Rabu, 18 April 2018

Mitos-mitos Seputar Keberbakatan

Sudah seringkali bahkan teramat sering saya mendengar keluhan orangtua yang pusing tujuh keliling memiliki anak berbakat. Mereka mengatakan lebih memilih mempunyai anak “normal” saja. Rupanya para orangtua anak berbakat ini terpengaruh mitos tentang anak berbakat yaitu “ anak yang tidak bahagia, anak yang sulit, anak yang tidak bisa diajak berkomunikasi, anak yang secara fisik lemah, anak yang secara sosial sulit bergaul, anak yang sangat banyak membaca buku, dan anak berkaca mata tebal “. 

Baik di rumah (orangtua) maupun di sekolah (guru) melihat anak berbakat sebagai anak yang bermasalah karena mereka bersandar pada standar anak normal. Model pendekatan yang bersifat uniform ini akan menuntut setiap anak bersikap sama. Atmosfir yang ada di lingkungan sekolah kurang melihat adanya perbedaan individual. 

Sehingga yang terjadi anak berbakat dilihat sebagai anak yang bermasalah. Ia tidak saja diisolasi dalam pergaulan oleh teman sebayanya tetapi juga oleh gurunya. Sehingga tidak heran, jika kita membaca literature anak berbakat, pada abad 18 orang tua lebih memilih menyembunyikan anak berbakatnya di dalam rumah. Saat itu orangtua malu memiliki anak berbakat. Sedangkan guru beranggapan bahwa anak berbakat tidak perlu diberi perhatian khusus, karena toh mereka dengan keberbakatan yang dimilikinya akan dapat dengan sendirinya muncul ke atas. Boleh dikatakan hanya sedikit sekali orangtua ataupun guru yang mendorong anak untuk lebih baik dari pada anak sebaya pada umumnya. 

Menurut saya dunia patut berterima kasih pada Lewis Terman, seorang psikolog Amerika, yang pada tahun 1907 melakukan studi pada 7 orang anak pintar dan 7 orang anak bodoh, (dikenal dengan Genius and Stupidity : A Study of the Intellectual Processs of Seven Bright and Seven Stupid Boys). 

Dalam penelitiannya ini ternyata anak-anak yang cerdas tersebut tidaklah sesuai dengan mitos yang berkembang, bahwa anak cerdas terganggu secara mental, berpenampilan aneh dan bersikap antisosial. Penelitian Terman untuk disertasi doktoralnya kemudian dilanjutkan pada tahun 1919 dalam jangkauan yang lebih luas. Dalam penelitian yang dikenal dengan The Stanford Studies of Genius, - karena Terman membentuk tim yang terdiri dari para koleganya dari Stanford University-, ia melakukan studi longitudinal. Subjek penelitiannya sebanyak 1500 anak-anak dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA, dengan IQ 140 atau lebih (sementara rata-rata anak-anak pada umumnya hanya ber IQ 100!). 

Hasil studi Terman ini dipublikasikan dalam 5 volume laporan. Buku pertama berisi karakteristik dari subjek penelitiannya, buku kedua dikenal sebagai Galton Version, berisikan ciri-ciri kepribadian 300 orang genius dalam sejarah, buku ketiga berisi ringkasan status dari subjek penelitiannya, buku keempat tentang tindak lanjut terhadap subjek penelitiannya dan buku kelima tentang subjek penelitiannya pada usia paruh baya. 

Selama ratusan tahun para pakar mencoba untuk mengaitkan antara genius dengan “trouble mind”. Salah satunya adalah pakar sosiologi dan kriminologi dari Italia, yang bernama Cesare Lombroso. Ia mehubung-hubungkan mereka yang gila dan melakukan bunuh diri dengan genius, dalam bukunya yang terkenal Insanity of Genius (1895). Anak berbakat dikatakannya memiliki emosi yang tidak stabil dan fisik yang lemah. Terman menemukan sebaliknya anak gifted, lebih stabil emosinya dari populasi anak rata-rata pada umumnya. Ketidak stabilan emosi mereka – menurut Terman- lebih karena lingkungan, bukan karena keberbakatan yang dimilikinya. 

 Hasil penelitian Terman juga menunjukkan bahwa anak berbakat ini berkembang lebih baik secara fisik. Mereka lebih tinggi, lebih sehat, serta menonjol dalam kepemimpinan dan kemampuan penyesuaian diri dalam lingkungan sosialnya. 

 Studi longitudinal Terman ini memberikan inspirasi bagi peneliti-peneliti lainnya untuk melakukan studi terhadap perkembangan anak gifted. Berikut karakterisitik anak berbakat di dalam empat area perkembangan berdasarkan berbagai hasil studi: 
 - Perkembangan Fisik Perkembangan fisik anak berbakat lebih cepat. Hal ini berdasarkan nilai rata-rata statistik perkembangan mereka lebih tinggi. Misalnya kemampuan berjalan anak berbakat lebih cepat dari anak pada umumnya, kemampuan bicara anak berbakat lebih cepat tiga bulan dari rata-rata anak pada usia yang sama. Anak berbakat lebih cepat berkembang dalam berat badan, tinggi badan, secara umum lebih unggul pada semua ciri fisik seperti kapasitas paru-paru. 
 - Perkembangan Kepribadian Anak berbakat secara signifikan unggul dalam karakter seperti kreativitas, rasa percaya diri, dan rasa ingin tahu. Mereka cenderung tidak memiliki nervous disorder atau gugup. Penyesuaian emosional anak berbakat terlihat baik bila dibandingkan anak lain pada umumnya. Terman menemukan bahwa anak berbakat memiliki produktivitas yang tinggi, well-rounded, well-liked, dan seringkali dipilih sebagai pemimpin. 
- Inteligensi Dalam banyak studi ditemukan IQ minimum untuk anak berbakat adalah 130. Anak berbakat diasumsikan secara mental mencapai kemajuan 1/3 kali lebih cepat dari pada anak normal, sehingga pada usia empat tahun mereka telah mencapai usia mental (Mental Age) lima tahun, dan pada usia empat setengah tahun sudah mencapai kematangan mental anak usia enam tahun. Anak berbakat juga ditemukan melampaui kemampuan anak normal dalam penalaran verbal, problem solving, berpikir asosiasitif, memori, dan sejumlah keterampialn skolastik seperti membaca dan berhitung. Hasil studi Terman tentang stabilitas emosi anak berbakat yang disebabkan oleh lingkungan, didukung oleh berbagai studi yang mempertanyakan apakah orang-orang yang kreatif lebih cenderung menderita gangguan psikiatrik. Dari hasil studi pada sejumlah pembaca puisi, novelis, artis terkenal memang menunjukkan angka depresi dan gangguan mood mereka lebih tinggi, tetapi tidak serius mengalami gangguan mental. Peter Oswald, seorang psikiater meyakini bahwa ada kaitannya dengan gaya hidup yang rumit dari para seniman tersebut dengan rasa marah, frustrasi dan depresi. Mitos yang sering didengar bagi anak berbakat adalah “Early Ripe, Early Rot” yang menunjukkan bahwa anak berbakat mengalami burned out, kelelahan yang sangat pada usia dini. Seolah-olah keberbakatan bersifat kuantitatif, yang jika digunakan lama kelamaan akan habis. Studi Terman menunjukkan tidak terjadi burn-out anak berbakat, bahkan Terman menyarankan agar anak terus ditingkatkan kemampuannya sepanjang hayat. 

Mitos-mitos modern yang muncul dan merugikan perkembangan anak berbakat adalah : 
• Anak berbakat tidak tahu bahwa diri mereka berbeda, kecuali seseorang memberitahu mereka. 
• Anak berbakat dapat mengatasi diri mereka tanpa bantuan siapapun. 
• Anak berbakat mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. 
• Anak berbakat seharusnya lebih berdisiplin daripada anak lainnya. 
• Anak berbakat perlu terus menerus disibukkan dan diberi tantangan jika tidak mereka akan malas. 
• Anak berbakat seharusnya dihargai keberbakatannya diatas segala-galanya. 
• Anak berbakat tidak seharusnya mengikuti standar kepatuhan yang berlaku, mereka tidak perlu terikat pada peraturan yang biasa berlaku. 
• Anak berbakat seharusnya matang secara akademik, fisik, sosial dan emosional. 

Referensi : 
Miller, B.S dan Price, M., The Gifted Child, the Family and the Community. New York : Walker and Company. 1981. 
Smutny, J.F, Veenker, K, Veenker, S., Your Gifted Child. New York : Ballnatine Books, 1989. 
Walker, S.Y., The Survival Guide for Parents of Gifted Kids. Minneapolis : Free Spirit Publishing Inc, 1991.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia