Sabtu, 11 Agustus 2018

Dinaturalisasi Jadi LPI

JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menaturalisasi seluruh sekolah dan lembaga kursus yang berlabel internasional atau dikuasai pemodal asing. Seluruhnya saat ini menjadi Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI). Jika ingin mempertahankan status internasional, mereka wajib berstatus sebagai SPK (satuan pendidikan kerja sama). 

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi menuturkan, aturan baru itu tertuang dalam Permendikbud 31/2014.”Berlaku mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi. Selain itu, untuk lembaga kursus,” katanya kemarin (23/5). Sesuai dengan kewenangannya, pejabat yang akrab disapa Reni itu mencontohkan, saat ini ada 44 sekolah internasional yang menyelenggarakan PAUD. 

Dia menuturkan, seluruh sekolah internasional tersebut sudah menanggalkan status keinternasionalannya. Sesuai dengan Permendikbud 31/2014 itu, 44 sekolah internasional tadi berubah menjadi LPI. “Kalau ingin kembali menjadi sekolah internasional, yang sekarang namanya SPK. Ada aturan mainnya,” tutur guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu. Aturan tersebut, antara lain, LPI tadi harus memiliki akreditasi A. Sayangnya, hingga saat ini sangat sedikit sekolah internasional penyelenggara PAUD yang memiliki akreditasi. “Tidak sampai lima sekolah,” ungkapnya. 

Untuk itu, Reni berharap sekolah-sekolah LPI tersebut segera mengurus akreditasi ke Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF) dan berusaha mendapat akreditasi A. Persyaratan berikutnya adalah sekolah LPI yang sudah terakreditasi A itu harus menjalin kerja sama dengan sekolah asing yang diakui di negara masing-masing. “Kalau jenjang TK, ya harus kerja sama dengan sekolah TK di luar negeri. Begitu juga jenjang di atasnya,” papar Reni. Aturan lainnya terkait dengan pendidik. Aturan rekrutmen pendidik di sekolah internasional yang diubah sebutannya menjadi SPK itu sangat ketat. Di antaranya, wajib bergelar akademis sarjana terkait dengan jenjang pendidikan yang akan diajar. Selain itu, tenaga pendidik asing harus menguasai bahasa Indonesia dan mengantongi izin dari Kemenakertrans. “Tidak boleh lagi asal comot. 

Ba­nyak sekolah dan lembaga kursus internasional yang hanya menggaet turis untuk jadi guru. Ini tidak boleh,” papar dia. Reni menegaskan, selama ini banyak tutor di lembaga kursus asing yang ternyata hanya berstatus pelancong di Indonesia. Aturan berikutnya terkait dengan sumber-sumber pendanaan. Dalam Permendikbud 31/2014 itu, modal dari asing hanya dibatasi maksimal 49 persen. Saat ini Reni mengakui, banyak sekolah atau lembaga kursus yang 100 persen modal atau sahamnya dimiliki orang asing. Upaya tersebut dilakukan supaya invasi lembaga pendidikan asing tidak merugikan masyarakat Indonesia. Reni mengatakan, aturan pe­ngetatan sekolah internasional tersebut ditenggat hingga 1 De­sember 2014. Bagi lembaga yang sudah mendapat izin, mereka akan beroperasi dengan status SPK. Sementara itu, yang gagal mendapat izin SPK berstatus sekolah lokal, sama dengan sekolah-sekolah pribumi di Indonesia, atau ditutup. 

Reni juga menyampaikan perkembangan penanganan kasus kejahatan seksual dan pelanggaran administrasi di TK Jakarta International School (JIS). “Informasinya, Senin pekan depan mulai sidang. Kemendikbud juga menjadi tergugat II selain JIS. Kita sudah siap,” tegasnya. Reni mengatakan, keluarga korban kejahatan di TK JIS menggugat TK JIS dan Kemendikbud. Kemendikbud digugat karena dinilai lalai dalam membina TK JIS. Reni menuturkan, ketika membuka kasus TK JIS tersebut kepada publik, sudah siap dengan konsekuensi dicap mengabaikan pembinaan lembaga internasional di Indonesia.(wan/c6/kim)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia