Masihkah kita mencintai pasangan, walau belakangan kita tahu dia
pernah menjelek-jelekkan kita di depan keluarga besarnya? Atau masihkah
ada sayang ketika tahu pasangan kita terus melakukan hal yang kita
benci? Cinta yang indah, kadang-kadang tak indah lagi ketika yang kita
dapat tak sesuai harapan, karena dalam cinta sering ada syarat, yaitu
segala harapan yang baik. Jika syarat tak terpenuhi, semua jadi semata
pengorbanan. Harus pergikah cinta?
Cinta Pasangan Dahulu Kala dan Kini
Banyak orang sepakat bahwa kehidupan rumah tangga dahulu dan kini
sudah mengalami banyak perubahan. Kehidupan ibu ayah atau nenek kakek
kita tampaknya awet-awet saja walau gelora cinta tidak terlalu tampak.
Sedangkan kehidupan rumah tangga kini yang awalnya penuh bunga cinta,
malah silih berganti terungkap gonjang ganjingnya di media bahkan di
lingkungan kita. Jalan keluar masalah mereka adalah berhenti berkorban
perasaan alias bercerai.
Secara umum terdapat perbedaan mendasar dalam kehidupan rumah
tangga dahulu yang lebih langgeng dibandingkan kini. Ini dikatakan Prof. Dr. Reni Akbar-Hawadi, Psi,
“Para istri zaman dulu dikenal sangat nrimo dengan apa-apa yang
dilakukan suami kepadanya. Itu lebih karena keterbatasan informasi.
Mungkin dulu banyak juga perempuan yang berani menentukan sikap. Tapi
jauh lebih sedikit dibanding sekarang,” ungkap Guru Besar Tetap Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia ini.
Perceraian dulu sangat dihindari karena dianggap kegagalan besar dan
menyangkut nama baik, namun pasangan sekarang lebih memilih ‘buat apa
dipertahankan kalau sudah tidak ada cinta dan kecocokan.’ “Fenomena
dalam 2 dekade ini saja , perempuan sudah tidak khawatir dicerai suami,
malah dia yang minta cerai,” tambah Prof. Reni. Sebelumnya status janda
dianggap minor, sekarang singlemom dianggap biasa, bahkan sering mendapat simpati dari lingkungan.
Dulu perempuan tidak terlalu terampil berkomunikasi dan tidak
terbuka, sekarang sangat terampil dan terbuka. Bahkan di kota-kota
besar, lanjut ibu enam anak dan satu cucu ini, para istri tidak lagi
takut mengungkapkan perasaannya terhadap suami. Kalau suaminya berbuat
sewenang-wenang, dia bisa protes.
Faktor anak pun menjadi paling penting dalam menyatukan keutuhan
rumah tangga di era silam. Orang yang akan bercerai seringkali
mengurungkan niatnya dan memilih mempertahankan rumah tangga karena
mempertimbangkan kebahagiaan dan rasa sayang pada anak. Berbeda dengan
kini, faktor anak tidak lagi menjadi penentu perekat kebahagiaan
hubungan suami istri. Berkorban mempertahankan cinta yang sudah hilang
demi anak telah menjadi urutan kesekian dalam menjaga keutuhan rumah
tangga. Ini diungkap oleh hasil penelitian Pew Research Center dari
Amerika tentang pernikahan dan mengasuh anak. Semakin banyak orang
dewasa Amerika beranggapan bahwa berkorban dengan berbagi tanggung jawab
mengurus rumah tangga jauh lebih penting membuat rumah tangga harmonis
daripada mempunyai anak.
Dengan Cinta, Tak Terasa Berkorban
Prof. Reni menambahkan, “Istri zaman sekarang sering berpendapat jika
suami berbuat macam-macam, berarti sebagai istri kita harus membalas
dengan hal serupa.” Jika hal tersebut terus berlanjut maka rumah tangga
tidak akan langgeng. Berpikir modern boleh saja, tapi pegangan hidup
dari dulu sampai sekarang tetap saja harus kita kembalikan ke aturan
Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sebaiknya kemajuan hidup jangan didikotomikan
dengan kepatuhan kita terhadap Allah, nasihat konsultan Perkawinan BP4
ini.
Tapi menurut banyak pakar perilaku dan psikolog keluarga,
permasalahan dalam rumah tangga meledak karena dibuat menumpuk. Ketika
sudah berada dalam tahap ambang kumulatif, salah satu lelah merasa
terlalu banyak berkorban, terjadilah perceraian. Terkadang kita menjadi
terheran-heran melihat pasangan yang bercerai setelah usia mereka tidak
muda lagi. Sebagian ternyata bertahan sebelumnya karena pertimbangan
anak, walaupun prosentasenya relatif masih rendah, yaitu sekitar 3
persen. Belakangan perceraian di usia senja menjadi pilihan sebagian
pasangan.
Meletakkan Ikhlas Lebih Tinggi Daripada Cinta
Banyak orang salah mengerti tentang pengorbanan. Istilah
pengorbanan sebenarnya muncul karena adanya pikiran negatif yang
mengatakan bahwa pengorbanan identik dengan sebuah pengurangan. Istilah
“berkorban” lebih banyak mengandung unsur keterpaksaan, walau kecil.
Pasangan yang mengaku banyak berkorban, berarti ia telah mengorbankan
dirinya untuk sesuatu yang tidak membawa kepuasan. Terbukti dalam banyak
kejadian, kebahagiaan relasi suami istri akan sulit dicapai jika tiap
saat mengaku telah berkorban. Cinta saja ternyata tak cukup kuat untuk
memberi kebahagiaan berumah tangga, karena cinta kepada manusia butuh
imbalan.
Sesungguhnya jika seseorang puas, senang, dan bahagia melakukan
sesuatu, maka ia tidak akan ‘ngeh’ sudah berkorban. Itulah yang
dinamakan keikhlasan. Dengan ikhlas, berkorban bukan lagi pengorbanan
atau mengorbankan diri, tapi menjadi kemulian diri. Berkorban tentu
berat, maka ringankanlah dengan tanpa pamrih. Sebagaimana jerih payah
seorang ibu merawat anak-anaknya. Lelah, tanpa imbalan, tapi ia tak
merasa sudah berkorban. Maka, ikhlaslah. Berikan satu pernyataan saja
untuk pasangan: “Aku mencintaimu karena Allah,” maka semua jadi ringan,
tanpa syarat apapun. (Meutia Geumala)
Sumber: http://www.ummi-online.com