Oleh
Abi Neira el-Qudsy
Perjalanan
Indonesia sebagai bangsa dan negara, tidak hanya lahir dan berkembang berkat
perjuangan para kaum adam saja. Perempuan, kaum hawa, juga ikut ambil bagian
dalam gelombang perjuangan dan berperan membangun negeri.
Indonesia,
sebagaimana di Amerika, Inggris, Cina, dan beberapa negara di Eropa, pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul tokoh-tokoh gerakan–gerakan perempuan
yang mulai memperjuangkan emansipasi dan keadilan sosial.
Frances
S. Adeney dalam ‘’Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat’’ yang
diterbitkan Institut Dian/Interfidei (1994) melalui kajiannya bertitel
‘’Spiritualitas Perempuan pada Era Post-Modern: Suatu Perspektif
Internasional’’ menyebutkan, banyak peranan yang diambil tokoh gerakan
perempuan.
Perjuangan
dan gerakan perempuan itu termanifestasikan dalam banyak hal. Baik dengan
menjadi guru (perjuangan melalui pendidikan), melawan tradisi demi emansipasi,
sampai ikut terlibat melawan imperalisme kolonial yang seringkali melemahkan
kedudukan kaum perempuan.
RA
Kartini, adalah salah satu tokoh penting yang dimiliki Indonesia sebagai
penyokong gerakan emansipasi, melalui pemikiran–pemikiran progresif di tengah
lingkungan serta tradisi yang membelenggunya sebagai perempuan Jawa yang ketat
dengan aturan.
Di
balik tembok rumah orang tuanya di Mayong, Jepara, gagasan dan
pemikiran-pemikiran adik kandung RMP Sosrokartono ini mampu menembus hingga
daratan Eropa, yakni melalui korespondensi dengan Ny RM Abendanon dan Stella
Zeehandelaar di Belanda.
Generasi Emas
Sudah
banyak buku dan hasil penelitian yang mengupas sosok, kiprah, dan
pemikiran-pemikiran RA Kartini dari bergagai sudut pandang (perspektif) yang
beragam. Namun pemikiran-pemikiran bagaimana agar perempuan maju dan terdidik,
kiranya menjadi hal penting yang perlu diberi garis bawah tebal.
Pentingnya
perempuan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dipandang penting bagi Kartini,
karena kelak saat menjadi seorang ibu, ia akan menjadi pendidik yang pertama
bagi anak-anak yang dilahirkannya sebelum duduk di bangku sekolah.
Dalam
konteks kekinian, relasi perempuan kaitannya dengan pendidikan anak, menjadi
perhatian tersendiri dari pemerintah. Perhatian itu diwujudkan dengan program
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang digalakkan.
Masyarakat
juga ‘’menyambut’’ PAUD ini dengan antusias, dan telah memandang sebagai bagian
penting dalam pendidikan anak-anaknya. Tak pelak, jumlah lembaga PAUD kian
waktu pun kian bertambah.
Berdasarkan
data di Dirjen PAUDNI Kemdikbud, per Desember 2013, jumlah lembaga PAUD
mencapai 174.367 lembaga se-Indonesia. Yang terdiri atas 74.487 Taman
Kanak-kanak, 70.477 Kelompok Bermain (KB), dan 26.269 Satuan PAUD. (www.setkab.go.id).
Lydia
Freyani Hawadi, mengemukakan, pembangunan PAUD di Indonesia diarahkan secara
bertahap menuju insan cerdas komprehensif pada 2045, sebagai kado 100 tahun
Indonesia merdeka. Strategi menyiapkan insan cerdas menuju generasi emas ini
dimulai pada 2011 melalui gerakan PAUD-isasi. (Kompas, 21 Oktober 2013).
Gerakan
PAUD-isasi ini, menjadi fakta menarik yang digulirkan pemerintah, dalam rangka
menyiapkan penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter. Masyarakat pun semakin
sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya sejak dini.
Yang
menarik dari keberadaan PAUD, sebagian besar staf pengajarnya adalah perempuan.
Meski penulis belum pernah menemukan data mengenai prosentase pendidik antara
laki-laki dan perempuan di PAUD, namun sebatas pengetahuan yang ada, setiap
PAUD yang penulis temui, hampir semua pengajarnya memang perempuan.
Para
perempuan (guru PAUD) inilah penerus cita-cita perjuangan RA Kartini yang telah
banyak menyumbangkann tenaga dan pemikirannya bagi keberhasilan program
pemerintah mencetak generasi emas Indonesia.
Spirit
mencerdaskan generasi bangsa ini dan kiprah perempuan ini, adalah satu fakta
menarik untuk direnungkan, betapa para perempuan, memiliki kontribusi yang
sangat besar dalam menyiapkan anak-anak negeri yang cerdas dan berkarakter.