Selasa, 17 April 2018

Strategi Pendidikan Bagi Pembentukan Perilaku Islami Anak Ditinjau dari Pengalaman Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN

STRATEGI PENDIDIKAN BAGI PEMBENTUKAN PERILAKU ISLAMI ANAK DITINJAU DARI PENGALAMAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI TANTANGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 

Lydia Freyani Hawadi 

Disampaikan dalam Simposium Internasional tentang Pendidikan Anak “Pembentukan Perilaku Islam Anak Menghadapi Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN” Diselenggarakan oleh Universitas Al Azhar bekerjasama dengan Majelis al ‘Alimat al Muslimat Indonesia, di Kampus UAI – Jakarta, pada hari Kamis, tanggal 8 Oktober 2015.

I. Masyarakat Ekonomi ASEAN 
Pengertian. Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN atau Pasar Bebas ASEAN sudah tinggal hitungan hari saja, 31 Desember 2015. Sejenak melihat kebelakang, pada tahun 2003, rentang waktu 36 tahun setelah terbentuknya ASEAN, 10 (sepuluh) pemimpin Negara Asia Tenggara bersepakat membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini akan berimplikasi bahwa Indonesia dan sembilan Negara ASEAN lainnya (Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja) akan menjadi salah salah satu kekuatan ekonomi kawasan di dunia. Hal ini berarti arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar dan tenaga-tenaga terampil menjadi lancar masuk dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Visi yang ingin diwujudkan oleh ASEAN adalah “Satu Visi, Satu Identitas dan Satu Komunitas”.

Tantangan dan Peluang MEA. Kekuatan Indonesia terletak pada jumlah penduduknya yang besar. Dari data populasi penduduk tahun 2015, 3,5% penduduk dunia berada di negara kita Indonesia yaitu 270.234.842 jiwa. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk keempat terpadat setelah Cina, India dan Amerika. Untuk kawasan Asia Tenggara jumlah keseluruhan penduduk di tahun 2015 adalah 633 juta jiwa, sehingga dapat kita simpulkan bahwa sebesar 42,65% kekuatan pasar MEA berada di Indonesia. Kekuatan Indonesia yang lain adalah penduduk dengan jumlah penganut agama Islam terbanyak di dunia. Dengan begitu, dari sisi agama yang dianut, Islam menjadi agama yang paling banyak dianut di ASEAN. Indonesia dapat berperan besar disini, menghadirkan wajah Islam dalam setiap sendi kehidupan manusia ASEAN sebagai suatu rahmatan lil alamin.

Selain penyusunan kurikulum pendidikan Islami di sekolah-sekolah, juga adanya regulasi tentang kemudahan, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah agama Islam di ruang publik. Indonesia dilihat sebagai negara dengan etnis yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 etnis dengan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Ini kekuatan Indonesia lainnya, walaupun berbeda-beda tapi satu. Anak Indonesia sejak dini telah ditanamkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dan di era MEA keberagaman ini menjadi bertambah, anak Indonesia tidak lagi hanya bergaul sebatas suku bangsa berikut adat dan kebudayaan Aceh, Batak, Minang, Melayu, Jawa, Sunda, Bali, Timor, Dayak, Bugis, Minahasa, Maluku, dan Papua saja. Mereka akan melakukan pertemanan dengan saudara-saudaranya sesama Negara ASEAN. Disini Indonesia berperan besar membangun unity in diversity ASEAN juga terhadap anak-anak Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja dengan identitas baru “Aku Anak Asia Tenggara”. Ruang kelas sekolah-sekolah ASEAN akan seperti kelas-kelas di Amerika saat imigran menyerbu Amerika dari belahan dunia manapun komposisi budaya di kelas berubah, disana ada Afrika Amerika, Asia Amerika dan Latino Amerika. Indonesia bisa menjadi lokomotif untuk berkembangnya pendidikan multikultural yaitu pendidikan yang mengangkat kesamaan pada peserta didik. Kemajemukan dalam etnis,bahasa, ekonomi, gender dan agama perlu diangkat dan menolak bentuk penolakan maupun diskriminasi dari hal-hal tersebut.

II. Pendidikan Berbasis Agama 
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan mewujudkan manusia yang berkualitas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada fungsi sistem pendidikan nasional ini, maka pendidikan bagi generasi muda diupayakan memiliki wawasan luas disertai oleh jiwa spiritualitas yang tinggi, sehingga yang paling utama bagi pendidikan adalah bagaimana mencetak peserta didik menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dan memiliki pengetahuan yang luas.

Tujuan pendidikan nasional ini sejalan dengan gambaran manusia yang berkualitas dalam Alquran, diantaranya kalimat manusia yang beriman (Q.S. 49:14) dan beramal saleh (95:6), takwa (Q.S. 2:177), diberi ilmu (Q.S. 17:85), berakal (67:10), jiwa yang tenang (Q.S. 89:27-28) serta hati yang tentram (Q.S. 13:28). Dari sini jelas, bahwa karakteristik manusia yang berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Allah yang beriman, sehingga hanya kepada Allah bermunajat serta memberikan manfaat bagi sesamanya sebagai wujud dari iman kepada Allah SWT.

Dalam tujuan pendidikan nasional bahwa beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME ditempatkan pada posisi pertama, dan sudah menjadi aksioma umum bahwa hal ini hanya dapat terwujud dengan pendidikan yang berbasis agama. Karena pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia.

Ungkapan iqra’ yang mengawali penyampaian pesan-pesan ilahi kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW, dimana ungkapan tersebut bermakna tonggak utama dalam pencarian ilmu harus dikaitkan dengan Tuhan (iqro’ bismi Robbik). Hal ini berarti belajar, meneliti, membaca dan segala aktivitas pencarian ilmu lainnya mesti dimulai dari Allah. Hal tersebut juga menggambarkan betapa erat keterkaitannya antara pembelajaran dengan iman. Selanjutnya Yusuf (2013) menyebutkan ada empat inti pendidikan yang berbasis agama adalah sehingga ketakwaan dan kesalehan anak atau peserta didik akan terwujud, yaitu:

a. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia secara individu adalah makhluk Allah yang mempunyai tanggung jawab dalam kehidupan ini;

b. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa manusia sebagai makhluk sosial adalah anggota masyarakat dan mempunyai tanggung jawab dalam sistem kemasyarakatan dimana berada;

c. Memperkenalkan kepada mereka, bahwa alam ini ciptaan Tuhan dan mengajak peserta didik memahami hikmah Tuhan menciptakannya, kemudian menjelaskan pula kepada mereka kemestian melestarikannya;

d. Memperkenalkan pencipta Alam dan mendorong mereka beribadah kepada-Nya.

Dengan demikian dapat dikatakan tujuan utama dari pendidikan berbasis agama adalah tauhid dan beribadah kepada-Nya. Maka setiap materi pembelajaran mesti mengarahkan peserta didik kepada tujuan tersebut. Tidak ada perbedaaan antara kajian-kajian keislaman dengan kajian yang lainnya dalam persoalan prinsip pembangunan akhlak serta ketundukan kepada Sang Pencipta. Semua materi pembelajaran termasuk tujuan pembelajarannya dirancang berdasarkan prinsip tersebut, hanya saja perbedaaannya adalah dalam masalah persoalan target kognitif, ketrampilan dan afektif keilmuan. Kognitif yang ingin dibentuk oleh kajian keislaman, misalnya berbeda dengan kognitif yang ingin dibangun oleh bidang studi biologi, demikian pula ketrampilan dan afektif keilmuan. Namun untuk persoalan afektif sebagai makhluk Tuhan mesti menjadi tujuan utama pembelajaran semua bidang studi.

Pendidikan sebagai suatu proses sekaligus sebagai lembaga yang melaksanakan proses tersebut bertugas membangun kepribadian manusia, yang meliputi daya pikir, perilaku, emosional dan pola interaksi dengan alam sekitar baik manusia maupun makhluk lainnya yang berpadu dengan iman dan akhlak mulia.

Maka dalam perspektif Islam, ranah tujuan afektif terbagi kepada dua hal yaitu afektif keilmuan dan afektif atau sikap kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan. Kompetensi kognitif dan afektif keilmuan dan ketrampilan mesti diarahkan kepada tujuan yang lebih utama, yaitu afektif keimanan atau kesadaran diri sebagai makhluk Allah dan dirinya sebagai suatu unsur dari sistem alamiah yang ada di sekitarnya. Kesadaran seperti akan melahirkan kesalehan, baik kesalehan vertikal maupun horizontal.

Terkait pembentukan perilaku Islami dalam era MEA, Indonesia bersama-sama dengan Malaysia dan Brunei Darussalam bisa saling sharing dari best practices tentang sejauh manakah impelementasi perilaku Islami sudah berjalan baik sekaligus introspeksi tentang hasil “Islamicity Index” yang dilansir periset dari George Washington University. Mengapa indeks Islami tertinggi diduduki justru oleh negara-negara non muslim, seperti New Zealand diperingkat nomor satu, sementara Indonesia harus puasa bertengger pada urutan ke 140. Indeks Islami ini menarik menjadi bahan kajian bersama para ulama di tiga negara ASEAN tersebut agar kedepan banyak hal yang kita pelajari tentang Islam bukan sebatas pengetahuan yang mengendap di otak anak-anak kita saja namun menjadi bagian perilaku keseharian mereka.

III. Strategi Pendidikan Bagi Pembentukan Perilaku Islami 
1. Strategi pendidikan dengan menggunakan classical conditioning, yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov (1920) dapat menjadi acuan pendidik. Ingat bahwa emosi dan sikap sama halnya materi pelajaran, dipelajari anak dalam kelas. Banyak reaksi-reaksi emosional kita yang terjadi dalam berbagai situasi merupakan sesuatu yang dipelajari bagian dari kondisioning klasik ini. Ada istilah diantara dokter-dokter “white coat syndrome”, tekanan darah pasien langsung naik saat di ruang pemeriksaan. Mengapa anak yang satu rajin sholat sementara anak lainnya susah sekali diajak sholat? Mengapa setiap ada guru mengaji datang langsung sakit perut? Sebaliknya harus dibentuk sikap begitu adzan berkumandang, anak-anak langsung wudhu dan bersiap sholat. Begitu terdengar guru mengaji mengucapkan assalamualaikum di depan pintu masuk rumah, anak sudah siap menyambut dan langsung mengaji.

2. Strategi pendidikan dengan mengkondisikan lingkungan atau operant conditioning dikembangkan oleh B.F. Skinner (1953). Menurut Skinner, suatu perilaku terjadi karena adanya dua set lingkungan yang berpengaruh yaitu anteseden dan konsekuen. Model belajar A-B-C ini (Antecedent – Behaviour- Consequence) dapat menjelaskan bagaimana kita dapat membentuk perilaku yang kita inginkan melalui suatu penguatan pemberian hadiah ataupun hukuman. Boleh disebut hal ini sebagai pendidikan dengan pembiasaan. Perilau-perilaku Islami yang ingin kita tanamkan pada anak seperti salim, masuk rumah menyebutkan assalamualaikum,sholat berjamaah, berpuasa, membaca doa usai sholat, membaca Al Qur’an saat usai subuh, dan lain sebagainya adalah hasil dari pembiasaan.

3. Strategi pendidikan dengan belajar dari pengamatan atau vicarious learning, dikembangkan oleh Albert Bandura (1965). Melalui percobaan boneka Bobo pada anak pra-sekolah, ia telah membuktikan bahwa we all may know more than we show. Ketiga kelompok subjek diajak menonton film boneka Bobo. Kelompok satu melihat model difilm diberi reward saat berlaku agresif, kelompok kedua melihat model diberi punishment saat berlaku agresif dan kelompok ketiga tidak diberikan konsekuensi apapaun saat melihat model berlaku agresif. Namun ketika anak-anak dalam kelompok ini dijanjikan akan diberi hadiah jika berperilaku agresif, mereka serta merta anak-anak kelompok ketiga ini mampu mendemonstrasikan perilaku agresif. Belajar melalui pengamatan bisa disebut belajar dari keteladan. Dalam Islam, keteladanan merupakan metode yang sangat sukses untuk mempersiapkan akhlak seorang anak, membentuk jiwa serta sosialnya. Sebab seorang pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak dan akan menjadi panutan baginya. Disadari atau tidak, sang anak didik akan mengikuti tingkah laku pendidiknya, bahkan akan terpatri kata-kata, tindakan, rasa dan nilainya di dalam jiwa dan perasaannya. Rasul Saw juga memberikan teladan ketika menyampaikan suatu misi kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, contoh hadis Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Istri beliau yaitu Aisyah RA. Ketika beliau mendirikan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak,lalu Aisyah berkomentar tentang perilaku Rasul SAW dalam sholat malamnya dengan katanya,”Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosa-dosamu yang lampau dan akan datang, tetapi kenapa ibadah sholat malammu sampai sedemikian hebat. Lalu Rasul SAW menjawab:”Apakah engkau tidak ingin melihatku sebagai hamba yang bersyukur?”. Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa Rasul SAW yang sudah dijamin diampuni semua dosa-dosanya yang lampau maupun yang akan datang oleh Allah, tetap masih saja memperlihatkan kesungguhannya dalam mendirikan sholat malam di hadapan istrinya. Hal ini tidak lain sebagai bentuk keteladanan Rasul SAW pada kita semua.

4. Strategi pendidikan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip teori belajar untuk mengubah perilaku, behavior modification. Pendidik dapat melakukan banyak hal agar suatu perilaku baik tetap bertahan, atau ingin membentuk perilaku baru dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Disini pendidik harus jeli memberi perhatian dan pemantauan terhadap akidah dan akhlak anak yang akan dibentuk, dengan menggunakan continous reinforcement schedule. Jadwal pemberian penguatan yang berlangsung terus menerus ini bisa dalam bentuk interval waktu, baik jangka waktu menetap tertentu ataupun waktu yang tidak ajeg. Kalau setiap guru mengaji datang anak mengaji, ia akan diberikan token . Setelah perilaku rajin mengaji terbentuk, tidak lagi diberikan setiap kali ia mengaji, namun bisa bervariasi dua minggu sekali atau sebulan sekali, dan seterusnya. Model lainnya, pemberian penguatan berdasarkan rasio, sejumlah surat yang anak hafal dalam jumlah tertentu atau berapa saja. Setiap anak baca Al Qur’an satu ain, anak memperoleh hadiah, kemudian setelah perilaku membaca satu ain ini terbentuk maka berikutnya pendidik bisa memberikannya setiap satu surat selesai, atau satu juz.

Hal yang perlu diperhatikan tentang strategi belajar adalah yang disebut production deficiencies (Pressley and Harris, 2006) yaitu dimana pembelajar mengetahui bahwa seharusnya, materi yang telah ia pelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya, namun ternyata tidak berjalan. Anak sebagai pembelajar tidak cukup hanya mengingat, memahami namun harus mempraktekkannya. (Woolfolk, 2010) menggaris bawahi ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, materi yang diberikan ke anak harus appropriate. Kedua, anak harus tahu tujuan dari pembelajaran tersebut. Ketiga, anak perlu diyakini bahwa usaha dan banyaknya hasil yang dipelajarinya akan berguna kelak bagi hidupnya kelak.

Kalangan constructivist lebih menekankan pada materi pembelajaran yang dapat digunakan, bukan pada banyaknya materi yang dijejalkan. Proses belajar konstruktif ini bisa berjalan baik jika konten pelajaran melekat pada lingkungan belajar yang realistik dan relevan. Sebagai contoh yang telah dilakukan banyak di sekolah-sekolah TK Islam, sebelum mulai masuk pelajaran anak-anak akan bersama-sama membaca doa menuntut ilmu; sebelum makan anak diajak membaca doa sebelum makan. Demikian pula anak diajar untuk menjadi anak yang sholeh sholeha dengan cara diajar berdoa untuk ayah ibu mereka.

Bagaimana peran keluarga? Keluarga merupakan institusi pendidikan terpenting, keluargalah yang pertamakali berinteraksi dengan anak sejak dilahirkan. Keluarga pendidik pertama dan utama anak, yang bertanggung jawab memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya agar kesucian yang dimiliki anak sejak lahir terjaga. Dan sebaliknya keluarga pula lah yang membuat anak menjadi seperti apa yang disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad SAW: “ Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (Hadits riwayat al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam mu’jamul kabir).

Hadist diatas ingin menunjukkan bahwa fitrah – kondisi- tersebut bukan sesuatu yang terwarisi. Hal ini rupanya sesuai dengan temuan yang dilakukan oleh banyak periset tentang hampir semua perilaku. Pertanyaan tentang perilaku seseorang dipengaruhi oleh hereditas atau lingkungan menjadi daya tarik periset untuk meneliti lebih jauh. Pertama, bukti-bukti kembar satu telur (monozygote) dan dua telur (dizygote) serta adopted children menunjukkan kuatnya pengaruh turunan. Namun kemudian ada hal lain dimana periset menemukan keterkaitan antara gen dengan disorder. Misalnya ada gen tertentu yang biasa ditemukan diantara orang dengan kondisi depresi. Hal ini menarik untuk ditelaah lebih jauh seberapa banyak gen dapat diasosiasikan dengan suatu kondisi? Bagaimana dampaknya? seperti kesepian (McGuire dan Clifford, 2000), neurotisism (Lake, Eaves, Maes, Heath dan Martin, 2000), menonton televisi (Plomin, Corley, DeFries, dan Fulker, 1990), dan sikap sosial (Posner, Baker, Heath, dan Martin, 1996). Tapi ada satu perilaku yang secara signifikan tidak mampu diwariskan (heritability) yaitu afilisasi terhadap agama- seperti Yahudi, Protestan, Katolik, Buddha (Eaves, Martin dan Heath, 1990).

Di era MEA dan secara umum dunia yang semakin terbuka dengan kecanggihan IT, maka anak dan kita belajar dengan mudah tentang apapun. Kemudahan ini bisa dimanfaatkan oleh kita, baik di rumah dan sekolah untuk mentransfer pengetahuan melalui media sosial, games, dengan pesan-pesan Islami yang diinginkan.

IV. Penutup 
Indonesia memiliki segudang kekuatan untuk siap menghadapi Pasar bebas ASEAN, namun juga sejumlah tantangan untuk bisa unggul ditengah negara-negara ASEAN lainnya. Hal yang utama terkait erat dengan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai Islami dan aplikasinya dalam kehidupan keseharian sehingga nilai-nilai perilaku Islami itu nyata. Pembentukan perilaku Islami harus mewarnai tidak saja di Indonesia tapi negara-negara ASEAN secara menyeluruh. Meskipun nilai-nilai Islami terbentuk dalam perilaku anak, orangtua tidak dapat berlaku taken for granted terhadap afiliasi religiusitas yang dianut anak. Mari gunakan secara maksimal kecanggihan IT untuk transfer pengetahuan nilai-nilai Islami.

Referensi 
Baron, R.A., Byrne, Donn and Branscombe, N.R.(2006).
Social Psychology. Boston : Pearson, Feist,J and Feist,G.J.(2009).
Theories of Personality. Boston: McGraw-Hill. Kalat, J.W.(2009).
Biological Psychology.Australia : Wadsworth. Woolfolk,Anita. (2010).
Educational Psychology. New Jersey : Pearson. Yusuf,K,M. (2013).
Tafsir Tarbawi (Pesan-pesan Alquran Tentang Pendidikan, Jakarta: Amzah.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia