Rabu, 01 Agustus 2018

Berlomba Mengenal Abjad dan Angka

PERCAYA atau tidak, ada pemahaman yang berlebihan dan cenderung salah kaprah pada sebagian orang tua mengenai masa emas (golden age) anak. Periode tumbuh kembang potensial di rentang usia 0 – 5 tahun itu dimaknai sebagai masa-masa di mana otak anak harus 'dijejali' dengan beragam kecerdasan. Sebagian orang tua tadi beranggapan, masa emas itu merupakan peluang dan kesempatan bagi si anak untuk belajar agar menjadi pintar dan cerdas, yakni dengan mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung (calistung). 

Jadi, jangan heran jika sekarang ini sebagian orang tua bangga jika anaknya sudah pintar calistung sejak dini. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang berlomba-lomba agar anak-anaknya sudah mampu mengenal huruf dan angka sejak usia 2 tahun dengan memasukkannya ke PAUD atau TK yang memiliki kurikulum khusus calistung.

Salahkah? Tidak sepenuhya begitu. Keinginan untuk memasukkan anaknya ke sekolah nonformal sedini mungkin menunjukkan tingginya partisipasi orang tua terhadap pendidikan si buah hati. Apalagi periode emas merupakan masa bagi balita untuk bereksplorasi.

Tapi, ada kalanya pemahaman sebagian orang tua tadi terlalu berlebihan. Masa emas anak menjadi periode bagi balita untuk “jor-joran” belajar atau diajari.
Karena itu, orang tua hendaknya paham perbedaan kata “learning” dan “studying”. Meskipun dalam bahasa Indonesia artinya sama yakni belajar, namun ada pengertian yang berbeda dalam bahasa Inggris. 

Studying berarti suatu aktivitas (belajar) untuk menguasai sesuatu yang belum tentu mendapatkan hasil permanen. Sementara learning mengandung sebuah makna penyelesaian atau penguasaan (completion) yang sifatnya lebih permanen. Untuk mendapatkan sebuah hasil yang permanen itulah orang tua harus mengetahui istilah “how to learn” (hampir sama dengan istilah “how to know”) dan “how to study”. 

Sayangnya, keinginan sebagian orang tua untuk melejitkan anak yang cerdas cenderung menggunakan konsep “how to study” ketimbang “how to learn”. Sebagian orang tua tadi cenderung “memaksa” agar anak bisa ini itu daripada mendukung anak yang kepingin bisa ini itu. Pengajaran kepada balita pun lebih banyak yang bersifat instruktif (perintah) daripada “how to know”. Sehingga, kemampuan yang dimiliki anak hanya bersifat temporer dan perlahan hilang seiring bertambahnya usia.

Mental Hectic
Bukan kemampuan yang hilang itu yang mesti dicemaskan orang tua. Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas (waktu itu) Sudjarwo, mengatakan, anak usia di bawah lima tahun (balita) rawan terkena “mental hectic” jika dipaksa untuk bisa calistung. Mental hectic didefinisikan sebagai “kekacauan mental”.

“Penyakit itu akan merasuki anak tersebut di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD). Oleh karena itu jangan bangga bagi Anda atau siapa saja yang memiliki anak usia dua atau tiga tahun sudah bisa membaca dan menulis,” ujar Sudjarwo, seperti yang dikutip dari laman viruscerdas.com.

Pengajaran PAUD perlu dikembalikan pada ‘qitah’-nya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong orang tua untuk menjadi konsumen cerdas, terutama dengan memilih PAUD yang tidak mengajarkan calistung.

Saat ini banyak orang tua yang terjebak saat memilih sekolah PAUD. Orang tua menganggap sekolah PAUD yang biayanya mahal, fasilitas mewah, dan mengajarkan calistung merupakan sekolah yang baik. “Padahal tidak begitu, apalagi orang tua memilih sekolah PAUD yang bisa mengajarkan calistung, itu keliru,”’jelas Sudjarwo.

Sekolah PAUD yang bagus justru sekolah yang memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, tanpa membebaninya dengan beban akademik, termasuk calistung.Dampak memberikan pelajaran calistung pada anak PAUD, menurut Sudjarwo, akan berbahaya bagi anak itu sendiri. “‘Bahaya untuk konsumen pendidikan, yaitu anak, terutama dari sisi mental,” cetusnya.

Memberikan pelajaran calistung pada anak, menurut Sudjarwo, dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. “Jadi tidak main-main itu, ada namanya ‘mental hectic’, anak bisa menjadi pemberontak,”’ tegas dia.
Kesalahan ini sering dilakukan oleh orang tua, yang seringkali bangga jika lulus TK anaknya sudah dapat calistung. Untuk itu, Sudjarwo mengatakan, pemerintah sedang gencar mensosialisasikan agar PAUD kembali pada fitrahnya. 

Stres
Masa kanak-kanak adalah masa bermain, bersenang-senang dan bersosialisasi. Namun anak-anak zaman sekarang mulai kehilangan hak istimewanya itu. Anak-anak.sudah disibukkan dengan tetek bengek seperti les, sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita.

Tak heran, anak-anak ini dapat mengalami stres. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat telah terjadi 2.386 kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik 98 persen dibanding tahun lalu.
“Negara gagal memberi jaminan perlindungan kepada anak-anak. Kalau kita lihat sistem kurikulum di PAUD, anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung baru bisa masuk SD. Padahal harusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan saja seperti bersosialisasi dan bergaul,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, seperti dikutip Kompas.

Menurut Arist, tuntutan-tuntutan tersebut menyebabkan anak-anak menjadi stres. “Orang tua banyak membebani dan menuntut anak-anaknya dengan berbagai macam kegiatan. Tapi orang tua ini juga tidak siap menjadi orang tua karena alasan sibuk,” kata Arist.
Anak-anak yang stres justru tidak akan berkembang sebab mereka rentan depresi dan terjerumus dalam perilaku berbahaya. Dia menyarankan, orang tua sebaiknya memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih aktivitasnya. Selain itu, orang tua harus sering-sering melakukan komunikasi dengan anak-anaknya secara kekeluargaan, bukan hanya menyuruh dan memarahi.

Calistung Resmi Dihapus
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud terus mematangkan kurikulum pembelajaran di jenjang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Di antara penekanannya adalah, penghapusan aturan materi pengajaran dan ujian baca, tulis, dan hitung (calistung).

Perkembangan pengembangan kurikulum PAUD ini disampaikan oleh Dirjen PAUDNI Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi. Seperti yang dilansir Kompas, dia mengatakan, penerapan ujian calistung bisa menghambat peningkatan angka partisipasi belajar anak-anak di satuan pendidikan di jenjang PAUD. Di antaranya yang paling mencolok di tingkat taman kanak-kanak (TK).

Lydia mengakui, selama ini banyak siswa TK yang sudah cemas karena harus menjalani tes atau ujian calistung ketika akan masuk SD. Selain itu, di dalam pendidikan di tingkat TK sendiri, juga sudah mulai dikuatkan materi calistung. “Dalam jenjang TK tidak tepat jika sudah difokuskan pada urusan calistung,” katanya.

Menurut Lydia, memang ada aturan yang melandasi penerapan ujian calistung bagi lulusan TK untuk menuju SD. Yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 17 Tahun 2010. Tapi, kata dia, aturan ini perlu sosialisasi yang matang dan luas. Lydia masih menemukan praktek-praktek ujian calistung untuk SD-SD swasta dan beberapa SD negeri.

Dia menuturkan, dalam praktiknya ada anak-anak TK yang dengan sendirinya tertarik pada urusan calistung. Pada kasus ini, Lydia mengatakan bisa dilayani dengan penerapan materi calistung dengan media bermain dan bernyanyi.
“Intinya jangan menggunakan operasi perhitungan. Calistung itu haram hukumnya diberikan guru dalam kurikulum,” katanya. Setiap satuan pendidikan PAUD juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan kembali kurikulumnya. (*)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia