Rabu, 01 Agustus 2018

Homeshooling sama dengan sekolah formal?

PARA orangtua yang tidak lagi mempercayakan pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah formal, lebih memilih homeschooling. Sistem pendidikan di rumah ini dianggap lebih bisa mengantarkan anak mengembangkan potensi mereka.

Pada penerapan sistem homeschooling (sekolah rumah), setiap anak dapat memperoleh pendidikan dengan potensi dan kecenderungan minat masing-masing. Karena itu, sekolah rumah menjadi model baru terselenggaranya proses belajar-mengajar. Dalam pendidikan alternatif ini, anak-anak tidak dibebani serangkaian aturan sekolah seperti memakai baju seragam, upacara bendera, atau berangkat sekolah pagi-pagi.

Mereka cukup mendapatkan pelajaran dari orangtua atau mendatangkan guru ke rumah. Model sekolah rumah kini banyak diminati kalangan keluarga kelas menengah. Namun, ada juga homeschooling yang diterapkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu yang diselenggarakan pihak tertentu. Ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan formal, menjadi salah satu alasan yang menyebabkan mereka tidak memasukkan anak-anak mereka ke sekolah formal.

Orangtua khawatir dalam segi pengawasan pihak sekolah yang dianggap kurang berjalan secara optimal, sehingga banyak peserta didik mudah terpengaruh dengan pergaulan bebas seperti tawuran pelajar, konsumsi narkoba, bahkan seks bebas. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Lydia Freyani Hawadi mengatakan, sejatinya sekolah rumah bisa menekankan anak pada pengembangan potensi dan bakat mereka masing-masing.

Model pendidikan ini sama seperti yang marak di Amerika Serikat (AS) selama ini. “Di Negeri Paman Sam, sebagai tutor dalam sekolah rumah ini adalah orangtuanya sendiri. Mereka biasanya mengasah bakat anaknya apakah ingin belajar masak, belajar piano, atau belajar bernyanyi. Yang terpenting adalah standar kurikulum tetap mengikuti pemerintah. Selanjutnya, untuk materi-materi lain, anak bisa membaca buku sendiri di rumah dan nantinya ikut ujian kesetaraan,” kata Lydia saat ditemui Seputar Indonesia (SINDO) Kamis 26 Juli 2012.

Pada dasarnya, lanjut Lydia, orangtua memiliki peran penting dalam penerapan pendidikan alternatif ini. Orangtua sebagai tutor belajar, harus pandai-pandai membuat kondisi belajar anak, seperti jam berapa belajar dimulai, materi apa saja yang dipelajari hari itu, dan bagaimana membuat evaluasinya. “Karena homeschooling ini terus berkembang, dan sebagian kalangan orangtua tidak menguasai semua materi pelajaran, sehingga dibentuklah semacam asosiasi sekolah rumah,” ungkap Lydia.

Pada sisi yang lain, sekolah rumah juga berfungsi mengakomodasi anak-anak yang “berkebutuhan khusus”, yaitu keberadaan anak-anak yang memiliki gangguan secara emosional, yang jika mereka masuk sekolah formal hanya akan menjadi olok-olokan teman-temannya. Selain itu, ada juga anak yang cerdas tetapi autis, bahkan bisa juga anak-anak yang memiliki tingkat kesibukan tinggi seperti para artis.

Karena mengikuti pendidikan formal sangat tidak mungkin, akhirnya sekolah rumahan menjadi pilihan yang lebih tepat. “Namun dalam implementasinya sejauh ini, keberadaan sekolah-sekolah rumah sudah tidak jauh beda dengan pendidikan formal. Saat ini sekolah rumah juga terdapat kelas-kelas, yang menuntut siswa supaya masuk secara bersamaan dan terkadang bayarnya juga lebih mahal,” ungkap Lydia.

Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Seto Mulyadi mengatakan, dalam pendidikan homeschooling, anak tidak dituntut menguasai semua pelajaran. Apabila anak memiliki bakat di bidang musik, berarti itulah yang harus dikembangkan. Pendidikan alternatif lebih menekankan pada pendekatan individual. Setiap anak didekati sesuai dengan potensi dan bakat mereka.

Dengan demikian, pendekatan ini akan lebih membangunkan potensi anak-anak. Ke depan, potensi yang mulai dikembangkan tersebut akan terus terasah dan mereka akan membuat konsep diri dengan potensi masing-masing. Pada sekolah rumah yang bersifat komunitas, setiap Jumat umumnya digunakan sebagai hari keterampilan. Untuk mengapresiasi ini, ada juga sekolah rumah yang mengadakan acara pentas seni pada waktu-waktu tertentu.

“Dengan demikian, anak-anak bisa lebih percaya diri, kreatif, berketerampilan sosial, serta potensi dan bakat masing-masing tidak tenggelam. Semua ini karena pola pembelajaran di sekolah rumah tidak menekan, melainkan menyenangkan," tutur pria yang lebih akrab dipanggil kak Seto ini. Sementara itu, pada praktiknya pembelajaran di sekolah rumah juga memuat materi kurikulum yang mengacu pada kurikulum pendidikan nasional.

Kurikulum tersebut mencakup lima materi, di antaranya ilmu pengetahuan dan teknologi, kewarganegaraan, keolahragaan, etika, dan estetika. Hanya, model pembelajarannya yang berbeda. Pada sekolah rumah, proses belajar-mengajar lebih dibuat santai dan melihat realitas secara langsung.
(hyk)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia