Kesaksian Seorang Sahabat
Oleh: M.
Mossadeq Bahri
Tulisan ini dimulai dengan mengutip dua kalimat awal Al-Fatihah. Kalimat pertama, Bismillaahirrahmaanirrahiim, kami maksudkan semoga apa yang tersurat dan tersirat di setiap untaian kata dan kalimat dalam tulisan ini dapat memancarkan rahmaan dan rahiim, kasih-sayang, khususnya kepada Lydia Freyani Hawadi (untuk seterusnya tertulis Reni dan/atau Ren), pada keluarganya, dan juga kepada para pembaca secara keseluruhan. Kalimat kedua Alhamdulillaahirabbil’aalamin, kami maksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Tuhan pencipta sekalian alam, bahwa jalinan persahabatan sejak masa mahasiswa di akhir 70-an sampai saat ini tetap terjaga. Upaya berikutnya adalah doa pada Allah “Azza wa Jalla agar persahabatan ini berlanjut ke surgaNya. Aamiin Yaa Rabbal”aalamiin.
Saya, Reni, dan suaminya Zulkifli Akbar, biasa saya sapa, Idjul, adalah teman Reni seperjuangan di Kampus Perjuangan pada akhir 70an-sampai awal 1980an. Reni aktif di Dewan Mahasiswa (DMUI), sedangkan saya dan Idjul di Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM UI). Namun kami bertiga juga aktif di Paduan Suara Universitas Indonesia (PSUI), di mana Idjul menjadi Ketuanya. Persahabatan kami boleh dikatakan cukup istimewa, selain memiliki akar budaya yang sama, Minang, anak sulung saya, Tariq, juga bersahabat dengan Ardha Renzulli Akbar, anak ketiga Reni dan Idjul saat kuliah di FISIP-UI. Tambahan lagi Aidil Rizali Akbar, anak sulung Reni dan Idjul adalah mahasiswa di FIB-UI.
Secara pribadi saya mengenal Reni sebagai sosok wanita yang cerdas, percaya diri, pekerja keras, bertanggung-jawab, dapat dipercaya, dan mampu bekerja dalam tim. Sehingga, begitu selesai studi, tak heran beliau langsung diterima menjadi dosen Fakultas Psikologi UI.. Sebagai ilmuwan, Reni menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Gelar akademik tertinggi dalam bidang Ilmu Psikologi diraihnya saat ia berusia 36 tahun. Bukti lainnya, ditengah kesibukannya sebagai Ibu dari enam anak, Reni membuktikan komitmennya meraih jabatan akademik dosen tertinggi, Profesor. Capaian Reni tidak hanya berhenti sebagai guru besar di kampusnya, ia pun menjadi satu-satunya wanita yang pernah menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (sebelumnya ada dua guru besar UI pernah menjabat Dirjen di Kemendikbud yaitu Prof.Dr. Haryati Soebadio dan Prof. Dr.Edi Sedyawati namun keduanya adalah Direktur Jenderal Kebudayaan). Setelah kembali ke kampus, tidak lagi berkarir sebagai birokrat Reni memegang amanah sebagai Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Fakultas Psikologi UI hingga dua periode, bahkan juga diangkat sebagai salah satu dari lima Kordinator DGB UI yang masih dijabatnya sampai saat ini.
Salah satu momen penting dan berkesan dalam persahabatan saya dengan Reni adalah saat mengetahui perpindahan home base nya dari Fakultas Psikologi ke Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI, SKSG-UI (dulunya PPS UI). Momen ini terjadi saat berlangsungnya kegiatan konsinyering BRP SKSG di Hotel Grand Savero, Bogor, pada tanggal 28-30 November 2021. Karena agenda kegiatan mulai jam 12.00, dan sudah swab antigen di hari sebelumnya, saya putuskan berangkat dari rumah jam 10.30, berharap sampai di hotel 30 menit sebelum kegiatan berlangsung. Kurang lebih sejam di perjalanan, Grab yang saya tumpangi sampai di hotel Grand Savero, berhenti persis di belakang sebuah mobil sedan. Tak lupa lihat jam, 11.37. turun mobil sambil nenteng ransel, dari mobil depan sosok Reni juga muncul. Begitu saling tahu, sambil menaiki tangga hotel kami bertegur sapa. Rasa bahagia jumpa sahabat sejak masa mahasiswa mencuat ke permukaan, namun rasa penasaran tentang keberadaannya di kegiatan SKSG juga mengemuka. “Ah, ini kan kegiatan konsinyering BRP, Reni mungkin nara sumbernya”, pikir nalar sehat saya.
Memasuki ruang rapat, saya langsung menuju meja kelompok yang diperuntukkan bagi Prodi saya, Kajian Wilayah Jepang (KWJ). Tak disangka dan tak dinyana, Reni berada di meja kelompok Prodi S3, tepat di sebelah meja kelompok saya. Sesaat sebelum pembawa acara meminta Direktur Sekolah membuka kegiatan secara resmi, Reni berkata Deq, atau Sadeq, begitu cara Reni memanggil saya, “aku sudah resmi di SKSG. Ah yang benar Ren ujar saya, iya benar”, ungkapnya, “bahkan sudah berjalan satu semester”. “Memangnya kamu belum tahu ya deq”. “Benar Ren, sama sekali sekali info tentang ini tidak saya dapatkan”. “Bahwa kalau Reni ngajar di Prodi S3, saya tahu, dan itu di mata saya home base-nya masih di Fakultas Psikologi”. “Tapi karena sudah di SKSG, dan infonya dari Reni sendiri, saya banyak berharap Reni dapat membawa Sekolah ke arah yang lebih baik lagi ke depannya.” . Reni pun menjawab “pembenahan perlu dilakukan Deq, untuk itu, mari urun rembug bersama, itu kuncinya”. Dengan anggukan kepala sebagai tanda setuju, saya menyimak kata sambutan Direktur Sekolah yang meminta anggota baru dari keluarga besar SKSG untuk memperkenalkan diri, dan nama pertama yang diminta adalah Prof. Reni. Saat memperkenalkan dirinya, hati saya plong, Bahagia itu kini padu, sebab rasa penasaran tentang kehadirannya terjawab sudah, Batin saya bicara, dengan mendapat Reni, Sekolah bak kata pepatah “Pucuk dicinta, ulam tiba”.
Sebagai penutup, saya ingin bersaksi dan berbagi satu momen lagi dengan pembaca. Momen jadi anggota Paduan Suara Universitas Indonesia (PSUI), yang bisa jadi salah satu alur dari proses yang terkait dengan keberadaan Reni saat ini. PSUI adalah salah satu dari sekian banyak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di Universitas Indonesia. Pada saat saya, Reni dan Idjul jadi anggotanya, PSUI dikenal sebagai paduan suara mahasiswa yang disegani di tingkat nasional. Setiap ikut festival, pasti muncul sebagai salah satu pemenang. Mengapa bisa? Uraian berikut mungkin dapat menjawabnya. Paduan Suara Universitas Indonesia saat itu ditangani oleh mereka yang pantas disebut “benar”, “baik”, dan “patut” sebagai pelatih, pianis, dan pemimpin yang mumpuni. Mas Lilik Sugiarto, (Mas Lilik, begitu kami menyapanya), adalah sosok pelatih yang melatih kami dengan “hati”. Tidak satu pun suara dari setiap kelompok suara, Sopran 1 dan 2, Alto 1 dan 2, Tenor 1 dan 2, serta Bas 1 dan 2 yang luput dari telinganya. Kalau ada suara salah dalam membaca partitur, dan itu tentu saja mengganggu kepaduan suara tim, dia terapi dengan cara yang bijak. Dia minta Mas Sunarto menghentikan iringannya, dan berkata “suara dari kelompok tenor” terlalu dominan, tolong ya suara dari kelompok lainnya. Kami tentu saja kenal dan sadar betul si pemilik suara yang dominan itu ada di kelompok tenor, Zatni Arbi, salah satu vokalis PSUI, sosok yang dalam tingkat olah vokal, terbaik di antara kami. Silakan Mas Sunarto, piano kembali berdenting, suara kelompok tenor tetap, lagu padu sampai akhir. Mengajari, tanpa menggurui, sebuah pengalaman dan pembelajaran berharga dalam hidup saya. Mengenai sosok sang pianis PSUI, Mas Sunarto. Beliau di mata kami adalah pribadi yang melihat hidup ini dengan penuh keceriaan. Bagi saya, Mas Sunarto adalah pianis itu sendiri. Kedua tangannya seakan bermata, begitu menyentuh tuts, suara dari partitur mengalun dengan indahnya. Beliau pribadi yang baik hati, selalu tersenyum ketika disapa, dan pasangan padu, serasi bagi Mas Lilik dalam melatih PSUI. Melalui laman Facebook Idjul saya terima berita bahwa kedua sosok yang saya kagumi ini telah tiada, begitu juga sipemilik suara tenor, vokalis PSUI, Zatni Arbi, dan mungkin juga ada rekan-rekan lainnya. Hanya satu pinta, semoga Allah ‘Azza wa Jalla, memberi kemudahan bagi mereka.
Membahas pelatih sudah, pianis juga sudah, tinggal sosok sang Ketua PSUI, dan pasangannya yang belum. Di bawah kepemimpinan Idjul, dan tentu saja didukung penuh Reni, PSUI adalah ikatan keluarga mahasiswa yang dipenuhi nuansa harmonis bagi anggotanya. Dalam latihan rutin setiap hari minggu, suasana canda dan ceria selalu menghiasi aktifitas kami. Keakraban sesama anggota mampu dijaga dan dikembangtumbuhkan oleh kerjasama antara Idjul dan Reni sebagai tim. Bagi saya, Zatni, juga Syahrial Saibi (Alan) yang berasal dari latar budaya yang sama dengan Idjul dan Reni, Minang, jumpa dalam aktifitas bernyanyi, baik latihan rutin sekali seminggu, atau pun yang dua kali seminggu saat mau ikut festival, terasa ringan dan menyenangkan. Sebab, bagi Alan dan Zatni yang PTL (Padang Tembak Langsung-keduanya mondok di Asrama Daksinapati), dan saya meski lahir di Padang, tapi dari SD sudah di Jakarta, tinggal di jalan Pemuda, sepakat untuk satu hal, pengelolaan PSUI di bawah pimpinan Idjul dan Reni sudah sesuai alur, “benar”, “baik”, dan “patut”.
Prinsip kebersamaan dalam PSUI untuk menjaga maruah almamater nampak dalam latihan, terutama saat bertanding. Ini sesuai dengan kaidah “Ka bukik samo mandaki, Ka lurah samo manurun” (Ke bukit sama mendaki, Ke lurah/lembah sama menurun). Prinsip kesetaraan nampak dalam penampilan Idjul dan Reni yang tidak ngebosi. Ini sejalan dengan kaidah “Duduak nan sahamparan, Tagak nan sapamatang” (Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi). Singkat cerita, Idjul dan Reni memenuhi unsur “benar”, sebab mereka berdua menjadi pimpinan PSUI. Kedua sosok ini juga memenuhi unsur “baik”, sebab sudah mengelola PSUI dengan prinsip kebersamaan dan kesetaraan. Akhirnya unsur “patut” terpenuhi untuk mereka, sebagai pemimpin. Khusus untuk Reni dengan keberadaannya saat ini, hanya satu kata “patut”.
Jakarta, 31 Januari 2022