Rabu, 07 Februari 2018

Psikologi untuk Masa Depan Anak

Reni Akbar Hawadi adalah nama populernya. Wanita ini dikenal sebagai sosok yang gigih dan mandiri. Ia juga mantan aktivis saat kuliah. 

''Sebagai perempuan, saya mencoba mendobrak tradisi di organisasi dengan mengajukan diri sebagai ketua senat,'' ujarnya.

Reni memiliki kemauan yang keras dan bakat yang beragam. Meski spesialisasinya adalah psikologi pendidikan, ia memiliki kantor konsultan psikologi yang berkaitan dengan industri. Sampai saat ini, juga tercatat sebagai Konsultan Perkawinan di Dirjen Bimas Islam Departemen Agama dan Kepala Pusat Kajian Keberbakatan di Universitas Indonesia (UI).

Ia dikukuhkan menjadi guru besar UI pada awal 1 Juli 2009 dengan Judul pidato ''Membangun Peran Psikolog dalam Sekolah''. Inisiatifnya, psikolog pendidikan/sekolah menjadi salah satu tenaga pengajar resmi di institusi pendidikan.

Menurutnya, peran psikolog selama ini tereduksi dengan pemahaman mengenai psikolog yang dikenal hanya sebagai ''tukang tes'' (psikotes).

Berikut adalah wawancara wartawan Republika, Agung Budiono, dan fotografer Pandega Putrabangsa dengan Prof Dr Lydia Freyani Hawadi, pakar Psikologi Pendidikan dari UI.

Mengapa tertarik menekuni bidang psikologi?
Tidak pernah bercita-cita khusus untuk menjadi seorang psikolog. Orang tua (khususnya Ayah) malah sangat mendorong untuk masuk Fakultas Kedokteran.
Namun, saat SMU, disarankan oleh psikolog sekolah agar lebih realistis dalam mengembangkan diri sesuai minat dan bakat yang dimiliki. Kemudian, dia disarankan untuk masuk Fakultas Psikologi.
Spesilisasi Anda?

Spesialisasi saya adalah psikologi pendidikan. Saat masih kuliah, mahasiswa yang mengambil minat studi keterbakatan (pendidikan--Red) saat itu belum banyak dan kurang berkembang.
Saya banyak dipengaruhi oleh Prof Dr Sukarni Catur Utami Munandar. Ketika menjadi mahasiswa, saya menjadi asistennya. Hingga kini, beliau banyak memberikan warna kepada saya dalam menekuni bidang ini.

Apa gagasan Anda?
Pendidikan kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik. Bahwa ada individual differences, ada anak yang berbakat istimewa, dan ada yang cerdas istimewa. Mereka seharusnya di-treatment secara berbeda.

Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi belum digali lebih dalam. Justru, di sini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.

Dalam praktik, saat ini sudah banyak sekolah yang menggunakan jasa psikolog untuk melakukan pemeriksaan psikologis. Setidaknya, menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru dan biasanya pemeriksaan psikologis untuk membantu penjurusan siswa di SMA dan penjurusan program studi ke perguruan tinggi (PT).

Namun, peran psikolog di sini masih berada di luar lingkaran sekolah. Mereka bekerja hanya sebagai ''tukang tes''. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog belum digunakan, terjadilah pemubaziran ilmu.
Padahal, psikotes tidak sekadar mengetahui besaran skor IQ. Banyak hal yang bisa dibaca melalui hasil pemeriksaan psikologis. Saya meyakini, sekolah membutuhkan seseorang yang dapat memahami dan menindaklanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram dan uraian lengkap tersebut. Dan, orang tersebut tidak lain adalah psikolog.

Mengapa?
Karena, selama ini, sampai era Reformasi, praktis pendidikan nasional baru sampai ke masalah kuantitas, belum menyentuh pada peningkatan kualitas. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik, seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, atau perpustakaan, tetapi menyangkut peserta didik sebagai subjek.

Kebijakan pemerintah saat itu masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah dasar (SD) dibangun secara besar-besaran agar anak Indonesia yang berusia 7-12 tahun memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah.

Guru pun direkrut secara instan melalui program pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), berupa program diploma selama dua tahun. Kebijakan ini berjalan sampai 1998. Kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan dan program wajib belajar enam tahun, dunia luar ternyata sudah jauh memikirkan bahwa ke depan perubahan apa yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk mampu bersaing.

Jadi, apa dampaknya bagi pendidikan di Indonesia?
Saya melihat banyaknya pengganguran dari lulusan PT akibat mereka harus memenuhi taraf kualifikasi kecerdasaan tertentu. Padahal, mereka bisa jadi tidak tahu minat sebenarnya sehingga tidak cocok untuk mengembangkan pekerjaan sesuai jurusannya.

Oleh karena itu, sejak SMP, perlu ada seleksi kecerdasaan, apakah mereka lebih baik masuk SMA atau SMK. Bagi mereka yang punya kemampuan lebih, baiknya masuk ke SMA agar nantinya bisa masuk PT, bagi yang lain lebih baik masuk SMK.

Pelajar SMP hingga kini tidak pernah diberi alternatif menjelang lulus, apakah ia lebih baik masuk SMA atau SMK. Kebanyakan mereka lebih memilih SMA daripada SMK. Lalu, usai lulus SMA akhirnya mereka menggangur. Oleh karena itu, penting dihadirkannya psikolog pendidikan di sekolah yang dapat menganalisis perkembangan dan kebutuhan masa depan anak tersebut.

Selain itu, meski SMK telah menyebar, belum begitu populer di mata pelajar yang lulus SMP. Jika ada yang masuk SMK, seolah-olah masih warga kelas dua.

Akibatnya, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari data yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2008, menunjukkan peringkat Indonesia (107), Malaysia (63), dan Singapura (25) dari 175 negara.

Itulah potret pendidikan nasional Indonesia saat ini yang akar utamanya pada potensi individu. Peran psikolog pendidikan sebagai tenaga ajar resmi di institusi pendidikan menjadi suatu keharusan agar potensi individu dapat dilihat sejak dini.

Harus ada pembelajaran yang cepat bagi bangsa agar dapat maju. Kita harus tega mendiferensiasikan individu tertentu, yang cerdas dan jumlahnya sedikit diistimewakan. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus kepada mereka karena tanggung jawab masa depan bangsa sebagiannya ada pada mereka.

Apa yang telah Anda lakukan untuk memasukkan psikolog pendidikan menjadi tenaga ajar resmi?
Saya bersama teman-teman telah audiensi ke menko kesra untuk menyosialisasikan Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (APSI) karena banyak juga masalah pendidikan yang berkaitan dengan kesejahteraan, seperti anak yang kurang mampu atau maraknya kasus bunuh diri anak sekolah. Namun, beliau memberi saran untuk juga mengusulkannya ke mendiknas.

Setelah itu, kami ke Mendiknas Bambang Sudibyo dan diterima baik olehnya. Namun, terdapat kendala mendasar, yaitu apakah dari pihak psikolog sendiri mampu mempersiapkan tenaga psikolog pendidikan bagi ribuan sekolah yang ada di Indonesia.

Bagi psikolog di sekolah, aktivitas mereka lebih berat ke klinis sehingga yang cocok bekerja di sekolah adalah mereka yang berlatar belakang S2 profesi psikologi. Sedangkan, lulusan profesi psikologi pendidikan Fakultas Psikologi UI hanya 20-30 persen yang bekerja di sekolah.

Konsekuensi lain, setelah masuk UU, berarti pemerintah harus mempersiapkan anggaran penghasilan bagi tenaga ajar untuk psikolog pendidikan/sekolah. Ini berkaitan dengan anggaran dan kewajiban yang muncul pada Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Selain itu, terdapat anggapan bahwa gaji psikolog lebih tinggi dari guru sehingga sekolah merasa ''takut'' mempunyai psikolog dan lebih memilih menggunakan jasa psikolog dari biro psikologi saja.
Sebenarnya, pemerintah telah mengakomodasi profesi psikolog sebagai salah satu tenaga kependidikan sebatas di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2005. Saya juga berharap, jika ada kesempatan untuk merevisi PP tersebut, agar memasukkan profesi psikolog juga di jenjang pendidikan formal lain.

Reni sejak 2004 bersama koleganya membangun Pusat Kajian Keberbakatan yang berada di bawah salah satu unit kegiatan di Fakultas Psikologi UI. Ini merupakan impian yang lama sekali semenjak pulang dari Amerika pada 1992. Namun, baru 12 tahun kemudian gagasan itu bisa dilaksanakan sejak  2004.

Reni juga menjadi salah satu pelopor adanya Kajian Islam dan Psikologi (KIP) UI. Saat ini, itu masuk dalam Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) di bawah Program Pascasarjana UI. Bukunya Psikologi Perkembangan yang berasal dari kumpulan tulisan populer di berbagai media cetak telah menjadi best seller.

Disertasinya juga dijadikan buku, yaitu Identifikasi Keberbakatan Intelektual melalui Metode Non-Tes (Grasindo, 2002). Ia menemukan rumus instrument non-tes yang berguna untuk mengetahui skor yang mengindikasikan si anak cerdas istimewa atau tidak. Namun, sampai saat ini, temuannya belum banyak digunakan karena masih menggunakan tes-tes psikologi konvensional.

Apa fungsi Pusat Kajian Keberbakatan?
Lembaga baru ini mencoba memprakarsai berbagai program alternatif di luar sekolah bagi anak-anak yang berbakat. Program yang disediakan Pusat Keberbakatan ini diperuntukkan bagi siswa SD, SMP, dan SMA pada setiap  Sabtu. 

Banyak yang telah dilakukan, misalnya Visit Campus. Program ini ditujukan bagi anak kelas 3 yang akan lulus. Dengan program ini, mereka dapat mendengarkan penjelasan langsung mengenai hal-hal yang dipelajari pada fakultas-fakultas yang didatangi oleh staf pengajar dan mahasiswa di sana.
Kemudian, ada Happy Science untuk anak SD yang memperkenalkan mereka dengan berbagai ilmu yang dipelajari di kampus agar mereka memiliki wawasan sejak dini. Program ini bekerja sama dengan himpunan mahasiswa, misalnya memperkenalkan jurusan yang ada di UI, seperti Antropologi, Kimia, dan lain-lain.

Ada lagi Creative, yaitu pengenalan multiple intelligence, agar anak-anak SD mendapatkan pelatihan untuk mengetahui di sisi mana kecerdasan yang paling dominan dalam diri mereka. Orang tua dapat mengasahnya untuk diperkuat. 

Kegiatan lainnya adalah riset. Kami menemukan instrument developmental quotient yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan anak sejauh mana dan juga menerbitkan Jurnal Keberbakatan.

Lalu, bagaimana perkembangan Kajian Islam dan Psikologi (KIP) di UI saat ini?
Sejak berdiri pada 2003 hingga kini, perkembangannya baik dan peminatnya pun banyak. Kebanyakan berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) dan lulusan Timur Tengah. Ke depannya, program ini cukup potensial meskipun di awal pendiriannya banyak mendapat tentangan dari para senior.

Kemudian, kami membawa hasil kajian pendirian program ini kepada para tokoh Muslim, seperti Din Syamsudin dan Nasharuddin Umar, untuk meminta endorsement (pengesahan) dan ternyata hasilnya disetujui.

Seperti apa gambaran bahasan di KIP?
Sebenarnya, Islam sendiri itu sangat psikologis dengan memandang manusia sebagai makhluk spiritual, bukan makhluk material, seperti dalam paradigma Barat dan yang orientasinya sangat duniawi.

Psikologi Islam mencoba mencari jalan keluar dari masalah kejiwaan manusia saat ini karena memiliki muara di akhirat yang merupakan kehidupan sebenarnya, bukan duniawi, dengan Alquran dan hadis-hadis sebagai landasan.

Selama ini, kajian psikologis kan paling banyak dari tokoh-tokoh Barat saja. Di sana, kami banyak mempelajari pemikir Islam, seperti al-Ghazali.

Di program ini, saya banyak mengajarkan psikologi dalam pandangan-pandangan pemikir Barat. Murid saya yang banyak berlatar belakang agama mencoba mencari sisi yang berbeda dari pandangan Islam dan coba kita bahas perbandingannya.

Apa obsesi Anda ke depan?
Pengalaman di dunia psikologi banyak melahirkan pemikiran kritis yang memunculkan kristalisasi pemikiran. Saya ingin membuat Pusat Wanita, yaitu tempat wanita bisa belajar apa saja mengenai perannya sebagai ibu. Di sana, saya akan membuat kursus pranikah dan mengawasi tahap perkembangan anak.

Saya juga ingin membuat Human Center Ibu dan Anak sebagai tempat pengembangan diri si anak dalam mendapatkan pengayaan. Jika diduga memiliki kecerdasan istimewa, anak itu harus segera dapat diarahkan.

Saya merasakan pemerintah saat ini belum optimal dalam mencerdaskan ibu. Padahal, ibu adalah ujung tombak bagi keluarga dan negara. Kebanyakan ibu saat ini telah terkontaminasi dengan budaya kerja. Mereka inginnya menjadi wanita karier. Ibu adalah pendidik utama dan pertama anaknya.

Biodata
Nama : Lydia Freyani Hawadi
Lahir : Bandung, 22 Maret 1957
Jabatan : Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi UI Universitas Indonesia
Suami : Zulkifli Akbar
Pendidikan:
1993 : Lulus Doktor Bidang Psikologi UI
1989 : Lulus Magister Bidang Psikologi, Fakultas Pascasarjana UI
1981 : Lulus Sarjana Psikologi, Fakultas Psikologi UI
1978 : Lulus Sarjana Muda, Fakultas Psikologi UI
1975 : Lulus SMA Santa Ursula, Jakarta
1972 : Lulus SMP Santa Ursula, Jakarta
1969 : Lulus SD Van Lith, Jakarta
1963 : Tamat TK Siliwangi, Jakarta

Sumber: Republika

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia