Rabu, 18 April 2018

Saya Belajar Tiga Hal Besar dari Bu Reni

Oleh Siti Rahma 
Mahasiswa Profesi Pendidikan Fakultas Psikologi UI, Angkatan 2016

Selama hampir tiga bulan Bu Reni menjadi  pembimbing kasus kelima dan keenam saya. Melalui bimbingannya saya mendapatkan tiga hal besar yang bisa saya pelajari.

Pertama, belajar pemeriksaan kasus. Dari Bu Reni saya belajar pentingnya terlebih dahulu penguasaan teori sebelum bertemu klien. Jadi saya harus menguasai teori dengan baik untuk menangani klien yang akan saya tangani.

Saya tidak bisa langsung ujug-ujug melakukan observasi dan wawancara tanpa dasar teori yang jelas. Bu Reni minta agar diawal dibuat rancangan apa yang akan saya amati dan tanya pada klien. Dan ini harus berdasarkan teori.

Dengan cara ini cara kerja saya memang  jadi lebih berstruktur dan sistematik karena sudah ada panduan.  Saya  juga lebih pasti arah konten laporan yang sesuai dengan diagnosa.

Dari Ibu, saya juga belajar untuk membuat kalimat yang efisien khususnya dalam surat keluar. Saya belajar dari ibu untuk kemampuan abstraksi dari mengumpulkan hal-hal yang terpotong-potong menjadi sesuatu yang holistik.

Hal kedua yang saya pelajari adalah mengenai sikap kerja. Dari ibu Reni saya belajar untuk menjadi psikolog yang  tertib,  konsisten dan cermat dalam menuliskan sesuatu. Selain itu saya belajar dari Ibu untuk bersikap responsif, cepat dan tanggap dalam bekerja. 

Kecepatan dan ketelitian  saya yang  kurang memang masih menjadi PR buat saya.

Hal ketiga yang saya peroleh dari ibu, adalah saya diajak menjadi pribadi  yang asertif. Saya diajar oleh untuk bersikap terbuka dan berani untuk melaporkan kemajuan laporan saya sesuai tenggat waktu yang ditetapkan apapun hasilnya. Selama ini saya memang lebih memilih tidak menghubungi dosen karena saya merasa laporan saya belum sesuai dg harapan. Pesan Bu Reni untuk tidak mudah "baper" terus saya ingat. Dan dari sini juga saya belajar untuk terus belajar meningkatkan pola komunikasi saya. 

***

Mitos-mitos Seputar Keberbakatan

Sudah seringkali bahkan teramat sering saya mendengar keluhan orangtua yang pusing tujuh keliling memiliki anak berbakat. Mereka mengatakan lebih memilih mempunyai anak “normal” saja. Rupanya para orangtua anak berbakat ini terpengaruh mitos tentang anak berbakat yaitu “ anak yang tidak bahagia, anak yang sulit, anak yang tidak bisa diajak berkomunikasi, anak yang secara fisik lemah, anak yang secara sosial sulit bergaul, anak yang sangat banyak membaca buku, dan anak berkaca mata tebal “. 

Baik di rumah (orangtua) maupun di sekolah (guru) melihat anak berbakat sebagai anak yang bermasalah karena mereka bersandar pada standar anak normal. Model pendekatan yang bersifat uniform ini akan menuntut setiap anak bersikap sama. Atmosfir yang ada di lingkungan sekolah kurang melihat adanya perbedaan individual. 

Sehingga yang terjadi anak berbakat dilihat sebagai anak yang bermasalah. Ia tidak saja diisolasi dalam pergaulan oleh teman sebayanya tetapi juga oleh gurunya. Sehingga tidak heran, jika kita membaca literature anak berbakat, pada abad 18 orang tua lebih memilih menyembunyikan anak berbakatnya di dalam rumah. Saat itu orangtua malu memiliki anak berbakat. Sedangkan guru beranggapan bahwa anak berbakat tidak perlu diberi perhatian khusus, karena toh mereka dengan keberbakatan yang dimilikinya akan dapat dengan sendirinya muncul ke atas. Boleh dikatakan hanya sedikit sekali orangtua ataupun guru yang mendorong anak untuk lebih baik dari pada anak sebaya pada umumnya. 

Menurut saya dunia patut berterima kasih pada Lewis Terman, seorang psikolog Amerika, yang pada tahun 1907 melakukan studi pada 7 orang anak pintar dan 7 orang anak bodoh, (dikenal dengan Genius and Stupidity : A Study of the Intellectual Processs of Seven Bright and Seven Stupid Boys). 

Dalam penelitiannya ini ternyata anak-anak yang cerdas tersebut tidaklah sesuai dengan mitos yang berkembang, bahwa anak cerdas terganggu secara mental, berpenampilan aneh dan bersikap antisosial. Penelitian Terman untuk disertasi doktoralnya kemudian dilanjutkan pada tahun 1919 dalam jangkauan yang lebih luas. Dalam penelitian yang dikenal dengan The Stanford Studies of Genius, - karena Terman membentuk tim yang terdiri dari para koleganya dari Stanford University-, ia melakukan studi longitudinal. Subjek penelitiannya sebanyak 1500 anak-anak dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA, dengan IQ 140 atau lebih (sementara rata-rata anak-anak pada umumnya hanya ber IQ 100!). 

Hasil studi Terman ini dipublikasikan dalam 5 volume laporan. Buku pertama berisi karakteristik dari subjek penelitiannya, buku kedua dikenal sebagai Galton Version, berisikan ciri-ciri kepribadian 300 orang genius dalam sejarah, buku ketiga berisi ringkasan status dari subjek penelitiannya, buku keempat tentang tindak lanjut terhadap subjek penelitiannya dan buku kelima tentang subjek penelitiannya pada usia paruh baya. 

Selama ratusan tahun para pakar mencoba untuk mengaitkan antara genius dengan “trouble mind”. Salah satunya adalah pakar sosiologi dan kriminologi dari Italia, yang bernama Cesare Lombroso. Ia mehubung-hubungkan mereka yang gila dan melakukan bunuh diri dengan genius, dalam bukunya yang terkenal Insanity of Genius (1895). Anak berbakat dikatakannya memiliki emosi yang tidak stabil dan fisik yang lemah. Terman menemukan sebaliknya anak gifted, lebih stabil emosinya dari populasi anak rata-rata pada umumnya. Ketidak stabilan emosi mereka – menurut Terman- lebih karena lingkungan, bukan karena keberbakatan yang dimilikinya. 

 Hasil penelitian Terman juga menunjukkan bahwa anak berbakat ini berkembang lebih baik secara fisik. Mereka lebih tinggi, lebih sehat, serta menonjol dalam kepemimpinan dan kemampuan penyesuaian diri dalam lingkungan sosialnya. 

 Studi longitudinal Terman ini memberikan inspirasi bagi peneliti-peneliti lainnya untuk melakukan studi terhadap perkembangan anak gifted. Berikut karakterisitik anak berbakat di dalam empat area perkembangan berdasarkan berbagai hasil studi: 
 - Perkembangan Fisik Perkembangan fisik anak berbakat lebih cepat. Hal ini berdasarkan nilai rata-rata statistik perkembangan mereka lebih tinggi. Misalnya kemampuan berjalan anak berbakat lebih cepat dari anak pada umumnya, kemampuan bicara anak berbakat lebih cepat tiga bulan dari rata-rata anak pada usia yang sama. Anak berbakat lebih cepat berkembang dalam berat badan, tinggi badan, secara umum lebih unggul pada semua ciri fisik seperti kapasitas paru-paru. 
 - Perkembangan Kepribadian Anak berbakat secara signifikan unggul dalam karakter seperti kreativitas, rasa percaya diri, dan rasa ingin tahu. Mereka cenderung tidak memiliki nervous disorder atau gugup. Penyesuaian emosional anak berbakat terlihat baik bila dibandingkan anak lain pada umumnya. Terman menemukan bahwa anak berbakat memiliki produktivitas yang tinggi, well-rounded, well-liked, dan seringkali dipilih sebagai pemimpin. 
- Inteligensi Dalam banyak studi ditemukan IQ minimum untuk anak berbakat adalah 130. Anak berbakat diasumsikan secara mental mencapai kemajuan 1/3 kali lebih cepat dari pada anak normal, sehingga pada usia empat tahun mereka telah mencapai usia mental (Mental Age) lima tahun, dan pada usia empat setengah tahun sudah mencapai kematangan mental anak usia enam tahun. Anak berbakat juga ditemukan melampaui kemampuan anak normal dalam penalaran verbal, problem solving, berpikir asosiasitif, memori, dan sejumlah keterampialn skolastik seperti membaca dan berhitung. Hasil studi Terman tentang stabilitas emosi anak berbakat yang disebabkan oleh lingkungan, didukung oleh berbagai studi yang mempertanyakan apakah orang-orang yang kreatif lebih cenderung menderita gangguan psikiatrik. Dari hasil studi pada sejumlah pembaca puisi, novelis, artis terkenal memang menunjukkan angka depresi dan gangguan mood mereka lebih tinggi, tetapi tidak serius mengalami gangguan mental. Peter Oswald, seorang psikiater meyakini bahwa ada kaitannya dengan gaya hidup yang rumit dari para seniman tersebut dengan rasa marah, frustrasi dan depresi. Mitos yang sering didengar bagi anak berbakat adalah “Early Ripe, Early Rot” yang menunjukkan bahwa anak berbakat mengalami burned out, kelelahan yang sangat pada usia dini. Seolah-olah keberbakatan bersifat kuantitatif, yang jika digunakan lama kelamaan akan habis. Studi Terman menunjukkan tidak terjadi burn-out anak berbakat, bahkan Terman menyarankan agar anak terus ditingkatkan kemampuannya sepanjang hayat. 

Mitos-mitos modern yang muncul dan merugikan perkembangan anak berbakat adalah : 
• Anak berbakat tidak tahu bahwa diri mereka berbeda, kecuali seseorang memberitahu mereka. 
• Anak berbakat dapat mengatasi diri mereka tanpa bantuan siapapun. 
• Anak berbakat mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. 
• Anak berbakat seharusnya lebih berdisiplin daripada anak lainnya. 
• Anak berbakat perlu terus menerus disibukkan dan diberi tantangan jika tidak mereka akan malas. 
• Anak berbakat seharusnya dihargai keberbakatannya diatas segala-galanya. 
• Anak berbakat tidak seharusnya mengikuti standar kepatuhan yang berlaku, mereka tidak perlu terikat pada peraturan yang biasa berlaku. 
• Anak berbakat seharusnya matang secara akademik, fisik, sosial dan emosional. 

Referensi : 
Miller, B.S dan Price, M., The Gifted Child, the Family and the Community. New York : Walker and Company. 1981. 
Smutny, J.F, Veenker, K, Veenker, S., Your Gifted Child. New York : Ballnatine Books, 1989. 
Walker, S.Y., The Survival Guide for Parents of Gifted Kids. Minneapolis : Free Spirit Publishing Inc, 1991.

Selasa, 17 April 2018

16 Provinsi APK PAUD Dibawah Rata-rata Nasional

YOGYAKARTA, SF - Provinsi dengan “rapor merah” angka partisipasi kasar (APK) pendidikan anak usia dini (PAUD) rendah harus berbenah. Anak-anak usia dini Indonesia harus mendapat pendidikan secara merata. Ini untuk kado 100 tahun Indonesia kelak, tahun 2045.
Demikian dinyatakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog saat memberikan arahan pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pelaksanaan Kebijakan dan Program Ditjen PAUDNI di Yogyakarta, Senin (6/5).

Saat ini, separuh dari seluruh provinsi di Indonesia masih memiliki “rapor  merah” atau APK PAUD di bawah rata-rata nasional sebesar 34, 54 persen. Data Ditjen PAUDNI 2012 menyatakan ada 16 provinsi dengan APK PAUD di bawah 31 persen, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Kaltim, Kalbar, Maluku Utara, NTT, Aceh, Riau, Sulsel, Sumut, Sulut, Sumsel, Sulbar, Kalsel, dan Lampung.
“(Rapor) daerah-daerah ini harus segera berubah warna. Jika tidak, maka ini sama saja dengan menelantarkan dan menyia-nyiakan anak-anak kita sendiri,” ujar Dirjen PAUDNI yang juga dikenal dengan sebutan Reni Akbar-Hawadi ini.
Dirjen menyatakan kado 100 tahun Indonesia yang selama ini digadang-gadang tidak akan tercapai jika PAUD belum mendapatkan perhatian yang serius. Kado 100 tahun Indonesia adalah ketersediaan manusia Indonesia berkualitas yang melimpah pada tahun 2045. Di masa itu diperkirakan jumlah angkatan muda akan mendominasi.
“Tentunya kita tidak mau masa itu menjadi bencana, di mana para pemuda menjadi beban. Kita ingin sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan, yang kita persiapkan melalui PAUD saat ini,” kata Guru Besar Universitas Indonesia  kepada para peserta rakornas.
Oleh karena itu, Dirjen menginginkan pemerintah daerah ikut andil dalam penganggaran PAUD, baik pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 1 maupun APBD 2.  Ini karena Direktorat Jenderal (Ditjen) PAUDNi tidak bisa berdiri sendiri mencapai tujuan tersebut.
Untuk mendorong hal itu, Ditjen PAUDNI ikut berpartisipasi dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 
Pada revisi PP tersebut, direncanakan akan mencantumkan PAUD serta pendidikan nonformal dan informal (PNFI). Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki obligasi yang jelas dalam memberikan anggaran bagi perkembangan PAUD serta PNFI.
Rakornas
Ditjen PAUDNI menyelenggarakan rakornas yang berlangsung sejak 6-8 Mei 2013 di Yogyakarta. Acara ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program 2012 dan sosialisasi kebijakan program PAUDNI 2013. Para peserta berasal dari dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, unit pelaksana teknis Ditjen (UPT) PAUDNI di delapan regional, dan sekretariat Ditjen PAUDNI.
Tidak hanya PAUD yang dibahas pada Rakornas ini, tapi juga PNFI, khususnya pendidikan masyarakat, kursus, dan pelatihan. Pada acara pembukaan, Dirjen menyampaikan harapan mengenai keberlanjutan penuntasan tuna aksara, pembakuan kursus tata rias secara tuntas, pengayaan satu desa minimal satu PAUD, dan penyusunan norma standar prosedur kriteria) bidang PAUDNI.
Selain itu, perihal aplikasi praktis model-model yang dikembangkan oleh UPT Ditjen PAUDNI, juga disinggung oleh Dirjen. “Jangan sampai, UPT hanya rajin membuat model pembelajaran tanpa diaplikasikan luas oleh masyarakat. Misalnya pada PAUD, yang dipakai hanya beyond center and circle time (BCCT) dari Amerika, padahal banyak model pembelajaran PAUD yang sudah dikembangkan oleh UPT,” kata psikolog keberbakatan itu lugas. (Dina Julita/HK/Dirjen PAUDNI)

Dirjen PAUDNI Kukuhkan Niazah AH Bunda PAUD Aceh

BANDA ACEH - Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (Paudni) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof Dr Lydia Freyani Hawadi PSi, Rabu (7/11), mengukuhkan Ny Niazah AH sebagai Bunda PAUD Aceh.
 
Dirjen mengharapkan dengan penobatan Bunda PAUD tersebut, perluasan layanan pendidikan anak usia dini ke depan bisa menjadi salah satu program prioritas pembangunan pendidikan di Tanah Rencong.

Di Aceh, katanya, dari 653.600 anak usia 0-6 tahun, yang terlayani baru mencapai 164.052 anak atau 25,10 persen dengan jumlah lembaga PAUD sebanyak 2.541. Sedangkan jumlah desa yang belum terlayani PAUD sebanyak 4.703 gampong dari 6.454 gampong yang tersebar di 23 kabupaten/kota.
Untuk mendukung perluasan PAUD di Aceh, Ditjen PAUDNI lewat APBN-P tahun 2012 akan mengalokasikan dana masing-masing Rp 300 juta untuk 7 kabupaten, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Timur, Bener Meriah, Abdya, Gayo Lues, dan Simeulue.

Sedangkan pada tahun 2013 mendatang, Aceh akan mendapat alokasi untuk PAUD sebanyak Rp 16,5 miliar yang akan digunakan untuk bantuan rintisan PAUD baru masing-masing Rp 50 juta per lembaga dan alat permainan edukatif (APE) masing-masing Rp 8 juta  per lembaga.

Sementara itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan Pemerintah Aceh siap memberikan dukungan bagi upaya percepatan perluasan PAUD di Aceh. “Kita siap untuk mendukung program perbaikan kualitas generasi Aceh ke depan,” katanya.

Hal senada juga dikemukakan Bunda PAUD Aceh, Niazah AH. Istri Gubernur Aceh itu mengaku pihaknya siap untuk mensuport keberhasilan PAUD di Aceh. “Kita dengan dukungan Pemerintah Aceh akan berusaha melakukan sosialisasi-sosialisasi ke berbagai daerah,” katanya. Pada kesempatan yang sama, Niazah juga melantik 23 Bunda PAUD kabupaten/kota se-Aceh di Anjong Monmata.(sir)

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Dirjen PAUDNI Kukuhkan Niazah AH Bunda PAUD Aceh, http://aceh.tribunnews.com/2012/11/08/dirjen-paudni-kukuhkan-niazah-ah-bunda-paud-aceh.

Editor: bakri

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Dirjen PAUDNI Kukuhkan Niazah AH Bunda PAUD Aceh, http://aceh.tribunnews.com/2012/11/08/dirjen-paudni-kukuhkan-niazah-ah-bunda-paud-aceh.

Editor: bakri

Siapkan Rp 17 Miliar Untuk Memacu PAUD di NTT

KEFAMENANU. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI) berencana menggelontorkan Rp 17 miliar untuk memacu program PAUD di provinsi Nusa Tenggara Timur pada 2013. Sebab, angka partisipasi kasar (APK) di provinsi tersebut baru mencapai 24,15%.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psi saat menabalkan sejumlah istri bupati dan walikota sebagai bunda PAUD. Reni, sapaan akrab Dirjen PAUDNI mengungkapkan dari 892.700 anak usia 0-6 tahun di NTT, baru 215.617 anak yang terlayani PAUD. “Masih ada 2.836 desa yang belum terlayani ,” bebernya pada acara yang dihelat di Kabupaten Kefamenanu tersebut.

Berpijak dari data itu, Ditjen PAUDNI siap mendongkrak APK PAUD di NTT. Hal tersebut terbukti dari anggaran yang akan dialokasikan untuk provinsi tersebut pada 2013. Dana yang akan dikucurkan tahun depan akan dipergunakan untuk bantuan rintisan PAUD sebesar Rp 35 juta/lembaga, Alat Permainan Edukatif (APE), Unit Gedung Baru, Rehabilitasi gedung, Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD dan rangkaian program lain.

Dirjen PAUDNI menekankan bahwa bantuan tersebut masih belum cukup merangkul seluruh anak usia dini di NTT. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan pemerintah daerah untuk melakukan berbagai terobosan dalam mengembangkan PAUD.

“Jalin kerja sama yang erat dengan lintas sektoral, organisasi dan dunia usaha,” ajaknya di hadapan para Bunda PAUD. Reni percaya Bunda PAUD di Provinsi NTT mampu memajukan PAUD di daerah mereka masing-masing. (Yohan Rubiyantoro/HK)

Sosialisasi Saka Widya Budaya Bakti

TRIBUN-TIMUR.COM -- Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Lydia Freyani Hawadi Psi dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Kwarnas Pembinaan Orang Dewasa, melakukan Sosialisasi Saka Widya Budaya Bakti.

Sosialisasi yang berlangsung di Aula Kwartir Daerah Pramuka Sulawesi Selatan, Jl Monginsidi, Makassar, Rabu (26/2) itu, diikuti sejumlah pelatih pramuka. Tatap muka tersebut merupakan kunjungan pertama Prof Lydia sebagai Wakil Ketua Kwarnas Pembinaan Orang Dewasa dalam kepengurusan Dr H Adyaksa Dault.

Menurut Prof Lydia, mulai tahun 2014 seiring akan diberlakukannya kurikulum tahun 2013 akan disinergikan gerakan pramuka dan kurikulum. Itu berlaku bagi murid sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Dalam kaitan itu, semua siswa akan mendapat orientasi pramuka.

“Ke depan, pramuka akan jadi eskul (ekstra kurikuler) yang wajib di sekolah-sekolah. Siswa akan mendapat orientasi pramuka,” kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Dalam pertemuan tersebut, Prof Lydia mengungkapkan beberapa krida di Saka Widya Budaya Bakti. Diantaranya, Krida Pendidikan Masyarakat, Krida Anak Usia Dini, Krida Kursus dan Latihan, Krida Bina Sejarah, Krida Bina Kesenian, dan Krida Bina Nilai Budaya.

Prof Lydia menginformasikan pula bahwa tanggal 6 Maret mendatang akan berlangsung Rembug Pramuka Nasional yang akan berlangsung di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pertemuan tersebut akan ditandatangani sejumlah kerja sama dengan para dirjen.

Soal pelantikan Dr Adyaksa Dault sebagai Ketua Kwarnas 2013-2018, tinggal menunggu waktu yang tepat. “Yang pasti, penetapan Kak Adyaksa sebagai Ketua Kwarnas masa bakti 2013-2018 sudah final,” kata Dirjen PAUDNI Kemendikbud tersebut.***


Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Sosialisasi Saka Widya Budaya Bakti, http://makassar.tribunnews.com/2014/02/26/sosialisasi-saka-widya-budaya-bakti.
Penulis: CitizenReporter
Editor: Ina Maharani

5 Ribu Anak Semarakkan Gebyar PAUD

Pekanbaru - 5000 anak PAUD dari seluruh Riau terlihat begitu antuisias mengikuti perlombaan dan unjuk kebolehan di lapangan kantor Gubernur Riau. Ini merupakan bagian dari Gebyar Paud Nasional yang digelar FPAUDI Riau.
 
Sebagai bagian dari Gebyar Paud Nasional, Forum Pendidikan Anak Usia Dini, FPAUDI Riau, sabtu pagi menggelar berbagai perlombaan dilapangan kantor Gubernur Riau. Sebanyak 5 ribu anak PAUD se-provinsi Riau, guru PAUD dan bunda PAUD se-provinsi Riau berpartisipasi dalam kegiatan perlombaan dan unjuk kebolehan ini.
 
Dirjen PAUDNI kementrian pendidikan dan kebudayaan RI - Lydia Freyani Hawadi mengatakan, potensi dan kreatifitas anak-anak PAUD harus terus dibina, karena merupakan usia keemasan pertumbuhan.
 
Sementara, bunda PAUD Riau - Septina Primawati Rusli mengatakan, guna meningkatkan jumlah dan kualitas PAUD, pihaknya akan terus berkordinasi dengan pemangku kebijakan mengambil langkah strategis, seperti perbaikan pendidik, fasilitas dan kurikulum kompetensi.
 
"Septina bertekad, pada tahun 2015, sebanyak 75 persen wilayah di Riau sudah memiliki PAUD sesuai dengan target Nasional".
 
Anak-anak PAUD ini kelihatan begitu gembira mengikuti perlombaan dan kegiatan yang digelar. Seperti menari, menyanyi, dongeng dan sebagainya. (fre/mrg/RTV mengabarkan)

Lydia Ferani: Korupsi Akan Tumbuh Subur Jika Kita Toleran

BUANAINDONESIA.CO.ID, GARUT – Universitas Garut (Uniga) bekerjasama Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah IV A – Komisariat VII menggelar Seminar Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di ruang Gedung Pendopo Kabupaten Garut, Selasa 3 April 2018.

Seminar dengan tema “Dalam Rangka Menciptakan Masyarakat Yang Adil Makmur dan Sejahtera dihadiri oleh Unsur Forkopimda Kabupaten Garut yang mewakili, sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Tokoh Agama dan Masyarakat, KPI Garut, pengurus Partai, LSM, Mahasiswa serta Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya tersebut, dibuka oleh Rektor Uniga, Dr Ir H Abdusy Syakur Amin M Eng, dengan menghadirkan narasumber dari Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat, Arman Syifa, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Dr Lydia Freyani Hawadi, dan Direskrimum Polda Jabar yang diwakili Kombes Pol Totok Suharyanto SIK M Hum.

Dalam penyampaian materinya, Lydia  Freyani mengatakan, tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa selalu mengalami perkembangan modus. Artinya, sebaik apa pun regulasi dan strategi antikorupsi dibuat, pelaku tindak pidana korupsi selalu bisa menemukan modus baru. Untuk itulah masyarakat dan stheakolder perlu bekerja keras mencegah munculnya modus-modus baru korupsi tersebut, tandasnya.

“Itu tidak boleh membuat kita pesimistis dan patah semangat untuk bekerja lebih keras lagi, lebih komprehensif, dan lebih terintegrasi dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi akan tumbuh subur jika kita toleran atau permisif kepada pungli dan suap dengan segala bentuknya,” tegas Lydia.

Sementara Abdusy Syakur Amin menjelaskan, seminar ini diharapkan bisa memberikan informasi kepada seluruh masyarakat dan ASN untuk menghindari tindak pindana korupsi yang selama ini banyak terjadi di berbagai daerah.

“Mari kita ciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Seminar ini menjadi bekal untuk menghindari celah-celah hukum yang berpotensi disalahgunakan. Isu tindak pidana korupsi, sudah menjadi tren dan berkembang sangat pesat. Tentu diharapkan, agar kita semua tidak sampai terjerumus dalam persoalan tersebut. Oleh karenanya, tindakan antisipasi harus dilakukan sejak dini,” pungkasnya.

 Sumber: http://buanaindonesia.co.id/jabar/lydia-ferani-korupsi-akan-tumbuh-subur-jika-kita-toleran/

Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD (Angkatan I)

Bertempat di hotel Aerotel Smile Makassar  pada tanggal 13  sampai dengan 16 Mei 2013 Direktorat Pembinaan PAUD Direktorat Jenderal PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan “Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD Tingkat Nasional Tahun 2013 (Angkatan I)”, yang dibuka secara resmi Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog.

Pada kesempatan tersebut Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog menyampaikan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesi setiap tahun mengalami kenaikan.

Selanjutnya beliau mengingatkan bahwa “Selama data PAUD masih dilakukan oleh kementerian maka belum bisa dikatakan valid, secara internasional data yang diakui adalah pendataan yang dilakukan oleh pusat data nasional. Sehingga kementerian perlu menjalin kerjasama dengan BPS”.
Selain itu ibu Ditjen mengingatkan “Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota agar dapat melihat apakah satu desa satu PAUD sudah terpenuhi atau belum disetiap wilayah kerjanya”.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini berbasiskan pada bermain. Untuk itu Direktorat PAUD harus mengembangkan program yang mendukung perkembangan anak misalnya mengembangkan alat permainan edukatif (APE) yang bisa dan mudah dibuat orangtua”.
Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD, diikuti sebanyak 153 peserta yang  merupakan utusan dari propinsi Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Adapun materi paparan pada kegiatan tersebut sebagai berikut :
  1. Capaian program, target program, dan arah kebijakan Ditjen PAUDNI.
  2. Kebijakan program PAUD tahun 2013.
  3. Pengintegrasian Program PAUD dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI).
  4. Peran serta Bunda PAUD dalam Pengembangan Program PAUD.
  5. Dukungan Anggaran Daerah untuk Intensif Pendidik PAUD.
  6. Strategi Percepatan Pemberian NPSN PAUD.
  7. Kebijakan Pendataan Program PAUD.
  8. Mekanisme Penyaluran Dana Bantuan Penyelenggaraan Lembaga PAUD Baru dan Pendampingan.
  9. Mekanisme Penyaluran Bantuan Penguatan Rintisan Lembaga PAUD, Ormit, Motivasi dan Stimulasi.
  10. Mekanisme Penyaluran Bantuan Sarana dan Prasarana PAUD.
  11. Mekanisme Penyaluran Dana BOP dan Gugus PAUD.
Dalam laporannya Kasubdit Program dan Evaluasi Dr. Sukiman, M.Pd menyampaikan bahwa tindak lanjut dari kegiatan rapat koordinasi dan sinkronisasi adalah disepakatinya waktu pengumpulan proposal bantuan, verifikasi dan visitasi, kuota bantuan masing-masing kabupaten/kota, serta rapat koordinasi penilaian proposal di masing-masing provinsi. Dimana rata-rata dari masing-masing provinsi siap melaksanakan rapat koordinasi pada akhir Juni 2013.

Kegiatan Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi, ditutup secara resmi oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI) Dr. Gutama yang pada kesempatan tersebut menyampaikan “bahwa program PAUD bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan melibatkan peran serta orangtua dengan menggunakan pendekatan bermain sambil belajar”.
Selanjutnya Dr. Gutama mengungkapkan bahwa “dana  dekonsentrasi  tahun 2013 sudah tidak ada lagi, tapi bantuan dari pusat ke lembaga PAUD tetap ada. Untuk itu pentingnya dilaksanakan rapat koordinasi sehingga kabupaten/kota dan provinsi dapat mengetahui dana yang disalurkan di wilayah kerja masing-masing”.

Selain itu beliau mengharapkan “pengelolaan program PAUD dikelola dengan hati yang ihlas, ceria, dan santai maka kita akan turut andil dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa, karena akan mendapat pahala serta akan dikenang sepanjang masa”.(@dr1)

Dirjen Paudni Bermain Game Lagu Anak Usia Dini

Usai memberikan sambutan pengarahan dan membuka rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD tingkat Nasional tahun 2013 (angkatan II) di Surabaya, Direktur Jenderal PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog mengajak peserta untuk mengingat kembali lagu anak usia dini. Selasa (21/5).

Pada kesempatan tersebut Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog membuat game lagu anak usia dini. Dimana beliau bertanya dan peserta menjawab dengan menyebutkan judul lagu dan menyanyikannya.

Ketika Dirjen PAUDNI menanyakan lagu dengan tema gejala alam, peserta dengan ceria menjawab judul dan menyanyikan lagu tersebut, diantaranya “pelangi-pelangi, bintang kecil, dan hujan. Begitupun ketika beliau bertanya lagu dengan tema binatang, secara serentak peserta menjawab lagu “cik-cak di dinding, heli gonggonggong, dan burung kakaktua”.  Selanjutnya Dirjen PAUDNI memberi pertanyaan tema angka, dengan semangat peserta menjawab “satu ditambah satu, dan balonku ada lima”.

Diakhir permainan game, penyabet gelar doktor pada 1993, menyimpulkan makna dari lagu yang dinyanyikan secara bersama, diantaranya “kebersamaan, kasih sayang, gotong royong, dan mencintai lingkungan. (@dr1).

Daerah Perlu Melakukan Investasi Program PAUD

Direktur Jenderal PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog sangat mengapresiasi atas capaian angka partisipasi kasar (APK) PAUD usia 3-6 tahun Jawa Timur sebesar 84,24 persen, yang menempati posisi kedua. Selain itu beliau sangat mendukung program pemerintah Jawa Timur yang akan membentuk  10.000 Taman Posyandu.  Sehingga di Jawa Timur akan terdapat layanan PAUD di setiap desa/kelurahan. Hal tersebut disampaikan ketika membuka rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD tingkat Nasional tahun 2013 (angkatan II) di Surabaya, Selasa (21/5).

Selanjutnya Ditjen PAUDNI mengingatkan, investasi PAUD Jawa Timur perlu dicontoh daerah lain. Salah satunya penerbitan peraturan daerah (Perda) tentang PAUD. Dit. Pembinaan PAUD perlu menginventarisasi daerah mana yang belum memiliki, dan didorong segera mengeluarkan Perda dimaksud.

Guru besar Universitas Indonesia itu juga mengungkapkan,  “APK secara nasional perkembangannya lambat. Hingga kini capaian APK PAUD usia 3-6 tahun baru 54,64 persen dari target capaian 75 persen tahun 2015. Untuk itu perlu dibantu  anggaran APBD provinsi maupun kabupaten/kota, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat.

Lebih lanjut Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog mengatakan, kualifikasi tingkat pendidikan pendidik PAUD yang S1/DIV baru mencapai kisaran 10 persen. Pemerintah Pusat tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Diharapkan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dapat membantu percepatan peningkatan kualifikasi pendidik PAUD.

Program PAUD berbeda dengan program lainnya. Program PAUD dilakukan secara komprehensif  dan integratif  dengan dukungan orangtua. Program parenting dengan sasaran orang tua sangat penting dilaksanakan, ujar anggota European Council of High Ability (ECHA).(@dr1).

Daerah Wajib Menganggarkan Dana APBD Untuk PAUD

Salah satu target Direktorat Jenderal PAUDNI pada 2014 mengantar anak Indonesia cerdas komprehensif.  Anak perlu ditanamkan etos kerja tinggi, sehingga menjadi generasi tangguh dalam persaingan internasional. Hal tersebut diungkapkan Dirjen PAUDNI Prof.Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog ketika menyajikan materi pada kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dan Pelaksanaan Program PAUD Tingkat Nasional Tahun 2013 (Angkatan III). (Rabu/29/5)

Prof.Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog juga mengungkapkan, dalam rangka mengemban misi Dirjen PAUDNI “meningkatkan dan memperluas ketersediaan layanan pendidikan anak usia dini”, diharapkan daerah mamastikan di setiap desa terdapat layanan PAUD. Dirjen PAUDNI tidak mungkin sanggup menuntaskan desa yang belum ada layanan PAUDnya, sehingga perlu dukungan dana APBD I dan APBD II.

Lebih lanjut Prof. Reni Hawadi, sapaan akrab Dirjen PAUDNI mengingatkan, pengembangan program PAUD jika hanya mengandalkan dana APBN akan lambat jalannya. Daerah wajib menganggarkan dana APBD, dan disesuaikan dengan jenis bantuan yang ada di pusat. Ketuntasan satu desa satu PAUD menjadi indikator keseriusan kita dalam mengembangkan program PAUD.

Selanjutnya penerima piagam penghargaan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sebagai dosen terproduktif 2004 menyampaikan, untuk mendorong partisipasi daerah dalam pengembagan program PAUD, maka pada tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memberikan award pada Pemerintah Daerah dan Bunda PAUD yang bisa mencapai APK tinggi.  Selain itu,  tahun depan ada perubahan strategi pemberian dana Pusat. Kabupaten/Kota yang tidak menganggarkan dana PAUD dalam APBDnya, tidak akan mendapat bantuan APBN.

Terkait dengan kualifikasi pendidikan guru PAUD tergolong rendah. Berdasarkan data,  guru TK yang berkualifikasi S1 baru sekitar 20 persen. Sedangkan guru PAUD nonformal yang berkualifikasi SMA ke atas baru 75 persen. Bahkan masih terdapat guru PAUD yang masih berkualifikasi SMP bahkan SD. Menyikapi hal tersebut Dirjen PAUDNI menargetkan pada tahun 2020 seluruh guru TK harus S1, dan tahun 2016 semua guru PAUD sudah mendapatkan diklat dasar, ungkap anggota World Conference on the Gifted and Talented Children (WCGTC).(@dr1)

Pengembangan Model PAUD Harus Disosialisasikan dan Dipakai

Pamong Belajar UPT PAUDNI harus dapat membantu kebutuhan pengembangan program Direktorat Pembinaan PAUD. Contohnya pengembangan APE terkait dengan subdit sarana dan prasarana. Peran bunda PAUD terkait dengan subdit kemitraan dan kelembagaan. Hal ini mengingat, Pamong Belajar berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang belajar, pengkajian program, pengembangan model pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal serta pengembangan profesi. Demikian yang diungkapkan Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog ketika menyajikan materi pada kegiatan Workshop Pengembangan Program PAUDNI dengan UPT PAUDNI. (Rabu/12/6)

Ditjen PAUDNI mengharapkan, model yang dikembangkan Pamong Belajar dapat dipakai, kalau hanya disimpan, maka akan sia-sia apa yang dikerjakan. Hasil kajian harus disosialisakan ke SKB sebagai lembaga percontohan program PAUDNI dan lembaga PAUD.

Hasil-hasil pengembangan program PAUD dalam bentuk DVD atau audio visual, dapat disebarluaskan dengan mengupload ke youtube, sehingga user dapat melihat, mengetahui, dan mengaplikasikan model yang dikembangkan, ungkap Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog.

Selanjutnya guru besar Universitas Indonesia mengatakan, perlu diinventarisasi model PAUD yang dikembangkan dari 2010 s.d. 2012. Kemudian dipilah sesuai kebutuhan subdit di Direktorat Pembinaan PAUDNI. Sehingga sinergi antara Direktorat Pembinaan PAUD dengan UPT pusat terjalin dengan baik, jadi tidak ada kesan jalan sendiri-sendiri. Selain itu beliau mengharapkan, Pamong Belajar dapat membantu program Direktorat PAUD dalam rangka mencapai target APK 75 persen yang tinggal setahun lagi.(@dr1)

Rintisan Paud di Daerah Tertinggal

Hampir kurang lebih 150 orang perwakilan penggiat pendidikan Badan Pengurus Daerah Gereja Bethel Indonesia dari 32 provinsi menghadiri Semiloka dan Lokakarya tentang Rintisan PAUD di Daerah Tertinggal yang diselenggarkan di Gereja Bethel Mawar Saron, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada tanggal 18 – 22 Maret 2013.

Sebagai Pembicara Utama, Ibu Dirjen PAUDNI, Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog mengemukakan bahwa postur anggaran pendidikan anak usia dini relatif masih rendah.  Masih banyak anak usia dini di negeri ini yang belum terlayani pendidikannya, sementara diyakini oleh para ahli bahwa pendidikan anak usia dini merupakan pondasi yang harus dibangun sebelum mereka memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.

Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bangsa kita yang belum diperhatikan secara baik. Begitu pula pendidik PAUD di Indonesia diperkirakan baru 15 persen yang berpendidikan S1(Strata Satu) dari 984.000 guru PAUD yang dibutuhkan. Itupun belum semua  lulusan dari jurusan pendidikan anak usia dini atau psikologi perkembangan anak, akibatnya cara pembelajarannya juga kurang sesuai dengan perkembangan anak. Demikian pula kurikulum yang dipergunakan PAUD saat ini juga adalah menu generik yang sifatnya masih sangat membutuhkan kecerdasan dan kreativitas pendidik ketika menerapkannya dalam proses belajar mengajar.

Ada rencana besar pemerintah bahwa tahun 2045 anak-anak Indonesia akan menjadi generasi yang produktif dan sejajar dengan bangsa yang sudah maju sebagai kado ulang tahun Indonesia merdeka yang ke 100. Keberadaan PAUD saat ini sudah didukung oleh beberapa kementerian yang turut mengurus PAUD, seperti Kemdagri, Kemkes, Kemsos, Menkokesra, Kempera, BKKBN, dan Bappenas. Memang seharusnya urusan anak usia dini, seperti di negara-negara yang sudah maju, difasilitasi semua kementerian dan menjadi gerakan nasional, bila negara ingin keluar dan bangkit dari keterpurukan.

Prakarsa Gereja Bethel Indonesia untuk merintis PAUD di daerah tertinggal tentu saja sangat membantu pemerintah dalam menggerakkan dan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan anak usia dini, seperti lembaga-lembaga keagamaan yang lainnya. Namun demikian Ibu Dirjen juga mengingatkan bahwa permasalahan agama di masyarakat masih sangat sensitif dan aturan dan ketentuannya benar-benar diperhatikan, agar tidak timbul dampak yang tidak terduga. (Hendro)

Benteng Terdepan Pelayanan Kesehatan, Posyandu Diminta Bekerja Lebih Maksimal

TEMBILAHAN (detikriau.org)-Sebagai wadah terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan dasar, maka Posyandu harus bekerja secara maksimal. Tidak hanya bekerja satu kali dalam satu bulan, tetapi dapat mengoptimalkannya selama 30 hari.


Hal itu disampaikan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Inhil, Hj Zulaikhah Wardan saat melakukan kunjungan kerja ke Kecamatan Gaung belum lama ini.
Dikatakan Zulaikhah, ditemukannya kasus gizi buruk dan kurang gizi di berbagai daerah saat ini, hendaknya dapat menyadarkan dan mengingatkan semua pihak,bahwa suatu program tidak hanya selesai setelah waktu kegiatan berakhir tetapi semua kegiatan perlu ditindaklanjuti melalui pemantauan dan pembinaan.

“Untuk mengatasi dan mencegah hal serupa terus terjadi, maka yang perlu diperhatikan adalah peningkatan ekonomi keluarga, melalui UP2K PKK, pemahaman tentang pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, serta disebarluaskannya pengertian Hatinya PKK,” tutur Zulaikhah.

Dijelaskan Bunda PAUD Kabupaten Inhil ini, keberhasilan pelaksanaan program-program kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh adanya keterpaduan antara gerakan keswadayaan dan partisipasi masyarakat, dengan bimbingan dan fasilitasi teknis dari berbagai instansi dan lembaga terkait.(dro/adv pemkab inhil)

Pemkab Simalungun Siap Anggarkan 2 Milyar Untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

SIMALUNGUNDirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, minta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun lebih besar memberikan konstribusinya terhadap pembangunan  Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di wilayahnya.

“APK PAUD di Kabupaten Simalungun hanya 16,30 persen karena dari 341 desa, hanya 240 desa yang ada PAUDnya. Padahal,  kita berharap di Indonesia satu desa memiliki satu PAUD sehingga target APK PAUD NAsional 75 persen bisa terpenuhi,” kata Dirjen pada acara Gebyar PAUD 2013 Kabupaten Simalungun di Lapangan Terbuka Kecamatan Girsang Sipangan Bolun, Parapat, Senin (26/08).

Menurut Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, dalam skala nasional, APK PAUD Indonesia baru 34,54 persen. Angka itu memang mengalami kenaikan sejak tahun 2000-2012. Namun angka itu masih rendah jika diihat dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa.

“Untuk itu, saya berharap agar  Pemkab Simalungun  menyiapkan dana sebesar Rp. 6,040 miliar agar dapat  mengejar target satu desa satu PAUD. Saya yakin Pak Bupati bisa menuntaskannya,” katanya.
Namun demikian Dirjen menyatakan apresiasinya atas upaya Pemkab Simalungun untuk peningkatan kualitas anak-anak PAUD dan  mengalokasikan bantuan dana sebesar Rp 1,290 milyar untuk pembinaan PAUD kepada Pemkab Simalungun.

Sementara itu, Bupati JR Saragih mengatakan dalam rangka mendukung keberadaan PAUD, Pemkab Simalungun dari tahun ke tahun memberikan bantuan dana untuk peningkatan kualitas anak PAUD maupun tenaga pengajar. “Pada tahun 2012 lalu, Pemkab Simalungun menganggarankan untuk PAUD Rp 115 juta, sedangkan tahun 2013 kembali kita anggarkan Rp 200 juta.” katanya.

Sedangkan pada tahun 2014 mendatang, Pemkab Simalungun memprogramkan anggaran Rp 2 milyar, sehingga akan mampu melayani anak sampai pelosok desa termasuk tenaga pengajarnya.  Oleh karenanya, diharapkan kepada guru PAUD untuk senantiasa memberikan perhatian kepada anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.

Gebyar PAUD 2013 ini, sekaligus pemberian vitamin A gratis bagi 2.106 anak. Kegiatan ini mendapatkan rekor MURI dalam kategori pemberian vitamin A terbanyak. Piagam rekor MURI diserahkan oleh tim MURI yang diwakili Hanri Zheng kepada Bupati JR Saragih.

Gebyar PAUD yang menyambut Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2013 ini dihadiri Bupati JR Saragih, Bunda PAUD Ny Erunita JR Saragih, Ketua DPRD Binton Tindaon, Bunda PAUD Ny Erunita JR Saragih, Kadis Kesehatan Saberina, dan Kepala Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Mislaini Saragih, Direktur Pembinaan PAUD Dr. Erman Syamsudin, serta para pejabat di Kabupaten Simalungun (Sugito/HK)

Pengarustamaan Gender Bidang Pendidikan di Indonesia

PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN DI INDONESIA 
Lydia Freyani Hawadi 
Guru Besar Universitas Indonesia 

Disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI, pada hari Senin, tanggal 9 November 2015. 

Berbicara tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) tidak lain bicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Manusia Perempuan. Isu HAM adalah isu yang universal dan ini berarti kita bicara tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan isu HAM Perempuan sudah mempunyai landasan-landasan universal, baik yang mengikat secara hukum (Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945) maupun secara moral (Deklarasi Umum tentang HAM). Sedangkan landasan yang mengikat secara hukum bagi negara-negara untuk isu HAM Perempuan dan Gender adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW). Indonesia adalah salah satu dari 187 Negara yang telah mengikatkan diri secara hukum, dengan terbitnya Undang Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984.

Kilas Sejarah Pengarusutamaan Gender
1945-1975. Isu Perempuan adalah isu sosial, untuk itu masalah HAM Perempuan berada dalam tanggung jawab Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (United Nations Economic and Social Council atau ECOSOC) tepatnya di Komisi Kedudukan Perempuan (UN Comission on the Status of Women atau UN CSW). UN CSW berdiri tahun 1946, yang tadinya hanya merupakan sub komisi dan Komisi HAM PBB. UN CSW hampir tiga dasawarsa bekerja keras meningkatkan kesadaran pemerintah dan negara-negara seluruh dunia tentang perlunya mereka mengambil aksi nyata untuk mewujudkan persamaan HAM Perempuan. Setelah beberapa capaian UN CSW selama 1946 -1975 yaitu : Konvensi tentang Pencegahan Perdagangan Manusia dan Prostitusi, Konvensi tentang Imbalan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang nilainya sama, Konvensi tentang Hak-Hak Politik Perempuan, Konvensi tentang Nasionalitas Perempuan, Konvensi tentang Diskriminasi yang bertalian dengan hal-hal mempekerjakan dan pemberian jabatan, Konvensi tentang Persetujuan untuk kawin, usia minimum untuk kawin, dan pendaftaran perkawinan dan Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan; tahun 1972 Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tentang Pencanangan Tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional (International Women’s Years). Resolusi tentang Pencanangan Tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional menjadi pintu masuk untuk dibahas lebih seriusnya masalah Persamaan, Pembangunan dan Perdamaian (Equality, Development, and Peace) dalam Konferensi Dunia I Tentang Perempuan Tahun 1975 di Mexico City. Hasilnya antara lain Deklarasi Mexico tentang Persamaan Perempuan dan Sumbangan Perempuan bagi Pembangunan dan Perdamaian; Rencana Aksi Dunia untuk mewujudkan Tujuan Tahun Perempuan Internasional; Rencana Aksi Regional wilayah Asia dan Timur Jauh serta Afrika;
serta Pencanangan Dasawarsa PBB untuk Perempuan (United Nations Decade for Women)

1976-1985. Di lingkup nasional, titik penting yang terjadi kurun waktu ini adalah dibentuknya Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI) tahun 1967. Komite ini pula yang aktif dalam penyusunan RUU tentang Perkawinan serta memperjuangkan komitmen nasional bagi kemajuan perempuan dalam GBHN. 1976-1985. Dasawarsa PBB untuk Perempuan: Persamaan, Pembangunan dan Perdamaian merupakan tahun-tahun pemusatan perhatian pada langkah konkrit untuk melaksanakan Rencana Aksi Dunia dari Mexico City. Salah satu keberhasilan dalam Dasawarsa PBB untuk Perempuan disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979. Kemudian penyelenggaraan Konferensi Dunia II tentang perempuan tahun 1980, di Kopenhagen, Denmark menghasilkan salah satu kesepakatan yaitu penandatanganan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) oleh puluhan Ketua Delegasi.

Hal ini sebagai indikasi komitmen pemerintah masing-masing untuk segera mengesahkan atau meratifikasi dari badan legislatif masing-masing dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi. Konvensi CEDAW sering digambarkan sebagai “International Bill of Rights for Women” menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Diskriminasi terhadap perempuan akan dihapuskan baik melalui langkah-langkah hukum, kebijakan, dan program. Pada tahun 1981, Konvensi mulai berlaku. Pengarustamaan Gender adalah konsep kebijakan publik untuk mengkaji implikasi setiap aksi kebijakan dalam bidang hukum dan program terhadap perempuan dan laki-laki.

Konsep PUG ini pertama kali dilontarkan di Konferensi Dunia III Tentang Perempuan Tahun 1985 di Nairobi, Kenya. Tujuan konfrensi ini menelaah dan menilai hasil-hasil dasawarsa ataupun mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi. Terobosan penting yang dihasilkan disebut Strategi Berwawasan Kedepan untuk Pemajuan Perempuan menjelang Tahun 2000 (Forward Looking Strategies for the Advancement of Women to Year 2000 atau Nairobi F.L.S.) Di tingkat Nasional, KNKWI berhasil memasukkan isu perempuan dalam GBHN 1978 dengan judul Perempuan dalam Pembangunan Bangsa; pertama kalinya di pemerintahan terdapat Menteri Muda Urusan Peranan Wanita; penetapan wajib belajar 9 tahun tahun 1984 serta ‘gong’nya Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW pada tahun 1984 dengan UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 1986-1995. Dalam melaksanakan Strategi Nairobi, PBB meningkatkan partisipasi organisasi-organisasi non pemerintah. Banyak agenda internasional yang dilakukan dan intinya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sarana paling penting untuk memberdayakan perempuan dengan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan. Konferensi Dunia IV Tentang Perempuan Tahun 1995 di Beijing, China, yang bertemakan “Action for Equality, Development and Peace” menghasilkan dua dokumen penting yaitu Deklarasi Beijing dan Kerangka Aksi Beijing (Beijing Platform for Action/BPFA), Disinilah pengakuan penuh dan komitmen untuk mewujudkan persamaan hak, kewajiban, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan melalui pengintegrasian perspektif gender. Pada saat itu untuk pertama kalinya dipetakan hal-hal yang dianggap kritis untuk diperhatikan baik pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan gender. PUG didesakkan PBB sebagai strategi yang harus diadopsi oleh pemerintah dan organisasi yang relevan, agar dipastikan ada rencana aksi yang dilaksanakan dengan efektif. Mengenal Istilah : Gender, Keadilan Gender, Kesetraan Gender dan Pengarusutamaan Gender Semua istilah yang saya gunakan dalam tulisan ini merujuk pada Achmad (2013) dalam bukunya yang berjudul Syamsiah Achmad Matahari Dari Sengkang-Wajo. Gender. Gender sebagai suatu pengertian yang mengacu pada atribut sosial dan kesempatan yang bertalian dengan keberadaan seseorang sebagai perempuan atau laki-laki, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan, antara anak-anak perempuan dan anak laki-laki. Atribut, kesempatan, dan hubungan merupakan konstruksi sosial, yang dipelajari dan dimiliki seseorang, laki-laki dan perempuan, melalui proses sosialisasi sejak lahir dan bersifat kontekstual, dan dapat berubah atau diubah. Lebih jauh dijelaskan, Gender menetapkan apa yang diharapkan, diperbolehkan, dan dihargai dari seorang perempuan atau laki-laki dalam konteks tempat dan waktu. Gender merupakan bagian integral dan penting dalam konteks sosial budaya pada umumnya. Contoh : Perempuan bermain boneka, baju warna pink. Laki-laki bermain mobil-mobilan, baju warna biru. Keadilan Gender. Keadilan Gender dianggap sebagai suatu proses untuk berlaku adil pada perempuan dan laki-laki. Untuk menjamin keadilan, langkah-langkah sering diperlukan untuk menangani bahkan menutupi kekurangan atau ketidak beruntungan sosial dan historis yang tidak memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk berkiprah bersama-sama dalam kondisi yang sama. Contoh: Perempuan bekerja menjadi supir bus. Laki-laki bekerja sebagai full time dad. Kesetaraan Gender. Kesetaraan Gender adalah penghargaan yang setara oleh masyarakat atas persamaan dan ketidaksamaan antara perempuan dan laki-laki, dan keanekaragaman peran yang mereka lakukan Pengarusutamaan Gender. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan upaya untuk memastikan bahwa perspektif gender dan tujuan kesetaraan dan keadilan gender merupakan pedoman utama dalam semua kegiatan. Hal ini dimulai dari perumusan kebijakan dan strategi, perencanaan, penyusunan program, dan penganggaran sampai pada pelaksanaan dan pemantauan kemajuan yang dicapai serta kendala-kendala yang dihadapi, sampai pada evaluasi keberhasilan dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapi untuk dijadikan dasar dalam penyusunan langkah-langkah kedepan. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mendefinisikan PUG sebagai “ Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi, dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan, dan ketidak adilan tidak ada lagi”. Jadi dari batasan PUG tersebut, kita memahami bahwa PUG adalah suatu strategi, bukan tujuan. Strategi itu berarti mengikut sertakan perempuan dalam artian memberi kesempatan maupun akses, kendali dan manfaat dalam semua program pembangunan dalam bidang politik, sosial, ekononomi dan budaya.

Tujuan PUG, adalah mewujudkan keadilan gender. Impelementasi PUG di Indonesia Secara resmi PUG diadopsi menjadi strategi pembangunan bidang pemberdayaan perempuan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Ruang lingkup PUG meliputi (1) perencanaan, termasuk didalamnya perencanaan yang responsif gender/gender budgeting, (2) pelaksanaan dan (3) pemantauan dan evaluasi. Kemudian terbit UU No.25 Tahun 2000 tentang Propemas 2000-2004 yang menyebutkan 19 program pembangunan yang responsif gender di lima bidang pembangunan, yaitu bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan dan sosial budaya, Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 yaitu peningkatan kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Untuk pelaksanaan PUG di daerah-daerah , Dasar hukum PUG diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri no.15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah. Kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor.67 Tahun 2011.

Beberapa daerah telah meresponsnya dengan mengeluarkan peraruran daerah (Perda) tentang PUG. Merespons gender budgeting telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.119 Tahun 2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelahaan, Pengesahan, dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan. Pada tahun anggaran 2010 sebanyak 7 Kementerian didorong untuk menerapkan Anggaran Responsif Gender (ARG) ke dalam program dan kegiatan kementerian yaitu : Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan Naasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2011 impelementasi ARG diperluas ke dalam bidang pembangunan sosial, ekonomi, dan politik. Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2012. Untuk mempercepat pelaksanaan PUG, juga telah dikeluarkan Surat Edaran tentang Strategi Nasional PUG melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender pada tanggal 1 Nopember 2012. Surat Edaran ini dikeluarkan secara bersama-sama oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembanguanan Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Surat Edaran ini ditujukan kepada para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para gubernur, dan para bupati/walikota.

Sayangnya sejak Instruksi Presiden no.9 Tahun 2000 diterbitkan, sampai saat ini Indonesia belum memiliki Peraturan Pemerintah tentang Pengarusutamaan Gender. Impelementasi PUG Bidang Pendidikan Di Bidang Pendidikan payung hukum kebijakan PUG adalah Permendiknas No.84 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan pada Tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Program utama yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan melalui penguatan kelembagaan terhadap : - Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan pendidikan - Perencana bidang pendidikan - Penulis buku/bahan ajar - Kepala/pimpinan satuan pendidikan - Para tenaga pendidik dan kependidikan - Dan pemangku pendidikan lainnya Pada tahap awal, penguatan kapasitas kelembagaan dilakukan di tingkat pemerintah pusat, yaitu di 7 unit utama Kementerian Pendidikan Nasional. Mulai tahun 2003 pemerintah pusat bekerja sama dengan pokja PUG Bidang Pendidikan di 33 Provinsi mulai mengembangkan model impelementasi PUG Bidang Pendidikan di Provinsi. Kemendiknas menaruh perhatian sejak 2002 sebagai wujud dari komitmen internasional yang telah dituangkan dalam CEDAW yang telah diratifikasi dengan UU no.7 Tahun 1984.

Komitmen Kemendiknas tentang keadilan dan kesetaraan gender juga mengacu pada EFA yang tertuang dalam kesepakatan Dakar yaitu :
a. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan PAUD, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung;
b. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik;
c. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life skills);
d. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat nirkeaksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa;
e. Menghapus disparitas dender dalam pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005 dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik; f. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua terutama dalam keaksaraan, angka, dan kecakapan hidup yang penting.

Referensi :
Achmad, Sjamsiah. 2013 . Sjamsiah Achmad Matahari Dari Sekang-Wajo, Jakarta : Kompas Gramedia.

Membangun Masyarakat Mandiri Sensor

MEMBANGUN MASYARAKAT MANDIRI SENSOR 
Lydia Freyani Hawadi 
Disampaikan dalam kegiatan sosialisasi Lembaga Sensor Film, di Jakarta,pada hari Kamis, tanggal 15 Oktober 2015. 

Sasaran Sosialisasi: Remaja 
Pembahasan remaja merujuk pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1902-1994), yang menyebutkan bahwa ada 8 (delapan) tahapan perkembangan psikologis yang saling berurutan sepanjang hayat. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya. Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan yang dihasilkan dari interaksi antara proses-proses maturasi dengan tuntutan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Remaja merupakan tahapan perkembangan kelima, diawali pada usia 13 tahun dan berakhir pada usia 20 tahun. Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa, dimana terjadi interaksi antara proses pembentukan identitas (identity) vs kebingungan identitas (role confusion). Remaja bukan kanak-kanak, namun belum bisa juga disebut orang dewasa. Masa ini menurut Erikson adalah masa pencarian identitas diri. Masa dimana remaja menunjukkan pembuktian kemampuan dirinya dan butuh penyaluran energinya. Coba kita amati, tawuran kebanyakan dilakukan oleh remaja (anak SMP,SMA/SMK) bukan anak usia sekolah (SD). Kemudian kasus hamil diluar nikah, juga kebanyakan terjadi pada remaja. Hasil penelitian dari Universitas Indonesia dan Australian National University pada 2014 menunjukkan sebanyak 20,9% remaja putri Indonesia telah hamil di luar nikah. Begitu juga kasus menikah usia dini banyak terjadi pada remaja. Annual Review Unicef tahun 2014 yang menyebutkan satu dari empat perempuan di Indonesia menikah sebelum berumur 18 tahun. Belum lagi masalah Napza berdasarkan data BNN, tahun 2014 ribuan kasus penderita HIV/AIDS dalam kurun waktu 2005 hingga 2012, 45% penderita diantaranya adalah remaja.

Dengan demikian nyata bahwa remaja adalah sasaran strategis, karena Indonesia memiliki lebih dari 66 juta jiwa remaja, atau dua puluh lima persen dari jumlah penduduk Indonesia; artinya satu dari setiap empat penduduk Indonesia adalah remaja. Strategis bukan saja dari sisi kuantitasnya, namun juga dan harapan sebagai generasi emas Indonesia, kelak di tahun 2045 saat 100 tahun Indonesia merdeka, remaja inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Remaja adalah pemilik masa depan.

Film dan Nilai-Nilai Budaya 
Secara generik film adalah satu seri gambar-gambar yang menetap, yang ditampilkan dalam layar; yang dihasilkan melalui pengambilan gambar (photographing) dengan kamera gambar bergerak (motion picture camera), dengan teknik animasi (animation techniques); dengan animasi computer (computer animation); ataupun kombinasi itu semua dengan efek-efek visual (visual effects). Ada juga yang menyebutkan, film sebagai hasil karya seni seseorang, yang mengkomunikasikan gagasan, cerita, persepsi, perasaan, keindahan atau atmosfirnya kedalam gambar-gambar yang diprogramkan terekam bergerak. Namun lebih dari itu film dapat dilihat juga sebagai suatu komoditas, suatu industri untuk menghibur orang-orang.

Film merupakan cultural artifacts, barang-barang hasil kecerdasan manusia yang terkait oleh suatu budaya tertentu. Jadi film merefleksikan suatu budaya, dan pada gilirannya nanti, mempengaruhi budaya. Film merupakan bentuk budaya yang sangat penting,suatu sumber hiburan terpenting, medium yang sangat powerful untuk memberikan pendidikan dan mengindoktrinasi penduduk. Dengan basis visual, suatu film dapat menjadi aktraksi popular yang mendunia setelah menggunakan dubbing, subtitles dalam terjemahan bahasa setempat.

Jika demikian halnya, maka film bukanlah sekedar film titik, tontonan titik namun dibalik adanya film kita mengamati ada sesuatu nilai-nilai (values) yang terkait dengan suatu budaya. Jika itu film Hollywood, maka yang kita tonton adalah budaya Amerika; jika itu film Bollywood, maka yang kita tonton adalah budaya India.Dalam lima tahun terakhir ini gelombang globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave (Hallyu) ini berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Korea pada abad 21 berhasil bersaing dengan Hollywood dan Bollywood dalam memasarkan budaya ke dunia luar. Berbagai produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion,hingga produk-produk industri mewabah dunia. Sebelum Korea, anak-anak kita sudah terlebih dahulu keranjingan manga (komik Jepang), anime, games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama).

Melalui film individu belajar tentang budayanya,dan juga budaya orang lain.Dampak positif yang diteliti film Barat oleh salah seorang penulis skripsi di IKIP PGRI Semarang dengan subyek mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris adalah pengucapan dan kosa kata mahasiswa yang sering nonton film menjadi jauh lebih baik. Pengaruh film sangat luar biasa. terlihat dari desain rumah, fashion, musik, dan life style dari budaya film yang dilihatnya.

Film dan Modeling 
Betapa dahsyatnya suatu tontonan, yaitu apa yang dilihat oleh seseorang melalui film terhadap perilakunya,ditunjukkan oleh suatu percobaan dari seorang psikolog berkebangsaan Kanada Amerika. Albert Bandura memiliki passion meneliti kasus kenakalan remaja. Ia beranggapan bahwa lingkungan membentuk perilaku, dan perilaku membentuk lingkungan. Dengan konsep determinisme resiprokal, ia menggaris bawahi proses dimana lingkungan dan perilaku seseorang saling mempengaruhi. Dalam teori sosial kognitif yang dikembangkannya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) dan regulasi diri (self-regulation).

Melalui percobaan boneka Bobo pada anak pra-sekolah, Bandura telah membuktikan bahwa we all may know more than we show. Ketiga kelompok subjek diajak menonton film boneka Bobo. Kelompok satu melihat model difilm diberi reward saat berlaku agresif, kelompok kedua melihat model diberi punishment saat berlaku agresif dan kelompok ketiga tidak diberikan konsekuensi apapun saat melihat model berlaku agresif. Namun ketika anak-anak dalam kelompok ini dijanjikan akan diberi hadiah jika berperilaku agresif, mereka serta merta anak-anak kelompok ketiga ini mampu mendemonstrasikan perilaku agresif.

Berjalannya perilaku modeling agresif ini, menurut Bandura terjadi dalam empat tahapan yaitu mula-mula melalui perhatian (attention), kemudian berkembang menjadi ingatan (retention), dan diikuti oleh reproduksi (reproduction) serta dorongan (motivation). Keempat tahapan inilah yang terjadi pada ketiga kelompok Bobo doll experiment Bandura tersebut diatas, tentang perilaku agresi dan non-agresi pada anak; khususnya kelompok ketiga yang sama sekali tidak ada iming-iming hadiah, ataupun ancaman hukuman. Namun suatu saat, apa yang dilihat seseorang akan menjadi suatu perhatian yang akan diiingat dan mampu dilakukan karena ada dorongan masa lalu dan dorongan yang dijanjikan untuk melakukan model yang patut ditiru.

Lain Albert Bandura, lain pula Sigmund Freud (1856-1939). Freud, adalah salah satu psikolog besar yang teorinya sangat berpengaruh di dunia dan menjadikannya sebagai Bapak Psikologi. Melalui teori psikoanalisa,kita diingatkan bahwa pembentukan jiwa seseorang (human psyche) adalah dimasa kanak-kanak, yang mana pola-pola perilaku menetap konstan sampai maturitas. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni kesadaran (consciousness), prakesadaran (preconsciousness) dan ketidak sadaran (unconsciousness). Dan melalui konsepnya ini Freud menekankan bahwa alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku manusia.

Jika demikian halnya, dalam konteks seseorang menonton film maka kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa apa yang masuk dalam penglihatannya akan disimpan dalam alam bawah sadarnya. Dan sampai suatu saat ada momentum untuk muncul, hal-hal yang terpendam jauh tersebut akan dimunculkan keluar dalam bentuk perilaku.

Misalnya saja kita menonton film dimana di negeri Barat, untuk memanggil taksi. Di film diperlihatkan bahwa untuk mendapatkan taksi ada tempat tertentu yang tidak bisa sembarang tempat, namun ada tempat tertentu dan itupun harus mengantri dengan tertib. Moment ini menjadi atensi kita dan retensi disimpan dalam alam bawah sadar, sampai suatu saat kita di luar negeri kita mampu berperilaku tertib menunggu taksi. Walaupun kalau di Jakarta, kita bisa di sembarang tempat dimanapun kita mau untuk menyetop taksi. Banyak contoh lain yang bisa kita berikan dimana perilaku kita tanpa sadar merupakan hasil copy paste dari yang kita tonton, yang kita lihat. Film bisa memberikan inspirasi, untuk pembentukan perilaku positif maupun negatif, perilaku yang diterima maupun yang tidak diterima, yang baik ataupun perilaku yang buruk. Melalui film, suatu perilaku yang diinginkan ditiru, diimitasi oleh seseorang.

Sinergitas dan Hubungan Dialogis LSF 
Film merupakan hasil kolaborasi dari berapa unsur, seperti produser, penulis skenario, sutradara, pemain film, penata rias, penata kostum, penata lampu, penata kamera, dan lain sebagainya. Jika kita setuju bahwa film mencerminkan suatu budaya maka pemahaman tentang budaya itu sendiri harus menjadi perhatian dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film. Dalam konteks film Indonesia, persepsi tentang budaya Indonesia diantara mereka harus sama. Pengetahuan, pemahaman, pengaplikasian tentang budaya Indonesia harus sejalan. Misalnya, untuk menanamkan semangat cinta Indonesia, semangat bela negara maka film Indonesia harus menunjukkan bagaimana impelementasi cinta negara dan bela negara dalam kesehariannya. JIka kita beranggapan bahwa penanaman pendidikan multikultural penting bagi anak-anak Indonesia maka film-film Indonesia harus mengusung pluralitas budaya Indonesia, bhinneka tunggal ika harus tercermin di dalamnya.. Tampilkanlah adat istiadat, kebiasaan, ritual, tarian, bahasa, kostum sebagai cermin dari kekayaan budaya Indonesia sebagai bagian yang terintegrasi dalam kehidupan keseharian tokoh-tokoh di film sebagaimana halnya hal tersebut ada berkembang di tengah masyarakat.

Di samping budaya, film harus peka terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat misalnya, akhir tahun ini ada hal penting yang akan kita rasakan dampaknya bagi kahidupan berbangsa bernegara kedepannya. Indonesia dan 9 negara ASEAN lainnya akan menyongsong MEA. Hal ini perlu menjadi perhatian insan perfilman Indonesia. Indonesia sebagai negara terbanyak penduduknya di ASEAN dan negara muslim terbesar di dunia akan menjadi pemeran penting. Bagaimana warna Islami yang ingin diusung dan pembentukan karakter Islam pada generasi muda yang saat ini disebut Generasi Z ini bisa berjalan baik. Dinamika generasi Z yang ditampilkan tidak hanya sosok yang sibuk dengan gadget saja, tetapi karakteristik mereka sebagai pemilik hobi dan passion yang besar perlu diangkat. Cerita sukses dari sosok generasi akan mejadi inspirasi dan jalan pintu-pintu sukses sosok-sosok lainnya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dalam pasal 6 mempunyai tugas :
a. Melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
b. Melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklam film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.

Menurut saya peran LSF bukan sekedar tukang sensor, tukang yang membuat klasifikasi. Keberadaan LSF sebagai unit dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai peran strategis dan besar untuk suksesnya tercapai tujuan pendidikan nasional.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mewujudkan manusia yang berkualitas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada fungsi sistem pendidikan nasional ini, maka pendidikan bagi generasi muda diupayakan memiliki wawasan luas disertai oleh jiwa spiritualitas yang tinggi, sehingga yang paling utama bagi pendidikan adalah bagaimana mencetak peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan memiliki pengetahuan yang luas.

LSF harus berpijak pada tujuan pendidikan nasional ini. Film-film yang dibuat dan beredar bagi masyarakat khususnya anak, anak usia sekolah dan remaja harus mempunyai muatan tersebut diatas. Disini peran dialogis LSF terhadap pihak-pihak perfilman diatas, dimana sebelum film dibuatkan skenarionya oleh seorang penulis skenario, si penulis skenario sudah diarahkan dulu, disuntikkan nilai-nilai ke Indonesiaannya. LSF harus memiliki regulasi diri (self-regulation) dan keyakinan diri (self-efficacy) untuk menjalankan fungsi dan tugasnya. Untuk itu dalam kegiatan LSF, pelatihan-pelatihan untuk semua pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film seperti disebutkan diatas harus ada.. LSF juga melakukan evaluasi setiap akhir tahun, melihat kinerja film yang dihasilkan apakah sesuai dengan perencanaan awal. LSF bisa memberikan nilai rapor pada produser film. Mereka yang terlibat dalam pembuatan film harus ada sertfikasi, sehingga film yang beredar sudah jelas kualitasnya.

Misalnya, dalam konteks seminar kita pagi menjelang siang ini menarik jika LSF bisa menjelaskan trend dalam 5 tahun terakhir ini tentang besarnya persentase film yang dihasilkan untuk remaja, termasuk tema-tema yang diusung untuk membantu tugas perkembangan (developmental task) seorang remaja. Remaja dalam tahap mencari identitas diri, jati diri mereka. Mereka berada bukan dalam ruang hampa, namun hidup dalam sistem ekologi. Meminjam teori Urie Bronfenbenner, individu hidup dalam sitem makro yang terkait dengan sitem messo dari nilai-nilai pembentukan orangtua, teman sebaya, tetangga kampung maupun sekolahnya. Hal ini semua berkait erat pula dengan sistem makro, dimana mass media, sitem ideologi, politik, sosial dan ekonomi berpengaruh. Akhirnya kejadian-kejadian yang ada dalam hidup seseorang juga berpengaruh terhadap apa jadinya seseorang itu. Anak-anak remaja yang masuk dalam generasi Z, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan saat orangtua mereka dibesarkan. Perkembangan IT yang sangat canggih dan kemudahan memperoleh, menggunakannya membuat mereka terpapar dengan berbagai banyak informasi yang mereka mau. Mereka tinggal klik apa yang mereka butuhkan dan inginkan untuk ditonton.

Kendali ada ditangan mereka. Dan ini hasil binaan didikan bertahun-tahun sejak kecil. Kolaborasi orangtua dengan lingkungan sangat penting. Tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak, orangtua saja atau sekolah saja maupun masyarakat saja. Ibarat orchestra, suara satu instrument satu dengan lainnya harus harmonis sehingga memunculkan suara yang merdu, tidak fals atau nyelonong keluar.

Swa Sensor (Self-Censorship) 
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No,18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan ke dalam usia penonton film sebagai berikut:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Jika dibandingkan dengan Motion Picture Association of America Sejak tahun 1990 klasifikasi rating film yang dilakukan oleh MPPA (Motion Picture Association of America) terdiri dari :
G – General Audiences (Semua umur. Dan tidak ada hal yang membuat orangtua bersikap menentang tontonan)
PG – Parental Guidance Suggested (Ada materi film yang tidak cocok untuk anak dan orangtua harus menjelaskannya pada anak).
PG-13 – Parents Strongly Cautioned (Materi film belum cocok untuk anak usia pra remaja. Orangtua diminta waspada)
R – Restricted. (Materi orang dewasa. Dibawah usia 17 tahun, orangtua atau orang dewasa diminta untuk mempelajari materi film sebelum memutuskan mendampingi anak untuk ikut menonton
NC-17 Adults Only. (Hanya untuk orang dewasa. Anak-anak dilarang menonton. Usia 17 tahun dan dibawahnya dilarang keras menonton).

Dengan adanya pengklasifikasian ini sebenarnya sudah jelas siapa usia berapa yang boleh menoton film. Swa sensor merujuk pada diri sendiri. Penyesor adalah diri sendiri. Berarti disini perlu ada motivasi, komitmen, dorongan untuk patuh taat pada regulasi yang ditetapkan.

Penegakan hati nurani individu, dalam hal ini pihak otoritas yaitu orangtua, guru dan orang dewasa lain di masyarakat sangat berperan .Segenap pihak dan masyarakat harus mendukung PP no,18 tahun 2014 ini jika ingin menyelamatkan masa depan generasi muda Indonesia. Swa sensor tidak serta merta namun dibentuk secara step by step. Dari sisi kelembagaan tahap pertama perlu ada persepsi yang sama dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan landasan pijak yang sama tentang fungsi, tugas dan wewenang dari Lembaga Sensor Film. Pemahaman yang sama membawa ke tahap selanjutnya yaitu dalam aplikasinya, bagaimana menjalankan secara praktis dari fungsi, tugas dan wewenang dari Lembaga Sensor Film.

Sedangkan dari sisi individu swa sensor mengacu pada perbuatan moral yaitu baik dan buruk. Perkembangan moral anak menurut Kohlberg (1927-1987) sejak dini bergantung pada role model yang secara regular melakukan kontak sosial dengan dirinya. Pola-pola interaksi yang terjadi dengan teman sebaya dan masyarakat tidak beda jauh dengan yang terjadi dalam keluarga. Perkembangan moral ini terjadi bertahap dan pada setiap tahap individu dihadapkan dengan dilemma untuk diambil keputusan. Untuk masa remaja, swa sensor sudah dapat dijalankan mengingat pada tahap ini perkembangan moral sudah mencapai tahap post-conventional sejalan dengan perkembangan kognitif nya yang berfungsi pada tahap operasi formal dan remaja sudah memiliki kontrak sosial dan komitmen interpersonal untuk menjalankan perilaku baik, tunduk pada hukum yang berlaku.Swa sensor tidak membutuhkan reward dan punishment, namun lebih kepada Bagaimana individu dapat berfungsi baik sebagai individu.

Strategi Pendidikan Bagi Pembentukan Perilaku Islami Anak Ditinjau dari Pengalaman Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN

STRATEGI PENDIDIKAN BAGI PEMBENTUKAN PERILAKU ISLAMI ANAK DITINJAU DARI PENGALAMAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 

Lydia Freyani Hawadi 

Disampaikan dalam Simposium Internasional tentang Pendidikan Anak “Pembentukan Perilaku Islam Anak Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN” Diselenggarakan oleh Universitas Al Azhar bekerjasama dengan Majelis al ‘Alimat al Muslimat Indonesia, di Kampus UAI – Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 8 Oktober 2015.

I. Masyarakat Ekonomi ASEAN 
Pengertian. Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau Pasar Bebas ASEAN sudah tinggal hitungan hari saja, 31 Desember 2015. Sejenak melihat kebelakang, pada tahun 2003, rentang waktu 36 tahun setelah terbentuknya ASEAN, 10 (sepuluh) pemimpin Negara Asia Tenggara bersepakat membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini akan berimplikasi bahwa Indonesia dan sembilan Negara ASEAN lainnya (Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja) akan menjadi salah salah satu kekuatan ekonomi kawasan di dunia. Hal ini berarti arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar dan tenaga-tenaga terampil menjadi lancar masuk dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Visi yang ingin diwujudkan oleh ASEAN adalah “Satu Visi, Satu Identitas dan Satu Komunitas”.

Tantangan dan Peluang MEA. Kekuatan Indonesia terletak pada jumlah penduduknya yang besar. Dari data populasi penduduk tahun 2015, 3,5% penduduk dunia berada di negara kita Indonesia yaitu 270.234.842 jiwa. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk keempat terpadat setelah Cina, India dan Amerika. Untuk kawasan Asia Tenggara jumlah keseluruhan penduduk di tahun 2015 adalah 633 juta jiwa, sehingga dapat kita simpulkan bahwa sebesar 42,65% kekuatan pasar MEA berada di Indonesia. Kekuatan Indonesia yang lain adalah penduduk dengan jumlah penganut agama Islam terbanyak di dunia. Dengan begitu, dari sisi agama yang dianut, Islam menjadi agama yang paling banyak dianut di ASEAN. Indonesia dapat berperan besar disini, menghadirkan wajah Islam dalam setiap sendi kehidupan manusia ASEAN sebagai suatu rahmatan lil alamin.

Selain penyusunan kurikulum pendidikan Islami di sekolah-sekolah, juga adanya regulasi tentang kemudahan, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah agama Islam di ruang publik. Indonesia dilihat sebagai negara dengan etnis yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 etnis dengan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Ini kekuatan Indonesia lainnya, walaupun berbeda-beda tapi satu. Anak Indonesia sejak dini telah ditanamkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dan di era MEA keberagaman ini menjadi bertambah, anak Indonesia tidak lagi hanya bergaul sebatas suku bangsa berikut adat dan kebudayaan Aceh, Batak, Minang, Melayu, Jawa, Sunda, Bali, Timor, Dayak, Bugis, Minahasa, Maluku, dan Papua saja. Mereka akan melakukan pertemanan dengan saudara-saudaranya sesama Negara ASEAN. Disini Indonesia berperan besar membangun unity in diversity ASEAN juga terhadap anak-anak Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja dengan identitas baru “Aku Anak Asia Tenggara”. Ruang kelas sekolah-sekolah ASEAN akan seperti kelas-kelas di Amerika saat imigran menyerbu Amerika dari belahan dunia manapun komposisi budaya di kelas berubah, disana ada Afrika Amerika, Asia Amerika dan Latino Amerika. Indonesia bisa menjadi lokomotif untuk berkembangnya pendidikan multikultural yaitu pendidikan yang mengangkat kesamaan pada peserta didik. Kemajemukan dalam etnis,bahasa, ekonomi, gender dan agama perlu diangkat dan menolak bentuk penolakan maupun diskriminasi dari hal-hal tersebut.

II. Pendidikan Berbasis Agama 
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mewujudkan manusia yang berkualitas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada fungsi sistem pendidikan nasional ini, maka pendidikan bagi generasi muda diupayakan memiliki wawasan luas disertai oleh jiwa spiritualitas yang tinggi, sehingga yang paling utama bagi pendidikan adalah bagaimana mencetak peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan memiliki pengetahuan yang luas.

Tujuan pendidikan nasional ini sejalan dengan gambaran manusia yang berkualitas dalam Alquran, diantaranya kalimat manusia yang beriman (Q.S. 49:14) dan beramal saleh (95:6), takwa (Q.S. 2:177), diberi ilmu (Q.S. 17:85), berakal (67:10), jiwa yang tenang (Q.S. 89:27-28) serta hati yang tentram (Q.S. 13:28). Dari sini jelas, bahwa karakteristik manusia yang berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Allah yang beriman, sehingga hanya kepada Allah bermunajat serta memberikan manfaat bagi sesamanya sebagai wujud dari iman kepada Allah SWT.

Dalam tujuan pendidikan nasional bahwa beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME ditempatkan pada posisi pertama, dan sudah menjadi aksioma umum bahwa hal ini hanya dapat terwujud dengan pendidikan yang berbasis agama. Karena pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia.

Ungkapan iqra’ yang mengawali penyampaian pesan-pesan ilahi kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana ungkapan tersebut bermakna tonggak utama dalam pencarian ilmu harus dikaitkan dengan Tuhan (iqro’ bismi Robbik). Hal ini berarti belajar, meneliti, membaca dan segala aktivitas pencarian ilmu lainnya mesti dimulai dari Allah. Hal tersebut juga menggambarkan betapa erat keterkaitannya antara pembelajaran dengan iman. Selanjutnya Yusuf (2013) menyebutkan ada empat inti pendidikan yang berbasis agama adalah sehingga ketakwaan dan kesalehan anak atau peserta didik akan terwujud, yaitu:

a. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia secara individu adalah makhluk Allah yang mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini;

b. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah anggota masyarakat dan mempunyai tanggung jawab dalam sistem kemasyarakatan dimana berada;

c. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan mengajak peserta didik memahami hikmah Tuhan menciptakannya, kemudian menjelaskan pula kepada mereka kemestian melestarikannya;

d. Memperkenalkan pencipta Alam dan mendorong mereka beribadah kepada-Nya.

Dengan demikian dapat dikatakan tujuan utama dari pendidikan berbasis agama adalah tauhid dan beribadah kepada-Nya. Maka setiap materi pembelajaran mesti mengarahkan peserta didik kepada tujuan tersebut. Tidak ada perbedaaan antara kajian-kajian keislaman dengan kajian yang lainnya dalam persoalan prinsip pembangunan akhlak serta ketundukan kepada Sang Pencipta. Semua materi pembelajaran termasuk tujuan pembelajarannya dirancang berdasarkan prinsip tersebut, hanya saja perbedaaannya adalah dalam masalah persoalan target kognitif, ketrampilan dan afektif keilmuan. Kognitif yang ingin dibentuk oleh kajian keislaman, misalnya berbeda dengan kognitif yang ingin dibangun oleh bidang studi biologi, demikian pula ketrampilan dan afektif keilmuan. Namun untuk persoalan afektif sebagai makhluk Tuhan mesti menjadi tujuan utama pembelajaran semua bidang studi.

Pendidikan sebagai suatu proses sekaligus sebagai lembaga yang melaksanakan proses tersebut bertugas membangun kepribadian manusia, yang meliputi daya pikir, perilaku, emosional dan pola interaksi dengan alam sekitar baik manusia maupun makhluk lainnya yang berpadu dengan iman dan akhlak mulia.

Maka dalam perspektif Islam, ranah tujuan afektif terbagi kepada dua hal yaitu afektif keilmuan dan afektif atau sikap kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan. Kompetensi kognitif dan afektif keilmuan dan ketrampilan mesti diarahkan kepada tujuan yang lebih utama, yaitu afektif keimanan atau kesadaran diri sebagai makhluk Allah dan dirinya sebagai suatu unsur dari sistem alamiah yang ada di sekitarnya. Kesadaran seperti akan melahirkan kesalehan, baik kesalehan vertikal maupun horizontal.

Terkait pembentukan perilaku Islami dalam era MEA, Indonesia bersama-sama dengan Malaysia dan Brunei Darussalam bisa saling sharing dari best practices tentang sejauh manakah impelementasi perilaku Islami sudah berjalan baik sekaligus introspeksi tentang hasil “Islamicity Index” yang dilansir periset dari George Washington University. Mengapa indeks Islami tertinggi diduduki justru oleh negara-negara non muslim, seperti New Zealand diperingkat nomor satu, sementara Indonesia harus puasa bertengger pada urutan ke 140. Indeks Islami ini menarik menjadi bahan kajian bersama para ulama di tiga negara ASEAN tersebut agar kedepan banyak hal yang kita pelajari tentang Islam bukan sebatas pengetahuan yang mengendap di otak anak-anak kita saja namun menjadi bagian perilaku keseharian mereka.

III. Strategi Pendidikan Bagi Pembentukan Perilaku Islami 
1. Strategi pendidikan dengan menggunakan classical conditioning, yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1920) dapat menjadi acuan pendidik. Ingat bahwa emosi dan sikap sama halnya materi pelajaran, dipelajari anak dalam kelas. Banyak reaksi-reaksi emosional kita yang terjadi dalam berbagai situasi merupakan sesuatu yang dipelajari bagian dari kondisioning klasik ini. Ada istilah diantara dokter-dokter “white coat syndrome”, tekanan darah pasien langsung naik saat di ruang pemeriksaan. Mengapa anak yang satu rajin sholat sementara anak lainnya susah sekali diajak sholat? Mengapa setiap ada guru mengaji datang langsung sakit perut? Sebaliknya harus dibentuk sikap begitu adzan berkumandang, anak-anak langsung wudhu dan bersiap sholat. Begitu terdengar guru mengaji mengucapkan assalamualaikum di depan pintu masuk rumah, anak sudah siap menyambut dan langsung mengaji.

2. Strategi pendidikan dengan mengkondisikan lingkungan atau operant conditioning dikembangkan oleh B.F. Skinner (1953). Menurut Skinner, suatu perilaku terjadi karena adanya dua set lingkungan yang berpengaruh yaitu anteseden dan konsekuen. Model belajar A-B-C ini (Antecedent – Behaviour- Consequence) dapat menjelaskan bagaimana kita dapat membentuk perilaku yang kita inginkan melalui suatu penguatan pemberian hadiah ataupun hukuman. Boleh disebut hal ini sebagai pendidikan dengan pembiasaan. Perilau-perilaku Islami yang ingin kita tanamkan pada anak seperti salim, masuk rumah menyebutkan assalamualaikum,sholat berjamaah, berpuasa, membaca doa usai sholat, membaca Al Qur’an saat usai subuh, dan lain sebagainya adalah hasil dari pembiasaan.

3. Strategi pendidikan dengan belajar dari pengamatan atau vicarious learning, dikembangkan oleh Albert Bandura (1965). Melalui percobaan boneka Bobo pada anak pra-sekolah, ia telah membuktikan bahwa we all may know more than we show. Ketiga kelompok subjek diajak menonton film boneka Bobo. Kelompok satu melihat model difilm diberi reward saat berlaku agresif, kelompok kedua melihat model diberi punishment saat berlaku agresif dan kelompok ketiga tidak diberikan konsekuensi apapaun saat melihat model berlaku agresif. Namun ketika anak-anak dalam kelompok ini dijanjikan akan diberi hadiah jika berperilaku agresif, mereka serta merta anak-anak kelompok ketiga ini mampu mendemonstrasikan perilaku agresif. Belajar melalui pengamatan bisa disebut belajar dari keteladan. Dalam Islam, keteladanan merupakan metode yang sangat sukses untuk mempersiapkan akhlak seorang anak, membentuk jiwa serta sosialnya. Sebab seorang pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak dan akan menjadi panutan baginya. Disadari atau tidak, sang anak didik akan mengikuti tingkah laku pendidiknya, bahkan akan terpatri kata-kata, tindakan, rasa dan nilainya di dalam jiwa dan perasaannya. Rasul Saw juga memberikan teladan ketika menyampaikan suatu misi kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, contoh hadis Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Istri beliau yaitu Aisyah RA. Ketika beliau mendirikan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak,lalu Aisyah berkomentar tentang perilaku Rasul SAW dalam sholat malamnya dengan katanya,”Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosa-dosamu yang lampau dan akan datang, tetapi kenapa ibadah sholat malammu sampai sedemikian hebat. Lalu Rasul SAW menjawab:”Apakah engkau tidak ingin melihatku sebagai hamba yang bersyukur?”. Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa Rasul SAW yang sudah dijamin diampuni semua dosa-dosanya yang lampau maupun yang akan datang oleh Allah, tetap masih saja memperlihatkan kesungguhannya dalam mendirikan sholat malam di hadapan istrinya. Hal ini tidak lain sebagai bentuk keteladanan Rasul SAW pada kita semua.

4. Strategi pendidikan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip teori belajar untuk mengubah perilaku, behavior modification. Pendidik dapat melakukan banyak hal agar suatu perilaku baik tetap bertahan, atau ingin membentuk perilaku baru dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Disini pendidik harus jeli memberi perhatian dan pemantauan terhadap akidah dan akhlak anak yang akan dibentuk, dengan menggunakan continous reinforcement schedule. Jadwal pemberian penguatan yang berlangsung terus menerus ini bisa dalam bentuk interval waktu, baik jangka waktu menetap tertentu ataupun waktu yang tidak ajeg. Kalau setiap guru mengaji datang anak mengaji, ia akan diberikan token . Setelah perilaku rajin mengaji terbentuk, tidak lagi diberikan setiap kali ia mengaji, namun bisa bervariasi dua minggu sekali atau sebulan sekali, dan seterusnya. Model lainnya, pemberian penguatan berdasarkan rasio, sejumlah surat yang anak hafal dalam jumlah tertentu atau berapa saja. Setiap anak baca Al Qur’an satu ain, anak memperoleh hadiah, kemudian setelah perilaku membaca satu ain ini terbentuk maka berikutnya pendidik bisa memberikannya setiap satu surat selesai, atau satu juz.

Hal yang perlu diperhatikan tentang strategi belajar adalah yang disebut production deficiencies (Pressley and Harris, 2006) yaitu dimana pembelajar mengetahui bahwa seharusnya, materi yang telah ia pelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya, namun ternyata tidak berjalan. Anak sebagai pembelajar tidak cukup hanya mengingat, memahami namun harus mempraktekkannya. (Woolfolk, 2010) menggaris bawahi ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, materi yang diberikan ke anak harus appropriate. Kedua, anak harus tahu tujuan dari pembelajaran tersebut. Ketiga, anak perlu diyakini bahwa usaha dan banyaknya hasil yang dipelajarinya akan berguna kelak bagi hidupnya kelak.

Kalangan constructivist lebih menekankan pada materi pembelajaran yang dapat digunakan, bukan pada banyaknya materi yang dijejalkan. Proses belajar konstruktif ini bisa berjalan baik jika konten pelajaran melekat pada lingkungan belajar yang realistik dan relevan. Sebagai contoh yang telah dilakukan banyak di sekolah-sekolah TK Islam, sebelum mulai masuk pelajaran anak-anak akan bersama-sama membaca doa menuntut ilmu; sebelum makan anak diajak membaca doa sebelum makan. Demikian pula anak diajar untuk menjadi anak yang sholeh sholeha dengan cara diajar berdoa untuk ayah ibu mereka.

Bagaimana peran keluarga? Keluarga merupakan institusi pendidikan terpenting, keluargalah yang pertamakali berinteraksi dengan anak sejak dilahirkan. Keluarga pendidik pertama dan utama anak, yang bertanggung jawab memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya agar kesucian yang dimiliki anak sejak lahir terjaga. Dan sebaliknya keluarga pula lah yang membuat anak menjadi seperti apa yang disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad SAW: “ Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (Hadits riwayat al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam mu’jamul kabir).

Hadist diatas ingin menunjukkan bahwa fitrah – kondisi- tersebut bukan sesuatu yang terwarisi. Hal ini rupanya sesuai dengan temuan yang dilakukan oleh banyak periset tentang hampir semua perilaku. Pertanyaan tentang perilaku seseorang dipengaruhi oleh hereditas atau lingkungan menjadi daya tarik periset untuk meneliti lebih jauh. Pertama, bukti-bukti kembar satu telur (monozygote) dan dua telur (dizygote) serta adopted children menunjukkan kuatnya pengaruh turunan. Namun kemudian ada hal lain dimana periset menemukan keterkaitan antara gen dengan disorder. Misalnya ada gen tertentu yang biasa ditemukan diantara orang dengan kondisi depresi. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh seberapa banyak gen dapat diasosiasikan dengan suatu kondisi? Bagaimana dampaknya? seperti kesepian (McGuire dan Clifford, 2000), neurotisism (Lake, Eaves, Maes, Heath dan Martin, 2000), menonton televisi (Plomin, Corley, DeFries, dan Fulker, 1990), dan sikap sosial (Posner, Baker, Heath, dan Martin, 1996). Tapi ada satu perilaku yang secara signifikan tidak mampu diwariskan (heritability) yaitu afilisasi terhadap agama- seperti Yahudi, Protestan, Katolik, Buddha (Eaves, Martin dan Heath, 1990).

Di era MEA dan secara umum dunia yang semakin terbuka dengan kecanggihan IT, maka anak dan kita belajar dengan mudah tentang apapun. Kemudahan ini bisa dimanfaatkan oleh kita, baik di rumah dan sekolah untuk mentransfer pengetahuan melalui media sosial, games, dengan pesan-pesan Islami yang diinginkan.

IV. Penutup 
Indonesia memiliki segudang kekuatan untuk siap menghadapi Pasar bebas ASEAN, namun juga sejumlah tantangan untuk bisa unggul ditengah negara-negara ASEAN lainnya. Hal yang utama terkait erat dengan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai Islami dan aplikasinya dalam kehidupan keseharian sehingga nilai-nilai perilaku Islami itu nyata. Pembentukan perilaku Islami harus mewarnai tidak saja di Indonesia tapi negara-negara ASEAN secara menyeluruh. Meskipun nilai-nilai Islami terbentuk dalam perilaku anak, orangtua tidak dapat berlaku taken for granted terhadap afiliasi religiusitas yang dianut anak. Mari gunakan secara maksimal kecanggihan IT untuk transfer pengetahuan nilai-nilai Islami.

Referensi 
Baron, R.A., Byrne, Donn and Branscombe, N.R.(2006).
Social Psychology. Boston : Pearson, Feist,J and Feist,G.J.(2009).
Theories of Personality. Boston: McGraw-Hill. Kalat, J.W.(2009).
Biological Psychology.Australia : Wadsworth. Woolfolk,Anita. (2010).
Educational Psychology. New Jersey : Pearson. Yusuf,K,M. (2013).
Tafsir Tarbawi (Pesan-pesan Alquran Tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia