Selasa, 12 Juni 2018

Anak Berbakat, Apa Sih?

Orang tua sering lupa, anak berbakat membutuhkan dukungan dan motivasi.
’’Anak saya berbakat, lho,’’ ujar seorang ibu kepada teman-temannya.Setiap orang tua pasti selalu membanggakan anak-anaknya. Setiap anak memang unik. Mereka dilahirkan dengan membawa potensi dan bakat yang berbeda-beda.Beruntunglah bila orang tua dikarunia anak yang berbakat. Menurut pakar keberbakatan, Dr Reni Akbar-Hawadi SPsi jumlah anak yang berbakat hanya tiga persen dari jumlah populasi anak. ’’Membesarkan anak berbakat itu ibarat pohon. Bila tak disiram tak akan tumbuh,’’ ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini. Sayangnya, sebagian besar orang tua masih belum memahami bahwa buah hatinya adalah anak berbakat. Selama ini, pemahaman masyarakat atas istilah berbakat, cerdas, dan pintar masih tumpang tindih. Padahal, ketiga istilah itu berbeda.


All out
Menurut Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah memiliki komitmen yang besar dengan bidang yang disukainya. Tak hanya itu, anak yang berbakat pun akan terus-menerus mengembangkan kemampuan yang dimilikinya itu. ’’Kememapuannya melampaui di atas rata-rata,’’ ujar penggagas Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI itu.

Tak hanya itu, anak yang berbakat juga memiliki kemampuan intelegensi yang jauh di atas rata-rata. Anak yang unik ini juga dikarunia komitmen yang besar dan kreatif dalam bidang yang disukainya. Sehingga, bidang itu bisa kembangkannya untuk menjadi lebih besar lagi. ’’Misalnya ada anak yang senang olahraga. Kalau anak itu berbakat, maka ia akan terus mencari bahan tentang olahraga yang disukainya,’’ tutur psikolog kelahiran Kota Bandung ini. Dengan begitu, si anak akan tahu tokoh, hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut. ’’Anak berbakat itu akan all out.’’

Begitu juga dengan anak yang suka dengan matematika. Anak berbakat akan terlihat lain. Menurut Reni, akan berbakat akan punya komitmen untuk mempelajari matematika hingga mampu menciptakan rumus-rumus baru. ’’Orang yang berbakat main piano dan yang nggak berbakat akan lain saat memainkan tuts piano. Sentuhannya akan lain,’’ ungkapnya. Sedangkan, lanjut Reni, anak disebut cerdas, karena memiliki taraf intelijensia yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum tentu memiliki komitmen yang besar dan belum tentu mampu berkreativitas. Sementara, istilah anak pandai, kata dia, adalah istilah yang diberikan masyarakat luas untuk menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking tinggi di kelasnya.

Pandai, berbakat, cerdas
’’Anak pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas,’’ kata Reni. Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250 anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20 persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. Mungkin Anda bertanya, ’’Kok bisa sih anak yang nggak cerdas mendapat ranking?’’ Menurut Reni, hal itu tentu sangat mungkin terjadi. Sebab, pelajaran di SD terbilang masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk belajar.’’Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena mereka harus belajar mandiri.’’

Sejak kapan orang tua mulai bisa mengenali buah hatinya tergolong anak berbakat? Menurut Reni, berdasarkan penelitian orang tua mulai bisa melihat anaknya berbakat atau tidak pada saat masuk taman kanak-kanak (TK). Orang tua, bisa melihat dari kecenderungan-kecenderungan anak yang muncul setiap hari. Reni memaparkan, anak berbakat ditandai dengan kritis, banyak tanya, agak susah diatur, punya rasa ingin tahu yang besar dan memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi. Misalnya saja, anak yang berbakat tak cuma ingin main ke mal, namun juga mereka memiliki keinginan untuk mengunjungi museum dan berbagai tempat lainnya.

’’Orang tua yang mengerti, sering kali menganggap anak berbakat ini cukup merepotkan,’’ paparnya. Memang hal itu ada benarnya. Sebab, belum tentu orang tua bisa memenuhi kebutuhan anak tersebut baik secara pengetahuan maupun finansial. Namun, kata Reni, yang perlu diingat adalah mendidik anak berbakat adalah tugas yang mulia. Sebab, mereka adalah aset bangsa di masa depan. Bila orang tua menemukan anaknya seperti itu, maka sebaiknya orang tua perlu berkonsultasi dengan psikolog tentang cara membesarkan anak-anak yang berbakat itu. ’’Orang tua juga harus rajin membaca buku agar bisa mengimbangi rasa ingin tahu anaknya yang besar,’’ tegasnya.

Dukungan dan motivasi
Anak berbakat, jelas Reni, amat membutuhkan dukungan dan motivasi. ’’Yang perlu diperhatikan, anak berbakat ini sangat rentan dengan rasa aman psikologis dalam pengembangan bakatnya,’’ tuturnya. Orang tua, sering kali kurang menghargai kreativitas anaknya. Bila ada seorang anak yang menggambar daun dengan warna ungu, misalnya, orang tua biasanya langsung komentar, ’’Kok ada daun warna ungu?’’Pernyataan itu akan dianggap anak sebagai sesuatu yang melecehkan. Hal itu membuat anak merasa tak aman secara psikologi. Hal seperti itu, kata Reni, akan bisa mematikan bakat yang dimiliki anak tersebut. ’’Kesalahan ini sering terjadi, karena orang tua tak mengerti cara menangani anak yang berbakat,’’ ucapnya.

Kesalahan lainnya yang biasanya dilakukan orang tua dalam membesarkan anak berbakat adalah kurangnya memberi dukungan dan motivasi. Padahal, kata dia, perenang juara olimpiade atau juara-juara lainnya mampu meraih prestasi karena dukungan dan motivasi dari ibunya. ’’Ternyata, ibunya selalu mengajak anaknya berenang,’’ imbuhnya. Hal itu, sambung dia, menunjukkan bawah orang tua dari atlet-atlet juara dunia itu memiliki kepedulian yang besar dan mau mengorbankan waktunya untuk sang anak.

Sekolah pun sering kali dianggap mematikan anak-anak berbakat. Biasanya di sekolah, anak-anak berbakat sering ditempatkan di pojok. Itu terjadi karena kebanyakan sekolah lebih senang dengan anak yang rata-rata. Guru pun tak mau susah. ’’Sebab, anak berbakat ini biasanya selalu kritis, bertanya terus, nggak mau kalah dan terus mengejar apa yang ingin diketahuinya.’’ Tak heran, bila guru merasa terpojok. Sementara, penilaian guru biasanya bersifat subjektif. Sering kali guru menilai muridnya dari kesopanan dan perilakunya. Malah, kepatuhan dan kesopanan dijadikan indikator siswa berbakat. Padahal, kata Reni, di negara lain kedua hal itu tak masuk kategori penilaian anak berbakat.

’’Akibatnya, banyak anak yang baktnya dimatikan sekolah. Itu karena, guru banyak yang tak tahu,’’ paparnya. Padahal, lanjut dia, kalau disalurkan dengan baik, anak berbakat itu bisa aset bangsa. Mereka bisa mengharumkan nama bangsa di masa yang akan datang. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat,1.000 orang yang dianggap berbakat yang bisa meraih hisup sukses mencapai 45 persen. Menurut Reni, 55 persen dari mereka tak berhasil, karena masalah kepribadian. Ini menunjukkan bahwa membesarkan anak berbakat juga perlu dibarengi dengan memperkuatnya denga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. ’’Ini adalah sebuah kerja berat. Maka, membesarkan anak berbakat perlu ada dukungan dari orang tua, sekolah dan lingkungan,’’ paparnya.

Mengasah Diri di Pusat Keberbakatan
Setiap anak memiliki potensi dan bakat di dalam dirinya yang perlu dikembangkan. Bakat dan potensi itu, ibarat batu intan permata. Bila terus digali, disaring dan diasah, maka hasilnya akan menjadi luar biasa. Atas dasar itulah, Fakultas psikologi UI mendirikan Pusat Keberbakatan.
Lembaga baru ini mencoba memprakarsai berbagai program alternatif di luar sekolah bagi anak-anak yang berbakat. ’’Di tempat ini, anak-anak bisa mempelajari hal-hal baru dan mengembangkan potensi sesuai dengan keinginannya. Lembaga ini juga menyediakan berbagai program bagi para orang tua adan pendamping anak agar senantiasa siap untuk mengembangkan potensi anaknya,’’tutur Sekretaris Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI, Dr Reni Akbar-Hawadi Psi.

Program yang disediakan Pusat Keberbakatan ini diperuntukkan bagi siswa SD, SMP, dan SMA yang tengah mengikuti kelas akselerasi. Siswa yang ikut kelas akselrasi ini adalah tergolong siswa yang berbakat. Bagi mereka, lembaga ini menghadirkan tujuh program yang dikemas dalam Happy Saturday. Ketujuh kegiatan itu antara lain; Basic Fiction Writing, Budo Weekend, Crea Kids, Enterpreneur Readiness Course, Information Skills dan Young Researcher. Kegiatan tersebut digelar setiap hari Sabtu. Basic Fiction Writing diperuntukan bagi siswa SMP yang tertarik dengan dasar-dasar penulisan fiksi. Budo Weekend adalah program aneka seni bela diri dan budaya dari negara asalnya. Ini dikhususkan untuk siswa SMP dan SMA. Crea Kids adalah program bagi siswa usia 10 hingga 15 tahun yang ingin tumbuh menjadi orang yang kreatif.

Sedangkan, Enterpreneur Readiness diperuntukkan bagi siswa kelas akhir di SMP dan SMA awal yang mau menggali sifat-sifat unggul pengusaha sukses dalam diri mereka.Information Skill ditujukan bagi siswa SMP dan SMA agar dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi dalam proses pembelajaran. Selain itu, ada pula program Young Researcher, bagi siswa SD, SMP dan SMA yang ingin menjadi seorang peneliti. Program lainnya adalah Self Development. Program ini dirancang untuk siswa yang berusia 9-13 tahun. Tujuannya agar anak mengenal lebih baik dirinya sehingga mampu berkomunikasi dengan baik.

Bagi para orang tua yang memilki anak berbakat, Pusat Keberbakatan juga menggelar progran Parenting Skill dan Bunga rampai Psikologi keberbakatan. Di dua program itu, orang tua akan diberikan pengetahuan dan wawasan tentang keberbakatan dan cara membesarkan anak berbakat. Untuk setiap programnya, Pusat Keberbakatan menerapkan biaya sebesar Rp 1,5 juta. Lama program selama tiga bulan atau 12 sesi pertemuan.
( hri )

Sumber:  https://www.republika.co.id/

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia