Reni
Akbar Hawadi adalah nama populernya. Wanita ini dikenal sebagai sosok
yang gigih dan mandiri. Ia juga mantan aktivis saat kuliah.
''Sebagai perempuan, saya mencoba mendobrak tradisi di organisasi dengan mengajukan diri sebagai ketua senat,'' ujarnya.
Reni
memiliki kemauan yang keras dan bakat yang beragam. Meski
spesialisasinya adalah psikologi pendidikan, ia memiliki kantor
konsultan psikologi yang berkaitan dengan industri. Sampai saat ini,
juga tercatat sebagai Konsultan Perkawinan di Dirjen Bimas Islam
Departemen Agama dan Kepala Pusat Kajian Keberbakatan di Universitas
Indonesia (UI).
Ia dikukuhkan menjadi guru besar UI pada awal 1 Juli 2009 dengan Judul pidato ''Membangun Peran Psikolog dalam Sekolah''. Inisiatifnya, psikolog pendidikan/sekolah menjadi salah satu tenaga pengajar resmi di institusi pendidikan.
Menurutnya,
peran psikolog selama ini tereduksi dengan pemahaman mengenai psikolog
yang dikenal hanya sebagai ''tukang tes'' (psikotes).
Berikut
adalah wawancara wartawan Republika, Agung Budiono, dan fotografer
Pandega Putrabangsa dengan Prof Dr Lydia Freyani Hawadi, pakar Psikologi
Pendidikan dari UI.
Mengapa tertarik menekuni bidang psikologi?
Tidak
pernah bercita-cita khusus untuk menjadi seorang psikolog. Orang tua
(khususnya Ayah) malah sangat mendorong untuk masuk Fakultas Kedokteran.
Namun,
saat SMU, disarankan oleh psikolog sekolah agar lebih realistis dalam
mengembangkan diri sesuai minat dan bakat yang dimiliki. Kemudian, dia
disarankan untuk masuk Fakultas Psikologi.
Spesilisasi Anda?
Spesialisasi
saya adalah psikologi pendidikan. Saat masih kuliah, mahasiswa yang
mengambil minat studi keterbakatan (pendidikan--Red) saat itu belum
banyak dan kurang berkembang.
Saya banyak dipengaruhi oleh Prof Dr
Sukarni Catur Utami Munandar. Ketika menjadi mahasiswa, saya menjadi
asistennya. Hingga kini, beliau banyak memberikan warna kepada saya
dalam menekuni bidang ini.
Apa gagasan Anda?
Pendidikan
kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik. Bahwa ada
individual differences, ada anak yang berbakat istimewa, dan ada yang
cerdas istimewa. Mereka seharusnya di-treatment secara berbeda.
Karakteristik
pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat,
motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi belum digali lebih dalam.
Justru, di sini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks
yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.
Dalam praktik,
saat ini sudah banyak sekolah yang menggunakan jasa psikolog untuk
melakukan pemeriksaan psikologis. Setidaknya, menjelang tahun ajaran
baru melalui biro psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan
psikologis bagi calon siswa baru dan biasanya pemeriksaan psikologis
untuk membantu penjurusan siswa di SMA dan penjurusan program studi ke
perguruan tinggi (PT).
Namun, peran psikolog di sini masih berada
di luar lingkaran sekolah. Mereka bekerja hanya sebagai ''tukang tes''.
Kompetensi lain yang dimiliki psikolog belum digunakan, terjadilah
pemubaziran ilmu.
Padahal, psikotes tidak sekadar mengetahui
besaran skor IQ. Banyak hal yang bisa dibaca melalui hasil pemeriksaan
psikologis. Saya meyakini, sekolah membutuhkan seseorang yang dapat
memahami dan menindaklanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram dan uraian
lengkap tersebut. Dan, orang tersebut tidak lain adalah psikolog.
Mengapa?
Karena,
selama ini, sampai era Reformasi, praktis pendidikan nasional baru
sampai ke masalah kuantitas, belum menyentuh pada peningkatan kualitas.
Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik, seperti gedung sekolah,
sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, atau perpustakaan, tetapi
menyangkut peserta didik sebagai subjek.
Kebijakan pemerintah saat
itu masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah dasar (SD) dibangun
secara besar-besaran agar anak Indonesia yang berusia 7-12 tahun
memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah.
Guru pun direkrut
secara instan melalui program pendidikan guru sekolah dasar (PGSD),
berupa program diploma selama dua tahun. Kebijakan ini berjalan sampai
1998. Kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia.
Di saat kita bersibuk diri dengan masalah
pemerataan pendidikan dan program wajib belajar enam tahun, dunia luar
ternyata sudah jauh memikirkan bahwa ke depan perubahan apa yang akan
terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk mampu
bersaing.
Jadi, apa dampaknya bagi pendidikan di Indonesia?
Saya
melihat banyaknya pengganguran dari lulusan PT akibat mereka harus
memenuhi taraf kualifikasi kecerdasaan tertentu. Padahal, mereka bisa
jadi tidak tahu minat sebenarnya sehingga tidak cocok untuk
mengembangkan pekerjaan sesuai jurusannya.
Oleh karena itu, sejak
SMP, perlu ada seleksi kecerdasaan, apakah mereka lebih baik masuk SMA
atau SMK. Bagi mereka yang punya kemampuan lebih, baiknya masuk ke SMA
agar nantinya bisa masuk PT, bagi yang lain lebih baik masuk SMK.
Pelajar
SMP hingga kini tidak pernah diberi alternatif menjelang lulus, apakah
ia lebih baik masuk SMA atau SMK. Kebanyakan mereka lebih memilih SMA
daripada SMK. Lalu, usai lulus SMA akhirnya mereka menggangur. Oleh
karena itu, penting dihadirkannya psikolog pendidikan di sekolah yang
dapat menganalisis perkembangan dan kebutuhan masa depan anak tersebut.
Selain
itu, meski SMK telah menyebar, belum begitu populer di mata pelajar
yang lulus SMP. Jika ada yang masuk SMK, seolah-olah masih warga kelas
dua.
Akibatnya, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari
data yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) tahun
2008, menunjukkan peringkat Indonesia (107), Malaysia (63), dan
Singapura (25) dari 175 negara.
Itulah potret pendidikan nasional
Indonesia saat ini yang akar utamanya pada potensi individu. Peran
psikolog pendidikan sebagai tenaga ajar resmi di institusi pendidikan
menjadi suatu keharusan agar potensi individu dapat dilihat sejak dini.
Harus
ada pembelajaran yang cepat bagi bangsa agar dapat maju. Kita harus
tega mendiferensiasikan individu tertentu, yang cerdas dan jumlahnya
sedikit diistimewakan. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus
kepada mereka karena tanggung jawab masa depan bangsa sebagiannya ada
pada mereka.
Apa yang telah Anda lakukan untuk memasukkan psikolog pendidikan menjadi tenaga ajar resmi?
Saya
bersama teman-teman telah audiensi ke menko kesra untuk
menyosialisasikan Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) karena
banyak juga masalah pendidikan yang berkaitan dengan kesejahteraan,
seperti anak yang kurang mampu atau maraknya kasus bunuh diri anak
sekolah. Namun, beliau memberi saran untuk juga mengusulkannya ke
mendiknas.
Setelah itu, kami ke Mendiknas Bambang Sudibyo dan
diterima baik olehnya. Namun, terdapat kendala mendasar, yaitu apakah
dari pihak psikolog sendiri mampu mempersiapkan tenaga psikolog
pendidikan bagi ribuan sekolah yang ada di Indonesia.
Bagi
psikolog di sekolah, aktivitas mereka lebih berat ke klinis sehingga
yang cocok bekerja di sekolah adalah mereka yang berlatar belakang S2
profesi psikologi. Sedangkan, lulusan profesi psikologi pendidikan
Fakultas Psikologi UI hanya 20-30 persen yang bekerja di sekolah.
Konsekuensi
lain, setelah masuk UU, berarti pemerintah harus mempersiapkan anggaran
penghasilan bagi tenaga ajar untuk psikolog pendidikan/sekolah. Ini
berkaitan dengan anggaran dan kewajiban yang muncul pada Undang-Undang
No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Selain itu,
terdapat anggapan bahwa gaji psikolog lebih tinggi dari guru sehingga
sekolah merasa ''takut'' mempunyai psikolog dan lebih memilih
menggunakan jasa psikolog dari biro psikologi saja.
Sebenarnya,
pemerintah telah mengakomodasi profesi psikolog sebagai salah satu
tenaga kependidikan sebatas di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Peraturan
Pemerintah (PP) No 19/2005. Saya juga berharap, jika ada kesempatan
untuk merevisi PP tersebut, agar memasukkan profesi psikolog juga di
jenjang pendidikan formal lain.
Reni sejak 2004 bersama
koleganya membangun Pusat Kajian Keberbakatan yang berada di bawah salah
satu unit kegiatan di Fakultas Psikologi UI. Ini merupakan impian yang
lama sekali semenjak pulang dari Amerika pada 1992. Namun, baru 12 tahun
kemudian gagasan itu bisa dilaksanakan sejak 2004.
Reni juga
menjadi salah satu pelopor adanya Kajian Islam dan Psikologi (KIP) UI.
Saat ini, itu masuk dalam Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI)
di bawah Program Pascasarjana UI. Bukunya Psikologi Perkembangan yang
berasal dari kumpulan tulisan populer di berbagai media cetak telah
menjadi best seller.
Disertasinya juga dijadikan buku, yaitu
Identifikasi Keberbakatan Intelektual melalui Metode Non-Tes (Grasindo,
2002). Ia menemukan rumus instrument non-tes yang berguna untuk
mengetahui skor yang mengindikasikan si anak cerdas istimewa atau tidak.
Namun, sampai saat ini, temuannya belum banyak digunakan karena masih
menggunakan tes-tes psikologi konvensional.
Apa fungsi Pusat Kajian Keberbakatan?
Lembaga
baru ini mencoba memprakarsai berbagai program alternatif di luar
sekolah bagi anak-anak yang berbakat. Program yang disediakan Pusat
Keberbakatan ini diperuntukkan bagi siswa SD, SMP, dan SMA pada setiap
Sabtu.
Banyak yang telah dilakukan, misalnya Visit Campus.
Program ini ditujukan bagi anak kelas 3 yang akan lulus. Dengan program
ini, mereka dapat mendengarkan penjelasan langsung mengenai hal-hal yang
dipelajari pada fakultas-fakultas yang didatangi oleh staf pengajar dan
mahasiswa di sana.
Kemudian, ada Happy Science untuk anak SD yang
memperkenalkan mereka dengan berbagai ilmu yang dipelajari di kampus
agar mereka memiliki wawasan sejak dini. Program ini bekerja sama dengan
himpunan mahasiswa, misalnya memperkenalkan jurusan yang ada di UI,
seperti Antropologi, Kimia, dan lain-lain.
Ada lagi Creative,
yaitu pengenalan multiple intelligence, agar anak-anak SD mendapatkan
pelatihan untuk mengetahui di sisi mana kecerdasan yang paling dominan
dalam diri mereka. Orang tua dapat mengasahnya untuk diperkuat.
Kegiatan
lainnya adalah riset. Kami menemukan instrument developmental quotient
yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan anak sejauh mana dan
juga menerbitkan Jurnal Keberbakatan.
Lalu, bagaimana perkembangan Kajian Islam dan Psikologi (KIP) di UI saat ini?
Sejak
berdiri pada 2003 hingga kini, perkembangannya baik dan peminatnya pun
banyak. Kebanyakan berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) dan
lulusan Timur Tengah. Ke depannya, program ini cukup potensial meskipun
di awal pendiriannya banyak mendapat tentangan dari para senior.
Kemudian,
kami membawa hasil kajian pendirian program ini kepada para tokoh
Muslim, seperti Din Syamsudin dan Nasharuddin Umar, untuk meminta
endorsement (pengesahan) dan ternyata hasilnya disetujui.
Seperti apa gambaran bahasan di KIP?
Sebenarnya,
Islam sendiri itu sangat psikologis dengan memandang manusia sebagai
makhluk spiritual, bukan makhluk material, seperti dalam paradigma Barat
dan yang orientasinya sangat duniawi.
Psikologi Islam mencoba
mencari jalan keluar dari masalah kejiwaan manusia saat ini karena
memiliki muara di akhirat yang merupakan kehidupan sebenarnya, bukan
duniawi, dengan Alquran dan hadis-hadis sebagai landasan.
Selama
ini, kajian psikologis kan paling banyak dari tokoh-tokoh Barat saja. Di
sana, kami banyak mempelajari pemikir Islam, seperti al-Ghazali.
Di
program ini, saya banyak mengajarkan psikologi dalam
pandangan-pandangan pemikir Barat. Murid saya yang banyak berlatar
belakang agama mencoba mencari sisi yang berbeda dari pandangan Islam
dan coba kita bahas perbandingannya.
Apa obsesi Anda ke depan?
Pengalaman
di dunia psikologi banyak melahirkan pemikiran kritis yang memunculkan
kristalisasi pemikiran. Saya ingin membuat Pusat Wanita, yaitu tempat
wanita bisa belajar apa saja mengenai perannya sebagai ibu. Di sana,
saya akan membuat kursus pranikah dan mengawasi tahap perkembangan anak.
Saya
juga ingin membuat Human Center Ibu dan Anak sebagai tempat
pengembangan diri si anak dalam mendapatkan pengayaan. Jika diduga
memiliki kecerdasan istimewa, anak itu harus segera dapat diarahkan.
Saya
merasakan pemerintah saat ini belum optimal dalam mencerdaskan ibu.
Padahal, ibu adalah ujung tombak bagi keluarga dan negara. Kebanyakan
ibu saat ini telah terkontaminasi dengan budaya kerja. Mereka inginnya
menjadi wanita karier. Ibu adalah pendidik utama dan pertama anaknya.
Biodata
Nama : Lydia Freyani Hawadi
Lahir : Bandung, 22 Maret 1957
Jabatan : Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi UI Universitas Indonesia
Suami : Zulkifli Akbar
Pendidikan:
1993 : Lulus Doktor Bidang Psikologi UI
1989 : Lulus Magister Bidang Psikologi, Fakultas Pascasarjana UI
1981 : Lulus Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi UI
1978 : Lulus Sarjana Muda, Fakultas Psikologi UI
1975 : Lulus SMA Santa Ursula, Jakarta
1972 : Lulus SMP Santa Ursula, Jakarta
1969 : Lulus SD Van Lith, Jakarta
1963 : Tamat TK Siliwangi, Jakarta
Sumber: Republika