Selasa, 01 Desember 2020

USIA 10 TAHUN


Foto ini merefleksikan banyak cerita dan pembelajaran bagi saya. Papi dan Mami mengapit saya beserta enam adik saya yaitu Nita, Siska, Bibin, Wina, Ade, dan Dian. Berdiri di belakang kami abang saya Bambang Trijaya Hawadi mengenakan sweater Unika Atma Jaya. Saya berusia 10 tahun, kelas 4 SD dan Bambang berusia 20 tahun, mahasiswa.

Ini foto bulan Juli 1967 belum lama setelah saya pulang bersama Papi dari "jalan-jalan" dinasnya ke 6 negara Eropa plus Tokyo. Jadi bisa dipahami tongkrongan saya berbeda karena mengenakan stelan yang dibeli di De Bijnkorf Belanda, sepatu Bata Swiss, dan rambut hasil potongan sebuah salon di London. Saya tulis begini sebagai penanda saya untuk tahun diambilnya foto tersebut.
Saya ingin bercerita bahwa kematian datangnya kapan saja tanpa mengingat batas usia, ataupun kondisi sehat maupun sakit. Jika sudah takdir maka manusia tidak memiliki kemampuan apapun untuk menghindarinya. Kematian merupakan kepastian, hanya Allah yang mengetahui pasti.
Empat bulan setelah foto ini diambil yaitu 5 November 1967, Bambang Trijaya Hawadi meninggal kecelakaan motor di daerah Cibulan sementara teman yang diboncengnya Iko berumur panjang, baru meninggal tahun yang lalu, tahun 2019. Berita kematian yang mendadak ini membuat shock kami sekeluarga. Ambulans dan iring-iringan motor teman-temannya masih terekam jelas di ingatan saya. Tujuh tahun kemudian, mami mungkin tidak menyangka bahwa akan menjadi single mom di usianya persis 42 tahun, karena papi meninggal tengah malam saat memasuki tanggal 27 Desember 1974.
Saya saat itu berusia 17 tahun, baru saja duduk di kelas 3 SMA Santa Ursula. Adik saya Nita (15 th), Siska (14 th), Bibin dan Wina (13 th), Ade (11 th), dan Dian (10 th). Mami sepenuhnya ibu rumah tangga dan sama sekali tidak punya orangtua, uci dan angku kami telah wafat. Saya hanya mengenal sama-samar, mungkin saat usia 4 tahun keduanya sudah tidak ada. Demikian pula papi, ia yatim di usianya 4 tahun dan nini Ating, ibunya meninggal sebelum saya berusia 2 tahun. So, mami benar- benar seorang diri membesarkan 7 anaknya dengan peninggalan harta sebuah rumah yang besar dan luas serta tiga mobil.
Mami yang tidak pernah ada pengalaman berwirausaha bahkan ibu rumah tanggapun dibantu oleh tiga orang dan satu supir yang semuanya tidur di rumah harus menerima takdirnya.
Saya belajar kuat, tabah dan ikhlas dari mami. Mami yang hari-harinya rajin sholat lima waktu, mengaji usai sholat, sholat tahajud, sholat dhuha, dan puasa Senin-Kamis (yang kemudian saat usianya 72 tahun dilarang dokter untuk berpuasa lagi).
Mami berusaha survive dengan coba-coba menjalankan usaha namun akhirnya gagal, berujung rumah kebanggan kami tersebut harus dijual membayar hutang pinjaman modal usahanya.
Mami hanya bertawakal, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Mami memperlihatkan pada kami ketujuh anaknya pengamalan keyakinan totalnya yang bulat pada Allah.
Di dalam Tauhid kita diajarkan hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas. Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorong mami menyerahkan sepenuhnya segala persoalan kepada Allah. Alhamdulillah mami telah lulus ujian mrnghantarkan ketujuh anaknya...
Allah rupanya telah mempersiapkan saya (dan adik-adik) melangkah ke masa depan dengan persoalan ujian masing-masing. Dan insya Allah kami lulus ujian seperti mami..
"Ya Allah..Aku mengharapkan Rahmat-Mu, maka janganlah Engkau pasrahkan urusanku pada diriku sendiri walau hanya sekejap mata".

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia