Selasa, 10 Oktober 2017

POETI ALANG LAWAS

Setiap kali orang bertanya saya berasal dari mana, saya menjawab mami dari Minang dan papi Sunda. Terus biasanya dikejar dengan Minangnya dimana? Saya akan menjawab lagi Kota Padang, Alang Lawas. Kalau yang bertanya itu seumuran mami maka langsung akan menjawab “oooh….keturunan Poeti-Poeti yaaa..”

Awalnya ketika Sekolah Dasar bahkan sampai tamat SMA saya tidak paham, dan kurang peduli dengan keturunan Poeti-Poeti. Hal ini menjadi bermakna saat saya akan menikah. Nama depan saya dan adik-adik yang perempuan sejak lahir tidak memakai gelar Poeti, dan tidak juga adik saya yang laki-laki memakai gelar Soetan.

Foto kakek nenek saya dari papi dan mami ada di pasang d kediaman kami. Begitu juga foto kakek pihak ibu saya yang bergelar Marah Oejoeb, dan dikenal sebagai regent terakhir Padang bahkan di pajang di ruang tamu. Bergelar lengkap Tuanku Panglima Regent Padang Marah Oejoeb Gelar Maharadja Besar menjadi regent selama 45 tahun. Diangkat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1875, dan berhenti tahun 1910 setelah pemerintah Belanda membentuk jabatan Demang. 

Saat mau menikah, saya di brief oleh para tante saya, dua kakak mami saya yaitu Unang, Angah serta adik mami, tante Elly dan tante Yus. Mereka masing-masing berceritera tentang regent dan turunannnya.

Salah satunya, bahwa saya bersepupuan dengan Prof.Dr. Jenderal Polisi Awaluddin Djamin. Saat itu Oom Awal sedang bertugas sebagai Duta Besar R.I. di Republik Jerman. Sederet jabatan Oom Awal kami ikuti, karena setiap lebaran kami  menerima kartu  ucapan yang disertai nama dan gelar plus jabatannya.

Kakek Oom Awal begitu saya menyapanya (padahal seharusnya Uda, tapi karena oom Awal tidak beda jauh usianya dengan mami maka mami memanggilnya Uda, yang seharusnya cukup nama saja. Bahkan mami seharusnya yang dipanggiil  dengan sebutan tante), beradik kakak dengan nenek saya.

Selain foto dirinya, ada foto lain dimana Regent terlihat berpakaian putih putih atas bawah, dengan memakai topi suluk. Ia duduk dengan kaki bersilang dan tangannya memegang tongkat. Terlihat kepala tongkat ada di tangan kirinya. Regent tampak berwibawa dengan kumis putihnya yang tebal dan melintang. Di kiri kanan Regent tampak berdiri dua anak laki-laki kecilnya, satu berpakaian matros warna gelap dan satu lagi berpakaian atas bwah warna gelap memegang buku. Di belakang Regent berdiri tujuh anak laki-lakinya yang lain.

Anak sulung regent inilah- Soetan Djamin- yang merupakan kakek dari Oom Awaluddin Djamin, sedang anak bungsu regent yang satu-satunya perempuan, adalah  Poeti Atang, merupakan nenek saya, alias ibunya mami.

Oom Awal boleh dikata salah satu turunan regent yang dekat dengan kekuasaan. Pernah jadi Kapolri, Dubes dan  Rektor.  Secara tidak langsung mempengaruhi saya yang anak yatim untuk minta advise tentang karir saya kedepannya. Saat itu saya ingin sekali jadi anggota legislatif, dan karena oom Awal ini anggota Pembina DPP Golkar maka saya pikir akan mudah kalau bilang ke dia. Ternyata respons oom Awal adalah “ sekolah saja S2” dan setelah dapat gelar S2 saya melapor, si oom bilang” ambil S3”. Nasehatnya memang saya turuti dan sejak saat itu saya tidak pernah melapor karena beranggapan si Oom tidak akan menolong saya.

Dari sisi silsilah memang jelas, tapi dari sisi berkumpulnya keturunan regent saya tidak beruntung. Karena kami tidak pernah berada dalam satu wadah Keluarga Besar. Sampai sekarang saya kehilangan kontak dengan anak cucu cicit regent, diluar keturunan dari satu nenek saya.

***





Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia