Kamis, 24 Februari 2022

Kenangan Belajar Dari Mbak Reni

Oleh: Natalia Indrasari MA, MS, LMFT, IADC | Alumni Fakultas Psikologi UI yang bermukim dan berpraktek di Des Moines, Amerika Serikat

Pertama kenal mbak Reni itu sekitar tahun 1993/1994, Ketika Lia baru jadi mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Namanya anak baru, kan, setiap mengambil mata kuliah, suka tanya-tanya ke kakak kelas tentang bagaimana kelasnya, bagaimana dosennya, dan lain sebagainya supaya bisa siap-siap. Nggak terkecuali ketika mengambil kelas Psikologi Pendidikan I. Ada beberapa dosen yang mengajar mata kuliah itu, salah satunya Mbak Reni Hawadi.

Dengar-dengan dari kakak kelas, katanya mbak Reni itu galak. Beberapa pesan dari kakak kelas, dan di wanti-wantiiii banget sebelum mengambil kelasnya mbak Reni: “Hati hati sama mbak Reni” katanya, “Kuliah sama mbak Reni nggak bisa ngasal, jangan pernah ngobrol dikelas kalau nggak mau disuruh keluar”. “Harus tepat waktu kalau masuk kelas dan mengumpulkan tugas, bisa gak boleh masuk (jadi diitung absen)dan gak akan dikasih perpanjangan”. “Harus rapi kalau mengerjakan tugas dari mbak Reni, kalau beliau nggak berkenan, itu paper bisa dikembalikan dan harus diulang”, dan lain sebagainya. Pokoknya typical dosen killer gitu lah kesannya.

Perasaan Lia waktu dengar pesan itu, terus terang malah merasa tertantang, “Masa iya sih, segitunya?” gitu. Ketika kelas mulai, bener aja, emang galak. Hihihihi. Mbak Reni kalau bicara di kelas itu saklek. Iya iya, nggak, nggak. Nggak pakai basa basi dan nggak belok-belok. Memang kalau sekelewatan, nada bicaranya terdengar ketus, judes gitu. Kaya nggak ramah. Tapi if you really listen, kalau disimak, mbak Reni itu sebenarnya lucu kalau menerangkan. Banyak humornya, rada sarkastik memang, mungkin itu makanya nggak banyak yang ngerti. I love sarcasm, so I enjoyed it. Jadi seneng sih kalau mendengarkan mbak Reni menerangkan. Teges, tapi very clear, dan mbak Reni itu memang super organized. Jadi memang kayanya nggak seneng kalau sesuatu itu nggak rapi atau nggak teratur gitu. Beliau bisa ngomel panjaaanggg banget kalau ada yang nggak beres. Mungkin itu yang ditakutkan oleh banyak mahasiswa nya. Padahal sih, kalau di dengarkan omelannya itu, beliau itu sebenarnya banyak banget ngasih masukan, royal banget feedbacknya. Kalau di kerjakan sesuai saran dan masukannya, sebenernya kita, mahasiswa juga kok yang beruntung, jadi tahu dan bisa mengerjakan sesuatu secara benar dan paripurna. Jadi kalua buat Lia pribadi si, Lia lebih senang dosen seperti mbak Reni, kan namanya masih belajar ya, kita nggak di expect untuk bisa atau tahu semua. Ke tahun-tahun berikutnya kalau ada adik kelas nanaya gimana mbak Reni, Lia bilangnya, be open minded, gausah sok tau, dan gausah pake dibawa ke hati, didengerin aja yang banyak, karna mbak Reni mau mahasiswanya maju.

Satu hal lagi yang Lia suka tentang cara mbak Reni mengajar adalah, beliau itu banyak bertanya pertanyaan terbuka, kita disuruh mikir, memang untuk ngecek juga kan, apa kita baca bahan dan mendengarkan. Mbak Reni itu senang menantang mahasiswanya berpikir kritis dan kreatif. Kalau ada jawaban mahasiswanya yang “nggak biasa”, atau kata orang jaman sekarang “thinking out of the box”, mbak Reni itu malah terlihat senang sekali, she entertained the thought, nggak langsung di shut down gitu, dan saat mendengarkan ide-ide ajaib itu beliaunya bisa ketawa lepasss banget, kaya hepi banget, gitu. Sempat beberapa kali pas selesai kelas, kakak-kakak kelas suka nanya, “Itu tadi mbak Reni Hawadi yang tadi ketawa? Kok bisa?” gitu. Mungkin Angkatan Lia memang berisi anak-anak ajaib, yang emang pikirannya agak-agak aneh. Tapi ini malah membuat mbak Reni kayanya jadi very interested dalam melibatkan kami-kami di project-project beliau.

Awal-awalnya beliau suka menawarkan, ada nggak yang berminat mengerjakan data entry hasil penelitian, karna mbak Reni sering bikin penelitian. “Ada upahnya” Kata mbak Reni, “Kita fair-fair an aja, segini per entry, tapi formatnya harus begini dan dikumpulkan tanggal segini, jam segini, nggak boleh telat”. Yah namanya mahasiswa kan, seneng aja kalau bisa dapat uang jajan tambahan. Jadi disitu Lia dan beberapa teman mulailah banyak ikutan dengan projectnya mbak Reni.

Selain terlibat di penelitian, ada lagi kegiatan mbak Reni yang Lia ikut terlibat didalamnya. Sekitar tahun 1996/ 1997 mungkin ya, udah tingkat 3 atau 4 ceritanya, Lia udah banyak mengambil mata kuliah pilihan di masa itu. Salah satunya kelas keberbakatan, yang diajar mbak Reni. Lia dan salah satu sahabat Lia, Cida namanya, sama-sama mengambil kelas ini. Banyak tugas-tugas di kelas keberbakatan, salah satunya bikin tulisan tentang keberbakatan dan leadership, dan belajar membuat module training. Setelah kelas selesai, mbak Reni menawarkan, “Ini ada project Lab School dan TNI Angkatan Laut buat pelatihan kepribadian dan kepemimpinan remaja saat libur sekolah, mau bantuin nggak, ada upahnya” kata mbak Reni, ya mau banget laah mbaaaak. Tertariknya bukan hanya ada upahnya, tapi kan ini kesempatan untuk menguji apakah module yang di buat di kelas waktu itu bisa diaplikasikan apa nggak. Di project itu, Lia dan Cida adalah anak bungsu, karena kakak-kakak kelas yang diikut sertakan mbak Reni itu rata-rata Angkatan 1989, 1990 dan 1991 yang kebanyakan sedang mengambil stasis buat jadi Psikolog. Kita buat modul pelatihan lewat menggunakan permainan dan aktifitas yang fun, very experiential dan hands on. Hepi banget ngerjain project itu. Sering ketemu untuk bikin bahan pelatihan dan ahirnya adalah menjalankan modul itu di kapal Angkatan Laut. Kita dibawa berlayar ke perairan sekitar Kepulauan Seribu, sempat docking ke salah satu pulaunya, untuk menjalankan aktifitasnya di pulau. Seruuuu banget. Kita belajar banyak sekali soal ini, yang berguna banget di pendidikan Lia selanjutnya, dan juga di pekerjaan Lia sekarang-sekarang ini.

Nah, hal lain yang berkaitan dengan cari-cari tambahan uang jajan, dan kadang dalam rangka penggalangan dana Psycamp (Lia selalu jadi ketua seksi konsumsi dari tahun 1994 sampai lulus), Lia dan beberapa teman tuh suka membuat acara bazaar di kampus, jualan makanan dan kerajinan. Dosen-dosen, termasuk mbak Reni suka beli, namanya mau bantu mahasiswanya, kan. Mbak Reni saking seringnya beli, jadi ngasi ide, “Kalian bikin kaya menu kek, apa aja yang di jual, gitu, harganya berapa, jadi kalau mau pesen gampang”. Ya jadi lah kita bikin rotating menu, tergantung mood yang pingin masak, hehehe. Mbak Reni pesanan favoritnya itu brownies, strawberry cake, pastel tutup, dan macaroni schotel. Pesen biasanya buat acara pengajian, atau kumpul-kumpul apa gitu, mbak Reni kan aktif di banyak organisasi.

Ini ceritanya pernah mbak reni pesan cake untuk acara pengajian sebelum beliau pergi Haji. Mbak Reni itu orangnya kan blak blakan gitu ya, jadi kalau pas pesen, ya pake dicerewetin dulu, “Ini bisa dianter nggak? Saya perlu segini porsi, udah dipotong-potong ya, ini saya ada kotakan pesan dari tempat lain, bisa nggak di kemas yang bisa langsung dimasukkan ke kotak yang sudah ada? Hari ini, jam segini, dianter ke sini”, dan seterusnya. Kata mbak Reni “Yang saya bayar itu bukan hanya produknya ya, tapi juga service nya, profesionalitasnya saya mau liat.” Wah, saking takutnya telat nganter kue, yang buat mau naik haji itu, Lia dan Cida bikin dan mengemas kue sampe jam 3 pagi, padahal ada kuliah jam 8, hari itu, untuuungg bukan ujian jam 8, hahaha. Tapi kan namanya sudah komit ya, jadi harus beres. Untung juga ada supir, jadi seperjalanan ke kampus Depok, kita tidur di jalan, supaya nggak ngantuk di kelas.

Mbak Reni itu sekali lagi, sangat fair. Kalau beliau hepi, beliau selalu ngasih lebih, “ni buat tambahan jajan” gitu, dan yang Lia ingat, mbak Reni pernah bilang, “Yang bikin mbak Reni senang pesan ke kamu itu, kuenya enak dan motongnya rapi , ukurannya sama semua, dan udah dikemas bagus, jadi liatnya juga bikin selera”. Wah noted banget itu, jadi semangat kan kalau di recognize gitu. Walau mbak Reni nggak tau aja, itu motong kue pake penggaris metal tu mbak, supaya bisa precise gitu. Dan kita juga jadi dapat banyak orderan dari dosen-dosen lain karna mbak Reni mempromosikan juga itu kue-kue dan makanan lain ke kolega-kolega mbak Reni.

Nah karena sering berinteraksi ini, Lia jadi sering ngobrol sama mbak Reni dan suaminya, Bang Ijul. Salahsatunya tentang mau ngapain setelah lulus. Sekitar tahun 1998/1999 itu program studi S1 Psikologi kan lagi banyak perubahan, Lia lagi mikir-mikir ini mending melanjutkan sekolah ke luar negri, apa melanjutkan program profesi buat jadi psikolog di UI aja. Saat itu Lia nyoba cari banyak masukan dari beberapa dosen tentang rencana lanjutan ini. Beberapa diantaranya dengan Bu Bernadette Setiadi yang merupakan pembimbing akademis Lia, Bu Yati Utoyo Lubis, yang waktu itu adalah Dekan Psikologi, dan juga teman keluarga, Bu Jeanette yang merupakan dosen pembimbing skripsi, dan mbak Reni, yang emang enak aja di curhatin. Semua menyarankan Lia melanjutkan sekolah di luar. Alasan yang diberikan beda-beda. Yang Lia ingat dari mbak Reni, mbak Reni bilang gini, “Lia, kan kamu punya sarana, sekolahlah yang kamu mau sekarang, sebelum ada yang serius juga kan sama soal perjodohan, kalau sudah serius , kita perempuan suka susah melanjutkan, bisa sih, tapi musti cari laki-laki yang bisa mendukung kamu, mumpung belum ada, sekolah aja dulu.”Waktu itu konteksnya adalah Lia mau belajar Psikoanalisa. Salahsatu school of thought yang rada ditakuti karna belibet, dan pendidikannya lama.  

Jadi setelah Lia lulus, Lia pergi ke Inggris melanjutkan S2 di bidang Psychoanalytic Studies, dan kemudian lanjut lagi ke Hawaii untuk melanjutkan S2 lagi di Counseling Pychology dengan spesialisasi Marriage and Family Therapy, yang ahirnya jadi berpraktek di US. Dengan Lia ke luar negri memang Lia jadi bisa liat ya mbak, dengan lebih jelas, Lia itu siapa, bisanya apa, I learn to not sweat the small stuff, dan kerja secara professional dengan full commitment. Nggak ngasal gitu loh mbak. Dan yang terpenting dari pesannya mbak Reni, Lia cari suami yang mendukung maunya Lia apa, karna Lia kan emang banyak maunya, nahh untung dapet yang modelnya begini mbak, hahahaha. Jadi emang bener, semua yang Lia cita-citakan, alhamdulillah bisa tercapai, apakah itu di bidang psikologi, atau masak memasak yang serius, yang sampe ahirnya Cida dan Lia bisa bikin Café beneran, yang sekarang ini udah masuk tahun ke 6. Btw itu kue-kuenya macemnya makin banyak lo mbaaakkkk.

Semenjak lulus tahun 1999, memang sudah jarang ketemu mbak Reni in person. Tapi somehow kita selalu keep in contact. Buat Lia personal, mbak Reni itu bukan hanya seorang dosen, tapi juga seorang mentor. Apa yang diajarkan dari mbak Reni ke Lia itu beyond mata kuliah Psikologi Pendidikan loh mbak, but also about life lessons and life skills. Terus terang ni mbak, setelah kelas mbak Reni yang belajar tentang gaya belajar itu, Lia jadi tahu gaya belajar Lia dan benar-benar Lia aplikasikan di dua Pendidikan S2 berikut-berikutnya. “Knowing myself made it so much easier to study”.  Mbak Reni juga secara nggak langsung mengajarkan Lia untuk bisa menerima dan lebih comfortable untuk jadi diri sendiri. “You modeled this”. Mungkin mbak Reni nggak menyadari impact ini ke Lia. “But, you did changed my life, for the better, and with that I am forever grateful”. Selamat ulang tahun ke 65 ya mbak Reni, “just so that you know, you did a lot in your life, and you have touched so many lives, even without you knowing” Semoga mbak Reni selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan umur panjang. I enjoy every conversations I have with you. Semoga masih banyak waktu buat kita ngobrol ya mbak… Kapan ni mbak kita ngopi dan makan kue lagi?

 

Des Moines, January 23, 2022,

Love always,

Natalia Indrasari MA, MS, LMFT, IADC

 

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia