Kamis, 27 Desember 2018

Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi: Selingkuh Tidak Terjadi Tiba-tiba

Psikolog yang juga penasihat pernikahan Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi menyebut rumah tangga bagai mengemudi kapal di lautan. ”Tentu akan menghadapi gelombang, bahkan badai,” katanya.
Tak melulu konflik besar, perkara meletakkan handuk bukan pada tempatnya saja, bisa memicu perceraian. Karenanya kata psikolog yang akrab disapa Reni ini, modal terbesar yang diperlukan dalam sebuah pernikahan adalah keberanian menekan ego diri.
Terutama para wanita yang dalam era modern ini punya banyak peluang untuk lebih maju. Sehingga tak sedikit yang pendidikan dan posisi kariernya lebih tinggi dari laki-laki.
Menurut Reni, itu pula yang membuat tingkat perempuan penggugat perceraian terus naik dalam 3 dekade terakhir.
“Tingginya angka wanita sebagai penggugat perceraian sebenarnya sudah terjadi sejak era 80an. Bahkan informasi lisan yang terakhir saya dapat, meningkatnya tunjangan guru ternyata seiring juga dengan meningkatnya perceraian. Kenapa? Karena banyak wanita yang merasa bisa mandiri, lantas mudah saja ambil keputusan cerai,” ujarnya.
Bukannya tak setuju wanita punya kesempatan lebih maju. Tapi menurut Reni, seorang wanita juga harus pandai memainkan peran. 
Namun yang banyak terjadi, ketergantungan dalam rumah tangga kerap dikaitkan dengan ketergantungan ekonomi. Dia melihat banyak wanita yang mampu secara ekonomi, berpikir terlalu simpel dan pragmatis. Tak masalah bercerai, toh bisa mandiri.
”Padahal pernikahan itu bukan semata-mata dilihat dari sisi ekonominya. Banyak pasangan masa kini, atau disebut generasi X, Y, lupa bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Mereka mau cepatnya saja,” Reni mengingatkan.

Harus Punya Stamina Tinggi
Dosen Fakultas Psikologi UI yang juga pemerhati anak ini mengibaratkan rumah tangga sebagai sebuah seni. Bagaimana mencocokkan dua orang yang berbeda segalanya. 
”Kalau mencari orang yang sama tidak akan pernah ketemu. Jadi bagaimana bisa saling mengisi. Nah ini perlu seni. Yang utama adalah bagaimana menurunkan ego. Memang tidak mudah, tapi ini yang harus disadari oleh masing-masing pasangan suami istri. Bahwa karakter berbeda, ya pasti bedalah. Latar belakang pendidikan beda, orang tuanya beda, keturunanya beda, kesukaan dan seleranya juga beda. Tapi kan dua ini sepakat hidup bersama dalam waktu yang lama,” katanya, panjang lebar.
Karena itu pasangan suami istri harus punya stamina tinggi dan energi besar untuk terus menerus berusaha saling cocok, seperti panci dan tutupnya.
”Kalau sulit, harus cari celahnya. Jangan putus asa begitu saja. Memang perlu perjuangan,” Reni memotivasi.
Yang perlu diingat, suami istri harus menjadi tim yang saling menjaga, mendukung, mengampuni dan memahami. Ini pula strategi untuk menghindari terjadinya perselingkuhan.
”Karena selingkuh atau KDRT itu seringkali merupakan akibat atau hasil. Tidak tiba-tiba terjadi. Hasil dari apa? Salah satunya dari interaksi suami istri yang kurang,” ungkapnya memberi jeda.
Hal yang juga sangat krusial adalah persoalan seksual. ”Wanita banyak berubah apalagi setelah punya anak. Yang cuek merawat diri jadi tidak menarik lagi misalnya. Sementara laki-laki, meski umurnya terus bertambah, secara psikologis tidak berubah banyak. Apalagi dalam hal seksual. Pun dia masih produktif. Ibaratnya jika baru kawin usia 70 tahun saja masih bisa punya anak. Seksual ini memang menjadi salah satu yang krusial. Karena ini sangat dikedepankan oleh laki-laki. Dia ingin wanita tampil cantik, masih oke, masih meladeni dan sebagainya,” urainya.
Sementara banyak wanita melupakan hal itu. Banyak yang berpikiran, ya sudahlah, kan aku sudah kerja, sudah punya anak dan cucu juga.
” Jadi banyak hal yang tidak sama jalan berpikirnya. Ketika tidak ada komunikasi, fatal akibatnya,” Reni mengingatkan. *

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia