Sabtu, 28 Juli 2018

Sukses Orang Tua atau Sukses Anak?

Setiap orang menginginkan yang terbaik bagi anak - anaknya. Segala hal yang dianggap terbaik dilakukan agar kelak anak menjadi ' manusia super'. Hati - hati terjebak dalam 'hyper parenting'.
Gim adalah bocah berusia tujuh tahun. Ia baru duduk di kelas dua sekolah dasar. Tapi jangan tanya soal kesibukannya. Dalam sehari waktu Gim dipadati dengan aneka kegiatan. Mulai dari les matematika, bahasa Inggris, komputer, piano, dan masih banyak lagi. Gim bukan seorang atlet, tapi soal nutrisi orang tuanya amat memperhitungkan asupan protein, vitamin, dan zat gizi lainnya yang harus dikonsumsi si buyungnya itu.

Orangtua Gim, William dan Gresy mengatur dengan seksama semua itu. Bagi mereka inilah yang harus dilakukan agar Gim putra semata wayangnya ingin tumbuh jadi sempurna dan menjadi orang yang berguana di masa datang. " Kami ingin sangat serius dalam merawat Gim, kami tidak ingin Gim seperti kami yang semasa kecil tidak mendapat cukup rangsangan dari orangtua," tegas William.

Bagaimana anak berkembang?
Bermain, bereksplorasi, berekspresi, berpendapat, dan bahagia. Inilah seharusnya yang dilakukan anak - anak dalam kehidupan. Melalui keempat hal tersebut anak - anak bisa mempelajari sesuatu sehingga bisa mengembangkan seluruh potensi kecerdasan dan tumbuh kembangnya. Orangtua hanya perlu memberi stimulasi yang sesuai dengan usia dan tahapan tumbuh kembang anak. Stimulasi ini dapat diberikan setiap ada kesempatan. Menurut psikologi pendidikan anak, DR. Reni Akbar Hawadi, jika anak memiliki kemampuan melebihi tugas perkembangannya, misal di usia tiga tahun anak sudah bisa mengeja huruf, orangtua boleh saja memacu kemampuan anak supaya mereka bisa membaca,asalkan, dengan stimulasi yang benar. " Tidak memaksakan kehendak, penuh kasih sayang dan kegembiraan. Sehingga anak merasa nyaman dengan stimulasi tersebut," papar Reni.

Dalam perkembangannya anak - anak harus melalui tahapan - tahapan perkembangan. Anak tidak bisa dipaksa untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Orangtua juga tak bisa memaksa anak menguasai atau menyenangi semua hal yang dianggap baik. " Setiap anak punya bakat yang berbeda, inilah yang perlu kita asah karena biasanya sesuai dengan keinginan anak," ungkap Reni. Kursus atau kegiatan lain hanyalah stimulasi tambahan bukan yang utama. Makanan yang bergizi juga sangat penting, tapi tidak salah jika sekali - kali Anda mengajak anak makan resto fastfood sekedar untuk berekreasi. "Tapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Bermain dan interaksi dengan orangtua dan teman sebaya justru menjadi tambahan saja," imbuh Reni. Bisa dibayangkan anak - anak tidak lagi hidup dalam kehidupan anak - anak. Jangan heran jika banyak anak yang stres, tidak bahagia, dan tidak nyaman dengan dirinya.

Hyper parenting?
Pasangan William dan Gresy tentu berhak menyimpan harapan bagi anaknya, Gim. Seperti orangtua pada umumnya, mereka pun ingin anaknya bisa tumbuh optimal. Tapi, bahagiakah Gim dengan pengasuhan yang diterapkan orangtuanya? Benarkah semua itu bisa mendongkrak kesiapan Gim menghadapi masa depannya? Alvin Rosenfeld, M.D., dan Nicole Wise,peneliti, pengamat perkembangan anak, dan penulis buku ' Hyper - Parenting: Are You Hurting Your Child by Trying Too Hard?" mengkategorikan William dan Gresy sebagai profil orangtua yang menjalankan ' hyper parenting' 'Hyper parenting' adalah sebuah upaya orangtua untuk mengontrol semua lingkungan anak. Hal ini dilakukan agar mendapat output atau profil anak yang sempurna. Biasanya menurut kedua ahli ini, orangtua seperti ini menyimpan kekuatiran yang sangat dalam akan masa depan anak - anak mereka. Akibatnya, segala upaya baik dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan si anak itu sendiri. Singkatnya ' hyper parenting ' adalah ' over scheduling' dan ' over enriching' kepada anak - anak.

Sementara itu, menurut Reni Akbar, 'hyper parenting' terjadi karena orangtua merasa tak puas dengan pola asuh yang mereka dapatkan semasa kecil. Biasanya mereka juga tak puas dengan semua yang sudah didapat saat ini. "Bisa jadi mereka tidak puas dengan karir atau kehidupan mereka secara keseluruhan," ungkap dosen psikologi Indonesia ini. Akibatnya semua 'ketidakberuntungan ' itu dibebankan kepada anak. Orangtua berharap anak - anak bisa memberikan dan mendapatkan apa yang mereka tidak dapatkan. Padahal, belum tentu hal ini sesuai dengan kebutuhan apalagi keinginan anak. Orangtua yang hyper kerap tak menyadari bahwa upaya yang mereka lakukan justru bisa menjadi bumerang bagi anak. Hanya karena orangtua yang hyper anak yang mempunyai potensi bagus menjadi runtuh kepercayaan dirinya. Bisa juga anak yang sebenarnya anak sangat penurun, karena gaya pengasuh 'hyper parenting' akan menjadi pemberontak. "Kita suka lupa bahwa anak mempunyai kehidupan dan perkembangannya sendiri. Kita hanya melihat anak sebagai obyek untuk meraih sesuatu," ungkap Reni.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia