Perkawinan duda-janda masing-masing membawa anak membutuhkan penyesuaian yang lebih sulit. Untuk anak-anak di bawah umur, akan lebih mudah ketimbang mereka sudah remaja apalagi memasuki usia dewasa.
”Memang harus lebih bijak. Jangan membeda-bedakan anak. ’Ini anak saya, itu anak suami saya’. Perlakukan semua anak seadil-adilnya,” kata Prof. Dr. Reni Akbar-Hawadi.
Tapi adakalanya segala persoalan yang tak diinginkan bisa saja terjadi. Misalnya ketika masing-masing anak tidak berada di rumah orang tuanya yang sudah punya kehidupan baru.
”Kalau anak-anak nggak sama orang tuanya, di waktu-waktu tertentu pasti mereka datang. Pada saat itu seringkali ada hasutan-hasutan dari pihak para mantan. Nah di sinilah dibutuhkan rasa saling menguatkan,” ungkap Reni.
Dalam situasi tersebut, pasangan harus melihat semua anak adalah anak mereka berdua. ”Bukan ini anakku, itu anakmu. Mereka harus berlaku seadil-adilnya,” kata wanita berkaca mata ini.
Namun ada satu hal yang harus dikhawatirkan juga, kalau antara anak saling jatuh hati. ”Bagaimana si ibu menjaga anak gadisnya. Si bapak menjaga anak laki-lakinya. Jadi memang yang lebih aman memang anak tidak digabung. Anak dititipkan ke neneknya masing-masing. Biar si bapak dan ibu ini hidup dalam dunia yang baru. Biarkan kalau nanti anak sudah agak besar, barulah mereka saling dikenalkan,” terang Reni.
Memisahkan anak dari kehidupan orang tuanya yang baru menikah bukanlah bentuk dari tega membiarkan anak jauh dari kita. Sebaliknya, ini adalah bentuk melindungi anak dari perilaku abuse dan bully.
”Jika anak akan menjadi korban dalam sebuah perceraian, itu memang benar. Karena jika si orang tua memilih strategi menitipkan anaknya ke rumah nenek, berarti anak akan terpisah. Cuma ada untungnya juga kalau anak dititipkan karena itu adalah sikap dalam rangka melindungi anak,” papar Reni.
Sebagai contoh si ibu punya anak perempuan satu-satunya, kawin dengan laki-laki yang lebih muda. Anaknya menjelang remaja. ”Ini kan riskan. Jadi sebelum memutuskan mau menitipkan atau gabung, suara hati harus didengarkan. Anak harus dilindungi, amankan. Jangan sampai anak di-bully, di-abused oleh salah satu orang tua tirinya,” jelas Reni.
Intinya, kata Reni, bagi wanita yang berniat menikah jangan terlena dengan kesendirian. Jika memiliki trauma perkawinan terdahulu, obatilah dengan segera karena self healing itu sangat diperlukan.
Soal kapan waktu yang tepat untuk memulai hubungan baru, Reni mengatakan tak bisa menyebut angka. Tapi kalau memang niat mau nikah lagi, ya jangan terlalu lama menunda.
”Memang perempuan sibuk mengurus anak. Kebutuhan seks perempuan nggak sebesar laki-laki. Saya nggak tahu berapa lama deadline waktunya. Intinya sampai dia merasa nyaman dan siap,” kata Reni.
Menurut Reni, masalah kesiapan, mencoba menerima badan lain ke badan kita, itu bukan perkara mudah. Yang biasanya terjadi, trauma pada cerai hidup sangat lama. Akibatnya agak sulit untuk memulai hubungan baru. ”Kecuali kalau yang bermasalah si wanitanya, mungkin lebih mudah mencari pengganti suami,” katanya.
”Yang perlu diingat, produk perceraian itu dengan mudah di-copy paste oleh anaknya. Begitu ada masalah di pernikahannya maka dia akan mudah mengambil langkah bercerai. Maka sebaiknya bagi para orang tua, jangan mudah mengucapkan kata cerai. Karena bisa saja hal tersebut dicontoh anak-anaknya kelak,” pesan Reni. *
Teks: Dewi Muchtar I Foto: Dewi Muchtar, Pixabay
Sumber: http://www.wanitaindonesia.co.id/