Rabu, 12 September 2018

Perempuan, PAUD, dan Generasi Emas Indonesia

Oleh Abi Neira el-Qudsy
Perjalanan Indonesia sebagai bangsa dan negara, tidak hanya lahir dan berkembang berkat perjuangan para kaum adam saja. Perempuan, kaum hawa, juga ikut ambil bagian dalam gelombang perjuangan dan berperan membangun negeri. 
 
Indonesia, sebagaimana di Amerika, Inggris, Cina, dan beberapa negara di Eropa, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul tokoh-tokoh gerakan–gerakan perempuan yang mulai memperjuangkan emansipasi dan keadilan sosial.
Frances S. Adeney dalam ‘’Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat’’ yang diterbitkan Institut Dian/Interfidei (1994) melalui kajiannya bertitel ‘’Spiritualitas Perempuan pada Era Post-Modern: Suatu Perspektif Internasional’’ menyebutkan, banyak peranan yang diambil tokoh gerakan perempuan.
Perjuangan dan gerakan perempuan itu termanifestasikan dalam banyak hal. Baik dengan menjadi guru (perjuangan melalui pendidikan), melawan tradisi demi emansipasi, sampai ikut terlibat melawan imperalisme kolonial yang seringkali melemahkan kedudukan kaum perempuan.
RA Kartini, adalah salah satu tokoh penting yang dimiliki Indonesia sebagai penyokong gerakan emansipasi, melalui pemikiran–pemikiran progresif di tengah lingkungan serta tradisi yang membelenggunya sebagai perempuan Jawa yang ketat dengan aturan.
Di balik tembok rumah orang tuanya di Mayong, Jepara, gagasan dan pemikiran-pemikiran adik kandung RMP Sosrokartono ini mampu menembus hingga daratan Eropa, yakni melalui korespondensi dengan Ny RM Abendanon dan Stella Zeehandelaar di Belanda.  

Generasi Emas
Sudah banyak buku dan hasil penelitian yang mengupas sosok, kiprah, dan pemikiran-pemikiran RA Kartini dari bergagai sudut pandang (perspektif) yang beragam. Namun pemikiran-pemikiran bagaimana agar perempuan maju dan terdidik, kiranya menjadi hal penting yang perlu diberi garis bawah tebal.
Pentingnya perempuan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dipandang penting bagi Kartini, karena kelak saat menjadi seorang ibu, ia akan menjadi pendidik yang pertama bagi anak-anak yang dilahirkannya sebelum duduk di bangku sekolah.
Dalam konteks kekinian, relasi perempuan kaitannya dengan pendidikan anak, menjadi perhatian tersendiri dari pemerintah. Perhatian itu diwujudkan dengan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang digalakkan.
Masyarakat juga ‘’menyambut’’ PAUD ini dengan antusias, dan telah memandang sebagai bagian penting dalam pendidikan anak-anaknya. Tak pelak, jumlah lembaga PAUD kian waktu pun kian bertambah.
Berdasarkan data di Dirjen PAUDNI Kemdikbud, per Desember 2013, jumlah lembaga PAUD mencapai 174.367 lembaga se-Indonesia. Yang terdiri atas 74.487 Taman Kanak-kanak, 70.477 Kelompok Bermain (KB), dan 26.269 Satuan PAUD. (www.setkab.go.id).
Lydia Freyani Hawadi, mengemukakan, pembangunan PAUD di Indonesia diarahkan secara bertahap menuju insan cerdas komprehensif pada 2045, sebagai kado 100 tahun Indonesia merdeka. Strategi menyiapkan insan cerdas menuju generasi emas ini dimulai pada 2011 melalui gerakan PAUD-isasi. (Kompas, 21 Oktober 2013).
Gerakan PAUD-isasi ini, menjadi fakta menarik yang digulirkan pemerintah, dalam rangka menyiapkan penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter. Masyarakat pun semakin sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya sejak dini.
Yang menarik dari keberadaan PAUD, sebagian besar staf pengajarnya adalah perempuan. Meski penulis belum pernah menemukan data mengenai prosentase pendidik antara laki-laki dan perempuan di PAUD, namun sebatas pengetahuan yang ada, setiap PAUD yang penulis temui, hampir semua pengajarnya  memang perempuan.
Para perempuan (guru PAUD) inilah penerus cita-cita perjuangan RA Kartini yang telah banyak menyumbangkann tenaga dan pemikirannya bagi keberhasilan program pemerintah mencetak generasi emas Indonesia.
Spirit mencerdaskan generasi bangsa ini dan kiprah perempuan ini, adalah satu fakta menarik untuk direnungkan, betapa para perempuan, memiliki kontribusi yang sangat besar dalam menyiapkan anak-anak negeri yang cerdas dan berkarakter.
Kiprah dan peran dalam membangun pendidikan ini merupakan kontribusi yang sangat penting. Ki Hajar Dewantara sebagaimana ditulis Darsiti Soeratman (1986 : 71), menyampaikan, ‘’... pendidikan adalah tempat persemaian segala benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan’’. Dan untuk menyemainya, tentu harus dilakukan sedini mungkin, bukan? (*)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia