Rabu, 21 Maret 2018

Ketika Gerakan Kepanduan Teralienasi

TIAP pekan, pelajar di seluruh pelosok negeri ini tampak masih mengenakan seragam cokelat-cokelat, beratribut tempelan gambar binatang atau bunga di lengan. Dengan kacu merah putih bersilang di leher dan topi kabaret tampak gagah dan penuh percaya diri.

Ironisnya, sudah lebih dari dua dasawarsa gerakan kepanduan di negeri ini terkesan teralienasi alias mengalami keterasingan. Seperti pasien yang masih membutuhkan infus dan suplemen penambah darah.

Wakil Ketua Kwartir Nasional, Prof Dr Lydia Freyani Hawadi mengatakan Gerakan Pramuka sejak dua tahun lalu masuk dalam Kurikulum 2013. Kementerian pendidikan telah mengamanatkan agar Gerakan Pramuka kembali ditempatkan sebagai program ekstrakurikuler wajib guna menumbuhkan patriotisme, cinta Tanah Air, dan menanamkan budi pekerti luhur.

Meski telah ditetapkan sebagai bagian dari Kurikulum Pendidikan 2013 dan wajib diselenggarakan di sekolah, roh kepanduan masih belum terasa hidup di lingkungan sekolah. "Mungkin pengaruh zaman yang membuat roh kepanduan belum terasa seperti di era 80 atau 90'an. Saat itu Pramuka di Indonesia berada pada masa emas," kata Lydia di Jakarta, belum lama ini.

Menurut dia, generasi anak bangsa saat ini terbuai oleh teknologi digital yang terus berkembang semakin canggih. Ditambah lagi internet dan dunia maya dan hadirnya multi media yang semakin membuat anak menjadi jauh dari kebutuhan bersosialisasi seperti mengikuti gerakan kepanduan.

"Jika kita mengkaji berbagai kejadian yang menimpa generasi bangsa kita saat ini, paling tidak kita semua akan tersadar bagaimana kontrol Pramuka menjadi bagian penting dalam menghadapi semuanya," tuturnya.

"Lihatlah bagaimana bangganya generasi kita saat ini melakukan kerusakan; bagaimana gembiranya ketika mereka menggunakan napza dan obat-obat terlarang, seks bebas dan aborsi, tawuran dan kekerasan, serta kriminalitas remaja."

Lebih memprihatinkan lagi, menurut dia, dalam masalah kebangsaan. Rendahnya solidaritas sosial, semangat kebangsaan, semangat bela negara, dan semangat persatuan dan kesatuan.

Kurang Perhatian
Andalan Nasional Kwartir Nasional Pramuka Urusan Komunikasi dan Informatika, Muhammad Syafrudin menambahkan sejumlah aksi kekerasan dan masalah sosial yang menimpa generasi bangsa, salah satunya disebabkan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengedepankan nilai-nilai kepramukaan dalam setiap lini kehidupan mereka.

"Oleh karenanya, pada 26 Oktober 2010, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengabsahkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka," katanya.

Berdasarkan UU ini, Pramuka bukan lagi satu-satunya organisasi yang boleh menyelenggarakan pendidikan kepramukaan di sekolah-sekolah ataupun lembaga formal lainnya. Organisasi profesi juga diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan kepramukaan.

Hal ini salah satunya bertujuan untuk memantapkan generasi masa depan bangsa dalam memperkuat karakter bernegara melalui empat konsensus bangsa. Yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Di samping Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, juga telah ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

Hal tersebut dipertimbangkan karena pendidikan Kepramukaan dinilai mampu bersinergi secara koheren dalam mengejewantahkan sikap dan keterampilan yang menjadi muatan Kurikulum 2013. Pendidikan kepramukaan juga dilaksanakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai ketuhanan, kebudayaan, kepemimpinan, kebersamaan, sosial, kecintaan alam, dan kemandirian para generasi bangsa.

Revitalisasi Gerakan Pramuka adalah pemberdayaan Gerakan Pramuka yang dilakukan secara sistematis, berkelanjutan, dan terencana untuk lebih meningkatkan peran, fungsi, dan tugas pokok Gerakan Pramuka serta memperkokoh eksistensi organisasi Gerakan Pramuka.
Reportase : Eko B Harsono
Editor : Eko B Harsono 
 
Sumber: http://www.harnas.co/2015/08/17/ketika-gerakan-kepanduan-teralienasi  

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia