Sabtu, 28 Juli 2018

Tak Ada Komunikasi 2 Arah Antara Anak & Orantua

Dede Suryana
JAKARTA - Rivaldi (11), harus tewas ditangan Rsk (11), teman bermainnya sendiri, setelah bermain perang-perangan menggunakan benda tajam serupa piranti tawuran. Apa kata psikolog?

Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Reni Akbar Hawadi berpendapat, tingkah laku anak yang cenderung garang dan buas ini dipengaruhi oleh salahnya pola asuh dan kurangnya komunikasi antara anak dengan orangtua.

Berikut petikan wawancara okezone Guru Besar Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi UI:

Apa latarbelakangi anak seusai itu melakukan kekerasan, bahkan membunuh?


Peristiwa ini menyedihkan sekali dan ini berhubungan dengan masyarakat sekitar dalam mengasuh anak. In iindikasi betapa orangtua cuek terhadap perkembangan dan kebutuhan anak. Jadi indikasi betapa masyarkat sudah hidup nafsi-nafsi (sendiri-sendiri), tidak care terhadap orang lain.

Kecelakaan ini juga menunjukan betapa anak-anak pada fase perkembangan, dimana lebih banyak bersama peers (teman sebaya) dan ada kebutuhan besar untuk mengeksplorasi lingkungan.

Peran lingkungan?


Ya. Rasa ingin tahu yang besar pada anak, ingin mencoba sesuatu yang baru dan bertentangan dengan hal-hal yang belum diketahuinya. Satu sisi kebutuhan ini perlu diakomodasi oleh lingkungan sang anak.

Jangan sampai kurang bimbingan tentang mana bahaya dan tidak bahaya. Dan perlu selalu diigatkan bahwa orangtua berperan besar, sangat besar malah, pada seluruh aspek perkembangan anak.

Lingkungan dalam hal ini berawal dari rumah, kemudian sekolah, masyarakat dan bangsa secara makro memiliki andil besar dalam pembentukan karakter anak.

Bagaimana cara mendidik anak agar lebih peduli lingkungannya?


Anak perlu diarahkan dibimbing. Masalahnya proses pola asuh di Indonesia dianggap given. Padahal tidak bisa demikian. Bahwa pola asuh anak haruslah diajar atau dilatih. Ini bagian pencerdasan untuk kaum ibu. Jadi pemerintah sudah waktunya memberi perhatian besar dalam pendidikan ibu. Ibu itu harus cerdas agar anaknya juga cerdas.

Dalam kasus ini tampak sekali bahwa anak dengan santainya bermain perang-perangan dengan benda tajam tanpa mendapat teguran dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Orangtua mungkin berpikir anak seharusnya tahu sendiri, mikir sendiri. Tapi hal ini tidak bisa. Tetap orangtua harus ada komunikasi.

Kasus yang terjadi ini juga mewakili kondisi masyarakat kita. Memang kurangnya komunikasi dua arah atau dialog antara anak dengan orangtua.

Bukankah usia 11 tahun sudah mulai beranjak remaja?


Kalau ya, bagi saya ini malah mengherankan karena dari sisi perkembangan inteligensinya sudah mencapai tahap konkret operasional, artinya anak usia antara 7-12 sudah mulai menggunakan imajinasi mental dan simbol-simbol dalam proses berpikirnya dan bisa kebalikan proses tersebut.

Artinya apa, anak sudah memiliki pemahaman tentang benda-benda tajam yang akan dipergunakan dalam permainnaya adalah berbahaya (walaupun orangtua misalnya tidak memberi tahu sebelumya) tetapi yang terjadi pada anak ini seolah tidak tahu. Pertanyaanya, apakah anak ini memiliki taraf intelejensi normal?

(ded)

Sumber: https://news.okezone.com/read/2011/03/11/62/433739/tak-ada-komunikasi-2-arah-antara-anak-orantua

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia