Oleh: Laksmana Muda TNI (Purn) Husein Ibrahim, MBA
Dewan Pembina Rumah Kepemimpinan
Saya berkenalan sejak saya jadi Tim Penyiap Sekolah Kepemimpinan yang diprakarsai Jenderal LB Moerdani dan Jenderal Try Sutrisno. Dan beliau sebagai Tim Penyiap Seleksi. Domain beliau psikologi, bersama – sama Prof. Dr. Utami Munandar dan Prof. Dr. Conny Semiawan.
Sedikit saya ceritakan tentang SMA Taruna Nusantara. Inilah sekolah kepemimpinan yang digagas oleh Jenderal LB Moerdani saat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Kepedulian Jenderal LB Moerdani terhadap pemimpin masa depan Bangsa Indonesia diwujudkan dengan ditanda tanganinya nota kesepakatan antara ABRI dan Taman Siswa. Rekruitmen dan seleksi calon siswa (casis) bersifat terbuka untuk semua lulusan SMP dari seluruh pelosok Nusantara. Mereka mendaftarkan diri di Komando Resor Militer (Korem). Tahapan seleksi SMA TN saat itu ada dua tahap yaitu tahap pertama disebut penjaringan. Dalam tahap pertama ini yang dilihat adalah kinerja akademik casis dari nilai rata-rata rapor harus angka 7 (tujuh) tanpa ada nilai 6 (enam). Baru kemudian tahap kedua yaitu penyaringan, berupa pemeriksaan psikologik.
Tahap penjaringan merupakan tanggung jawab tim saya sedangkan tahap penyaringan berupa pemeriksaan psikologik merupakan tanggung jawab Bu Reni, demikian saya menyapa beliau. Perkenalan intens saya pada tahun 1992 saat beliau kembali dari Amerika Serikat dalam rangka mencari bahan-bahan literatur untuk disertasinya. Jadi sambil menyelesaikan tulisan disertasinya Bu Reni diperbantukan oleh dua guru besar yang saya sebut diatas untuk melakukan seleksi casis. Beliau bahkan ikut mengetes casis di Timtim.
Hasil pemeriksaan psikologis yang berisikan nama-nama casis berikut profil aspek psikologiknya dijelaskan Bu Reni dengan sangat jelas. Beliau menjelaskan mengapa ada peserta yang tidak disarankan untuk diterima padahal skor IQnya berada diatas angka 130. Penjelasan bu Reni tentang konsepsi keberbakatan intelektual yang sekaligus mempertanyakan konsep SMA TN membuat saya berpikir. Pertanyaan bu Reni saat itu apakah SMA TN sekolah khusus untuk anak cerdas istimewa? Kalau ya, maka kinerja akademik yang digunakan sebagai syarat lulus tahap penjaringan disebutkan oleh beliau sebagai mewakili aspek komitmen casis pada tugas sebagai pelajar belumlah cukup. Bu Reni menyebutkan masih ada aspek lain yang harus dilihat yaitu potensi kecerdasannya. Dalam hal ini minimal kemampuan umum casis harus berpotensi diatas rata-rata. Dan kedua aspek ini menurut beliau juga masih belum memadai untuk katagori siswa yang disebut cerdas istimewa. Ada aspek yang terakhir disebutkan beliau dan saya setuju sekali bahkan menggaris bawahi sangat penting yaitu “Kreativitas “.
Saat saya tidak lagi mengabdi di SMA TN namun masih in line dalam masalah pendidikan, saya mengontak kembali Bu Reni. Kali ini beliau sudah jadi Dirjen. Pertemuan di salah satu mal di Jakarta saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk bertanya pada beliau terkait kegiatan baru saya pada satu institusi non pemerintah yang peduli terhadap isu kepemudaan dan kepemimpinan.
Alhamdulillah…dari pergaulan dengan beliau saya memperoleh insight alumni yang lulus terbaik dalam nilai akademik tidak selalu sukses dalam mengembangkan kemampuannya dalam bekerja. Hal yang sangat istimewa adalah “Kreativitas“. Dalam aplikasinya dalam tugas berbangsa, bernegara dan beragama, mereka – mereka yang tinggi nilai kreativitas “ lebih unggul dalam mengaplikasikan kinerjanya dengan orang yang pandai tapi kurang kreatif “. Karena itu pula saya sepakat bahwa harus ada tes kreativitas sebagai salah satu aspek menilai keberhasilan seseorang setelah mengaplikasikan ilmu dan kapasitasnya dalam bekerja.
Satu dekade tidak pernah mendengar kabar dari Bu Reni, tiba-tiba kami dipertemukan kembali melalui Prof. Wisnu Jatmiko kolega Prof.Reni di Dewan Guru Besar Universitas Indonesia yang merupakan teman anak saya dan saya mengenalnya sebagai anak “genius” di lingkungan rumah kami. Selamat menapak usia ke-65 Bu Reni. Sehat, Bahagia dan Sukses selalu. Aamiin yaa Rabb..