Rabu, 12 September 2018

“Rumah Pintar" Bermisi Ciptakan Masyarakat Sejahtera

Jakarta - Program Rumah Pintar yang digagas oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono memiliki lima misi bertahap.

Pada tahap awal, Rumah Pintar menargetkan terciptanya masyarakat melek aksara, kemudian berkembang menjadi masyarakat pembelajar, lalu meningkat sebagai masyarakat informasi, selanjutnya menjadi masyarakat berpengetahuan, dan terakhir menjadi masyarakat sejahtera dan beradab.

“Kami menargetkan kemajuan masyarkat di daerah binaan. Misalnya, di Cikeas, dari masyarakat yang bebas buta aksara, mereka jadi mau membaca, lebih pintar dan akhirnya lebih sejahtera,” kata salah satu pendiri Rumah Pintar sekaligus menantu Presiden SBY, Siti Ruby Aliya Rajasa (Aliya), dalam Forum Kebijakan Internasional tentang Keaksaraan dan Pendidikan Kecakapan Hidup untuk Remaja Rentan Melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) di Jakarta, Selasa (20/8).

Forum yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bekerjasama dengan UNESCO itu diikuti sekitar 120 peserta dari 19 negara kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Arab, Afrika, Eropa, dan Australia.

Aliya menuturkan Rumah Pintar bertujuan sebagai pusat pengembangan masyarakat lewat berbagai kegiatan non-formal. Di Rumah Pintar, masyarakat diajarkan baca tulis lewat aktivitas kecakapan hidup seperti menjahit atau membuat barang kerajinan. Tak hanya itu, Rumah Pintar juga menampung anak-anak untuk diajarkan berbagai aktivitas sensorik motorik.
Aliya sudah terjun di aktivitas Rumah Pintar sejak 2006. Awalnya, dia bergabung sebagai tutor, kemudian saat ini bertugas mengawasi setiap aktivitasnya. Ada dua komunitas binaan Rumah Pintar yaitu masyarakat di Cikeas dan Ciwidey. Keduanya di Jawa Barat.

Aliya menuturkan hambatan bagi pembelajaran keaksaraan adalah kebiasaan berbicara bahasa Ibu. Dia sendiri memiliki pengalaman berbahasa Palembang di rumah.

“Saya terbiasa bicara Palembang di rumah. Nah, di daerah rural, mereka juga terbiasa berbahasa Ibu atau bahasa lokal sehingga tidak paham Bahasa Indonesia,” ujarnya.

Menurut Aliya, kekayaan bahasa Ibu tetap penting karena mencerminkan keanekaragaman Indonesia. “Namun, di sisi lain, kita harus entaskan buta aksara agar masyarakat bisa membaca lebih banyak sumber,” jelasnya yang terjun di Rumah Pintar dengan alasan panggilan jiwa.

Forum kebijakan internasional tersebut dihadiri pula oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim dan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Lydia Freyani Hawadi.

Sumber: Suara Pembaruan

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia