Sabtu, 09 Juni 2018

Risiko Pernikahan Usia Anak: Perspektif Psikologi


Lydia Freyani Hawadi

Disampaikan dalam Workshop Bahsul Masail Pernikahan Usia Anak yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se Indonesia bekerja sama dengan Fitra Jepara, dan Plan Internasional Unit Rembang serta KPPA, di Semarang, 24 April 2016.



Makalah ini disampaikan sebagai bahan masukan untuk Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se Indonesia (MP3I) dalam melakukan istinbath hukum syari terhadap praktik pernikahan usia anak. 


Pernikahan usia anak adalah pernikahan yang terjadi dibawah usia lazimnya, diluar usia yang sepatutnya dilakukan bagi pasangan suami istri yang sesuai dengan kaidah tahap dan tugas perkembangan individu.


Jika pernikahan usia anak terjadi korban utama adalah perempuan dan anak yang dilahirkan. Berbagai dampak akan dirasakan oleh perempuan yaitu mulai dari masalah fisiologis seperti gangguan fungsi reproduktif, anemia dan lain sebagainya sampai dengan masalah psikologis yaitu putusnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan karir, serta diperolehnya kekerasan dalam rumah tangga. 


Kecenderungan pernikahan usia anak semakin meningkat dalam lima tahun terakhir ini baik diitingkat global maupun Indonesia sendiri. Menurut Data BKKBN (2012)  tercatat ada 7 Propinsi yang memiliki angka tinggi pernikahan usia anak yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.


Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia anak didunia ranking ke 37 dan ke dua di ASEAN setelah Cambodia. Penyebab utama terjadinya adalah kemiskinan, pendidikan dan lingkungan keluarga.


Perspektif saya dalam melihat masalah yang diberikan tidak terlepas dari latar belakang saya sebagai psikolog dan sebagai konsultan BP4 Pusat yang sejak tahun 1988 menggeluti masalah perkawinan ini.


Bagi saya membangun perkawinan adalah hasil kerjasama dua pihak yang saling terus menerus menaruh respek, saling memberikan energi, cinta dan kasih sayang untuk mencapai kebahagiaan yang langgeng. Dan ini akan bisa berjalan jika kemitraan yang terjadi antara suami istri setara, dengan pemahaman yang baik akan diri masing-masing.


Secara psikologis pola berpikir dan kematangan berpikir baru diperoleh seseorang jika ia telah mencapai usia dewasa. Masa-masa dibawah itu tidak saja merupakan masa-masa pertumbuhan secara fisik yang mempersiapkan segala sesuatunya termasuk psikologis lebih baik.


Untuk mendapatkan gambaran tentang perkawinan dari perspektif psikologi, maka dibawah ini saya sampaikan makalah yang pernah saya sampaikan pada tahun 2010 dalam kegiatan Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama untuk menyusun  kurikulum Kursus Pra Nikah.

1. Definisi Perkawinan
Banyak ragam definisi perkawinan, sebaiknya diambil definisi yang sesuai dengan UU Perkawinan yang berlaku. Namun bisa juga ditambahkan untuk menambah wawasan calon pasutri, definisi perkawinan lain yang ada, misalnya saya kutipkan dari tiga penulis yang berbeda :

- Perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang diakui secara sosial, menyediakan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan didalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak baik suami maupun istri. (Duvall dan Miller , 1985)

- Perkawinan adalah antara dua mitra yang memiliki obligasi berdasarkan minat
pribadi dan kegairahan. (Seccombe and Warner, 2004)

- Perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi. (Olson and deFrain, 2006)


2. Definisi Keluarga
Keluarga adalah satu unit orang-orang, yang selalu berhubungan, biasanya hidup bersama dalam bagian hidup mereka, bekerja bersama untuk memuaskan kebutuhan mereka dan saling berhubungan untuk memuaskan keinginannya. (Duvall dan Miller, 1985).

 
3. Motif untuk Menempuh Perkawinan
Pada awalnya, masalah perkawinan merupakan masalah bersama, keputusan antar keluarga namun kemudian terjadi pergeseran dimana perkawinan merupakan bagian dari HAM, keputusan individual atau perseorangan.

 

Menurut David Knox (1975) ada 3 (tiga) alasan positif mengapa seseorang melakukan pernikahan yaitu emotional security, companionship, desire to be a parent. Selanjutnya ia mengatakan bahwa alasan salah untuk menikah adalah physical attractiveness, economic security, pressure from parents, peers, partners or pregnancy, escape, rebellion or rescue.
 

Pakar lain, Turner dan Helms (1983) menyebutkan ada dua faktor motif seseorang menikah yaitu :
a. Faktor Pendorong
Hal-hal yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan perkawinan adalah cinta, konformitas, legitimasi seks dan anak.

 

b. Faktor Penarik
Hal-hal yang menjadi faktor penarik untuk melakukan perkawinan adalah persahabatan, berbagi rasa dan komunikasi.

Dengan perkataan lain dapat juga dikatakan bahwa melalui perkawinan akan dapat dipenuhi beberapa kebutuhan manusia yaitu :
o Kebutuhan fisiologis dan material
o Kebutuhan psikologis
o Kebutuhan sosial
o Kebutuhan religius

 

4.Tahap-Tahap Perkawinan
Duvall dan Miller (1985) menyatakan adanya tujuh tahap perkawinan yang dikaitkannya dengan usia anak, sebagai berikut :
1. Pasangan baru
2. Keluarga memiliki anak
3. Keluarga dengan anak usia pra sekolah
4. Keluarga dengan anak usia sekolah
5. Keluarga dengan anak usia remaja
6. Keluarga dengan anak usia dewasa muda
7. Keluarga dewasa madya
8. Keluarga lanjut usia

 

Namun jika dikaitkan dengan peran sebagai orangtua, maka kehidupan perkawinan dapat dibagi dalam empat tahap yaitu :
1. Perkawinan baru, yang relatif sangat singkat dan segera berakhir dengan lahirnya anak pertama.
2. Perkawinan orangtua, berakhir ketika anak tertua memasuki usia remaja
3. Perkawinan tengah baya, dimulai ketika anak-anak meninggalkan rumah
4. Perkawinan lanjut usia, diawali pada awal masa pensiun dan berakhir saat salah satu pasangan meninggal dunia.
5. Periode Perkawinan

 

Strong dan De Vault (1989) mengemukakan periode perkawinan sebagai berikut:
a. Periode Tahun Awal,
Dimulai saat seseorang baru menikah dan belum memiliki anak. Tahap ini merupakan tahun yang sangat kritis, karena seseorang mengalami transisi dalam kehidupannya. Tahun pertama perkawinan ini akan menentukan perkembangan perkawinan selanjutnya, apakah akan menjadi lebih baik atau malah memburuk.

 

Masa ini berlangsung 10 tahun pertama perkawinan, yang meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap. Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan sehari-hari. Mereka menetapkan peraturan kehidupan sehari-hari,menyelesaikan sekolah, memulai karir atau merencanakan kehadiran anak pertama.
 

Pada fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan sesuai dengan peran yang atas dasar jender, hukum, dan pengalaman pribadi yang dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian peran yang akan dijalankan sebagai pasutri.
Pasutri yang memiliki latar belakang yang sama akan lebih mudah menyesuaikan diri satu sama lain, karena mempunyai harapan yang sama terhadap pasangannya. Sedangkan perbedaan latar belakang keluarga (seperti agama, suku bangsa, sosial dan keluarga yang retak) akan mengganggu proses penyesuaian perkawinan.

 

b. Periode Perkawinan Muda.
Diawali dengan mulai adanya anak dalam kehidupan pasutri. Istri berhenti bekerja dan mengasuh anak, mulai menyesuaikan diri dengan irama kehidupan rutin dalam perkawinan. Sedangkan bagi perempuan berkarir yang tetap bekerja, harus mampu membagi waktunya dengan baik dalam mengurus rumah tangga, anak serta pekerjaannya. Hal ini tidak mudah, karena menuntut penyesuaian psikologis yang cukup besar. Untuk itu ada yang menyebutkan pada periode ini kepuasan perkawinan pada perempuan mulai berkurang.

 

c. Periode Tahun Pertengahan
Periode ini antara tahun ke 11 sampai dengan ke 30 tahun perkawinan. Jika pasangan memiliki anak, maka fase ini diisi dengan fokus pada pengembangan anak dan pengasuhan keluarga, serta menetapkan tujuan-tujuan baru untuk masa depan. Jika pasangan tidak memiliki anak, maka fase ini didedikasikan untuk karir, aktivitas kemasyarakatan atau tugas-tugas sosial. Titik beratnya adalah kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan hidupnya.

 

Pada periode ini, anak sudah berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai-nilai dan ide pergaulan yang berbeda. Untuk itu seringkali terjadi konflik antara anak dengan orangtua. Namun pada periode ini pasutri sudah memiliki kondisi keuangan yang baik, karena istri sudah mulai bekerja kembali dan pengasuhan anak banyak berkurang.
 

Hal lain yang terjadi, pasutri sudah mulai memasuki tanda-tanda ketuaan, sudah mulai banyak orang seumurnya yang meninggal. Reaksi yang terjadi, biasanya ada yang menarik diri dari pergaulan namun ada juga yang malah aktif membina hubungan baik dengan orang lain seperti kenalan, saudara dan anak-anak. Periode ini juga merupakan masa persiapan pasutri kehadiran menantu, saudara-saudara yang baru, dan mempersiapkan diri menjadi kakek nenek, disamping harus menerima kehadiran orangtua sendiri yang sudah mulai tergantung pada mereka.
 

d. Periode Tahun Matang
Periode ini diawali dalam tahun ke 31 saat–saat menjadi tua bersama, merencanakan pensiun, menjadi kakek nenek dan hidup sendiri tanpa pasangan serta persiapan kematian. Disebut juga periode perkawinan tua.

 

6. Pola-Pola Perkawinan
Hal yang masih sangat mendominan di dalam persepsi banyak orang bahwa di dalam lembaga perkawinan, laki-laki adalah pencari nafkah dan istri adalah seseorang yang melahirkan dan mengasuh anak-anak, melayani kebutuhan suami sebaik-baiknya, dan mengatur rumah tangga. Namun seiring dengan perkembangan jaman dimana perempuan dapat mengenyam pendidikan dan bekerja di luar rumah, terjadi pula perubahan nilai dan pola perkawinan. Saat ini menjadi hal yang lumrah jika istri lebih berpenghasilan lebih dari si suami, istri lebih memiliki pendidikan yang tinggi dari suami atau istri memiliki posisi karir yang melampaui suaminya.

 

Berkaitan dengan hal diatas, Ihromi (1999) mengutip Scanzoni dan Scanzoni yang menyebutkan adanya empat pola perkawinan yaitu :
a. Owner Property
Dalam pola ini suami sebagai pencari nafkah, dan istri sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk kepada keputusan suami. Status sosial istri bergantung pada status sosial suami. Istri bukan dianggap sebagai pribadi tetapi sebagai barang milik si suami yang harus selalu siap melayani suami walaupun ia tidak menginginkannya.

 

b. Head Complement
Dalam pola ini walau suami tetap sebagai pencari nafkah, dan si istri mengurus rumah tangga, namun kehidupan perkawinan diatur secara bersama. Istri memiliki hak suara, sehingga hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi, berbagi masalah, dan melakukan kegiatan bersama.

 

c. Senior Junior Partner
Suami dan istri sama-sama bekerja, sehingga si istri tidak sepenuhnya bergantung pada suami meskipun dalam pola ini penghasilan dan karir si suami tetap diatas istrinya.

 

d. Equal Partner
Suami dan istri dalam posisi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas rumah tangga. Keputusan diambil secara bersama dan selalu mempertimbangkan kepuasan masing-masing pihak.

 
7. Tipe Perkawinan
Kepuasan perkawinan merujuk pada kebahagiaan perkawinan, yaitu seberapa jauh pasangan merasakan perkawinannnya berjalan dengan stabil dan memuaskan.

 

Hasil riset Cuber dan Haroff (dalam Bird dan Melville,1994) terhadap 211 pasangan yang telah menginjak usia perkawinan 10 tahun dan tidak bercerai, menyatakan adanya 5 tipe perkawinan yaitu :
a. Conflict Habituated, perkawinan tipe ini bercirikan mereka yang selalu bertengkar namun tidak bermaksud untuk pisah. Mereka hampir selalu dalam keadaan tegang, dan tidak cocok satu sama lain namun ingin tetap bersama.

b. Devitalized, perkawinan yang meredup. Kebersamaan perkawinan hanya rutinitas semata, karena tanggung jawab dan tugas.

c. Passive Congenials, perkawinan yang berlangsung aman dan tertib tanpa atau jarang diisi dengan pertengkaran. Pasangan berbagi minat bersama, terlibat dalam kegiatan sosial bersama, mengasuh anak, mengembangkan karir namun tidak mementingkan hubungan romantik.

d. Vitals, perkawinan yang diisi dengan kegiatan dan kebersamaan secara intens. Pasangan terikat dalam semua persoalan kehidupan.

e. Totals, sama halnya dengan Vitals namun dalam derajat yang lebih dimana sebanyak mungkin semua kegiatan dan persoalan kehidupan dinikmati bersama.

 
8. Faktor Prediktif Kepuasan Perkawinan
Kepuasaaan dalam perkawinan merupakan kesan subjektif individu terhadap komponen perkawinannya secara keseluruhan yang meliputi cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup (Blood dan Wolfe, dalam Santrock, 1985). Lebih jauh Snyder (dalam Rathus dan Nevid, 1983) mengelaborasi sejumlah faktor yang berperan secara konsisten dalam kepuasan perkawinan yakni, komunikasi efektif, komunikasi problem solving, kesepahaman pengelolaan keuangan dan kepuasaan seksual.

 

Hal yang menarik tentang kepuasan perkawinan ini disampaikan oleh Zastrow dan Kirst-Ashaman (1987), yang mengaitkannya dengan faktor-faktor sebelum berlangsungnya perkawinan dan selama berlangsungnya perkawinan. Dibawah ini disampaikan dua faktor prediktif kebahagiaan perkawinan yang berkait erat dengan masa sebelum dan selama perkawinan, yaitu :
 

1. Faktor- faktor sebelum perkawinan :
 Perkawinan orang tua yang berbahagia
 Kebahagiaan di masa kanak-kanak
 Disiplin lembut dan tegas dari ortu
 Hubungan orang tua yang harmonis
 Bergaul baik dengan lawan jenis
 Telah mengenal lebih dari satu tahun sebelum perkawinan
 Ada restu dari orang tua
 Usia sepantar
 Puas dengan kasih sayang pasangan
 Cinta
 Kesamaan minat
 Pandangan yang optimistik tentang kehidupan
 Stabilitas emosional
 Sikap yang simpatik
 Kemiripan latar belakang budaya
 Kesesuaian keyakinan agama
 Kondisi pekerjaan dan karir memuaskan
 Hubungan cinta karena persahabatan bukan nafsu
 Kesadaran akan kebutuhan pasangan
 Keterampilan interspersonal dan sosial
 Identitas diri positif
 Memegang nilai-nilai umum
 Kemampuan mencari jalan keluar dari masalah
 Kemampuan pemahaman dan penerimaan diri baik

 

2. Faktor-faktor selama perkawinan :
 Kemampuan komunikasi yang baik
 Hubungan yang setara
 Hubungan yang baik dengan mertua dan ipar
 Minat dibidang yang sama
 Menginginkan hadirnya anak
 Cinta yang bertanggung jawab, saling hormat dan persahabatan
 Menikmati waktu luang bersama
 Hubungan yang penuh afeksi dan kebersamaan
 Kemampuan untuk menerima sekaligus memberi

 

Sedangkan faktor prediktif terhadap ketidakpuasan atau kebahagiaan perkawinan yang berkait pada masa sebelum dan selama perkawinan berlangsung adalah :
1. Faktor-faktor sebelum perkawinan
 Orangtua bercerai
 Kematian orangtua
 Ketidak cocokan ciri kepribadian utama pasangan
 Kenal kurang satu tahun
 Alasan perkawinan karena kesepian
 Alasan perkawinan karena agar bisa meninggalkan keluarga
 Perkawinan dibawah usia 20 tahun
 Adanya predisposisi untuk tidak bahagia
 Mengalami problem problem pribadi yang intensif

 

2. Faktor-faktor selama perkawinan
 Suami lebih dominan
 Istri lebih dominan
 Kecemburuan
 Merasa superior terhadap pasangan
 Merasa lebih pintar dari pasangan
 Tinggal bersama orangtua atau ipar

 

Berdasarkan faktor-faktor diatas David dan Mace (1983), menegaskan bahwa suatu perkawinan baru dianggap berhasil jika mampu mengalami tiga tahapan yaitu :
• Mutual Enjoyment, yang dialami pada saat pasanagan menjalani bulan madu bersama.
• Mutual Adjustment,yang dialami dalam waktu relatif lama dimana masing-masing saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik.
• Mutual Fulfillment, yang terjadi setelah pasangan melampaui dua tahap sebelumnya dengan berhasil. Dalam tahap ini suami dan istri telah menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Oleh karenanya konflik-konflik besar akan jarang ditemukan.

 

Apakah kepuasan perkawinan berjalan seiring dengan bertambah lamanya perkawinan? Berbagai pendapat diberikan tentang hal ini. Clark dan Walin (1965) mengatakan orang-orang yang dari semula bahagia tetap bahagia, dan yang dari semula tidak bahagia tetap tidak bahagia. Sedangkan Guilford (1986) berpendapat bahwa kepuasan perkawinan meningkat secara linear berjalan dengan lamanya waktu perkawinan.
 

Hal yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Blood dan Wolfe (1960) bahwa ada penurunan kepuasan perkawinan yang sifatnya gradual, sejalan dengan waktu perkawinan. Rollins dan Feldman (1970) menemukan bahwa pola kepuasan sepanjang kehidupan perkawinan sendiri berbentuk curvelinear, dengan kepuasan menurun pada kelahiran anak pertama, mencapai titik terendah ketika anak-anak mulai remaja dan meningkat kembali ketika anak meninggalkan rumah.
 

Bagaimana arti kepuasan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan? Bagi suami, kepuasan perkawinan baru akan terjadi jika terpenuhinya perasaan untuk dihargai, kesetiaan, dan terpenuhinya rencana terhadap masa depan. Sedangkan istri, melihat kepuasan perkawinan dari sisi terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi.. Demikian pula usia dan jender telah terbukti mempengaruhi persepsi kebahagiaan perkawinan. Laki-laki dan pasutri yang lebih muda memiliki persepsi kepuasaan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dan pasutri yang lebih tua (Haring-Hildore, Stock, Okun dan Witter, 1985 dikutip dari Indrasari, 1998).
 

Hasil penelitian Bernard (1972) menunjukkan bahwa laki-laki yang menikah, jauh lebih baik secara fisik, social, dan psikologis dibandingkan perempuan yang menikah. Senada dengan ini, Mugford dan Laly (1981) serta Rubenstein (1982) dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih banyak melaporkan perasaan frustrasi, ketidakpuasaan, adanya masalah perkawinan, dan keinginan untuk bercerai dari pada suami. Para istri lebih banyak mengalami kecemasan dan dalam keadaan nervous breakdown (perasaan tidak berdaya, cemas , kuatir dan fisik merasa sakit), menyalahkan diri sendiri atas ketidak sesuaian antara harapan dengan kenyataan dalam perkawinannya,. Perkawinan yang baik akan memberikan manfaat bagi tercapainya kesehatan fisik dan mental bagi perempuan, sedangkan laki-laki tetap akan merasaakan manfaat dari suatu perkawinan tanpa mempertimbangkan kualitas perkawinannya.
 

Mengutip berbagai pandangan pakar perkawinan, ada perbedaan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, Indriasari (1998). Bagi laki-laki, faktor kepuasan seksual dan aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan bersama pasangan, memiliki pasangan yang atraktif, mendapatkan dukungan keluarga, dikagumi oleh irti merupakan fakor-faktor penting dalam kepuasan perkawinan. Sementara pada perempuan, aspek kualitas dan kuantitas komunikasi serta afeksi dengan pasangan merupakan hal yang penting. Perempuan merasa puas jika suaminya menunjukkan afeksi, dapat bercakap-cakap dengan suami, suami menunjukkan kejujuran, keterbukaan, dan komitmen terhadap keluarga dan memperoleh support secara finansial.
 

Bila dilihat dari tahap perkembangan keluarga, kepuasan perkawinan pada laki-laki cenderung lebih konstan dibandingkan perempuan yang mengalami beragam kepuasan perkawinan sejalan dengan tahap perkembangan keluarga. Titik terendah kepuasan perkawinan perempuan terjadi pada saat mereka memiliki anak usia pra sekolah, dan tertinggi setelah anak meninggalkan rumah.
 
9.Keuntungan Perkawinan
Linda Waite mengutip beberapa kajian tentang efek positif perkawinan yaitu : memiliki gaya hidup yang sehat,lebih panjang umur, memiliki hubungan sesksual yang memuaskan, memiliki lebih kekayaan, dan secara umum anak-anak dapat tumbuh kembang lebih baik dengan adanya orangtua di rumah.

 

10.Formula Kesuksesan Perkawinan
- Masing-masing harus mandiri dan matang
- Harus mencintai pasangan dan diri mereka sendiri
- Menikmati kesendirian sama baiknya dengan kebersamaan
- Mapan dalam pekerjaan
- Mengenal baik pasangan masing-masing
- Mampu berekspresi secara asertif
- Keduanya adalah teman sekaligus lovers


Daftar Kepustakaan :

Olson, D.H.,DeFrain,J.(2006). Marriages & Families. Boston : McGrawHill.
Secombe,K., Warner, R.L. (2004). Marriages and Families . Canada :Wadsworth.
Williams,B.K.,Sawyer, S.C.,Wahlstrom,C.M (2006). Marriages, Families, and Intimate Relationships. A Practical Introduction. Boston : Pearson Education,Inc.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia