Menurut Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah
memiliki komitmen yang besar dengan bidang yang disukainya. Tak hanya
itu, anak yang berbakat pun akan terus-menerus mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya itu. ”Kememapuannya melampaui di atas rata-rata,” ujar
penggagas Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI itu.
Tak hanya itu, anak yang berbakat juga memiliki kemampuan intelegensi
yang jauh di atas rata-rata. Anak yang unik ini juga dikarunia komitmen
yang besar dan berbakat kreatif dalam bidang yang disukainya. Sehingga,
bidang itu bisa kembangkannya untuk menjadi lebih besar lagi. ”Misalnya
ada anak yang senang olahraga. Kalau anak itu berbakat maka ia akan
terus mencari bahan tentang olahraga yang disukainya,” tutur psikolog
kelahiran Kota Bandung ini. Dengan begitu, si anak akan tahu tokoh,
hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut. ”Anak
berbakat itu akan all out.”Begitu juga dengan anak yang suka dengan
matematika. Anak berbakat akan terlihat lain. Menurut Reni, akan
berbakat akan punya komitmen untuk mempelajari matematika hingga mampu
menciptakan rumus-rumus baru. ”Orang yang berbakat main piano dan yang
tidak berbakat akan lain saat memainkan tuts piano.
Sentuhannya akan
lain,” ungkapnya. Sedangkan, lanjut Reni, anak disebut cerdas, karena
memiliki taraf intelijensia yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum
tentu memiliki komitmen yang besar dan belum tentu mampu berkreativitas.
Sementara, istilah anak pandai, kata dia, adalah istilah yang diberikan
masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking
tinggi di kelasnya.
Pandai,Cerdas, dan Berbakat
”Anak pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas,” kata Reni.
Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250
anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di
sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20
persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. Mungkin Anda bertanya,
”Kok bisa sih anak yang nggak cerdas mendapat ranking?” Menurut Reni,
hal itu tentu sangat mungkin terjadi. Sebab, pelajaran di SD terbilang
masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga
terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk
belajar.”Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena mereka
harus belajar mandiri.”
Tulisan Paling Sering Dibaca
-
Oleh: Dr. Pudji Astuty, S.E.,M.M | Ketua Program Magister Manajemen Universitas Borobudur Kala tahun 1995 Pascasarjana Magister Manajemen...
-
BOGOR (Pos Kota) – Istri Walikota Bogor Hj. Fauziah Diani Budiarto dinobatkan sebagai Bunda PAUD Kota Bogor. Pengukuhan tersebut dikuat...
-
Oleh: Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.M. Psikolog Dalam buku Understanding Your Life Through Color yang ditulis oleh Nancy Tappe (1982...
-
Periode emas merupakan periode yang sangat vital atau sesuatu yang sangat penting di dalam suatu siklus. Periode emas pada anak yaitu ma...
Kategori
- Berita (516)
- Insight (103)
- Kata Mereka (85)
- Narasumber (74)
- Antologi (58)
- Wisata (32)
- Wawancara (20)
- Makalah (17)
- Curhat (13)
- Kegiatan (10)
- Buku Kaleidoskop 2013 (7)
- Keluarga (4)
- Konsultan Perkawinan (3)
- Buku (2)
- Artikel dan Makalah (1)
Arsip Tulisan
- Maret (12)
- Maret (3)
- Februari (20)
- Januari (18)
- Oktober (26)
- September (2)
- Agustus (25)
- Juli (24)
- Juni (26)
- Maret (9)
- Desember (44)
- November (9)
- Januari (46)
- Juli (12)
- Juni (7)
- Desember (2)
- November (17)
- Oktober (48)
- September (48)
- Agustus (50)
- Juli (70)
- Juni (26)
- April (51)
- Maret (47)
- Februari (46)
- Januari (41)
- Desember (17)
- Oktober (164)
- September (11)