PERCAYA atau tidak, ada pemahaman yang berlebihan dan cenderung salah kaprah pada sebagian orang tua mengenai masa emas (golden age)
anak. Periode tumbuh kembang potensial di rentang usia 0 – 5 tahun itu
dimaknai sebagai masa-masa di mana otak anak harus 'dijejali' dengan
beragam kecerdasan. Sebagian orang tua tadi beranggapan, masa emas itu
merupakan peluang dan kesempatan bagi si anak untuk belajar agar menjadi
pintar dan cerdas, yakni dengan mengajarinya membaca, menulis, dan
berhitung (calistung).
Jadi,
jangan heran jika sekarang ini sebagian orang tua bangga jika anaknya
sudah pintar calistung sejak dini. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang
berlomba-lomba agar anak-anaknya sudah mampu mengenal huruf dan angka
sejak usia 2 tahun dengan memasukkannya ke PAUD atau TK yang memiliki
kurikulum khusus calistung.
Salahkah?
Tidak sepenuhya begitu. Keinginan untuk memasukkan anaknya ke sekolah
nonformal sedini mungkin menunjukkan tingginya partisipasi orang tua
terhadap pendidikan si buah hati. Apalagi periode emas merupakan masa
bagi balita untuk bereksplorasi.
Tapi,
ada kalanya pemahaman sebagian orang tua tadi terlalu berlebihan. Masa
emas anak menjadi periode bagi balita untuk “jor-joran” belajar atau
diajari.
Karena
itu, orang tua hendaknya paham perbedaan kata “learning” dan
“studying”. Meskipun dalam bahasa Indonesia artinya sama yakni belajar,
namun ada pengertian yang berbeda dalam bahasa Inggris.
Studying berarti suatu aktivitas (belajar) untuk menguasai sesuatu yang belum tentu mendapatkan hasil permanen. Sementara learning mengandung sebuah makna penyelesaian atau penguasaan (completion)
yang sifatnya lebih permanen. Untuk mendapatkan sebuah hasil yang
permanen itulah orang tua harus mengetahui istilah “how to learn” (hampir sama dengan istilah “how to know”) dan “how to study”.
Sayangnya,
keinginan sebagian orang tua untuk melejitkan anak yang cerdas
cenderung menggunakan konsep “how to study” ketimbang “how to learn”.
Sebagian orang tua tadi cenderung “memaksa” agar anak bisa ini itu
daripada mendukung anak yang kepingin bisa ini itu. Pengajaran kepada
balita pun lebih banyak yang bersifat instruktif (perintah) daripada
“how to know”. Sehingga, kemampuan yang dimiliki anak hanya bersifat
temporer dan perlahan hilang seiring bertambahnya usia.
Mental Hectic
Bukan
kemampuan yang hilang itu yang mesti dicemaskan orang tua. Direktur
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas (waktu
itu) Sudjarwo, mengatakan, anak usia di bawah lima tahun (balita) rawan
terkena “mental hectic” jika dipaksa untuk bisa calistung. Mental
hectic didefinisikan sebagai “kekacauan mental”.
“Penyakit
itu akan merasuki anak tersebut di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar
(SD). Oleh karena itu jangan bangga bagi Anda atau siapa saja yang
memiliki anak usia dua atau tiga tahun sudah bisa membaca dan menulis,”
ujar Sudjarwo, seperti yang dikutip dari laman viruscerdas.com.
Pengajaran
PAUD perlu dikembalikan pada ‘qitah’-nya. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mendorong orang tua untuk menjadi konsumen cerdas, terutama
dengan memilih PAUD yang tidak mengajarkan calistung.
Saat
ini banyak orang tua yang terjebak saat memilih sekolah PAUD. Orang tua
menganggap sekolah PAUD yang biayanya mahal, fasilitas mewah, dan
mengajarkan calistung merupakan sekolah yang baik. “Padahal tidak
begitu, apalagi orang tua memilih sekolah PAUD yang bisa mengajarkan
calistung, itu keliru,”’jelas Sudjarwo.
Sekolah
PAUD yang bagus justru sekolah yang memberikan kesempatan pada anak
untuk bermain, tanpa membebaninya dengan beban akademik, termasuk
calistung.Dampak memberikan pelajaran calistung pada anak PAUD, menurut
Sudjarwo, akan berbahaya bagi anak itu sendiri. “‘Bahaya untuk konsumen
pendidikan, yaitu anak, terutama dari sisi mental,” cetusnya.
Memberikan
pelajaran calistung pada anak, menurut Sudjarwo, dapat menghambat
pertumbuhan kecerdasan mental. “Jadi tidak main-main itu, ada namanya
‘mental hectic’, anak bisa menjadi pemberontak,”’ tegas dia.
Kesalahan
ini sering dilakukan oleh orang tua, yang seringkali bangga jika lulus
TK anaknya sudah dapat calistung. Untuk itu, Sudjarwo mengatakan,
pemerintah sedang gencar mensosialisasikan agar PAUD kembali pada
fitrahnya.
Stres
Masa
kanak-kanak adalah masa bermain, bersenang-senang dan bersosialisasi.
Namun anak-anak zaman sekarang mulai kehilangan hak istimewanya itu.
Anak-anak.sudah disibukkan dengan tetek bengek seperti les, sekolah, dan
kursus bahkan sejak usia balita.
Tak
heran, anak-anak ini dapat mengalami stres. Komisi Nasional
Perlindungan Anak mencatat telah terjadi 2.386 kasus pelanggaran dan
pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik 98 persen
dibanding tahun lalu.
“Negara
gagal memberi jaminan perlindungan kepada anak-anak. Kalau kita lihat
sistem kurikulum di PAUD, anak-anak harus dapat membaca, menulis dan
berhitung baru bisa masuk SD. Padahal harusnya anak usia dini itu hanya
dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan saja seperti
bersosialisasi dan bergaul,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi
Nasional Perlindungan Anak, seperti dikutip Kompas.
Menurut
Arist, tuntutan-tuntutan tersebut menyebabkan anak-anak menjadi stres.
“Orang tua banyak membebani dan menuntut anak-anaknya dengan berbagai
macam kegiatan. Tapi orang tua ini juga tidak siap menjadi orang tua
karena alasan sibuk,” kata Arist.
Anak-anak
yang stres justru tidak akan berkembang sebab mereka rentan depresi dan
terjerumus dalam perilaku berbahaya. Dia menyarankan, orang tua
sebaiknya memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih
aktivitasnya. Selain itu, orang tua harus sering-sering melakukan
komunikasi dengan anak-anaknya secara kekeluargaan, bukan hanya menyuruh
dan memarahi.
Calistung Resmi Dihapus
Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal
(PAUDNI) Kemendikbud terus mematangkan kurikulum pembelajaran di jenjang
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Di antara penekanannya adalah,
penghapusan aturan materi pengajaran dan ujian baca, tulis, dan hitung
(calistung).
Perkembangan
pengembangan kurikulum PAUD ini disampaikan oleh Dirjen PAUDNI
Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi. Seperti yang dilansir Kompas,
dia mengatakan, penerapan ujian calistung bisa menghambat peningkatan
angka partisipasi belajar anak-anak di satuan pendidikan di jenjang
PAUD. Di antaranya yang paling mencolok di tingkat taman kanak-kanak
(TK).
Lydia
mengakui, selama ini banyak siswa TK yang sudah cemas karena harus
menjalani tes atau ujian calistung ketika akan masuk SD. Selain itu, di
dalam pendidikan di tingkat TK sendiri, juga sudah mulai dikuatkan
materi calistung. “Dalam jenjang TK tidak tepat jika sudah difokuskan
pada urusan calistung,” katanya.
Menurut
Lydia, memang ada aturan yang melandasi penerapan ujian calistung bagi
lulusan TK untuk menuju SD. Yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 17 Tahun
2010. Tapi, kata dia, aturan ini perlu sosialisasi yang matang dan luas.
Lydia masih menemukan praktek-praktek ujian calistung untuk SD-SD
swasta dan beberapa SD negeri.
Dia
menuturkan, dalam praktiknya ada anak-anak TK yang dengan sendirinya
tertarik pada urusan calistung. Pada kasus ini, Lydia mengatakan bisa
dilayani dengan penerapan materi calistung dengan media bermain dan
bernyanyi.
“Intinya
jangan menggunakan operasi perhitungan. Calistung itu haram hukumnya
diberikan guru dalam kurikulum,” katanya. Setiap satuan pendidikan PAUD
juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan kembali kurikulumnya. (*)