Rabu, 07 Februari 2018

Cintai Pasangan Tanpa Syarat

Masihkah kita mencintai pasangan, walau belakangan kita tahu dia pernah menjelek-jelekkan kita di depan keluarga besarnya? Atau masihkah ada sayang ketika tahu pasangan kita terus melakukan hal yang kita benci? Cinta yang indah, kadang-kadang tak indah lagi ketika yang kita dapat tak sesuai harapan, karena dalam cinta sering ada syarat, yaitu segala harapan yang baik. Jika syarat tak terpenuhi, semua jadi semata pengorbanan. Harus pergikah cinta? 

Cinta Pasangan Dahulu Kala dan Kini
Banyak orang sepakat bahwa kehidupan rumah tangga dahulu dan kini sudah mengalami banyak perubahan. Kehidupan ibu ayah atau nenek kakek kita tampaknya awet-awet saja walau gelora cinta tidak terlalu tampak. Sedangkan kehidupan rumah tangga kini yang awalnya penuh bunga cinta, malah silih berganti terungkap gonjang ganjingnya di media bahkan di lingkungan kita. Jalan keluar masalah mereka adalah berhenti berkorban perasaan alias bercerai.

Secara umum terdapat perbedaan mendasar dalam kehidupan rumah tangga dahulu yang lebih langgeng dibandingkan kini. Ini dikatakan Prof. Dr. Reni Akbar-Hawadi, Psi, “Para istri zaman dulu dikenal sangat nrimo dengan apa-apa yang dilakukan suami kepadanya. Itu lebih karena keterbatasan informasi. Mungkin dulu banyak juga perempuan yang berani menentukan sikap. Tapi jauh lebih sedikit dibanding sekarang,” ungkap Guru Besar Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. 

Perceraian dulu sangat dihindari karena dianggap kegagalan besar dan menyangkut nama baik, namun pasangan sekarang lebih memilih ‘buat apa dipertahankan kalau sudah tidak ada cinta dan kecocokan.’ “Fenomena dalam 2 dekade ini saja , perempuan sudah tidak khawatir dicerai suami, malah dia yang minta cerai,” tambah Prof. Reni. Sebelumnya status janda dianggap minor, sekarang singlemom dianggap biasa, bahkan sering mendapat simpati dari lingkungan.

Dulu perempuan tidak terlalu terampil berkomunikasi dan tidak terbuka, sekarang sangat terampil dan terbuka. Bahkan di kota-kota besar, lanjut ibu enam anak dan satu cucu ini, para istri tidak lagi takut mengungkapkan perasaannya terhadap suami. Kalau suaminya berbuat sewenang-wenang, dia bisa protes. 

Faktor anak pun menjadi paling penting dalam menyatukan keutuhan rumah tangga di era silam. Orang yang akan bercerai seringkali mengurungkan niatnya dan memilih mempertahankan rumah tangga karena mempertimbangkan kebahagiaan dan rasa sayang pada anak. Berbeda dengan kini, faktor anak tidak lagi menjadi penentu perekat kebahagiaan hubungan suami istri. Berkorban mempertahankan cinta yang sudah hilang demi anak telah menjadi urutan kesekian dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Ini diungkap oleh hasil penelitian Pew Research Center dari Amerika tentang pernikahan dan mengasuh anak. Semakin banyak orang dewasa Amerika beranggapan bahwa berkorban dengan berbagi tanggung jawab mengurus rumah tangga jauh lebih penting membuat rumah tangga harmonis daripada mempunyai anak. 

Dengan Cinta, Tak Terasa Berkorban 
Prof. Reni menambahkan, “Istri zaman sekarang sering berpendapat jika suami berbuat macam-macam, berarti sebagai istri kita harus membalas dengan hal serupa.” Jika hal tersebut terus berlanjut maka rumah tangga tidak akan langgeng. Berpikir modern boleh saja, tapi pegangan hidup dari dulu sampai sekarang tetap saja harus kita kembalikan ke aturan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sebaiknya kemajuan hidup jangan didikotomikan dengan kepatuhan kita terhadap Allah, nasihat konsultan Perkawinan BP4 ini.

Tapi menurut banyak pakar perilaku dan psikolog keluarga, permasalahan dalam rumah tangga meledak karena dibuat menumpuk. Ketika sudah berada dalam tahap ambang kumulatif, salah satu lelah merasa terlalu banyak berkorban, terjadilah perceraian. Terkadang kita menjadi terheran-heran melihat pasangan yang bercerai setelah usia mereka tidak muda lagi. Sebagian ternyata bertahan sebelumnya karena pertimbangan anak, walaupun prosentasenya relatif masih rendah, yaitu sekitar 3 persen. Belakangan perceraian di usia senja menjadi pilihan sebagian pasangan. 

Meletakkan Ikhlas Lebih Tinggi Daripada Cinta  
Banyak orang salah mengerti tentang pengorbanan. Istilah pengorbanan sebenarnya muncul karena adanya pikiran negatif yang mengatakan bahwa pengorbanan identik dengan sebuah pengurangan. Istilah “berkorban” lebih banyak mengandung unsur keterpaksaan, walau kecil. Pasangan yang mengaku banyak berkorban, berarti ia telah mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang tidak membawa kepuasan. Terbukti dalam banyak kejadian, kebahagiaan relasi suami istri akan sulit dicapai jika tiap saat mengaku telah berkorban. Cinta saja ternyata tak cukup kuat untuk memberi kebahagiaan berumah tangga, karena cinta kepada manusia butuh imbalan.

Sesungguhnya jika seseorang puas, senang, dan bahagia melakukan sesuatu, maka ia tidak akan ‘ngeh’ sudah berkorban. Itulah yang dinamakan keikhlasan. Dengan ikhlas, berkorban bukan lagi pengorbanan atau mengorbankan diri, tapi menjadi kemulian diri. Berkorban tentu berat, maka ringankanlah dengan tanpa pamrih. Sebagaimana jerih payah seorang ibu merawat anak-anaknya. Lelah, tanpa imbalan, tapi ia tak merasa sudah berkorban.  Maka, ikhlaslah. Berikan satu pernyataan saja untuk pasangan: “Aku mencintaimu karena Allah,” maka semua jadi ringan, tanpa syarat apapun. (Meutia Geumala)

Sumber:  http://www.ummi-online.com
 

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia