MEMBANGUN MASYARAKAT MANDIRI SENSOR
Lydia Freyani Hawadi
Disampaikan dalam kegiatan sosialisasi Lembaga Sensor Film,
di Jakarta,pada hari Kamis, tanggal 15 Oktober 2015.
Sasaran Sosialisasi: Remaja
Pembahasan remaja merujuk pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1902-1994), yang menyebutkan bahwa ada 8 (delapan) tahapan perkembangan psikologis yang saling berurutan sepanjang hayat. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya. Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan yang dihasilkan dari interaksi antara proses-proses maturasi dengan tuntutan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Remaja merupakan tahapan perkembangan kelima, diawali pada usia 13 tahun dan berakhir pada usia 20 tahun. Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa, dimana terjadi interaksi antara proses pembentukan identitas (identity) vs kebingungan identitas (role confusion). Remaja bukan kanak-kanak, namun belum bisa juga disebut orang dewasa. Masa ini menurut Erikson adalah masa pencarian identitas diri. Masa dimana remaja menunjukkan pembuktian kemampuan dirinya dan butuh penyaluran energinya. Coba kita amati, tawuran kebanyakan dilakukan oleh remaja (anak SMP,SMA/SMK) bukan anak usia sekolah (SD). Kemudian kasus hamil diluar nikah, juga kebanyakan terjadi pada remaja. Hasil penelitian dari Universitas Indonesia dan Australian National University pada 2014 menunjukkan sebanyak 20,9% remaja putri Indonesia telah hamil di luar nikah. Begitu juga kasus menikah usia dini banyak terjadi pada remaja. Annual Review Unicef tahun 2014 yang menyebutkan satu dari empat perempuan di Indonesia menikah sebelum berumur 18 tahun. Belum lagi masalah Napza berdasarkan data BNN, tahun 2014 ribuan kasus penderita HIV/AIDS dalam kurun waktu 2005 hingga 2012, 45% penderita diantaranya adalah remaja.
Dengan demikian nyata bahwa remaja adalah sasaran strategis, karena Indonesia memiliki lebih dari 66 juta jiwa remaja, atau dua puluh lima persen dari jumlah penduduk Indonesia; artinya satu dari setiap empat penduduk Indonesia adalah remaja. Strategis bukan saja dari sisi kuantitasnya, namun juga dan harapan sebagai generasi emas Indonesia, kelak di tahun 2045 saat 100 tahun Indonesia merdeka, remaja inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Remaja adalah pemilik masa depan.
Film dan Nilai-Nilai Budaya
Secara generik film adalah satu seri gambar-gambar yang menetap, yang ditampilkan dalam layar; yang dihasilkan melalui pengambilan gambar (photographing) dengan kamera gambar bergerak (motion picture camera), dengan teknik animasi (animation techniques); dengan animasi computer (computer animation); ataupun kombinasi itu semua dengan efek-efek visual (visual effects). Ada juga yang menyebutkan, film sebagai hasil karya seni seseorang, yang mengkomunikasikan gagasan, cerita, persepsi, perasaan, keindahan atau atmosfirnya kedalam gambar-gambar yang diprogramkan terekam bergerak. Namun lebih dari itu film dapat dilihat juga sebagai suatu komoditas, suatu industri untuk menghibur orang-orang.
Film merupakan cultural artifacts, barang-barang hasil kecerdasan manusia yang terkait oleh suatu budaya tertentu. Jadi film merefleksikan suatu budaya, dan pada gilirannya nanti, mempengaruhi budaya. Film merupakan bentuk budaya yang sangat penting,suatu sumber hiburan terpenting, medium yang sangat powerful untuk memberikan pendidikan dan mengindoktrinasi penduduk. Dengan basis visual, suatu film dapat menjadi aktraksi popular yang mendunia setelah menggunakan dubbing, subtitles dalam terjemahan bahasa setempat.
Jika demikian halnya, maka film bukanlah sekedar film titik, tontonan titik namun dibalik adanya film kita mengamati ada sesuatu nilai-nilai (values) yang terkait dengan suatu budaya. Jika itu film Hollywood, maka yang kita tonton adalah budaya Amerika; jika itu film Bollywood, maka yang kita tonton adalah budaya India.Dalam lima tahun terakhir ini gelombang globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave (Hallyu) ini berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Korea pada abad 21 berhasil bersaing dengan Hollywood dan Bollywood dalam memasarkan budaya ke dunia luar. Berbagai produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion,hingga produk-produk industri mewabah dunia. Sebelum Korea, anak-anak kita sudah terlebih dahulu keranjingan manga (komik Jepang), anime, games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama).
Melalui film individu belajar tentang budayanya,dan juga budaya orang lain.Dampak positif yang diteliti film Barat oleh salah seorang penulis skripsi di IKIP PGRI Semarang dengan subyek mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris adalah pengucapan dan kosa kata mahasiswa yang sering nonton film menjadi jauh lebih baik. Pengaruh film sangat luar biasa. terlihat dari desain rumah, fashion, musik, dan life style dari budaya film yang dilihatnya.
Film dan Modeling
Betapa dahsyatnya suatu tontonan, yaitu apa yang dilihat oleh seseorang melalui film terhadap perilakunya,ditunjukkan oleh suatu percobaan dari seorang psikolog berkebangsaan Kanada Amerika. Albert Bandura memiliki passion meneliti kasus kenakalan remaja. Ia beranggapan bahwa lingkungan membentuk perilaku, dan perilaku membentuk lingkungan. Dengan konsep determinisme resiprokal, ia menggaris bawahi proses dimana lingkungan dan perilaku seseorang saling mempengaruhi. Dalam teori sosial kognitif yang dikembangkannya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) dan regulasi diri (self-regulation).
Melalui percobaan boneka Bobo pada anak pra-sekolah, Bandura telah membuktikan bahwa we all may know more than we show. Ketiga kelompok subjek diajak menonton film boneka Bobo. Kelompok satu melihat model difilm diberi reward saat berlaku agresif, kelompok kedua melihat model diberi punishment saat berlaku agresif dan kelompok ketiga tidak diberikan konsekuensi apapun saat melihat model berlaku agresif. Namun ketika anak-anak dalam kelompok ini dijanjikan akan diberi hadiah jika berperilaku agresif, mereka serta merta anak-anak kelompok ketiga ini mampu mendemonstrasikan perilaku agresif.
Berjalannya perilaku modeling agresif ini, menurut Bandura terjadi dalam empat tahapan yaitu mula-mula melalui perhatian (attention), kemudian berkembang menjadi ingatan (retention), dan diikuti oleh reproduksi (reproduction) serta dorongan (motivation). Keempat tahapan inilah yang terjadi pada ketiga kelompok Bobo doll experiment Bandura tersebut diatas, tentang perilaku agresi dan non-agresi pada anak; khususnya kelompok ketiga yang sama sekali tidak ada iming-iming hadiah, ataupun ancaman hukuman. Namun suatu saat, apa yang dilihat seseorang akan menjadi suatu perhatian yang akan diiingat dan mampu dilakukan karena ada dorongan masa lalu dan dorongan yang dijanjikan untuk melakukan model yang patut ditiru.
Lain Albert Bandura, lain pula Sigmund Freud (1856-1939). Freud, adalah salah satu psikolog besar yang teorinya sangat berpengaruh di dunia dan menjadikannya sebagai Bapak Psikologi. Melalui teori psikoanalisa,kita diingatkan bahwa pembentukan jiwa seseorang (human psyche) adalah dimasa kanak-kanak, yang mana pola-pola perilaku menetap konstan sampai maturitas. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni kesadaran (consciousness), prakesadaran (preconsciousness) dan ketidak sadaran (unconsciousness). Dan melalui konsepnya ini Freud menekankan bahwa alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku manusia.
Jika demikian halnya, dalam konteks seseorang menonton film maka kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa apa yang masuk dalam penglihatannya akan disimpan dalam alam bawah sadarnya. Dan sampai suatu saat ada momentum untuk muncul, hal-hal yang terpendam jauh tersebut akan dimunculkan keluar dalam bentuk perilaku.
Misalnya saja kita menonton film dimana di negeri Barat, untuk memanggil taksi. Di film diperlihatkan bahwa untuk mendapatkan taksi ada tempat tertentu yang tidak bisa sembarang tempat, namun ada tempat tertentu dan itupun harus mengantri dengan tertib. Moment ini menjadi atensi kita dan retensi disimpan dalam alam bawah sadar, sampai suatu saat kita di luar negeri kita mampu berperilaku tertib menunggu taksi. Walaupun kalau di Jakarta, kita bisa di sembarang tempat dimanapun kita mau untuk menyetop taksi. Banyak contoh lain yang bisa kita berikan dimana perilaku kita tanpa sadar merupakan hasil copy paste dari yang kita tonton, yang kita lihat. Film bisa memberikan inspirasi, untuk pembentukan perilaku positif maupun negatif, perilaku yang diterima maupun yang tidak diterima, yang baik ataupun perilaku yang buruk. Melalui film, suatu perilaku yang diinginkan ditiru, diimitasi oleh seseorang.
Sinergitas dan Hubungan Dialogis LSF
Film merupakan hasil kolaborasi dari berapa unsur, seperti produser, penulis skenario, sutradara, pemain film, penata rias, penata kostum, penata lampu, penata kamera, dan lain sebagainya. Jika kita setuju bahwa film mencerminkan suatu budaya maka pemahaman tentang budaya itu sendiri harus menjadi perhatian dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film. Dalam konteks film Indonesia, persepsi tentang budaya Indonesia diantara mereka harus sama. Pengetahuan, pemahaman, pengaplikasian tentang budaya Indonesia harus sejalan. Misalnya, untuk menanamkan semangat cinta Indonesia, semangat bela negara maka film Indonesia harus menunjukkan bagaimana impelementasi cinta negara dan bela negara dalam kesehariannya. JIka kita beranggapan bahwa penanaman pendidikan multikultural penting bagi anak-anak Indonesia maka film-film Indonesia harus mengusung pluralitas budaya Indonesia, bhinneka tunggal ika harus tercermin di dalamnya.. Tampilkanlah adat istiadat, kebiasaan, ritual, tarian, bahasa, kostum sebagai cermin dari kekayaan budaya Indonesia sebagai bagian yang terintegrasi dalam kehidupan keseharian tokoh-tokoh di film sebagaimana halnya hal tersebut ada berkembang di tengah masyarakat.
Di samping budaya, film harus peka terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat misalnya, akhir tahun ini ada hal penting yang akan kita rasakan dampaknya bagi kahidupan berbangsa bernegara kedepannya. Indonesia dan 9 negara ASEAN lainnya akan menyongsong MEA. Hal ini perlu menjadi perhatian insan perfilman Indonesia. Indonesia sebagai negara terbanyak penduduknya di ASEAN dan negara muslim terbesar di dunia akan menjadi pemeran penting. Bagaimana warna Islami yang ingin diusung dan pembentukan karakter Islam pada generasi muda yang saat ini disebut Generasi Z ini bisa berjalan baik. Dinamika generasi Z yang ditampilkan tidak hanya sosok yang sibuk dengan gadget saja, tetapi karakteristik mereka sebagai pemilik hobi dan passion yang besar perlu diangkat. Cerita sukses dari sosok generasi akan mejadi inspirasi dan jalan pintu-pintu sukses sosok-sosok lainnya.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film dalam pasal 6 mempunyai tugas :
a. Melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
b. Melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklam film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.
Menurut saya peran LSF bukan sekedar tukang sensor, tukang yang membuat klasifikasi. Keberadaan LSF sebagai unit dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai peran strategis dan besar untuk suksesnya tercapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mewujudkan manusia yang berkualitas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada fungsi sistem pendidikan nasional ini, maka pendidikan bagi generasi muda diupayakan memiliki wawasan luas disertai oleh jiwa spiritualitas yang tinggi, sehingga yang paling utama bagi pendidikan adalah bagaimana mencetak peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan memiliki pengetahuan yang luas.
LSF harus berpijak pada tujuan pendidikan nasional ini. Film-film yang dibuat dan beredar bagi masyarakat khususnya anak, anak usia sekolah dan remaja harus mempunyai muatan tersebut diatas. Disini peran dialogis LSF terhadap pihak-pihak perfilman diatas, dimana sebelum film dibuatkan skenarionya oleh seorang penulis skenario, si penulis skenario sudah diarahkan dulu, disuntikkan nilai-nilai ke Indonesiaannya. LSF harus memiliki regulasi diri (self-regulation) dan keyakinan diri (self-efficacy) untuk menjalankan fungsi dan tugasnya. Untuk itu dalam kegiatan LSF, pelatihan-pelatihan untuk semua pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film seperti disebutkan diatas harus ada.. LSF juga melakukan evaluasi setiap akhir tahun, melihat kinerja film yang dihasilkan apakah sesuai dengan perencanaan awal. LSF bisa memberikan nilai rapor pada produser film. Mereka yang terlibat dalam pembuatan film harus ada sertfikasi, sehingga film yang beredar sudah jelas kualitasnya.
Misalnya, dalam konteks seminar kita pagi menjelang siang ini menarik jika LSF bisa menjelaskan trend dalam 5 tahun terakhir ini tentang besarnya persentase film yang dihasilkan untuk remaja, termasuk tema-tema yang diusung untuk membantu tugas perkembangan (developmental task) seorang remaja. Remaja dalam tahap mencari identitas diri, jati diri mereka. Mereka berada bukan dalam ruang hampa, namun hidup dalam sistem ekologi. Meminjam teori Urie Bronfenbenner, individu hidup dalam sitem makro yang terkait dengan sitem messo dari nilai-nilai pembentukan orangtua, teman sebaya, tetangga kampung maupun sekolahnya. Hal ini semua berkait erat pula dengan sistem makro, dimana mass media, sitem ideologi, politik, sosial dan ekonomi berpengaruh. Akhirnya kejadian-kejadian yang ada dalam hidup seseorang juga berpengaruh terhadap apa jadinya seseorang itu. Anak-anak remaja yang masuk dalam generasi Z, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan saat orangtua mereka dibesarkan. Perkembangan IT yang sangat canggih dan kemudahan memperoleh, menggunakannya membuat mereka terpapar dengan berbagai banyak informasi yang mereka mau. Mereka tinggal klik apa yang mereka butuhkan dan inginkan untuk ditonton.
Kendali ada ditangan mereka. Dan ini hasil binaan didikan bertahun-tahun sejak kecil. Kolaborasi orangtua dengan lingkungan sangat penting. Tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak, orangtua saja atau sekolah saja maupun masyarakat saja. Ibarat orchestra, suara satu instrument satu dengan lainnya harus harmonis sehingga memunculkan suara yang merdu, tidak fals atau nyelonong keluar.
Swa Sensor (Self-Censorship)
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No,18 Tahun 2014 Tentang Lembaga Sensor Film, Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan ke dalam usia penonton film sebagai berikut:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Jika dibandingkan dengan Motion Picture Association of America Sejak tahun 1990 klasifikasi rating film yang dilakukan oleh MPPA (Motion Picture Association of America) terdiri dari :
G – General Audiences (Semua umur. Dan tidak ada hal yang membuat orangtua bersikap menentang tontonan)
PG – Parental Guidance Suggested (Ada materi film yang tidak cocok untuk anak dan orangtua harus menjelaskannya pada anak).
PG-13 – Parents Strongly Cautioned (Materi film belum cocok untuk anak usia pra remaja. Orangtua diminta waspada)
R – Restricted. (Materi orang dewasa. Dibawah usia 17 tahun, orangtua atau orang dewasa diminta untuk mempelajari materi film sebelum memutuskan mendampingi anak untuk ikut menonton
NC-17 Adults Only. (Hanya untuk orang dewasa. Anak-anak dilarang menonton. Usia 17 tahun dan dibawahnya dilarang keras menonton).
Dengan adanya pengklasifikasian ini sebenarnya sudah jelas siapa usia berapa yang boleh menoton film. Swa sensor merujuk pada diri sendiri. Penyesor adalah diri sendiri. Berarti disini perlu ada motivasi, komitmen, dorongan untuk patuh taat pada regulasi yang ditetapkan.
Penegakan hati nurani individu, dalam hal ini pihak otoritas yaitu orangtua, guru dan orang dewasa lain di masyarakat sangat berperan .Segenap pihak dan masyarakat harus mendukung PP no,18 tahun 2014 ini jika ingin menyelamatkan masa depan generasi muda Indonesia. Swa sensor tidak serta merta namun dibentuk secara step by step. Dari sisi kelembagaan tahap pertama perlu ada persepsi yang sama dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan landasan pijak yang sama tentang fungsi, tugas dan wewenang dari Lembaga Sensor Film. Pemahaman yang sama membawa ke tahap selanjutnya yaitu dalam aplikasinya, bagaimana menjalankan secara praktis dari fungsi, tugas dan wewenang dari Lembaga Sensor Film.
Sedangkan dari sisi individu swa sensor mengacu pada perbuatan moral yaitu baik dan buruk. Perkembangan moral anak menurut Kohlberg (1927-1987) sejak dini bergantung pada role model yang secara regular melakukan kontak sosial dengan dirinya. Pola-pola interaksi yang terjadi dengan teman sebaya dan masyarakat tidak beda jauh dengan yang terjadi dalam keluarga. Perkembangan moral ini terjadi bertahap dan pada setiap tahap individu dihadapkan dengan dilemma untuk diambil keputusan. Untuk masa remaja, swa sensor sudah dapat dijalankan mengingat pada tahap ini perkembangan moral sudah mencapai tahap post-conventional sejalan dengan perkembangan kognitif nya yang berfungsi pada tahap operasi formal dan remaja sudah memiliki kontrak sosial dan komitmen interpersonal untuk menjalankan perilaku baik, tunduk pada hukum yang berlaku.Swa sensor tidak membutuhkan reward dan punishment, namun lebih kepada Bagaimana individu dapat berfungsi baik sebagai individu.