Psikolog
yang juga penasihat pernikahan Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi menyebut
rumah tangga bagai mengemudi kapal di lautan. ”Tentu akan menghadapi
gelombang, bahkan badai,” katanya.
Tak
melulu konflik besar, perkara meletakkan handuk bukan pada tempatnya
saja, bisa memicu perceraian. Karenanya kata psikolog yang akrab disapa
Reni ini, modal terbesar yang diperlukan dalam sebuah pernikahan adalah
keberanian menekan ego diri.
Terutama
para wanita yang dalam era modern ini punya banyak peluang untuk lebih
maju. Sehingga tak sedikit yang pendidikan dan posisi kariernya lebih
tinggi dari laki-laki.
Menurut Reni, itu pula yang membuat tingkat perempuan penggugat perceraian terus naik dalam 3 dekade terakhir.
“Tingginya
angka wanita sebagai penggugat perceraian sebenarnya sudah terjadi
sejak era 80an. Bahkan informasi lisan yang terakhir saya dapat,
meningkatnya tunjangan guru ternyata seiring juga dengan meningkatnya
perceraian. Kenapa? Karena banyak wanita yang merasa bisa mandiri,
lantas mudah saja ambil keputusan cerai,” ujarnya.
Bukannya tak setuju wanita punya kesempatan lebih maju. Tapi menurut Reni, seorang wanita juga harus pandai memainkan peran.
Namun
yang banyak terjadi, ketergantungan dalam rumah tangga kerap dikaitkan
dengan ketergantungan ekonomi. Dia melihat banyak wanita yang mampu
secara ekonomi, berpikir terlalu simpel dan pragmatis. Tak masalah
bercerai, toh bisa mandiri.
”Padahal
pernikahan itu bukan semata-mata dilihat dari sisi ekonominya. Banyak
pasangan masa kini, atau disebut generasi X, Y, lupa bahwa pernikahan
adalah sesuatu yang sakral. Mereka mau cepatnya saja,” Reni
mengingatkan.
Harus Punya Stamina Tinggi
Dosen
Fakultas Psikologi UI yang juga pemerhati anak ini mengibaratkan rumah
tangga sebagai sebuah seni. Bagaimana mencocokkan dua orang yang berbeda
segalanya.
”Kalau
mencari orang yang sama tidak akan pernah ketemu. Jadi bagaimana bisa
saling mengisi. Nah ini perlu seni. Yang utama adalah bagaimana
menurunkan ego. Memang tidak mudah, tapi ini yang harus disadari oleh
masing-masing pasangan suami istri. Bahwa karakter berbeda, ya pasti
bedalah. Latar belakang pendidikan beda, orang tuanya beda, keturunanya
beda, kesukaan dan seleranya juga beda. Tapi kan dua ini sepakat hidup
bersama dalam waktu yang lama,” katanya, panjang lebar.
Karena
itu pasangan suami istri harus punya stamina tinggi dan energi besar
untuk terus menerus berusaha saling cocok, seperti panci dan tutupnya.
”Kalau sulit, harus cari celahnya. Jangan putus asa begitu saja. Memang perlu perjuangan,” Reni memotivasi.
Yang
perlu diingat, suami istri harus menjadi tim yang saling menjaga,
mendukung, mengampuni dan memahami. Ini pula strategi untuk menghindari
terjadinya perselingkuhan.
”Karena
selingkuh atau KDRT itu seringkali merupakan akibat atau hasil. Tidak
tiba-tiba terjadi. Hasil dari apa? Salah satunya dari interaksi suami
istri yang kurang,” ungkapnya memberi jeda.
Hal
yang juga sangat krusial adalah persoalan seksual. ”Wanita banyak
berubah apalagi setelah punya anak. Yang cuek merawat diri jadi tidak
menarik lagi misalnya. Sementara laki-laki, meski umurnya terus
bertambah, secara psikologis tidak berubah banyak. Apalagi dalam hal
seksual. Pun dia masih produktif. Ibaratnya jika baru kawin usia 70
tahun saja masih bisa punya anak. Seksual ini memang menjadi salah satu
yang krusial. Karena ini sangat dikedepankan oleh laki-laki. Dia ingin
wanita tampil cantik, masih oke, masih meladeni dan sebagainya,”
urainya.
Sementara
banyak wanita melupakan hal itu. Banyak yang berpikiran, ya sudahlah,
kan aku sudah kerja, sudah punya anak dan cucu juga.
” Jadi banyak hal yang tidak sama jalan berpikirnya. Ketika tidak ada komunikasi, fatal akibatnya,” Reni mengingatkan. *