Oleh: Bagus Takwin | Dekan Fakultas Psikologi UI, Periode 2021-2025
Pada satu hari di awal Oktober 2002, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan ke Yunani untuk kegiatan konferensi ilmiah. Kami berangkat berempat dari Jakarta waktu itu. Namun, di Yunani, kami punya tujuan yang berbeda. Di Athens International Airport Eleftherios Venizelos kami berpisah. Dua teman saya melanjutkan perjalanan ke Rhodes. Saya dan seorang teman lagi naik bus ke tengah kota Athena dengan bis. Setelah itu, saya harus naik bus lagi menuju hotel yang berada di sekitar Syntagma Square.
Ketika baru naik bis kedua itu, saya kaget karena ada yang memanggil nama panggilan saya. Ternyata yang memanggil adalah Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, yang biasa saya panggil Mbak Reni, dosen yang kemudian menjadi kolega saya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Terkejut dan senang bertemu dengan orang yang dikenal di sebuah kota yang jaraknya jauh dari tanah air, saya duduk berdekatan dengannya dan bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Kami berdua tidak menyangka bisa bertemu di Athena. Mbak Reni dan saya saling menceritakan tujuan kami masing-masing ke Athena, ngobrol tentang berbagai hal, di antaranya tentang cita-cita memperbaiki Fakultas kami, sampai kami berpisah di Syntagma Square.
Pertemuan itu memberi kesan yang kuat pada saya bahwa Mbak Reni adalah orang yang mandiri dan suka menjelahi tempat baru. Dengan tas ransel dan kopor yang dibawanya, Mbak Reni tampak gesit dan lincah bergerak, mantap menuju tempat yang akan didatanginya. Itu mengingatkan saya pada sebuah sesi bimbingan dengannya ketika saya menjadi mahasiswa di stage Bagian Psikologi Pendidikan. Setelah memeriksa laporan yang saya buat untuk ditandatanganinya, ia mengambil pulpennya, namun sebelum membubuhkan tanda tangan, Mbak Reni bertanya kepada saya apakah saya tahu mengapa nama yang dipakainya adalah Reni Akbar-Hawadi. Saya bilang, tidak tahu persisnya. “Apakah ini nama profesional?” saya balik bertanya.
Mbak Reni menjelaskan bahwa “Hawadi” itu nama ayahnya yang menjadi nama belakangnya sebelum menikah, dan “Akbar” adalah nama belakang suaminya. “Akbar-Hawadi” adalah nama belakang baru. Mbak Reni menggunakan nama belakang gabungan, sebuah nama belakang baru yang dibuat dengan menggabungkan nama belakangnya dengan nama belakang suaminya. Menurutnya, waktu itu, penggunaan nama belakang gabungan merupakan kebiasaan baru pada perempuan-perempuan di Amerika Serikat. Dengan menggunakan nama belakang gabungan mereka mendapatkan kesempatan untuk menciptakan identitas baru yang khusus bagi dirinya, juga untuk pasangannya jika menggunakannya juga. Penggunaan nama seperti tu juga dimaknai sebagai simbol persatuan dengan bobot yang sama. Saat seseorang menggabungkan dua nama, ia tidak mengambil nama orang lain, ia menetapkan bahwa dirinya adalah mitra yang setara. Ia memiliki kesempatan untuk menghormati kedua nama keluarga. Itu tidak sejalan dengan norma sosial dalam menggunakan nama belakang yang biasanya menggunakan nama belakang keluarga atau suami tetapi kemudian jadi satu mode yang bertahan lama, hingga saat ini.
Penjelasan Mbak Reni sangat menarik dan berkesan kuat di pikiran saya. Kini, setelah hampir 30 tahun, saya masih mengingat itu. Kemandirian dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki menjadi nilai penting untuk Mbak Reni. Pertemuan kami di Athena menegaskan itu. Kesan itu bertahan setelah saya menjalani pengalaman berinteraksi dengannya hingga saat ini. Interaksi lama kami juga memberikan saya kesan bahwa Mbak Reni juga adalah orang yang keras hati, penuh inisiatif, dan senang menjajaki kesempatan baru. Ia tak takut untuk menyuarakan pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang, tidak takut gagal, dan mau mencoba mengerjakan hal-hal yang oleh kebanyakan orang dianggap sulit atau tidak mungkin. Itu semua membawanya kepada apa yang disandangnya sekarang dan pernah dicapainya, guru besar, jabatan dirjen, mengajar di berbagai tempat, menjalankan berbagai proyek baru, dan menjadi ketua Dewan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan berbincang-bincang berdua dengan Mbak Reni, banyak masukan, cerita pengalaman, kritik yang mengandung pujian dan usulan perbaikan, dan pelajaran lainnya saya peroleh. Dalam berbagai hal, Mbak Reni terus menjadi guru saya. Beliau tidak ragu menegur, memberi apresiasi, menunjukkan alternatif cara dan solusi, serta berbagai pengetahuan dengan saya. Semoga kebaikan-kebaikan itu terus berlanjut dan saya tetap beruntung mendapatkannya dari Mbak Reni. ***