Orang tua sering lupa, anak berbakat membutuhkan dukungan dan motivasi.
’’Anak
saya berbakat, lho,’’ ujar seorang ibu kepada teman-temannya.Setiap
orang tua pasti selalu membanggakan anak-anaknya. Setiap anak memang
unik. Mereka dilahirkan dengan membawa potensi dan bakat yang
berbeda-beda.Beruntunglah bila orang tua dikarunia anak yang berbakat.
Menurut pakar keberbakatan, Dr Reni Akbar-Hawadi SPsi jumlah anak yang
berbakat hanya tiga persen dari jumlah populasi anak. ’’Membesarkan anak
berbakat itu ibarat pohon. Bila tak disiram tak akan tumbuh,’’ ujar
dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini. Sayangnya,
sebagian besar orang tua masih belum memahami bahwa buah hatinya adalah
anak berbakat. Selama ini, pemahaman masyarakat atas istilah berbakat,
cerdas, dan pintar masih tumpang tindih. Padahal, ketiga istilah itu
berbeda.
All out
Menurut
Reni, anak disebut berbakat apabila sejak kecil sudah memiliki komitmen
yang besar dengan bidang yang disukainya. Tak hanya itu, anak yang
berbakat pun akan terus-menerus mengembangkan kemampuan yang dimilikinya
itu. ’’Kememapuannya melampaui di atas rata-rata,’’ ujar penggagas
Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI itu.
Tak
hanya itu, anak yang berbakat juga memiliki kemampuan intelegensi yang
jauh di atas rata-rata. Anak yang unik ini juga dikarunia komitmen yang
besar dan kreatif dalam bidang yang disukainya. Sehingga, bidang itu
bisa kembangkannya untuk menjadi lebih besar lagi. ’’Misalnya ada anak
yang senang olahraga. Kalau anak itu berbakat, maka ia akan terus
mencari bahan tentang olahraga yang disukainya,’’ tutur psikolog
kelahiran Kota Bandung ini. Dengan begitu, si anak akan tahu tokoh,
hasil pertandingan, hingga teknik-teknik olahraga tersebut. ’’Anak
berbakat itu akan all out.’’
Begitu
juga dengan anak yang suka dengan matematika. Anak berbakat akan
terlihat lain. Menurut Reni, akan berbakat akan punya komitmen untuk
mempelajari matematika hingga mampu menciptakan rumus-rumus baru.
’’Orang yang berbakat main piano dan yang nggak berbakat akan lain saat
memainkan tuts piano. Sentuhannya akan lain,’’ ungkapnya. Sedangkan,
lanjut Reni, anak disebut cerdas, karena memiliki taraf intelijensia
yang tinggi. Namun, anak cerdas ini belum tentu memiliki komitmen yang
besar dan belum tentu mampu berkreativitas. Sementara, istilah anak
pandai, kata dia, adalah istilah yang diberikan masyarakat luas untuk
menunjukkan bahwa seorang anak punya ranking tinggi di kelasnya.
Pandai, berbakat, cerdas
’’Anak
pandai belum tentu berbakat dan belum tentu cerdas,’’ kata Reni.
Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa Psikologi UI, dari 250
anak sekolah dasar (SD) yang selalu meraih ranking satu sampai 10 di
sekolahnya, ternyata yang terkategori cerdas hanya 20 persen. Malah, 20
persen lainnya kecerdasannya di bawah rata-rata. Mungkin Anda bertanya,
’’Kok bisa sih anak yang nggak cerdas mendapat ranking?’’ Menurut Reni,
hal itu tentu sangat mungkin terjadi. Sebab, pelajaran di SD terbilang
masih mudah. Selain itu, kontrol yang diberikan orang tua juga
terus-menerus. Sehingga, tiap hari orang tua men-drill anaknya untuk
belajar.’’Tapi, begitu si anak masuk SMP dan SMA jadi drop, karena
mereka harus belajar mandiri.’’
Sejak
kapan orang tua mulai bisa mengenali buah hatinya tergolong anak
berbakat? Menurut Reni, berdasarkan penelitian orang tua mulai bisa
melihat anaknya berbakat atau tidak pada saat masuk taman kanak-kanak
(TK). Orang tua, bisa melihat dari kecenderungan-kecenderungan anak yang
muncul setiap hari. Reni memaparkan, anak berbakat ditandai dengan
kritis, banyak tanya, agak susah diatur, punya rasa ingin tahu yang
besar dan memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi. Misalnya saja,
anak yang berbakat tak cuma ingin main ke mal, namun juga mereka
memiliki keinginan untuk mengunjungi museum dan berbagai tempat lainnya.
’’Orang
tua yang mengerti, sering kali menganggap anak berbakat ini cukup
merepotkan,’’ paparnya. Memang hal itu ada benarnya. Sebab, belum tentu
orang tua bisa memenuhi kebutuhan anak tersebut baik secara pengetahuan
maupun finansial. Namun, kata Reni, yang perlu diingat adalah mendidik
anak berbakat adalah tugas yang mulia. Sebab, mereka adalah aset bangsa
di masa depan. Bila orang tua menemukan anaknya seperti itu, maka
sebaiknya orang tua perlu berkonsultasi dengan psikolog tentang cara
membesarkan anak-anak yang berbakat itu. ’’Orang tua juga harus rajin
membaca buku agar bisa mengimbangi rasa ingin tahu anaknya yang besar,’’
tegasnya.
Dukungan dan motivasi
Anak
berbakat, jelas Reni, amat membutuhkan dukungan dan motivasi. ’’Yang
perlu diperhatikan, anak berbakat ini sangat rentan dengan rasa aman
psikologis dalam pengembangan bakatnya,’’ tuturnya. Orang tua, sering
kali kurang menghargai kreativitas anaknya. Bila ada seorang anak yang
menggambar daun dengan warna ungu, misalnya, orang tua biasanya langsung
komentar, ’’Kok ada daun warna ungu?’’Pernyataan itu akan dianggap anak
sebagai sesuatu yang melecehkan. Hal itu membuat anak merasa tak aman
secara psikologi. Hal seperti itu, kata Reni, akan bisa mematikan bakat
yang dimiliki anak tersebut. ’’Kesalahan ini sering terjadi, karena
orang tua tak mengerti cara menangani anak yang berbakat,’’ ucapnya.
Kesalahan
lainnya yang biasanya dilakukan orang tua dalam membesarkan anak
berbakat adalah kurangnya memberi dukungan dan motivasi. Padahal, kata
dia, perenang juara olimpiade atau juara-juara lainnya mampu meraih
prestasi karena dukungan dan motivasi dari ibunya. ’’Ternyata, ibunya
selalu mengajak anaknya berenang,’’ imbuhnya. Hal itu, sambung dia,
menunjukkan bawah orang tua dari atlet-atlet juara dunia itu memiliki
kepedulian yang besar dan mau mengorbankan waktunya untuk sang anak.
Sekolah
pun sering kali dianggap mematikan anak-anak berbakat. Biasanya di
sekolah, anak-anak berbakat sering ditempatkan di pojok. Itu terjadi
karena kebanyakan sekolah lebih senang dengan anak yang rata-rata. Guru
pun tak mau susah. ’’Sebab, anak berbakat ini biasanya selalu kritis,
bertanya terus, nggak mau kalah dan terus mengejar apa yang ingin
diketahuinya.’’ Tak heran, bila guru merasa terpojok. Sementara,
penilaian guru biasanya bersifat subjektif. Sering kali guru menilai
muridnya dari kesopanan dan perilakunya. Malah, kepatuhan dan kesopanan
dijadikan indikator siswa berbakat. Padahal, kata Reni, di negara lain
kedua hal itu tak masuk kategori penilaian anak berbakat.
’’Akibatnya,
banyak anak yang baktnya dimatikan sekolah. Itu karena, guru banyak
yang tak tahu,’’ paparnya. Padahal, lanjut dia, kalau disalurkan dengan
baik, anak berbakat itu bisa aset bangsa. Mereka bisa mengharumkan nama
bangsa di masa yang akan datang. Berdasarkan penelitian di Amerika
Serikat,1.000 orang yang dianggap berbakat yang bisa meraih hisup sukses
mencapai 45 persen. Menurut Reni, 55 persen dari mereka tak berhasil,
karena masalah kepribadian. Ini menunjukkan bahwa membesarkan anak
berbakat juga perlu dibarengi dengan memperkuatnya denga kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual. ’’Ini adalah sebuah kerja berat.
Maka, membesarkan anak berbakat perlu ada dukungan dari orang tua,
sekolah dan lingkungan,’’ paparnya.
Mengasah Diri di Pusat Keberbakatan
Setiap
anak memiliki potensi dan bakat di dalam dirinya yang perlu
dikembangkan. Bakat dan potensi itu, ibarat batu intan permata. Bila
terus digali, disaring dan diasah, maka hasilnya akan menjadi luar
biasa. Atas dasar itulah, Fakultas psikologi UI mendirikan Pusat
Keberbakatan.
Lembaga
baru ini mencoba memprakarsai berbagai program alternatif di luar
sekolah bagi anak-anak yang berbakat. ’’Di tempat ini, anak-anak bisa
mempelajari hal-hal baru dan mengembangkan potensi sesuai dengan
keinginannya. Lembaga ini juga menyediakan berbagai program bagi para
orang tua adan pendamping anak agar senantiasa siap untuk mengembangkan
potensi anaknya,’’tutur Sekretaris Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi
UI, Dr Reni Akbar-Hawadi Psi.
Program
yang disediakan Pusat Keberbakatan ini diperuntukkan bagi siswa SD,
SMP, dan SMA yang tengah mengikuti kelas akselerasi. Siswa yang ikut
kelas akselrasi ini adalah tergolong siswa yang berbakat. Bagi mereka,
lembaga ini menghadirkan tujuh program yang dikemas dalam Happy
Saturday. Ketujuh
kegiatan itu antara lain; Basic Fiction Writing, Budo Weekend, Crea
Kids, Enterpreneur Readiness Course, Information Skills dan Young
Researcher. Kegiatan tersebut digelar setiap hari Sabtu. Basic Fiction
Writing diperuntukan bagi siswa SMP yang tertarik dengan dasar-dasar
penulisan fiksi. Budo
Weekend adalah program aneka seni bela diri dan budaya dari negara
asalnya. Ini dikhususkan untuk siswa SMP dan SMA. Crea Kids adalah
program bagi siswa usia 10 hingga 15 tahun yang ingin tumbuh menjadi
orang yang kreatif.
Sedangkan,
Enterpreneur Readiness diperuntukkan bagi siswa kelas akhir di SMP dan
SMA awal yang mau menggali sifat-sifat unggul pengusaha sukses dalam
diri mereka.Information Skill ditujukan bagi siswa SMP dan SMA agar
dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi dalam proses pembelajaran.
Selain itu, ada pula program Young Researcher, bagi siswa SD, SMP dan
SMA yang ingin menjadi seorang peneliti. Program lainnya adalah Self
Development. Program ini dirancang untuk siswa yang berusia 9-13 tahun.
Tujuannya agar anak mengenal lebih baik dirinya sehingga mampu
berkomunikasi dengan baik.
Bagi
para orang tua yang memilki anak berbakat, Pusat Keberbakatan juga
menggelar progran Parenting Skill dan Bunga rampai Psikologi
keberbakatan. Di dua program itu, orang tua akan diberikan pengetahuan
dan wawasan tentang keberbakatan dan cara membesarkan anak berbakat.
Untuk setiap programnya, Pusat Keberbakatan menerapkan biaya sebesar Rp
1,5 juta. Lama program selama tiga bulan atau 12 sesi pertemuan.
( hri )
Sumber: https://www.republika.co.id/