Oleh: Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed.
Aku mengenalnya di tahun 2006 saat kami menjadi anggota Senat Akademik Universitas Indonesia (SAUI) periode tahun 2006—2011. Aku mewakili Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan mbak Reni mewakili Fakultas Psikologi (FPSI). Sebelumnya aku tidak mengenal beliau. Aku memanggilnya ‘Mbak’ Reni, seperti sapaan untuk hampir semua dosen perempuan di Fakultas Psikologi UI, yang menggunakan kata panggil ‘mbak’.
Awal mula dekat dengan beliau saat kami duduk
berdampingan di dalam rapat kerja SAUI di salah satu hotel di
Bogor. Melalui dirinyalah, aku, yang awam
urusan pasal-pasal dalam aturan, mulai merasakan ‘keasyikan’ baru mencerna isi
pasal-pasal, menerapkan penggunaan pasal-pasal, sampai dapat ‘memahami’ bahasa
dalam pasal-pasal tersebut. Unik memang, aku justru dapat ilmu ‘perpasalan’
bukan dari teman di bidang Hukum. Melalui
dirinya pula aku dapat memahami mengapa setiap psikolog dapat enak diajak
berbincang. Di tengah-tengah menanti
waktu rapat pleno SAUI atau rapat komisi
memang selalu saja ada hal yang ditanyakannya dan menjadi topik
pembicaraan kami berdua.
Dalam periode SAUI, mbak Reni mendapat gelar Guru Besar
di Bidang Psikologi sehingga dalam berbincang aku menambahkan panggilan ‘mbak Prof’
padanya. Beliau ok-ok saja dengan
panggilan baruku. Setelah menyandang jabatan Guru Besar, sikap dan perilaku
mbak prof. Reni tidak berubah, juga kepadaku.
Beliau tetap amat baik dan berperhatian padaku. Kadangkala aku sering
merasa diperlakukan sebagai adiknya. Pokoknya bersama mbak prof. Reni rasanya
seru-seru saja.
Ajang rapat SAUI selalu menjadi momen menyenangkan
bersama mbak Prof. Reni. Kami duduk dalam satu komisi yang sama, dan seperti
biasanya perempuan menjadi minoritas, jumlahnya sedikit dibanding jumlah
anggota laki-laki. Mbak Prof. Reni saat itu adalah sekretaris komisi yang
selalu tampak sibuk menyiapkan bahan rapat dan absensi. Aku sendiri karena
paling muda didaulat oleh semua menjadi ketua seksi sibuk mengurusi yang
hepi-hepi seperti makan-makan bersama, buka puasa bersama dan kulineran bareng.
Mbak Prof.Reni walaupun sibuk dan rumahnya ujung ke ujung, jauh dari kampus UI
(27.5 km), tetap menyempatkan diri datang untuk menjaga siilaturahim bersama
anggota SAUI lainnya.
Oia..ada satu momen yang saya ingat juga saat SAUI
berapat kerja di Lombok. Saat itu di
Gili Trawangan mbak Prof. Reni ga mau kalah ikut juga “ngegowes” seperti yang
lain. Pokoknya saya melihat mbak Prof.
sangat enjoy dengan semua acara. Saat ditawari makan duren traktiran Ketua
MWA hayoo aja, pokoknya seperti ga takut kolesterol hehehe. Begitu juga terlihat antusias membuat keramik saat berkunjung di pengrajin gerabah, dan serius
ikut-ikutan kami menjalani ‘ritual’ air awet muda di Taman Narmada. Kami
hampir selalu berdekatan, jalan bersama, dan berpotret bersama dengan yang
lain.
Menurutku, mbak Prof. Reni merupakan pribadi yang
menyenangkan, tidak pelit berbagi ilmu dan pengalaman, dan yang terpenting
buatku, mbak Prof. amat baiiiik padaku. Ia selalu saja ada cara untuk membuat
hatiku senang, memberi pujian yang tepat.
Berjumpa, berkomunikasi, dan bercanda dengan mbak Prof.
Reni merupakan ‘sesuatu’ buatku. Rasanya senaaang saja dekat beliau. Sebentar lagi mbak prof ulang tahun. Sampai pada usia yang ke-65 ini pastinya
banyaaak sekali kontribusi beliau di bidang keahliannya. Doaku untuk mbak profku tercinta adalah
semoga beliau tetap sehat, selalu berbahagia dalam berkarya, berbahagia
menjalani hidup bersama keluarga, dan terus terjalin silaturahim denganku…..
Salam hangat penuh rasa sayang.
Luthfiralda