Sabtu, 26 Februari 2022

Two thumbs up for you

Oleh: M. Ismail Akbar

Awalnya saya kenal, Reni Hawadi namanya. Setelah berlanjut menjadi adik ipar, Reni menikah dengan adik saya Zulkifli Akbar yang lebih bekend dengan panggilan  Idjul Akbar, sebutan nama Reni pun  berubah. Ia pun menjadi dikenal publik dengan nama Reni Akbar-Hawadi.  Boleh dikatakan Reni cinlok dengan Idjul temannya sesama Fakultas Psikologi UI. Mereka sudah dekat sejak mahasiswa dan selalu bersama-sama dalam berkegiatan di kampus. Setahu saya  keduanya aktivis UI. Reni menjadi pacar Idjul satu-satunya, karena praktis di setiap acara keluarga besar, hanya Reni lah yang dibawa oleh Idjul. Mereka menikah setelah berpacaran enam tahun dan setahun setelah Reni diwisuda menjadi Sarjana Psikologi.

Saya cerita sedikit tentang  adat Minangkabau. Ibunya Reni orang Minang Asli. Kita ketahui bersama  Minangkabau menganut sistem Matrilineal, sehingga  hal inilah yang membuat acara lamaran adik saya Idjul menjadi istimewa dibandingkan saya. Istri saya orang Sunda, jadi  acara lamaran dilakukan mengikuti adat Sunda yaitu laki-laki melamar pihak perempuan.  Nah.. untuk  Idjul ini, acara meminang dilakukan oleh pihak perempuan ke pihak laki-laki.  Keluarga besar Ibu Reni yang berasal dari Alang Lawas masih sangat  teguh memakai tata cara adat Minangkabau. Urutan acara dalam adat Minang untuk melamar diikuti sepenuhnya mulai dari maresek, maminang, batukar tando, serta baretong dan manuak hari. Utusan  dari pihak keluarga mami Reni, yaitu ninik mamaknya ternyata telah mengenal sangat baik dengan orangtua kami. Saya masih ingat dari cerita yang disampaikan, yaitu saat zaman Jepang mereka evakuasi dari Padang ke Painan. Di kota Painan inilah perkenalan terjadi, saat papa kami, Dr.H. Ali Akbar menjadi dokter setempat.

Reni berkarir sebagai PNS, dosen di almamaternya UI sedangkan Idjul menjadi PNS di Pusdiklat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).  Sambil berkeluarga  Reni juga konsisten dengan pilihan hidupnya bekerja sebagai dosen. Ia sangat paham bahwa  harus terus melanjutkan pendidikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan. Pendidikan S2 ditempuh Reni sambil mengandung anak ketiganya, Ardha Renzulli Akbar dan  begitu juga dengan saat melanjutkan program doktor Reni tengah mengandung anak keempatnya, Poeti Nazura Gulfira Akbar. Demikian seterusnya hingga Reni bisa  mencapai jenjang jabatan fungsional akademik tertinggi Profesor di Universitas Indonesia... ck..ck..ck.. sebuah capaian yang luar biasa, bagi saya yang juga berkiprah didunia pendidikan... Two thumbs up for her! Alhamdulillah.

Hal lain yang juga saya kagumi dari Reni, sudahlah begitu sibuk hari-harinya di dunia pendidikan selaku staf pengajar maupun psikolog praktek, namun soal keluarga Reni tidak abai mengurus enam anaknya. Keseluruhan tiga pasang anaknya  (Reni Idjul memiliki tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan) terurus baik hingga masing-masing anak dapat  menamatkan pendidikan tingginya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bergengsi.  Alhamdulillah...

Saya juga mengagumi melihat bagaimana Reni mengantar empat anaknya hingga jenjang pernikahan. Reni mengurusnya semua sendiri, hingga tetek bengek soal penataan ruang resepsinya, menu, pengisi acara dan lain sebagainya hal-hal detil tidak luput dari perhatiannya. Ini semua menjadi sebuah kepuasan sendiri baginya.

Dilain hal, di era pemerintahan Presiden SBY, Reni diberi kedudukan eselon 1a selaku Direktur Jenderal PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I.. yaa Reni menjadi  pejabat negara. Kesibukannya meningkat sering wara wiri keliling daerah Nusantara NKRI, banyak kabupaten/kota, provinisi telah dijelajahi Reni sebagai bagian dari pengabdiannya pada bangsa dan negara untuk memenuhi target yang ingin dicapainya Satu Desa Satu PAUD. Kelihatannya enak... melelahkan tentuuuunya…

Hal lain yang saya kagumi dari ipar saya ini, Reni termasuk etikanya dalam mempererat persaudaraan,  jauh dimata dekat dihati. Misalnya, ia  berkirim rempeyek se”blek" (sebutan kaleng yang dibuat dari seng untuk menyimpan makanan kering) kata orang Betawi.  Supir mengantarnya  menjelang puasa  ke kami   delapan  bersaudara kakak, adik ipar dari suaminya dan tanpa harap kan balasan. Begitulah caranya tersendiri.

Tak terhitung nilai positif yang kami rasakan darinya dan Idjul, tak cukup kata terucap, berlembar-lembar kertas kurang rasanya untuk menuliskan kebaikan dari Reni, walau pasti ada kurangnya namun tak seberapa. Semoga sukses berlanjut adikku Prof.Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.Si.,M.M., Psikolog beserta  suami tercinta Drs. H. Zulkifli Akbar, M.Si.Psikolog dan seluruh anak mantu cucu,  do'a kami sertakan untuk kalian. Aamiin ya Rabbal’Alamin.

Sangat Rajin Belajar dan Giat Berorganisasi

Oleh: Rio Sarwono

Saya sudah mengenal beliau sejak SMA, karena satu sekolah dengan dua kakak saya dan satu adik saya di SMA Santa Ursula. Waktu itu saya pacaran dengan Siska, adik Reni yang paling cantik. Alhamdulillah menjadi  istri saya sampai sekarang, dan memberikan tiga anak serta tujuh cucu. Sebagai anak sulung dari enam adik, Reni tampak diandalkan oleh mami terlebih setelah papi wafat. Saya hanya sempat sebentar mengenal papi Doelli Hawadi, mertua saya, kalau tidak salah baru tiga bulan pacaran dengan Siska.  Saat  ditinggal papi, Reni baru kelas 3 SMA namun  ia sudah diberi tanggung jawab besar oleh mami untuk mengurus semua adik-adiknya maupun hal-hal lain berkaitan dalam pekerjaan mami sebagai pengusaha konveksi.

Sepengamatan saya sejak SMA itu Reni sudah terlihat sangat-sangat rajin belajar, sehingga menjadi juara terus di kelasnya. Kerajinan belajarnya itu diteruskan hingga mahasiswa, sehingga dengan mudah mendapatkan beasiswa untuk pendidikannya baik di jenjang S1, S2 dan S3. Namun Reni bukan anak yang hanya melulu belajar di dalam rumah karena Reni itu juga suka berorganisasi. Semasa mudanya Reni sangat giat berorganisasi, baik di kampus (Senat Mahasiswa, BPM dan Dewan Mahasiswa)  maupun di lingkungan rumah (Karang Taruna). Setelah lulus perguruan tinggi bahkan sudah berumah tangga Reni masuk dalam banyak organisasi seperti Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI POLRI (FKPPI), Himpunan Wanita Karya (HWK), SOKSI, Kowani, dan lain-lain. Karena kepandaiannya, maka dalam semua organisasi itu beliau selalu dipilih menjadi pengurus.

Bagi Reni, organisasi itu bisa jadi hanya ajang bergaul saja, bagaimanapun Reni tetap menomor satukan karirnya sebagai dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jadi saya tidak heran, ditengah kesibukannya berorganisasi dan  membesarkan keenam anaknya, Reni berhasil menyelesaikan gelar Doktornya di usia dibawah 40 tahun. Bahkan  saya salut saat Reni meraih gelar Profesor yang merupakan gelar jabatan fungsional tertinggi dalam dunia pendidikan. Artinya Reni berhasil mencapai puncak karier dalam  pekerjaan dosen  yang dia tekuni sejak  muda. Saya pun ikut bahagia bahwa dalam keluarga saya mempunyai tiga orang, yaitu  kakak kandung dan kakak ipar yang mempunyai gelar Profesor.

Salah satu keberhasilan Reni yang membanggakan keluarga  besarnya adalah ia menjadi wanita pertama yang menjadi  Direktur Jenderal PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (sekarang disebut Ditjen PAUD dan Dikdasmen). Capaian ini boleh diacungin jempol, karena jabatan Dirjen itu adalah jabatan Eselon 1, satu tingkat di bawah Menteri. Dan jabatan itu sama dengan jabatan almarhum ayah saya yang menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan R.I. (sekarang disebut Kementerian Pertahanan R.I.). Semoga semua hal baik yang pernah dikerjakan dan diraih Reni dapat diikuti bahkan dilampaui oleh putera-puteri dan menantu-menantunya.

RENI TEMAN TARI JAWAKU

Oleh: Mardiati Nadjib-Hadiyin Rifai |Guru Besar Universitas Indonesia

Mengenang kepingan kenangan masa kecil yang menyenangkan meski sudah lebih dari setengah abad lalu tetap saja melekat dan bersyukur. Punya lingkungan dan teman sobat kecil yang baik pasti melekat di kenangan. Reni teman kecil ku..seperti apa yaaa sosok yang bernama lengkap Lydia Freyani Hawadi jaman dulu?

Orangtua kami bekerja di PT Sepatu BATA, yang area pabriknya kala itu berada di Kalibata, Jakarta Selatan. Kalau dilihat dari sejarahnya  BATA  di Indonesia  sudah ada sejak tahun 1931…yang jaman dulu terkenal banget sepatunya ya... Saya ingat pernah ibu Hartini Soekarno dan putra-putranya Taufan-Bayu kunjugan ke pabrik sepatu BATA. Masa itu bisnis belum seheboh sekarang... jumlah penduduknyapun sepertinya separuh dari jumlah penduduk sekarang ini. Jakarta nyaman, quiet menyenangkan, udara bersih bebas polusi,  ke sekolah pun -SD Waringin- aku berjalan kaki. Namun saat itu rasanya dari rumah ke kantor bapak ku di Kalibata jauhhhhh banget hehehe....

Tidak jauh dari pabrik PT Sepatu BATA, selanjutnya ku singkat BATA saja ya.. melewati rel sedikit ada perumahan untuk para pimpinan/direksi. Di lingkungan BATA ini saya ingat memiliki teman bermain di rumah yang seru.. ada putra putri om-tante Kunto, yang seumuran aku namanya Yuni (Sri Yuni Kuntari) ...ada putri om Sumampauw  (Karen ya kalau ngga salah)... Dan kenalan aku bertambah saat ada nasionalisasi perusahaan asing..Untuk BATA, pemerintah menunjuk Kepala Kuasa Usaha nya adalah  Bapak Doelli Hawadi, seorang tentara. Om Hawadi begitu saya memanggilnya  memiliki putra-putri nahhhhh neng Reni satu ini yang sepantaran saya. Dari saat kenal sudah kelihatan “beda” hehe.. Reni itu berani, supel, smart...

Walau ortu Reni tidak menetap tinggal di kompleks Kalibata, namun ortunya disediakan rumah dinas. Dan secara berkala saat para direksi  berkumpul di rumah dinas Om Hawadi, aku diajak Bapak Ibu juga…sehingga bisa  ketemuan di Kalibata dengan anak-anak sebayaku. Biasanya anak-anak bermain  dan berenang di kolam renang yang memang ada di town house  rumah dinas BATA. Berasa mewah lo saat itu....Pikir pikir kita dulu itu dalam lingkungan kecil yang akrab ya Ren.... Belum lagi sesekali ortu kita naar bovend ke villa BATA di Puncak..waah tambah asik! Kami naik mobil masing-masing, masih ingat Reni dan adik-adik naik mobil kalau ga salah Impala yaa (aku coba googling Ren..untuk tahu persis) dan aku beserta keluargaku naik mobil Holden yang belum pakai AC sehingga kaca jendela harus selalu terbuka.  Perjalanan puncak terasa jauuuuh..kami melewati Cililitan terus ke jalan raya Bogor..dan berhenti sejenak di Bogor Permai untuk minum dan makan jajanan khas Bogor. Setelah cukup istirahat perjalanan dilanjutkan…Kami melewati Istana Bogor dan sebagai anak kecil seneng sekali  rasanya melihat banyak rusa  di halaman Istana. Aku masih ingat saat jalan kaca mobil sengaja kubuka untuk merasakan semilir angin  dari udara sejuk Puncak (aku googling lagi, suhu udara di Puncak rata-rata 14-20 derajat Celcius).

Villa BATA kalau tidak salah ingat berada diatas, mungkin di Cipanas.. masih penuh dengan deretan pohon-pohon Cemara. Begitu sampai  kami masing-masing menju bungalow yang disediakan untuk setiap keluarga. Fasilitas villa boleh dikata cukup lengkap. Ada permainan  meja soccer kayu, karambol, meja pingpong…dan juga kolam renang. Aku kakak beradik, bersama kamu dan adik-adik kamu Nita dan Siska, juga Yuni  bersama dua adiknya tidak sabar untuk berenang sementara orang tua kita memilih menikmati jagung bakar sambil ngobrol. 

Ada satu pengalaman bersama Reni yang tidak terlupakan adalah belajar menari bersama  dengan guru Bapak dan Ibu Sampan Hismanto, guru tari Jawa yang terkenal saat itu... Kayaknya peran aku dan kamu Ren.. itu jadi kijang-kijang kecil hehe  dan ada tante mbak cantik yang jadi kijangnya…Oia di kedua  pergelangan kaki  kami dipakaikan kerincingan klintingan tembaga lonceng (kalau aku googling, disebutkan  ukurannya 1,5 cm dan biasa disebut  kerincingan klintingan Unyil). Jadi setiap kali  kami berdua bergerak akan  terdengar suara nyaring kerincingan klintingan dari pergelangan kaki kami. Suara  kerincingan klintingan ini menambah semarak suasana  di tengah suara demung, saron, gambang, kendang, bonang dan gong dari gamelan.

Boleh dikata kami waktu kecil memang sering diajak pentas Ramayana…Di Istora pernah juga.. Ingat-ingat lucuuu yaa menari Jawa jadi kijang kreasi pak Sampan, hitung-hitung olah raga dengan melenturkan badan dan mencintai budaya Jawa.... Sampai sekarang saya suka lo Ren dengar gending Jawa, ingat almarhumah Ibu yang  konsisten menyemangati (setelah nikah dengan urang Sunda sadar deh  gending Sunda juga ternyata indah juga,, juga gending Bali... pokoknya Indonesia kaya budayanya).... Inget ya Ren..latihan narinya sering di kantor IDI Menteng.. Kamu tuh Ren rajin dan semangat ...kalau hari Minggu pas latihan sudah siap-siap di pinggang mengikat selendang tari…. Ternyata sampai sekarang memang begitu modelnya kamu ya Ren hehehe..

Lucunya, ternyata profesor satu ini kok ya nikah dengan teman SMP saya, Ijul hehehehe.... Beneran ngga nyangka ketemu lagi dengan Reni puluhan tahun kemudian sudah jadi orang pula.... saya panggil Reni, wong seumuran adik saya Amal Fuadi, kayaknya mereka juga termasuk yang gaul deh, ngga seperti saya yang cenderung “ngumpet’ hehehe.... Tante Hawadi saya ingat cantik, rapi dandannya, baik, sedangkan om Hawadi itu serius ya, nah anak-anaknya terbukti berpendidikan dan sukses.. Sampai sekarang Reni dan Ijul Alhamdulillah teryata ngga lupa sama kami teman masa kecilnya.. Sukses selalu ya Ren, sehat, bahagia dengan keluarga, semoga Allah memberi karunia usia barokah, selamat dunia akherat.

 

Kamis, 24 Februari 2022

Kenangan Belajar Dari Mbak Reni

Oleh: Natalia Indrasari MA, MS, LMFT, IADC | Alumni Fakultas Psikologi UI yang bermukim dan berpraktek di Des Moines, Amerika Serikat

Pertama kenal mbak Reni itu sekitar tahun 1993/1994, Ketika Lia baru jadi mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Namanya anak baru, kan, setiap mengambil mata kuliah, suka tanya-tanya ke kakak kelas tentang bagaimana kelasnya, bagaimana dosennya, dan lain sebagainya supaya bisa siap-siap. Nggak terkecuali ketika mengambil kelas Psikologi Pendidikan I. Ada beberapa dosen yang mengajar mata kuliah itu, salah satunya Mbak Reni Hawadi.

Dengar-dengan dari kakak kelas, katanya mbak Reni itu galak. Beberapa pesan dari kakak kelas, dan di wanti-wantiiii banget sebelum mengambil kelasnya mbak Reni: “Hati hati sama mbak Reni” katanya, “Kuliah sama mbak Reni nggak bisa ngasal, jangan pernah ngobrol dikelas kalau nggak mau disuruh keluar”. “Harus tepat waktu kalau masuk kelas dan mengumpulkan tugas, bisa gak boleh masuk (jadi diitung absen)dan gak akan dikasih perpanjangan”. “Harus rapi kalau mengerjakan tugas dari mbak Reni, kalau beliau nggak berkenan, itu paper bisa dikembalikan dan harus diulang”, dan lain sebagainya. Pokoknya typical dosen killer gitu lah kesannya.

Perasaan Lia waktu dengar pesan itu, terus terang malah merasa tertantang, “Masa iya sih, segitunya?” gitu. Ketika kelas mulai, bener aja, emang galak. Hihihihi. Mbak Reni kalau bicara di kelas itu saklek. Iya iya, nggak, nggak. Nggak pakai basa basi dan nggak belok-belok. Memang kalau sekelewatan, nada bicaranya terdengar ketus, judes gitu. Kaya nggak ramah. Tapi if you really listen, kalau disimak, mbak Reni itu sebenarnya lucu kalau menerangkan. Banyak humornya, rada sarkastik memang, mungkin itu makanya nggak banyak yang ngerti. I love sarcasm, so I enjoyed it. Jadi seneng sih kalau mendengarkan mbak Reni menerangkan. Teges, tapi very clear, dan mbak Reni itu memang super organized. Jadi memang kayanya nggak seneng kalau sesuatu itu nggak rapi atau nggak teratur gitu. Beliau bisa ngomel panjaaanggg banget kalau ada yang nggak beres. Mungkin itu yang ditakutkan oleh banyak mahasiswa nya. Padahal sih, kalau di dengarkan omelannya itu, beliau itu sebenarnya banyak banget ngasih masukan, royal banget feedbacknya. Kalau di kerjakan sesuai saran dan masukannya, sebenernya kita, mahasiswa juga kok yang beruntung, jadi tahu dan bisa mengerjakan sesuatu secara benar dan paripurna. Jadi kalua buat Lia pribadi si, Lia lebih senang dosen seperti mbak Reni, kan namanya masih belajar ya, kita nggak di expect untuk bisa atau tahu semua. Ke tahun-tahun berikutnya kalau ada adik kelas nanaya gimana mbak Reni, Lia bilangnya, be open minded, gausah sok tau, dan gausah pake dibawa ke hati, didengerin aja yang banyak, karna mbak Reni mau mahasiswanya maju.

Satu hal lagi yang Lia suka tentang cara mbak Reni mengajar adalah, beliau itu banyak bertanya pertanyaan terbuka, kita disuruh mikir, memang untuk ngecek juga kan, apa kita baca bahan dan mendengarkan. Mbak Reni itu senang menantang mahasiswanya berpikir kritis dan kreatif. Kalau ada jawaban mahasiswanya yang “nggak biasa”, atau kata orang jaman sekarang “thinking out of the box”, mbak Reni itu malah terlihat senang sekali, she entertained the thought, nggak langsung di shut down gitu, dan saat mendengarkan ide-ide ajaib itu beliaunya bisa ketawa lepasss banget, kaya hepi banget, gitu. Sempat beberapa kali pas selesai kelas, kakak-kakak kelas suka nanya, “Itu tadi mbak Reni Hawadi yang tadi ketawa? Kok bisa?” gitu. Mungkin Angkatan Lia memang berisi anak-anak ajaib, yang emang pikirannya agak-agak aneh. Tapi ini malah membuat mbak Reni kayanya jadi very interested dalam melibatkan kami-kami di project-project beliau.

Awal-awalnya beliau suka menawarkan, ada nggak yang berminat mengerjakan data entry hasil penelitian, karna mbak Reni sering bikin penelitian. “Ada upahnya” Kata mbak Reni, “Kita fair-fair an aja, segini per entry, tapi formatnya harus begini dan dikumpulkan tanggal segini, jam segini, nggak boleh telat”. Yah namanya mahasiswa kan, seneng aja kalau bisa dapat uang jajan tambahan. Jadi disitu Lia dan beberapa teman mulailah banyak ikutan dengan projectnya mbak Reni.

Selain terlibat di penelitian, ada lagi kegiatan mbak Reni yang Lia ikut terlibat didalamnya. Sekitar tahun 1996/ 1997 mungkin ya, udah tingkat 3 atau 4 ceritanya, Lia udah banyak mengambil mata kuliah pilihan di masa itu. Salah satunya kelas keberbakatan, yang diajar mbak Reni. Lia dan salah satu sahabat Lia, Cida namanya, sama-sama mengambil kelas ini. Banyak tugas-tugas di kelas keberbakatan, salah satunya bikin tulisan tentang keberbakatan dan leadership, dan belajar membuat module training. Setelah kelas selesai, mbak Reni menawarkan, “Ini ada project Lab School dan TNI Angkatan Laut buat pelatihan kepribadian dan kepemimpinan remaja saat libur sekolah, mau bantuin nggak, ada upahnya” kata mbak Reni, ya mau banget laah mbaaaak. Tertariknya bukan hanya ada upahnya, tapi kan ini kesempatan untuk menguji apakah module yang di buat di kelas waktu itu bisa diaplikasikan apa nggak. Di project itu, Lia dan Cida adalah anak bungsu, karena kakak-kakak kelas yang diikut sertakan mbak Reni itu rata-rata Angkatan 1989, 1990 dan 1991 yang kebanyakan sedang mengambil stasis buat jadi Psikolog. Kita buat modul pelatihan lewat menggunakan permainan dan aktifitas yang fun, very experiential dan hands on. Hepi banget ngerjain project itu. Sering ketemu untuk bikin bahan pelatihan dan ahirnya adalah menjalankan modul itu di kapal Angkatan Laut. Kita dibawa berlayar ke perairan sekitar Kepulauan Seribu, sempat docking ke salah satu pulaunya, untuk menjalankan aktifitasnya di pulau. Seruuuu banget. Kita belajar banyak sekali soal ini, yang berguna banget di pendidikan Lia selanjutnya, dan juga di pekerjaan Lia sekarang-sekarang ini.

Nah, hal lain yang berkaitan dengan cari-cari tambahan uang jajan, dan kadang dalam rangka penggalangan dana Psycamp (Lia selalu jadi ketua seksi konsumsi dari tahun 1994 sampai lulus), Lia dan beberapa teman tuh suka membuat acara bazaar di kampus, jualan makanan dan kerajinan. Dosen-dosen, termasuk mbak Reni suka beli, namanya mau bantu mahasiswanya, kan. Mbak Reni saking seringnya beli, jadi ngasi ide, “Kalian bikin kaya menu kek, apa aja yang di jual, gitu, harganya berapa, jadi kalau mau pesen gampang”. Ya jadi lah kita bikin rotating menu, tergantung mood yang pingin masak, hehehe. Mbak Reni pesanan favoritnya itu brownies, strawberry cake, pastel tutup, dan macaroni schotel. Pesen biasanya buat acara pengajian, atau kumpul-kumpul apa gitu, mbak Reni kan aktif di banyak organisasi.

Ini ceritanya pernah mbak reni pesan cake untuk acara pengajian sebelum beliau pergi Haji. Mbak Reni itu orangnya kan blak blakan gitu ya, jadi kalau pas pesen, ya pake dicerewetin dulu, “Ini bisa dianter nggak? Saya perlu segini porsi, udah dipotong-potong ya, ini saya ada kotakan pesan dari tempat lain, bisa nggak di kemas yang bisa langsung dimasukkan ke kotak yang sudah ada? Hari ini, jam segini, dianter ke sini”, dan seterusnya. Kata mbak Reni “Yang saya bayar itu bukan hanya produknya ya, tapi juga service nya, profesionalitasnya saya mau liat.” Wah, saking takutnya telat nganter kue, yang buat mau naik haji itu, Lia dan Cida bikin dan mengemas kue sampe jam 3 pagi, padahal ada kuliah jam 8, hari itu, untuuungg bukan ujian jam 8, hahaha. Tapi kan namanya sudah komit ya, jadi harus beres. Untung juga ada supir, jadi seperjalanan ke kampus Depok, kita tidur di jalan, supaya nggak ngantuk di kelas.

Mbak Reni itu sekali lagi, sangat fair. Kalau beliau hepi, beliau selalu ngasih lebih, “ni buat tambahan jajan” gitu, dan yang Lia ingat, mbak Reni pernah bilang, “Yang bikin mbak Reni senang pesan ke kamu itu, kuenya enak dan motongnya rapi , ukurannya sama semua, dan udah dikemas bagus, jadi liatnya juga bikin selera”. Wah noted banget itu, jadi semangat kan kalau di recognize gitu. Walau mbak Reni nggak tau aja, itu motong kue pake penggaris metal tu mbak, supaya bisa precise gitu. Dan kita juga jadi dapat banyak orderan dari dosen-dosen lain karna mbak Reni mempromosikan juga itu kue-kue dan makanan lain ke kolega-kolega mbak Reni.

Nah karena sering berinteraksi ini, Lia jadi sering ngobrol sama mbak Reni dan suaminya, Bang Ijul. Salahsatunya tentang mau ngapain setelah lulus. Sekitar tahun 1998/1999 itu program studi S1 Psikologi kan lagi banyak perubahan, Lia lagi mikir-mikir ini mending melanjutkan sekolah ke luar negri, apa melanjutkan program profesi buat jadi psikolog di UI aja. Saat itu Lia nyoba cari banyak masukan dari beberapa dosen tentang rencana lanjutan ini. Beberapa diantaranya dengan Bu Bernadette Setiadi yang merupakan pembimbing akademis Lia, Bu Yati Utoyo Lubis, yang waktu itu adalah Dekan Psikologi, dan juga teman keluarga, Bu Jeanette yang merupakan dosen pembimbing skripsi, dan mbak Reni, yang emang enak aja di curhatin. Semua menyarankan Lia melanjutkan sekolah di luar. Alasan yang diberikan beda-beda. Yang Lia ingat dari mbak Reni, mbak Reni bilang gini, “Lia, kan kamu punya sarana, sekolahlah yang kamu mau sekarang, sebelum ada yang serius juga kan sama soal perjodohan, kalau sudah serius , kita perempuan suka susah melanjutkan, bisa sih, tapi musti cari laki-laki yang bisa mendukung kamu, mumpung belum ada, sekolah aja dulu.”Waktu itu konteksnya adalah Lia mau belajar Psikoanalisa. Salahsatu school of thought yang rada ditakuti karna belibet, dan pendidikannya lama.  

Jadi setelah Lia lulus, Lia pergi ke Inggris melanjutkan S2 di bidang Psychoanalytic Studies, dan kemudian lanjut lagi ke Hawaii untuk melanjutkan S2 lagi di Counseling Pychology dengan spesialisasi Marriage and Family Therapy, yang ahirnya jadi berpraktek di US. Dengan Lia ke luar negri memang Lia jadi bisa liat ya mbak, dengan lebih jelas, Lia itu siapa, bisanya apa, I learn to not sweat the small stuff, dan kerja secara professional dengan full commitment. Nggak ngasal gitu loh mbak. Dan yang terpenting dari pesannya mbak Reni, Lia cari suami yang mendukung maunya Lia apa, karna Lia kan emang banyak maunya, nahh untung dapet yang modelnya begini mbak, hahahaha. Jadi emang bener, semua yang Lia cita-citakan, alhamdulillah bisa tercapai, apakah itu di bidang psikologi, atau masak memasak yang serius, yang sampe ahirnya Cida dan Lia bisa bikin Café beneran, yang sekarang ini udah masuk tahun ke 6. Btw itu kue-kuenya macemnya makin banyak lo mbaaakkkk.

Semenjak lulus tahun 1999, memang sudah jarang ketemu mbak Reni in person. Tapi somehow kita selalu keep in contact. Buat Lia personal, mbak Reni itu bukan hanya seorang dosen, tapi juga seorang mentor. Apa yang diajarkan dari mbak Reni ke Lia itu beyond mata kuliah Psikologi Pendidikan loh mbak, but also about life lessons and life skills. Terus terang ni mbak, setelah kelas mbak Reni yang belajar tentang gaya belajar itu, Lia jadi tahu gaya belajar Lia dan benar-benar Lia aplikasikan di dua Pendidikan S2 berikut-berikutnya. “Knowing myself made it so much easier to study”.  Mbak Reni juga secara nggak langsung mengajarkan Lia untuk bisa menerima dan lebih comfortable untuk jadi diri sendiri. “You modeled this”. Mungkin mbak Reni nggak menyadari impact ini ke Lia. “But, you did changed my life, for the better, and with that I am forever grateful”. Selamat ulang tahun ke 65 ya mbak Reni, “just so that you know, you did a lot in your life, and you have touched so many lives, even without you knowing” Semoga mbak Reni selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan umur panjang. I enjoy every conversations I have with you. Semoga masih banyak waktu buat kita ngobrol ya mbak… Kapan ni mbak kita ngopi dan makan kue lagi?

 

Des Moines, January 23, 2022,

Love always,

Natalia Indrasari MA, MS, LMFT, IADC

 

Rabu, 23 Februari 2022

Psikolog dan Guru Besar yang Modis

Oleh: Multamia RMT Lauder

Secara intensif, saya mulai tugas bareng dengan Prof. Reni sejak 2007, tepatnya ketika sama-sama bertugas di Senat Akademik periode 2007—2011. Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.Si., M.M., Psikolog, sehari-hari di kampus lebih akrab dipanggil sebagai Prof. Reni. Beliau merupakan sosok yang senantiasa modis. Menurut pendapat saya, ciri khasnya murah senyum, senantiasa berbusana apik dan serasi serta tak lupa berkacamata besar yang modis. Prof. Reni sebagai seorang psikolog dan juga Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan senantiasa ramah dalam bertutur sapa. Untuk itu, saya ingin menyampaikan Haiku untuk Prof. Reni:

jejak pelangi

acap kali memukau

apik dan modis

 

Kebersamaan kami tidak berhenti di tahun 2011. Kebetulan setelah berakhir masa tugas di Senat Akademik, kami tugas bareng lagi di Dewan Guru Besar periode 2015—2019 dan juga di periode 2020—2024. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Prof. Reni baik yang bersifat akademik maupun yang non-akademik. Prof. Reni memiliki rekam jejak yang signifikan, sekurang-kurangnya yang saya ketahui, Prof. Reni pernah menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Non-Formal, dan Informal (PAUDNI) lalu disusul menjabat sebagai Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Psikologi UI. Tidak semua orang mampu menduduki jabatan-jabatan itu di samping tugas utamanya sebagai dosen.

Selama tugas bareng dengan Prof. Reni, saya sering rapat bersama. Pada saat rapat tidak jarang Prof. Reni mengajukan pertanyaan maupun pernyataannya dari sudut pandang yang berbeda sehingga membuat para peserta rapat terdiam. Kadang kala, di satu sisi, saya agak gregetan juga harus menghentikan hal-hal yang sedang dalam proses penggarapan karena adanya pertanyaan dan/atau pernyataan dari Prof. Reni. Namun di sisi lain, apa yang disampaikan perlu juga untuk direnungkan secara jernih dan bening agar produk yang dihasilkan oleh Senat Akademik maupun Dewan Guru Besar mencakup tataran nasional dan tepat guna. Apabila terjadi adu argumentasi maka biasanya akan berlangsung cukup seru. Hal yang perlu dihargai dari Prof. Reni adalah sikapnya yang terbuka dan mau menerima pendapat orang lain sepanjang tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Untuk itu, saya ingin menyampaikan sebuah pantun untuk Prof. Reni:

pelangi muncul di langit biru

terdengar burung berkicau

Prof. Reni senantiasa berbagi ilmu

tetap cemerlang dan memukau

Terima kasih telah berkenan menjadi teman yang senantiasa berbagi. Saya sangat menghargai kebaikan hati Prof. Reni setiap pagi rajin nge-WA berbagi aneka wawasan mengenai penataan diri secara spiritual. Hal itu, merupakan hadiah istimewa yang tak ternilai untuk menata kehidupan batin. Semoga Prof. Reni selalu sehat, bahagia, dan sukses.

 

Cinere, 7 Februari 2022

 

Tegas,Teguh Pada Prinsip, dan Alpha Leader

Oleh:  Komjen Pol.Drs. Arif Wachyunadi | Purnawirawan perwira tinggi Polri dan Teman PPSA XXI Lemhanas R.I

Saya biasa memanggilnya Jeng Lydia. Terima Kasih diberi kehormatan menjadi bagian untuk menyampaikan kisah cerita hore-hore  saat sama- sama di Kelas 21. Saya tidak bisa bawakan lagu Selamat Ulang Tahun Jambrud tapi Jeng Lydia bayangkan saja, seolah oleh saya sedang menyanyikan lagunya Jambrud:

Maaf, bukannya pelit

Atau ngga mau ngemodal dikit

Yang ingin aku beri padamu doa s’tulus hati

S’moga Tuhan melindungi kamu

Mudah-mudahan dib’ri umur panjang

Sehat selama-lamanya

Untuk memulai, satu lagi saya pilih  satu bait dari lagu Indonesia Raya, Bangunlah Jiwanya, ini pesan kebangsaan. Membangun jiwa Indonesia, agar bersama bersatu bersaudara untuk Indonesia. Bersama awal dari sukses,tetap bersama kita raih sukses.Selalu bersama kita raih sukses bersama sama. Bersatu kita kuat. Tetap bersatu kita akan kuat.  Selalu Bersatu kita akan lebih kuat.

Kita semua bersaudara Indonesia. Jika mengaku bangsa Indonesia, orang Indonesia maka harus punya pikiran yang sehat, hati yang adem dan emosi yang terkendali, kita harus saling menghormati, karena kita Indonesia. Karena kita sepakat bahwa Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI yang harus kita jaga bersama dari segala bentuk gangguan  dan ancaman.

Karena kita punya Idiologi  Pancasila sebagai falsafah hidup untuk berdampingan dan saling menghormati dengan senantiasa menjunjung tinggi toleransi sebagai kekuatan. Karena kita menganut semangat Bhineka Tunggal Ika bahwa perbedaan itu sebagai kekuatan.  Kerena kita  punya landasan konstitusi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai panutan atau sumber dari segala sumber hukum, untuk itu kita menempatkan hukum sebagai Panglima.

Karena  jika kita mengaku, saya Indonesia, saya Pancasila, saya Bhineka Tunggal Ika dan punya Panglima, maka jadilah warga Negara Indonesia yang disiplin, patuh dan taat karena kita hidup diruang publik sosial Indonesia, tanpa kecuali sama kedudukan kita dimata hukum Nasional Indonesia.

Ini sebagian dari resume dan perenungan saya selama enam bulan bersama orang-orang hebat di kelas 21.  Suatu anugerah  dan  berkah bagi saya bisa mengikuti pendidikan di Lemhannas RI kelas PPSA angkatan 21 tahun 2017.  Kami sepakat dengan yel Siapa kita,TwoOneKu Yesss! Kelas 21, ada 80 peserta dari berbagai kalangan yang memiliki disiplin ilmu berbeda semua hebat dan luar biasa.

Alhamdulillah saya bisa bersama menjadi bagian dari kelas 21 yang amazing, hebat dan  luar biasa. Saya beruntung bisa berada di kelas 21 karena bisa menimba ilmu dan pengalaman pada hari-hari selama proses pendidikan, tapi yang lebih penting bersatu, bersama, bersaudara untuk Indonesia.

Yaa.. bagaimana tidak beruntung, karena saya setiap hari dari pagi hingga sore hari, banyak mendapat ilmu dari setiap peserta yang mendapat kesempatan untuk bertanya, menanggapi dan berpendapat. Disaat ini nampak kualitas masing-masing bahwa mereka memiliki kompetensi, karena disetiap bicara selalu diawali dengan sebuah referensi yang berbeda, disetiap bertanya berarti mereka baca buku banyak sekali.

Jeng Lydia ini satu dari peserta Kelas 21 yang memiliki kompetensi psikologi yang sudah khatam kompetensinya, termasuk di jenjang kariernya juga sudah sampai tingkat top leader eselon 1.

Ada satu pengalaman yang selalu saya ingat ketika dibulan terakhir Pendidikan ada uji kompetensi leadership melalui tools psikologi, kebetulan saya duduk berdampingan dengan Jeng Lydia. Tentu saya riang gembira duduk bersebelahan dengan ahlinya psikologi dan mulai berfikir praktis tidak perlu berfikir alias mau nyontek aja ke Jeng Lydia. Tapi ketika niat praktis saya disampaikan, diluar dugaan saya, Jeng Lydia jawab dengan tegas dan lantang  “tidak bisa dong Pak”.

“Aduuuh iya juga ini.. “. Jeng Lydia teguh pada prinsipnya, sepanjang proses selalu menutupi lembar kertas jawabannya.  Saya tidak bisa nyontek..ya sudahlah!  Penguji mulai menjelaskan apa maksud dan tujuan tes, yaitu untuk  melihat karakter leadership. Dua minggu kemudian diruangan yang sama dan tempat yang sama kami kumpul untuk mendengarkan hasil masing masing peserta yang disampaikan oleh penguji. Satu demi satu dijelaskan oleh penguji karakter leadership sebagai bahan evaluasi.

Setelah giliran saya dijelaskan kemudian berikutnya Jeng Lydia, waaah diluar dugaan, kami ternyata satu karakter Alpha Leader!  Disebutkan karakter Alpha Leader  yaitu strong goals, takes responsibility, pro active, confident and clear, fokus pada hal yang positif,  solves problems, high self motivation dan never gives up.

Jeng Lydia masih banyak catatan yang seru-seru, tapi satu ini saja ya mewakili dari banyak cerita seru, yang lain akan saya sampaikan ditempat biasa, siap ya. Sekali lagi Selamat Ulang Tahun ke 65  Jeng Lydia. Panjang umur,sehat, dan  sukses selalu aamiin. Terus berjuang untuk Indonesia!
***

Mbak Reni Sangat Kampiun Prestasinya di kampus dan Luar Kampus.

Oleh: Dr.dr.Basuki Supartono, Sp.OT.,FICS., MARS

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Belum lama ini saya dikontak oleh mbak Reni (Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.M., Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Psikologi UI).  Saya terkejut, sebab lama nian kami tak bertegur sapa. Mungkin sudah lebih 40 tahun. Apalagi di masa pandemi ini. Covid-19 membuat kesibukan saya sebagai tenaga kesehatan sedikit meningkat.  Untuk panggilan,  saya biasa menyapa beliau dengan mbak Reni - mohon maaf, Prof. Karena  beliau sudah berpesan,  “Yang nyaman saja, Bas.”

Komunikasi terakhir justru dengan suami mbak Reni, yang saya sapa dengan Bang Zul (Drs. H. Zulkifli Akbar, Psi., M.Si).  Waktu itu kami sama-sama  ngebirokrat di Kemenpora dimana beliau merupakan salah satu pejabat.

Memori saya berselancar. Di tahun 1980, saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Indonesia.  Mbak Reni senior saya.  Ketika itu Senat Mahasiwa membuat program tentiran untuk para  mahasiswa baru. Saya masih ingat bagaimana beliau menentir kami.  Tutur kata, cara mengajar, ketrampilan menyampaikan pesan pembelajaran dan lain-lain sungguh inspiratif. Saya belajar bagaimana berkomunikasi yang efisien dan efektif. Saya juga mendapat framing belajar yang enak dan mudah tapi sukses. Hal itu terbawa sampai sekarang.

Memang mbak Reni sangat kampiun prestasinya, baik di kampus maupun di luar kampus. Sampai sekarang pun terbukti beliau sukses mengemban amanah di berbagai bidang.  Di bidang pendidikan sebagai guru besar, di bidang birokrat, di aktifitas sosial kemanusiaan, bahkan di media sosial.  Profil masa depan beliau sepertinya tergambar sejak mbak Reni menentir dan berinteraksi dengan kami para yuniornya. Saya melihatnya demikian.

Dinamika kampus tahun 80 di era orde baru ditambah dengan kesibukan perkuliahan  membuat kami jarang bertemu. Saya sibuk di bangku kuliah, diseling dengan demo aksi kemahasiswaan.  Sampai akhirnya pada 1983 saya meninggalkan kampus Rawamangun menuju ke Surabaya. Kami tidak sempat bertukar salam ketika itu. Interaksi di masa perjuangan mahasiswa di  era 80 an memberi warna dan dasar bagi kehidupan saya selanjutnya. Sari patinya adalah ketekunan, kesabaran, keuletan, dan fokus pada tujuan. Saling berbagi, memberi manfaat, dan peduli sesama menjadi karakter saya. Dan ini menjadi landasan yang kuat bagi kehidupan saya sekarang. Terima kasih,  Prof.

Dua puluh lima tahun kemudian baru berjumpa lagi,  itupun dengan suami beliau, bang Zul.  Persahabatan masa lalu tak lekang oleh masa.  Tali silaturrahim terjalin kembali, walau secara tidak langsung.

Prof. Reni, mbak Reni, semoga selalu eksis dan bermanfaat bagi rahamat alam semesta. Sebagaimana sabda  Rasulullah: “Sebaik-baik orang adalah yang panjang umurnya dan banyak amalnya”.  Selamat Prof. Semoga terus mengalir hasil karya memberikan kesejukan buat kita semua. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.

Wassalaamu’alaikum Wr Wb.

Tertanda,

Murid tentiran

Basuki Supartono (Ketua Angkatan Mahasiswa Psikologi UI tahun 1980/Ketua Angkatan Mahasiswa UI tahun 1980)

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Mengenang Kiprah Reni di Kepanitiaan Peringatan Seperempat Abad DMUI

Oleh: Aswil Nazir | Alumnus FTUI,Caretaker Dewan Mahasiswa UI 1980, Blogger dan Praktisi IT

Ketika saya pertama kali diminta oleh Reni untuk menuliskan kesan-kesan tentang perayaan seperempat abad Dewan Mahasiswa UI (DMUI), saya sejujurnya merasa agak ragu. Saya bingung, mau cerita apa? Pasalnya, peristiwa itu sudah lama sekali berselang, terjadinya Oktober 1980. Mengingat-ingat kembali momen bersejarah lebih dari 40 tahun yang silam, tidaklah mudah. Apalagi sebelumnya saya tidak begitu mengenal sosok Reni. Saya lebih akrab dengan Idjul Akbar, Ketua Senat Mahasiswa FPsi-UI yang kelak menjadi suaminya.

Namun perlahan, ingatan lama itu mulai terkuak. Peringatan Seperempat Abad DMUI bisa dibilang sebagai  kegiatan monumental Dewan Mahasiswa UI sebelum dinyatakan punah oleh penguasa tiran di kala itu. Dewan Mahasiswa tidak lagi diakui legalitasnya oleh pemerintahan Orde Baru setelah keluarnya SK Mendikbud no. 37/U/1979 yang melahirkan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) di setiap kampus dibawah kendali Rektor, sebagai pengganti Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa.

Saya masih ingat, Dewan Mahasiswa UI menolak tegas aturan tersebut, dan salah satu bentuk pembangkangan itu adalah dengan tetap memperingati seperempat abad DMUI di bulan Oktober 1980. Perayaan ini dilakukan selama sebulan penuh dengan aneka kegiatan, dari pasar buku murah, khitanan massal, lomba karikatur, lomba puisi perjuangan, panel diskusi hingga malam kesenian. Rangkaian agenda ini ternyata disambut antusias oleh para mahasiswa yang meramaikan kampus Salemba, tempat diselenggarakannya acara tersebut.

Rasa-rasanya disitulah saya baru mulai mengenal sosok Reni Hawadi yang diangkat sebagai Ketua Umum Panitia Peringatan Seperempat Abad DMUI. Agak mengejutkan memang, ketua panitia yang ditunjuk oleh Pj. Ketua Umum DMUI saat itu, Biner Tobing, adalah seorang mahasiswi. Betapa tidak? Suasana kehidupan lembaga kemahasiswaan saat itu sedang tidak normal, penuh dengan intrik, intaian intel, ancaman, larangan, teror hingga hantaman sepatu lars. Entah apa pertimbangan Biner ketika itu sehingga mengangkat Reni untuk kegiatan yang penuh risiko tersebut. Belakangan terbukti, kekawatiran itu tidaklah berlebihan. Seusai peringatan seperempat abad DMUI ini, Biner Tobing dijatuhi hukuman skorsing. Konon Prof. Mahar Mardjono selaku Rektor mendapat tekanan dari Kaskopkamtib, Laksamana Sudomo dan Mendikbud Daoed Joesoef untuk menjatuhkan sanksi buat Biner.

DMUI dianggap sudah keterlaluan, karena menyelenggarakan panel diskusi yang mendatangkan dua tokoh Penandatangan Petisi 50 sebagai pembicara, yaitu bapak A.H. Nasution dan Bang Ali Sadikin. Perlu diketahui bahwa di masa itu ke lima puluh tokoh Petisi 50 yang meminta pak Harto mundur dari jabatan Presiden telah dicekal dan dimusuhi pemerintah.

Akibatnya, saat acara panel diskusi baru berjalan, kampus Salemba diserbu sepasukan tentara yang meminta pak Nas dan Bang Ali untuk meninggalkan kampus. Dalam peristiwa ini jatuh belasan korban mahasiswa dan tamu akibat hantaman popor senapan sehingga harus dirawat di RSCM. Sejumlah kaca nako Fakultas Teknik juga hancur akibat serbuan tersebut. Kejadian ini dikenang mahasiswa sebagai “Peristiwa 25 Oktober 1980 Berdarah”.

Secara umum, rangkaian acara yang dikomandoi Reni ini, boleh dibilang sukses. Selain panel diskusi berdarah, ada lomba karikatur NKK/BKK yang diikuti oleh mahasiswa dari perguruan tinggi se Jakarta. Banyak karikatur kreatif dan lucu-lucu yang ditampilkan. Sayangnya pihak panitia tidak menyimpan koleksi karikatur-karikatur tersebut. Demikian juga dengan lomba puisi perjuangan yang diselenggarakan di Taman FMIPA Salemba, ramai diikuti oleh penampilan khas mahasiswa yang penuh satire, dibawah pengawasan para intel Laksusda Jaya.

Menurut saya, Reni yang juga aktif di kegiatan pramuka ini telah berhasil menggalang partisipasi rekan-rekan mahasiswa dari seluruh fakultas dalam berbagai kegiatan seperti diutarakan di atas. Saya yakin Reni sejak awal tidak berpikir tentang konsekuensi dari kegiatan yang dikoordinirnya tersebut. Selain Biner sebagai tumbalnya, tidak ada sanksi akademis dari Rektor yang dijatuhkan kepada pihak panitia. Sehingga sebulan kemudian,  Reni bisa menyelesaikan laporan pertanggungjawaban panitia dan menyerahkannya kepada saya yang didaulat sebagai Caretaker DMUI, menggantikan Biner Tobing yang dikenai skorsing.  Sungguh sebuah contoh praktek berorganisasi yang bertanggung jawab.

Itulah sekilas kenangan saya tentang kegiatan Reni semasa aktif di Dewan Mahasiswa. Setelah tamat, saya sempat hilang kontak dengan Reni cukup lama. Namun akhirnya kita bertemu lagi dalam sebuah reuni dan kini berinteraksi cukup rutin dengan ex ketua panitia seperempat abad DMUI yang sekarang sudah menjadi Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Psikologi UI. 


Jakarta, 27 Januari 2022.

Reni Hawadi dan Pramuka Santa Ursula

Oleh: Lies Wibisono, Susi Sudarsono, Caecilia Berudiah dan Getty Sasmita | Pembina Pramuka Gudep 470 Jakarta Pusat

Di Pramuka kami saling memanggil Kak.  Saat Kak Reni Hawadi menghubungi saya via WhatsApp, kami berempat adalah Pembina Pramuka Santa Ursula, sedang membicarakan ulang tahun ke-60 gugus depan kami yaitu Gudep Jakarta Pusat 470, yang jatuh pada tanggal 27 Januari 2022. Suatu hal yang membanggakan kami Pramuka Santa Ursula berdiri hanya berselisih 6 bulan dengan Gerakan Pramuka Indonesia yang dicanangkan tanggal 14 Agustus 1961.Awalnya kami mulai dengan Ambalan Penegak Putri yang beranggotakan siswa SMA Santa Ursula yang tinggal di asrama.  Dengan berjalannya waktu, Pramuka Santa Ursula  terdiri dari Siaga Putra, Siaga Putri, Penggalang Putra, Penggalang Putri dan Penegak Putri.

Keanggotaan pramuka pada masa itu sukarela, yang hanya diikuti oleh anak-anak yang mau jadi pramuka saja. Berbeda dengan pramuka jaman kini, dimana pramuka merupakan kegiatan ekstrakurikuler  yang bersifat wajib bagi siswa.  Gudep  Jakarta Pusat 470 Santa Ursula berlokasi di Jalan Pos No.2 Jakarta Pusat, di dalam area Sekolah Santa Ursula. Kegiatan latihan pramuka dilakukan setiap Sabtu sore, jam 16:00 – 18:00.  Anggota pramuka kami  selain siswa Santa Ursula juga dari anak-anak sekolah lain yang ingin menjadi anggota pramuka.

Saat masuk menjadi anggota Gudep Jakarta Pusat 470 Kak Reni  adalah siswa SMP  Santa Ursula. Ia meniti karir pramuka dari Siaga Putri Pramuka Van Lith dan  melanjutkannya sebagai Penggalang Putri, Penegak Putri dan Pembina Putri di Pramuka Santa Ursula.  Kegiatan pramuka masih terus aktif diikuti Kak Reni  saat menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Hal yang istimewa berpuluh tahun kemudian Kak Reni menduduki jabatan Wakil Ketua Kwartir Nasional Bidang Binawasa. Bisa jadi mungkin Kak Reni sendiri tidak akan menyangka kelak ia akan duduk menjabat di Kwarnas, saat sering bolak balik Kedai Pramuka Kwarnas untuk membeli perlengkapan pramukanya.

Momen yang tidak terlupakan oleh setiap pramuka Penggalang adalah mengikuti Jambore Nasional (Jamnas). Pada tahun 1973 untuk pertama kalinya  dilaksanakan Jambore Nasional Pramuka Indonesia yang di selenggarakan di  Situ Baru, Jakarta (sekarang Bumi Perkemahan Cibubur).  Pramuka Penggalang Putri Santa Ursula juga mengirimkan regu penggalang putrinya. Kami  naik truk tentara yang difasilitasi Pak Darsono, Pak Suparman dan Dr. Heridadi.  Kak Reni termasuk salah satu pesertanya. Mereka berjalan beriringan sesuai regu, berpakaian seragam penggalang, bertopi boni pramuka,  dengan membawa ransel di punggung,  dan tongkat serta peralatan memasak. Di lokasi perkemahan,  satu tenda berisikan sepuluh anggota. Mereka harus mendirikan tenda pramuka sendiri yang sudah disediakan patok, dan talinya. Hal yang masih teringat, mereka lupa membawa palu untuk mengetok patok sehingga harus meminjam ke tetangga tenda sebelahnya.  Latihan mendirikan tenda saat latihan rutin dipraktekan mereka disini, syukurlah tidak memerlukan waktu yang lama tenda pramuka telah siap dipakai.

Kegiatan pramuka menanamkan nilai-nilai keutamaan (virtue) seperti kerjasama, kekompakan, gotong royong, empati, kemandirian, disiplin, dan rasa tanggung jawab serta kepemimpinan. Di kegiatan pramuka,  Pembina tidak hanya memberikan  teori saja namun juga praktek dan keteladan. Nilai-nilai baik Dasa Dharma Pramuka, sebagai ketentuan moral kepanduan menjadi pegangan dan telah terinternalisasi, menjadi bagian dalam diri mereka. Demikianlah, saya pun meyakini kepemimpinan Kak Reni dan nilai-nilai baik yang ia miliki  banyak diasah dalam kegiatan pramuka yang diikutinya sejak Sekolah Rakyat.

Walau kami sudah jarang sekali ketemu namun ikatan batin sesama anggota Pramuka  terjalin dengan baik. Salam Pramuka!

Jakarta, 26 Januari 2022

Reni Hawadi Terpilih Sebagai Mahasiswa Penerima Beasiswa Yayasan Supersemar

Oleh: Drs. Djaka Permana, M.Si. Ph.D. | Pembina Siswa dan Mahasiswa Penerima Beasiswa Yayasan Supersemar

Menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para siswa dan mahasiswa yang terpilih menerima beasiswa Yayasan Supersemar. Mengapa diberikan apresiasi yang tinggi ? Karena syarat utama bagi penerima beasiswa adalah mereka yang memiliki prestasi akademik yang tinggi melalui rangkaian seleksi dari tingkat fakultas, universitas (institut, sekolah tinggi) kemudian sekretariat Yayasan Supersemar. Saudari Reni Hawadi, pada saat itu adalah salah seorang mahasiswa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berhasil terpilih sebagai mahasiswa penerima beasiswa Yayasan Supersemar.

Selain bertugas sebagai pembina siswa dan mahasiswa penerima beasiswa Yayasan Supersemar, tugas lain saya adalah melakukan seleksi administrasi seluruh dokumen pengajuan permohonan beasiswa dari seluruh perguruan tinggi negeri di indonesia. Terhadap dokumen yang memenuhi persyaratan, kemudian disampaikan kepada Sekretaris Yayasan Supersemar untuk dibuatkan konsep surat keputusan Ketua Yayasan Supersemar yang menyatakan bahwa nama mahasiswa yang tersebut dalam surat keputusan berhak menerima beasiswa Yayasan Supersemar.

Jadi singkatnya, demikian perjalanan saudari Reni Hawadi terpilih sebagai mahasiswa penerima Beasiswa Supersemar !

 

Jakarta, 04 Februari 2021.

Drs. Djaka Permana M.Si. Ph.D.

Sabtu, 05 Februari 2022

MENGENAL SOSOK LYDIA FREYANI HAWADI

Kesaksian Seorang Sahabat

Oleh: M. Mossadeq Bahri


Tulisan ini dimulai dengan mengutip dua kalimat awal Al-Fatihah. Kalimat pertama, Bismillaahirrahmaanirrahiim, kami maksudkan semoga apa yang tersurat dan tersirat di setiap untaian kata dan kalimat dalam tulisan ini dapat memancarkan rahmaan dan rahiim, kasih-sayang, khususnya kepada Lydia Freyani Hawadi (untuk seterusnya tertulis Reni dan/atau Ren), pada keluarganya, dan juga kepada para pembaca secara keseluruhan.  Kalimat kedua Alhamdulillaahirabbil’aalamin, kami maksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Tuhan pencipta sekalian alam, bahwa jalinan persahabatan sejak masa mahasiswa di akhir 70-an sampai saat ini tetap terjaga. Upaya berikutnya adalah doa pada Allah “Azza wa Jalla agar persahabatan ini berlanjut ke surgaNya. Aamiin Yaa Rabbal”aalamiin.

Saya, Reni, dan suaminya Zulkifli Akbar, biasa saya sapa, Idjul, adalah teman Reni seperjuangan di Kampus Perjuangan pada akhir 70an-sampai awal 1980an. Reni aktif di Dewan Mahasiswa (DMUI), sedangkan saya dan Idjul di Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM UI). Namun kami bertiga juga aktif di Paduan Suara Universitas Indonesia (PSUI), di mana Idjul menjadi Ketuanya. Persahabatan kami boleh dikatakan cukup istimewa, selain memiliki akar budaya yang sama, Minang, anak sulung saya, Tariq, juga bersahabat dengan Ardha Renzulli Akbar, anak ketiga Reni dan Idjul saat kuliah di FISIP-UI. Tambahan lagi Aidil Rizali Akbar, anak sulung Reni dan Idjul adalah mahasiswa di FIB-UI.  

Secara pribadi saya mengenal Reni sebagai sosok wanita yang cerdas, percaya diri,  pekerja keras, bertanggung-jawab, dapat dipercaya, dan mampu bekerja dalam tim. Sehingga, begitu selesai studi, tak heran beliau langsung diterima menjadi dosen Fakultas Psikologi UI.. Sebagai ilmuwan, Reni menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Gelar akademik tertinggi dalam bidang Ilmu Psikologi diraihnya saat ia berusia 36 tahun. Bukti lainnya, ditengah kesibukannya sebagai Ibu dari enam anak, Reni membuktikan komitmennya meraih jabatan akademik dosen tertinggi, Profesor. Capaian Reni tidak hanya berhenti sebagai guru besar di kampusnya, ia pun menjadi satu-satunya wanita yang pernah menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (sebelumnya ada dua guru besar UI pernah menjabat Dirjen di Kemendikbud yaitu Prof.Dr. Haryati Soebadio dan  Prof. Dr.Edi Sedyawati namun keduanya  adalah  Direktur Jenderal Kebudayaan). Setelah kembali ke kampus, tidak lagi berkarir sebagai birokrat Reni memegang amanah  sebagai  Ketua Dewan Guru Besar  (DGB) Fakultas Psikologi UI  hingga dua periode, bahkan juga diangkat sebagai salah satu dari lima Kordinator DGB UI yang masih dijabatnya sampai saat ini.

Salah satu momen penting dan berkesan dalam persahabatan saya dengan Reni adalah saat mengetahui perpindahan home base nya dari Fakultas Psikologi ke Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, SKSG-UI (dulunya PPS UI). Momen ini terjadi saat berlangsungnya kegiatan konsinyering BRP SKSG di Hotel Grand Savero, Bogor, pada tanggal 28-30 November 2021.  Karena agenda kegiatan mulai jam 12.00, dan sudah swab antigen di hari sebelumnya, saya putuskan berangkat dari rumah jam 10.30, berharap sampai di hotel 30 menit sebelum kegiatan berlangsung. Kurang lebih sejam di perjalanan, Grab yang saya tumpangi sampai di hotel Grand Savero, berhenti persis di belakang sebuah mobil sedan. Tak lupa lihat jam,  11.37. turun mobil sambil nenteng ransel, dari mobil depan sosok Reni juga muncul. Begitu saling tahu, sambil menaiki tangga hotel kami bertegur sapa. Rasa bahagia jumpa sahabat sejak masa mahasiswa mencuat ke permukaan, namun rasa penasaran tentang keberadaannya di kegiatan SKSG juga mengemuka. “Ah, ini kan kegiatan konsinyering BRP, Reni mungkin nara sumbernya”, pikir nalar sehat saya.

Memasuki ruang rapat, saya langsung menuju meja kelompok yang diperuntukkan bagi Prodi saya, Kajian Wilayah Jepang (KWJ). Tak disangka dan tak dinyana, Reni berada di meja kelompok Prodi S3, tepat di sebelah meja kelompok saya.  Sesaat sebelum pembawa acara meminta Direktur Sekolah membuka kegiatan secara resmi, Reni berkata Deq, atau Sadeq, begitu cara Reni memanggil saya, “aku sudah resmi di SKSG. Ah yang benar Ren ujar saya, iya benar”, ungkapnya, “bahkan sudah berjalan satu semester”. “Memangnya kamu  belum tahu ya deq”. “Benar Ren, sama sekali sekali info tentang ini tidak saya dapatkan”. “Bahwa kalau Reni ngajar di Prodi S3, saya tahu, dan itu di mata saya home base-nya masih di Fakultas Psikologi”. “Tapi karena sudah di SKSG, dan infonya dari Reni sendiri, saya banyak berharap Reni dapat membawa Sekolah ke arah yang lebih baik lagi ke depannya.” . Reni pun menjawab “pembenahan perlu dilakukan Deq, untuk itu, mari urun rembug bersama, itu kuncinya”. Dengan anggukan kepala sebagai tanda setuju, saya menyimak kata sambutan Direktur Sekolah yang meminta anggota baru dari keluarga besar SKSG untuk memperkenalkan diri, dan nama pertama yang diminta adalah Prof. Reni. Saat memperkenalkan dirinya, hati saya plong, Bahagia itu kini padu, sebab rasa penasaran tentang kehadirannya terjawab sudah, Batin saya bicara, dengan mendapat Reni, Sekolah bak kata pepatah “Pucuk dicinta, ulam tiba”.

Sebagai penutup, saya ingin bersaksi dan berbagi satu momen lagi dengan pembaca. Momen jadi anggota Paduan Suara Universitas Indonesia (PSUI), yang bisa jadi salah satu alur dari proses yang terkait dengan keberadaan Reni saat ini. PSUI adalah salah satu dari sekian banyak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di Universitas Indonesia.  Pada saat saya, Reni dan Idjul jadi anggotanya, PSUI dikenal sebagai paduan suara mahasiswa yang disegani di tingkat nasional. Setiap ikut festival, pasti muncul  sebagai salah satu pemenang. Mengapa bisa? Uraian berikut mungkin dapat menjawabnya. Paduan Suara Universitas Indonesia saat itu ditangani oleh mereka yang pantas disebut “benar”, “baik”, dan “patut” sebagai pelatih, pianis, dan pemimpin yang mumpuni. Mas Lilik Sugiarto, (Mas Lilik, begitu kami menyapanya), adalah sosok pelatih yang melatih kami dengan “hati”. Tidak satu pun suara dari setiap kelompok suara, Sopran 1 dan 2, Alto 1 dan 2, Tenor 1 dan 2, serta Bas 1 dan 2 yang luput dari telinganya. Kalau ada suara salah dalam membaca partitur, dan itu tentu saja mengganggu kepaduan suara tim, dia terapi dengan cara yang bijak.  Dia minta Mas Sunarto menghentikan iringannya, dan berkata “suara dari kelompok tenor” terlalu dominan, tolong ya suara dari kelompok lainnya. Kami tentu saja kenal dan sadar betul si pemilik suara yang dominan itu ada di kelompok tenor, Zatni Arbi, salah satu vokalis PSUI, sosok yang dalam tingkat olah vokal,  terbaik di antara kami. Silakan Mas Sunarto, piano kembali berdenting, suara kelompok tenor tetap, lagu padu sampai akhir. Mengajari, tanpa menggurui, sebuah pengalaman dan pembelajaran berharga dalam hidup saya. Mengenai sosok sang pianis PSUI, Mas Sunarto. Beliau di mata kami adalah pribadi yang melihat hidup ini dengan penuh keceriaan. Bagi saya, Mas Sunarto adalah pianis itu sendiri. Kedua tangannya seakan bermata,  begitu menyentuh tuts, suara dari partitur mengalun dengan indahnya. Beliau pribadi yang baik hati, selalu tersenyum ketika disapa, dan pasangan padu, serasi bagi Mas Lilik dalam melatih PSUI. Melalui laman Facebook Idjul saya terima berita bahwa kedua sosok yang saya kagumi ini telah tiada, begitu juga sipemilik suara tenor, vokalis PSUI, Zatni Arbi, dan mungkin juga ada rekan-rekan lainnya. Hanya satu pinta, semoga Allah ‘Azza wa Jalla, memberi kemudahan bagi mereka.

Membahas pelatih sudah, pianis juga sudah, tinggal sosok sang Ketua PSUI, dan pasangannya yang belum. Di bawah kepemimpinan Idjul, dan tentu saja didukung penuh Reni, PSUI adalah ikatan keluarga mahasiswa yang dipenuhi nuansa harmonis bagi anggotanya. Dalam latihan rutin setiap hari minggu, suasana canda dan ceria selalu menghiasi aktifitas kami. Keakraban sesama anggota mampu dijaga dan dikembangtumbuhkan oleh kerjasama antara Idjul dan Reni sebagai tim. Bagi saya, Zatni, juga Syahrial Saibi (Alan) yang berasal dari latar budaya yang sama dengan Idjul dan Reni, Minang, jumpa dalam aktifitas bernyanyi, baik latihan rutin sekali seminggu, atau pun yang dua kali seminggu saat mau ikut festival,  terasa ringan dan menyenangkan. Sebab, bagi Alan dan Zatni yang PTL (Padang Tembak Langsung-keduanya mondok di Asrama Daksinapati), dan saya meski lahir di Padang, tapi dari SD sudah di Jakarta, tinggal di jalan Pemuda, sepakat untuk satu hal, pengelolaan PSUI di bawah pimpinan Idjul dan Reni sudah sesuai alur, “benar”, “baik”, dan “patut”.

Prinsip kebersamaan dalam PSUI  untuk menjaga maruah almamater nampak dalam latihan, terutama saat bertanding. Ini sesuai dengan kaidah “Ka bukik samo mandaki, Ka lurah samo manurun” (Ke bukit sama mendaki, Ke lurah/lembah sama menurun). Prinsip kesetaraan nampak dalam penampilan Idjul dan Reni yang tidak ngebosi. Ini sejalan  dengan kaidah “Duduak nan sahamparan, Tagak nan sapamatang” (Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Singkat cerita, Idjul dan Reni memenuhi unsur “benar”, sebab mereka berdua menjadi pimpinan PSUI. Kedua sosok ini juga memenuhi unsur “baik”, sebab sudah mengelola PSUI dengan prinsip kebersamaan dan kesetaraan. Akhirnya unsur “patut” terpenuhi untuk mereka, sebagai pemimpin. Khusus untuk Reni dengan keberadaannya saat ini, hanya satu kata “patut”.   

Jakarta, 31 Januari 2022

 

 

 

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia