keberbakatan ini mengatakan, sebagian besar orang tua masih belum memahami bahwa buah hatinya adalah anak berbakat. Selama ini, pemahaman masyarakat atas istilah berbakat, cerdas, dan pintar masih tumpang tindih. Padahal, ketiga istilah itu berbeda. 

Menurut Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah memiliki komitmen yang besar dengan bidang yang disukainya. Kemampuannyapun terus-menerus dikembangkan dan kemampuan intelegensinya jauh di atas rata-rata.

Seperti pengembangan pada minatnya. Semisal dia suka olahraga, anak berbakat akan terus mencari bahan tentang olahraga yang disukainya. Anak ini akan tahu tokoh, hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut secara all out.

Begitu juga dengan anak yang suka dengan matematika. Anak berbakat akan terlihat lain. Menurut Reni, akan berbakat akan punya komitmen untuk mempelajari matematika hingga mampu menciptakan rumus-rumus baru. Bahkan dalam memainkan alat musik akan beda improvisasinya antara mereka yang berbakat dengan yang tidak. Sentuhannya akan berbeda. 

Anak mendapat julukan cerdas, karena memiliki taraf intelijensia yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum tentu memiliki komitmen yang besar dan belum tentu mampu berkreativitas. Sementara, anak pandai, merupakan istilah yang diberikan masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking tinggi di kelasnya.

”Anak pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas," ujar Reni. Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250 anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20 persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. 

Hal ini dapat terjadi karena pelajaran di SD terbilang masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk belajar. "Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena mereka harus belajar mandiri," imbuh Reni.

Sangat mudah jika orang tua ingin mengetahi apakah anaknya termasuk berbakat atau tidak, Ketika masuk taman kanak-kanak (TK). Orang tua, bisa melihat dari kecenderungan-kecenderungan anak yang muncul setiap hari.

Reni memaparkan, anak berbakat ditandai dengan kritis, banyak tanya, agak susah diatur, punya rasa ingin tahu yang besar dan memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi. Mungkin bagi orang tua anak berbakat ini dipandang anak yang merepotkan.

Kalau mau jujur, sudahkah orangtua memenuhi kebutuhan anak tersebut baik secara pengetahuan maupun finansial.? Menurut Reni, yang perlu diingat adalah mendidik anak berbakat merupakan tugas mulia.

Untuk membesarkan anak-anak berbakat, orang tua perlu berkonsultasi dengan psikolog tentang cara membesarkan anak-anak berbakat itu. Lengkapi refrensi orang tua dengan buku bacaan agar bisa mengimbangi rasa ingin tahu anaknya yang besar.

Sekolah pun sering kali dianggap mematikan anak-anak berbakat. Biasanya di sekolah, anak-anak berbakat sering ditempatkan di pojok. Itu terjadi karena kebanyakan sekolah lebih senang dengan anak yang rata-rata. Guru pun tak mau susah.
 

"Sebab, anak berbakat ini biasanya selalu kritis, bertanya terus, nggak mau kalah dan terus mengejar apa yang ingin diketahuinya," Tak heran, bila guru merasa terpojok. Sementara, penilaian guru biasanya bersifat subjektif.

Sering kali guru menilai muridnya dari kesopanan dan perilakunya. Malah, kepatuhan dan kesopanan dijadikan indikator siswa berbakat. Padahal, kata Reni, di negara lain kedua hal itu tak masuk kategori penilaian anak berbakat. 


Sumber:  http://mamrozi.blogspot.com/2009/03/cara-mengasah-anak-berbakat.html

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia