Senin, 30 November 2020

RUMAH MASA KECIL


Hari ini saya melunasi janji pada Idjul utk ke Wisma Sundoro, yang dari tahun 1957 sampai tahun 1967 menjadi kediaman papi, mami beserta 8 anaknya.

Setelah numpang lahir di RS Boromeus Bandung, dan tinggal selama tiga bulan di Jalan Bali No 15, Komplek Perumahan Angkatan Darat, papi memboyong mami, saya dan dua abang saya, Arie serta Bambang Trijaya Hawadi pindah ke Jakarta.
Keluarga kami menempati rumah Pamen di Jalan Dr. Wahidin 1 No.D2 dengan luas hampir 1000m2. Rumah induk ditempati papi, mami, saya dan adik-adik (mami berturut-turut memberi saya adik dari tahun 1958 sampai 1964, setiap tahunnya).
Pavilioen samping ditempati empat sepupu papi yang kuliah d FKUI. Mereka kelak menjadi dokter spesialis dalam bidang masing-masing yaitu spesialis mata, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, dan spesialis kandungan.Di usia 5 tahun, untuk pertama kali saya melihat vandel Makara UI yang berada d kamar para oom-oom saya. Saya jg melihat ketekunan mereka belajar di meja masing-masing dengan lampu belajar yang sinarnya tampak dari luar walau ada gordijn yang menutupinya. Bau obat nyamuk saat magrib diatas kertas yang dilipat-lipat menemani belajar mereka sampai larut malam.
Kamar belakang tepatnya pavilioen karena ukurannya besar plus ada teras, ditempati abang saya Bambang. Berbeda dengan pavilioen para oom mahasiswa. Kamar Bambang ini tidak pernah sepi. Teman Bambang banyak yang main dan selalu saja ada yang bermalam. Beberapa nama yang sering nongkrong, seperti Sofyan, Djadjat, Abang, Ade, Todung, Cucu, Unus, Frietz, Iko dan Benny. Mereka bercanda, memutar vynil lagu-lagu The Beatles, sambil main gaple, catur, halma, dam dls dan bahkan memutar film 8mm dari proyektor yang kami miliki.
Kamar lain yang ada di belakang ditempati teman B1 Kimia IKIP Bandung mami yang kost, karena bekerja sbg Guru Kimia SMA Negeri 1 Boedi Oetomo. Saya memanggilnya tante Butet, tetapi siswanya yang datang les menyebutnya Ibu Chaerani Lubis. Tante ini kamarnya bersih, dan wangi. Sy msh inget bedak yg dipakainya yaitu bedak Dewa, kaleng berwarna kuning. Tante Butet sosok guru yang tegas dan lurus.
Tiga kamar lain di belakang, untuk bediende yaitu bi Amah dan bi Enah, serta supir yang saya panggil Onsu.
Rumah besar yang banyak penghuninya diimbangi dengan fasilitas yang ayah saya sediakan. Papi penyuka binatang, kami memiliki burung merak, burung kakaktua, burung beo, kasuari, kalkun, ayam petelur berikut kandangnya yang berderet lima kesamping dan ada dua tingkat, dan ayam jago. Saya juga punya anjing boxer dan buldog. Nah, ini saya ingat dua anjing ini pemberian teman baik papi.Saya dilibatkan untuk mengurus para peliharaan ini. Sensasi melihat ayam mengeram, dan bertelur merupakan momen yang luar biasa dan saya sukai.
Selain binatang peliharaan yang juga banyak di rumah, ayah saya mengajarkan untuk cinta tanaman. Halaman belakang, sekitar pavilioen Bambang ditanami rumput Peking. Di sisi kiri ada tanaman Melati yang bunganya banyak, dan saya petik untuk dicium-cium karena wanginya. Dan sebidang tanah di belakang ditanami pohon singkong. Saya paling suka setelah pohon Singkong tinggi dan siap panen. Saya ikut narik-narik batang singkong, dan senang sekali kalau kmd tiba-tiba akar kecabut dan tampak umbi-umbi singkong.
Di halaman tengah, tumbuh pohon Jambu klutuk merah. Saya suka memetiknya. Mami membiarkan saya memanjat pohon, dengan pesan hati-hati. Paling senang kl berada diantara dua cabang, saya bs duduk menikmati similir angin sembari gerogot jambu klutuk. Jambu yang mengkal sy lempar kebawah, siap ditangkap bi amah utk dibuat rujak bebek. Tidak jauh dari pohon jambu, ada pohon Nangka. Dua pohon ini mengapit jalan dari halaman depan ke belakang. Disinilah aktivitas saya dan adik-adik serta teman sebaya bermain ciplek, gundu, petak umpet, lari-larian dan tali tambang. Di selasar yang menghubungi area belakang dgn rumah induk, disediakan papi sebagai area permainan. Disini ada permainan bola kayu. Pemain yg berdiri di sisi kiri kanan menyodok-nyodok dengan tongkat bola pingpong agar ketendang ke gawang lawan. Ada juga meja pingpong. Selain itu berbagai board game juga ada seperti monopoli, halma, dam, ular tangga serta kartu domino maupun kartu remi (yang biasa main cangkulan, 41 dan yang kalah siap dicemongin).
Halaman paling luar, ada tiga pohon Mahoni. Salah satu pohon bertuliskan S 234 C, dari cat kapur warna putih. Rumah kami tempat nongkrongnya teman-teman Bambang yang kesemuanya perokok merk Dji Sam Soe. S dari Siliwangi, 234 merk rokok, dan C dari Complex.
Pohon Mahoni saat musim meranggas, daun-daun berguguran, yang tampak hanya ranting. Untuk kemudian tumbuh daun-daun kecil hijau muda yang kelamaan semakin besar dan berwarna hijau botol. Kalau musim daun berguguran, saya senang ikut-ikut menyapu di ketebalan daun mahoni kering yang ada di tanah.Buahny berwarna coklat dan sebesar mangga.
Di luar pagar rumah kami ada ruang terbuka hijau, yang saat itu ditempati satu keluarga gembel yang terdiri dari ayah, ibu dan satu anak sepantar adik saya Siska. Karpet nama anak itu, menjadi teman baik saya dan adik-adik untuk bermain d rumah.
Cerita diatas sebagai salah satu bagian keseluruhan kehidupan saya sdh didengar Idjul saat kami menjalani pendekatan.Tahun 1967 papi mengembalikan rumah dibas tersebut ke Mabes TNI, untuk pindah ke rumah sendiri di Kampung Ambon, Rawamangun.
Sejak pindah, baru kali inilah saya kembali ke rumah tersebut. Saya membaca plank yang ada d depan rumah tersebut, Wisma Sundoro. Kebetulan ada seorang Ibu yang berjalan dari dalam, saya memperkenalkan diri dengan cepat untuk minta ijin lihat-lihat.
Saya dan Idjul masuk, namun tidak sampai sepuluh menit, kamipun berjalan keluar. Sedih sekali melihatnya, sama sekali tidak lagi bisa mengenali bagian rumah, karena sudah menjadi banyak bagian petak tempat tinggal. Dan tidak ada lagi halaman dalam yang tersisa. Kenangan yang tersisa hanya dua pohon Mahoni besar yang masih kokoh berdiri.
Kami keluar dari halaman rumah, dan melihat tempat Karpet dan keluarganya sudah berubah jadi taman. Kemudian dengan menaiki mobil, kami menyusuri rumah demi rumah di Jalan Dr. Wahidin. Saya mencoba mengenalkan rumah tetangga pada Idjul satu persatu, yang semua sudah berubah total menjadi wisma-wisma.
Ada satu rumah di ujung jalan yang masih utuh fasad mukanya, yaitu kediaman Keluarga Azwar Hamid dan kemudian ditempati Keluarga Soeradiyo. Di depan rumah tersebut tertulis Rumah Wadirtop. Selesai.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia