Oleh: Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.M., Psikolog
Fakta
masih rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia,
tercermin dari persoalan kurang dilibatkannya ilmu psikologi dalam
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). “UU Sisdiknas belum menyentuh
hal substansial. Belum meneropong siswa sebagai individu yang unik,”
ujar Profesor Reni Akbar-Hawadi, Kepala Pusat Keberbakatan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. Berikut percikan pemikirannya untuk
pembaca Majalah Qalam.
Sejauh mana perlunya ‘pemeriksaan psikologis’ terhadap siswa di sekolah?
Sebenarnya,
momentum awal dunia pendidikan Indonesia dalam menggunakan pemeriksaan
psikologis bagi siswa, telah digagas oleh Prof. Slamet Imam Santoso,
sejak 1952. Ia berpendapat, pendidikan harus disusun secara plastis,
supaya dapat menghadapi variasi banyak orang. Karena itu, sepanjang
sekolah, para siswa harus diperiksa secara psikologis, mengenai
kecerdasan cara berpikir, cara bekerja dan watak.
Dengan
pemeriksaan ini, dapat memberi petunjuk agar tiap-tiap siswa dapat
mencapai prestasi optimal. Pemeriksaan psikologis ini merupakan cara
efektif dan efisien untuk melihat potensi seseorang.
Apa dampak pemeriksaan psikologis bagi siswa?
Begini,
di dalam kelas, berbagai potensi siswa berbaur menjadi satu. Sehingga
kerap muncul keluhan siswa yang tidak mampu secara intelektual. Mereka
menjadi stres, merasa dikejar dalam belajar, diberi pelajaran tambahan.
Semua
itu sering menyebabkan siswa menderita secara jasmani dan jiwa.
Parahnya, reaksi masyarakat justru menyalahkan sekolah, nilai sekolah
terlalu tinggi, gurunya amat kejam, dan lain-lain. Akhirnya masyarakat
membeli ijazah agar anak mereka bisa lulus sekolah dan bekerja. Namun
yang terjadi kemudian, ijazah yang dianggap sebagai kunci masuk dunia
kerja, ternyata tidak “laku”. Ini berbahaya.
Terkadang sekolah membiarkan seleksi secara alamiah. Sementara potensi siswa tidak semua sama. Menurut Anda?
Inilah
letak kesalahannya. Untuk menjawabnya, sebaiknya kita melihat
perumpamaan kuda dan lembu. Siswa yang tergolong tipe kuda adalah mereka
yang sama sekali tidak mengalami kesulitan memahami pelajaran.
Sedangkan
siswa yang tipe lembu adalah mereka yang lamban menangkap pelajaran.
Jadi keduanya ini tidak cocok untuk dijadikan satu, karena akan
menimbulkan rasa frustasi bagi semua pihak.
Untuk
itu, perlu ada pendidikan yang bervariasi sesuai potensi dan bakat
siswa, untuk menjaga harga diri siswa. Dengan bersekolah sesuai
kebutuhan, akan memudahkan mereka masuk dalam dunia kerja, dan
memperoleh pekerjaan yang pas. Kita tidak menginginkan anak-anak sekolah
mendapat kesulitan bekerja karena keterbatasan kemampuannya.
Tapi
banyak sekolah yang sudah melakukan pemerikasaan psikologis. Reformasi
pendidikan juga telah dibangun. Lalu, apalagi yang kurang dari konsep
ini?
Bagi
saya, reformasi pendidikan di Indonesia lewat penataan
perundang-undangan masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang
substansial, meneropong siswa sebagai individu yang unik.
Sebab,
persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik, gedung sekolah,
kurikulum, laboratorium, atau perpustakaan saja. Tapi juga menyangkut
peserta didik sebagai subjek. Memang dalam prakteknya, sudah banyak
sekolah yang menggunakan jasa psikolog untuk melakukan pemeriksaan
psikologis.
Sekurang-kurangnya
menjelang tahun ajaran baru, melalui biro psikologi, sekolah
menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru. Biasanya
hasil pemeriksaan psikologis yang berupa psikogram digunakan untuk
melihat besar skor IQ (intelligence quotience), CQ (creativity
quotience) dan TC (task quotience), yang dijadikan dasar program
percepatan belajar.
Namun
peran psikolog masih berada di luar lingkaran sekolah. Mereka bekerja
sesuai pesanan “tukang tes”. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog
masih belum banyak digunakan. Maka terjadilah pemubadziran ilmu.
Apa saja yang bisa dilakukan psikolog di lingkungan sekolah?
Psikolog
pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi. Seperti kesulitan
belajar, disleksia, gangguan bicara, dan ketidakmampuan seperti
keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsi dan buta.
Dengan
kompetensi ini, maka psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami
kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa untuk memilih intervensi
pendidikan yang lebih tepat dalam upaya mengoptimasikan potensi baik
siswa.
Psikolog
pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia
dapat memahami karakteristik pembelajaran usia sekolah, usia remaja,
usia dewasa muda, dan lanjut usia. Karena semua psikolog pendidikan
memiliki wawasan tentang perkembangan manusia.
Di
samping itu, seorang psikolog pendidikan mampu melihat perbedaan
individual, seperti kecerdasan, kreativitas, gaya belajar dan motivasi.
Bagaimana peran psikolog memajukan pendidikan?
Kalau
kita lihat di Amerika, psikolog pendidikan atau sekolah, merupakan
salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang. Pertumbuhan
mencapai 26%. Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting pendidikan.
Sementara
di Indonesia, kebanyak psikolog terserap di dunia industri. Pekerjaan
sebagai psikolog pendidikan atau sekolah belum populer. Hanya
sekolah-sekolah swasta papan atas yang telah menggunakan jasa mereka.
Fenomena
ini menarik untuk dikaji, tidak hanya berkaitan dengan citra bahwa gaji
psikolog lebih tinggi dari guru, sehingga sekolah merasa “takut”
mempunyai psikolog dan lebih memilih menggunakan jasa biro psikologi
saja.
Tetapi
lebih dari itu, sebaiknya profesi psikolog diakui sebagai tenaga
kependidikan. Saya mengajak pemerintah perlu membangun peran psikolog
dalam pendidikan nasional.
Bagaimana jika terjadi ketidaktepatan antara kapasitas intelektual siswa dengan jenis sekolah?
Dalam
klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow learner atau
lamban belajar. Jika siswa berada pada taraf ini, tentu saja tidak cocok
untuk mengikuti pendidikan dengan kurikulum kelas reguler, dan bukan
pula cocok untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Karena
taraf kecerdasan siswa masih sedikit lebih baik dari anak-anak dengan
taraf keterbelakangan mental yang bersekolah di SLB. Namun dengan adanya
tempo kerja mereka yang lamban dalam menangkap pelajaran, juga tidak
membuat mereka sesuai dengan siswa biasa.
Kalau
anak-anak dengan kategori lamban ini disatukan, maka yang terjadi
adalah frustasi. Sementara siswa lainnya di kelas yang sama dan
kebetulan memiliki taraf kecerdasan yang jauh lebih baik, akan menjadi
termotivasi dalam mengikuti kelas. Sebaik-baiknya anak dengan kategori
ini memiliki jenis sekolah tersendiri saja, agar harga diri dan
kesehatan mental mereka terjaga.
Tercatat,
fenomena anak golongan slow learner cukup banyak terjadi di
sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah (BPS, 2006),
maka jika 22,5%nya adalah mereka yang tergolong dalam IQ 70-89,
diperkirakan ada 10,5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner.
Apa yang Anda harapkan dari peran psikolog dalam Sisdiknas?
Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP.
Saat
ini sudah banyak tersedia SMK yang berupaya agar lulusannya dapat
berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Karena rasa
keberhasilan ini, pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental
seseorang. Individunya juga akan memiliki pengakuan (harga diri), berupa
imbalan atas hasil karyanya.
Berarti,
dengan bekerja sesuai kompetensi, membuat angka pengangguran berkurang.
Dan ini berarti pula meningkatkan daya saing bangsa. Jadi dengan adanya
psikolog di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar, dapat mengarahkan anak
dengan pilihan pendidikan dan karir yang tepat.
Apakah sistem sekolah saat ini belum mencukupi standar kompetitif?
Belum.
Sistem sekolah belum mengakomodasi kebutuhan masa depan anak bangsa.
Untuk itu perlu mengembangkan kreativitas, daya inovasi, mental
wirausaha dan kemampuan kolaborasi demi suksesnya generasi masa depan.
Sebab,
ada yang memperkirakan, di tahun 2025 nanti, ekonomi dunia akan
dipengaruhi oleh perkembangan lima bidang sains. Yaitu Teknologi
Informasi, Teknologi Material, Genetika, Teknologi Energi dan
Lingkungan. Dan hanya pekerja terdidik yang diandalkan, dapat menjadikan
anak-anak berbakat yang berintelektualitas tinggi.
Di
Indonesia, contoh cerita sukses tentang pembinaan anak-anak berbakat
ini kita ketahui dilakukan Prof. Johannes Surya, Ph.D dengan proyek TOFI
(Tim Olimpiade Fisika Indonesia).
Proses
seleksi yang ketat dan pembinaan yang telah dilakukan TOFI selama 13
tahun, membuktikan bahwa anak-anak Indonesia ada yang bisa diandalkan.
Banyak anak didiknya berhasil meraih gelar Ph.D dalam usia 23 tahun.
Bahkan ada yang mendapat gelar profesor berusia 25 tahun.
Bagaimana mengatur regulasi psikolog agar keberadaanya dirasakan di seluruh Indonesia?
Departemen
Pendidikan Nasional dapat menjadikan Pusat-Pusat Kajian Keberbakatan
Fakultas Psikologi di setiap propinsi sebagai mitra untuk melakukan
pemeriksaan psikologis.
Teknisnya,
bisa melakukan intervensi, pelatihan-pelatihan dan konseling, baik
individual maupun kelompok. Bisa juga melakukan riset-riset sehubungan
masalah perkembangan siswa. Sebab, kita harus mendidik anak-anak menjadi
andalan utama tulang punggung masyarakat berbasis pengetahuan dan
etika.