Makalah
ini disampaikan dalam acara Parenting Seminar and Workshop
Sekolah Fajar Hidayah, pada hari Sabtu, 10 Nopember
2018 di Fajar Hidayah Hall, Kota Wisata, Cibubur. Jakarta.
Oleh:
Lydia Freyani Hawadi
Hari ini, hari
istimewa, tanggal 10 Nopember, bersamaan dengan kita memperingati Hari
Pahlawan. Marilah sejenak kita menundukkan kepala seraya memanjatkan doa untuk para pahlawan yang
gugur di medan perang Pertempuran Surabaya tahun 1945 melawan tentara Inggris dan Belanda.Semoga arwah para
pahlawan diterima di sisi Allah SWT,
Tuhan YME. Dan kita bisa mewarisi sifat-sifat heroik yang mereka miliki
untuk menghadapi tantangan masa depan.
Kata-kata apa saja
yang diasosiasikan dengan kata Pahlawan ? Pahlawan identik dengan mereka yang rela
berkorban. Pahlawan adalah mereka yang gagah
berani, dan berjuang tanpa pamrih. Pahlawan adalah mereka yang peduli terhadap keselamatan dan kesejahteraan
orang lain. Pahlawan adalah mereka yang memiliki kepercayaan diri atas tindakan
yang mereka ambil. Pahlawan adalah
mereka yang memiliki standar
nilai moral yang tinggi (virtue).
Dari pengertian diatas maka kata Pahlawan tidak terbatas pada mereka yang
mengangkat senjata, berperang melawan musuh untuk mempertahankan tegaknya
kedaulatan Negara. Namun kata pahlawan
bisa terlekat pada diri siapapun sejauh ia memiliki sifat-sifat tersebut
diatas. Dalam konteks pembahasan kita hari ini tentang parenting, orangtua
adalah (seharusnya) pahlawan bagi anak (anak-anak)nya.
Perjuangan masih terus berlanjut sepanjang
hayat, tidak berhenti hanya dalam proses
persalinan saja.Saat anaknya lahir, seorang Ibu akan fokus untuk pemenuhan
kebutuhan dasar anaknya. Menjaga agar tidak kelaparan, tidak kegerahan, dan
berusaha agar kesehatannya terjaga dan kecerdasannya optimal. Masa pertumbuhan dan perkembangan yang
krusial seorang individu, terjadi pada lima tahun pertama kehidupannya, saat Dasa
Indra anak : indra penglihatan (visual), indra pendengaran (auditory), indra penciuman (olfactory), indra pengecap (gustatory) indra perabaan (tacticle) indra gerak dan keseimbangan (vestibular), dan indra kesadaran gerak dan posisi tubuh (proprioception), indra sistem sensor
saraf (nociception), indra merasakan
suhu (thermoception), indra
keseimbangan (equilibrioception,, dan indra memahami waktu (temporalception) berkembang dan berfungsi baik.
A. Parenting.
Orangtua memberikan pengasuhan dan sumber segalanya
bagi anak, namun harus diingat parenting bukan berjalan dalam satu arah (one-way
street) dimana orangtua secara langsung mengarahkan anak menuju ke kematangan (maturity). Sebaliknya parenting
berjalan dua arah karena proses interaksi
antara orangtua dan anak membawa keduanya berubah satu sama lain,
hingga membawa anak menuju masa dewasa (adulthood). Masyarakat yang ada
disekitarnya merupakan pihak ketiga yang bersifat dinamis dan mempengaruhi
respons dan kebutuhan baik orangtua dan
anak.
B. Dasar Teori
Saya akan mengenalkan beberapa tokoh Psikologi dalam
memaknai parenting di dalam ceramah
ini. Pertama, Lev Vygotsky seorang psikolog Russia. Ia menggaris bawahi
peran sentral orangtua pada anak dalam perkembanganya. Lingkungan seni budaya
dan kegiatan rutinnya menjadi pengalaman pertama anak untuk memandang dunia
sekitarnya. Disini Vygotszky mengenalkan istilah zone of proximal development, yang diartikan bahwa perkembangan
anak akan menjadi lebih baik jika dibantu oleh orang sekitarnya daripada ia
harus berjuang sendiri. Dengan adanya bantuan dunia sekitarnya, maka anak akan
berespons pada taraf yang lebih mature. Kedua, Jean
Piaget yang berasal dari Swiss, mengingatkan orangtua bahwa anak
membutuhkan kesempatan untuk mengeksplorasi dan beraktivitas serta berpikir
tentang dunia sekitarnya.Istilah Piaget
adalah Equilibration dimana proses
aktif yang membuat individu merasa
balans dalam pertumbuhan intelektualnya, saat ada informasi baru (assimilation) dan
kemudian menjadi bagian dalam struktur internalnya (accommodation). Ketiga, Sigmund
Freud yang berasal dari Austria, mengingatkan orangtua agar pentingnya
memberikan gratifikasi yang tepat bagi dorongan-dorongan alami anak, misalnya dalam
hal bersikap terhadap thumb sucking,
toilet training, sikap menerima terhadap dorongan agresif anak tanpa
mengkritik maupun menghukumnya. Bagi Freud orangtua adalah pemandu yang
memiliki otoritas sekaligus supporters anak untuk mencapai kematangannya. Keempat, Erik Erikson, seorang psikolog
Jerman-Amerika yang menyoroti kualitas
perkembangan anak. Jika anak menerima pengalaman yang sesuai disertai
lingkungan yang positif, ini akan mendukung tercapainya nilai kebajikan (virtue) dalam tahap perkembangan
anak.Ada tiga hal perkembangan psikososial yang bersifat kritis dalam lima tahun kehidupan anak yang
harus dipenuhi yaitu trust, autonomy dan
initiative. Dan jika tidak terpenuhi
maka akan terjadi mistrust, shame/doubt
dan guilt sehingga nilai kebajikan hope,
will, dan purpose tidak akan terpenuhi. Kelima, Urie Bronfenbrenner, menggaris
bawahi kekuatan-kekuatan yang ada di luar
keluarga seperti faktor sejarah, ekonomi, tempat orang tua bekerja akan
mempengaruhi bagaimana pengasuhan orangtua pada anaknya. Ia juga menekankan
pentingnya keteraturan dan kestabilan di dalam kehidupan anak serta orangtua
harus terus meningkatkan parenting nya
karena adanya perubahan dari lingkungan.
C.Rambu-Rambu
1.Memahami
tugas perkembangan. Setiap tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan (developmental task) yang berbeda serta karakteristik khas untuk
setiap aspek fisik-motorik, kognitif, sosio-emosional, dan moral.
2. Memahami perbedaan individual. Anak
mewarisi tidak saja aspek fisik biologis dari orangtuanya (ayah dan bunda),
seperti bentuk wajah, jenis rambut, tinggi badan, cara berjalan,dan suara.
Namun juga mewarisi aspek psikologis sosio emosional, misal besar kurangnya
hasrat berprestasi, cepat lambannya reaksi emosional, derajat keberanian ketakutannya,
kepekaan dan kedalaman emosinya, termasuk ragam dan besar kecilnya tingkat
kecerdasan (daya tangkap, daya ingat, luas minat, kemampuan numerik, kemampuan
bahasa, logika, dan kreativitas). Hal yang
menakjubkan walaupun lahir dari rahim yang sama, memiliki ayah yang sama serta
pola asuh sama, tetapi tumbuh kembang anak-anak tidak ada yang plek sama satu sama lain baik fisik
biologisnya maupun psikologisnya. Dengan demikian orang tua menyadari
sepenuhnya bahwa satu persatu anak adalah orang yang berbeda, individu yang
berbeda dengan karakteristik yang tidak sama.
3. Bersikap
wajar tanpa pengecualian. Istilah yang saya pinjam dalam opini audit dalam
laporan keuangan, menekankan kebenaran
dan keakuratan merupakan hal wajib untuk dilakukan sesuai standar akutansi yang
berlaku. Demikian pula halnya didalam pengasuhan orangtua, memahami perbedaan individual anak merupakan
hal mutlak yang tidak bisa ditawar. Dengan kita mengetahui bahwa ada perbedaan
individual maka kita juga memahami ada yang menjadi kebutuhan (needs) masing-masing individu.
Sehingga perlakuan yang kita berikan
memang khas hanya untuk individu
tersebut. Ini yang saya artikan bersikap
wajar tanpa pengecualian. Hubungan yang terjalin antara orangtua dengan setiap
anak, adalah hubungan dyadic, interaksi
dua orang saja. Dengan demikian maka
harapan yang muncul dalam sikap pengasuhan orangtua dalam konteks ini adalah
tidak memaksa, tidak ada paksaan. Let it
flow..Bersikap menerima anak dengan perangkat sifat yang dimiliki, tanpa
harus merasa bersalah karena tidak menjadi orangtua yang sempurna. Bersikap
wajar tanpa pengecualian karena memang
tidak ada anak dan orangtua yang ditakdirkan menjadi sempurna. No body perfect. Demikian pula mampu
bersikap lentur, untuk tidak terlalu kaku dalam aturan yang tidak bersifat
prinsip.
4. Melihat kekuatan
potensi diri sendiri. Setiap individu memiliki potensi minat, bakat yang
perlu dicuatkan sebagai satu prestasi dan keterampilan yang dibanggakan..
Pengasuhan orangtua yang benar adalah melihat pada potensi yang ada dalam diri
anak untuk dikembangkan. Bukan melihat pada prestasi anak orang lain untuk
kemudian membandingkannya pada anak. Demikian pula sebaliknya dengan orangtua. Ortu
tidak perlu iri pada keterampilan apa yang dimiliki ortu lainnya karena pada
dasarnya masing-masing memiliki kekuatan potensi diri.
5. Fokus pada satu kegiatan. Ortu adalah orang yang paling sibuk untuk
memasukkannya anaknya untuk ikut les ini itu, untuk ikut kegiatan macam-macam
dan berbagai macam lomba.Apakah
anak-anak memang menikmati berbagai kegiatan yang disodorkan ortunya?
Seringkali kita ortu terpaku untuk menjajal yang ada di luar rumah. Padahal
banyak hal yang bisa dilakukan ortu di rumah bersama anak. Buat jadwal
misalnya, hari apa jam berapa yoga bersama, belajar bahasa Jepang, nonton film
bareng, membaca bersama, main kartu, buat kuiz, dls. Cukup melakukan kegiatan dua macam dalam
seminggu. Jangan memaksa anak ikut les sebagai balas dendam karena ortu tidak
memilikim kesempatan di masa lalu. Dan juga jangan memasukan les karena ortu
yang ingin.
6.
Perhatikan pasangan. Seringkali
saking asik fokus pada anak sehingga
melupakan pasangan. Cari waktu untuk kebersamaan berdua saja tanpa direcoki
oleh anak.Jangan abaikan pasangan anda. Merupakan hal normal jika ortu ingin sekali-kali keluar dari rutinitas. Anda
berhak sembunyi, menghilang sejenak dari pandangan anak-anak. Bagaimanapun ortu
adalah orang juga.
Daftar Bacaan :
Brooks, Jane B. (2011). The
Process of Parenting. New-York : McGraw-Hill International Edition.
Templar, Richard (2015). The Rules
of Parenting. Harlow : Pearson.