Rabu, 12 Juni 2019

Ketika Hubungan Keluarga Retak Karena Pemilu, Ini Saran Psikolog

TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan umum atau pemilu sudah usai, tapi drama keluarga karena pencoblosan belum tuntas. Sebuah kisah yang diunggah di akun Twitter @annisalrazi menjadi perhatian warganet. Melalui tulisannya pada Kamis, 30 Mei 2019, Annisa menceritakan tentang hubungannya dengan orang tuanya berubah karena propaganda pemilu.

Semua bermula dari perubahan sikap orang tuanya. Ia mengatakan, awalnya ayah dan ibunya adalah orang yang senang mengajarkan toleransi dan kebaikan. Sayangnya kini, mereka berubah menjadi sering mengungkapkan kalimat negatif serta ujaran kebencian. Menurutnya, itu disebabkan oleh berbagai informasi yang simpang siur, khususnya selama pemilihan umum.

Awalnya, ia mengatakan bahwa ayah dan ibunya adalah orang yang senang mengajarkan toleransi dan kebaikan. Sayangnya kini, mereka berubah menjadi sering mengungkapkan kalimat negatif serta ujaran kebencian. Menurutnya, itu disebabkan oleh berbagai informasi yang simpang siur, khususnya selama pemilihan umum.

Unggahan Annisa mendapat banyak respons, tak sedikit yang mengeluhkan hal serupa. Contohnya adalah pemilik akun @aratniq yang menceritakan betapa tolerannya sang ayah, namun kini berubah mengecap orang lain kafir hingga Islam Nusantara.

Psikolog Reni Akbar Hawadi pun mencoba memberikan dua solusi terbaiknya. Hal pertama yang disampaikannya adalah bagaimana anak mengembalikan sikap kritis orang tua. Sebab menurutnya, banyak orang tua yang menganggap suatu informasi baru sebagai bentuk pencerahan atas ketidaktahuannya.

Ia menyarankan mengajak orang tua untuk berdiskusi lagi. Ajarkan juga tentang sikap kritis. Misalnya ketika mendapat informasi baru, mereka jangan menelannya secara mentah-mentah tapi ditelusuri dulu kebenarannya. "Kalau secara perlahan diajak seperti ini terus, mereka akhirnya bisa membedakan mana informasi yang valid dan bukan,” katanya saat dihubungi TEMPO.CO pada 1 Juni 2019.

Selain itu, awasi juga gerak gerik dan aktivitas orang tua. Sebab, komunitas atau teman berkumpulnya bisa membentuk pola pikir baru untuk mereka. Seperti yang diketahui, suatu perkumpulan tentu menuntut konformitas.

“Kalau memang dirasa perlu keluar dari grup WhatsApp atau kumpul-kumpul arisan, ya silahkan. Apalagi jika anggotanya toxic (membawa pengaruh buruk) semua. Daripada membahayakan demi menyatukan pendapat bersama, lebih baik dibatasi,” katanya.

SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA


Sumber: Tempo

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia