JAKARTA. Para pegiat homeschooling/sekolah rumah merasa belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Para pengelola homeschooling komunitas maupun tunggal, yang termasuk dalam pendidikan informal, mengeluhkan layanan yang belum setara dengan siswa pendidikan formal.
Padahal, UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 27 telah mengamanatkan bahwa hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal. Hal tersebut disampaikan Kak Seto, Pendiri sekolah rumah Asah Pena. “Homeschoolers selalu mendapat hambatan bila ingin mutasi ke jalur pendidikan formal, karena mereka tidak memiliki Nomor Induk Siswa Nasional,” ucapnya saat beraudiensi dengan Dirjen PAUDNI, Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, Senin (1/4).
Selama ini belum ada ujian nasional khusus untuk mengukur kompetensi dan kelulusan peserta didik sekolah rumah. Mereka harus bergabung dengan ujian kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMU), bila ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Itupun, ijazah para homeschoolers seringkali tidak diakui saat melamar kerja. “Anak didik kami juga masih sulit mengikuti program akselerasi,” keluh Kak Seto. Padahal, jumlah peminat sekolah rumah semakin banyak. Hingga kini, terdapat 26 homeschooling dengan jumlah anak didik mencapai 8.622 orang.
Dirjen PAUDNI menegaskan, tahun ini akan lebih serius melakukan pembinaan sekolah rumah. Meskipun tantangannya, program kesetaraan Paket A,B, dan C kini tak lagi berada di bawah pembinaan Ditjen PAUDNI, namun sudah berpindah ke Ditjen Pendidikan Dasar dan Ditjen Pendidikan Menengah.
Dirjen juga menegaskan butuh kesamaan pandang tentang konsep sekolah rumah. Sebab, menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Sedangkan pada praktiknya, terdapat homeschooling majemuk dan tunggal (diselenggarakan secara langsung oleh orangtua). “Saya juga ingin agar homeschooling di kembangkan untuk jenjang PAUD,” katanya. (Yohan Rubiyantoro/HK)