Selasa, 24 Juli 2018

Peniadaan Kelas Akselerasi Menuai Kritik

Dalam pelaksanaannya, Sistem Kredit Semester (SKS) di SMP dan SMA meniadakan kelas akselerasi. Hal itu menuai kritik, pasalnya murid cerdas istimewa tidak bisa mendapat hak pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan di kelas akselerasi.

Perdebatan tersebut terjadi antara Peneliti Utama Bidang Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Herry Widyastono dan Guru Besar Psikologi Pendidikan sAnak Berbakat Universitas Indonesia (UI) Lydia Freyani Hawadi dalam seminar psikologi pendidikan anak berbakat di UI, Depok, Sabtu (19/12/2015).
  
Menurut Herry, sistem SKS bisa mengurangi kecurangan yang dilakukan oknum-oknum sekolah nakal untuk memungut bayaran lebih ketika diadakan tes seleksi murid-murid berbakat yang akan dimasukkan ke kelas akselerasi.
“Selain itu, tidak semua daerah di Indonesia memiliki psikolog dan mampu menyelenggarakan tes seleksi murid-murid berbakat. Kalau begitu terus kondisinya, pelaksanaan kelas akselerasi tidak akan pernah berjalan,” kata Herry menjelaskan.

Meski tanpa kelas akselerasi, Herry menyatakan hak anak-anak cerdas istimewa untuk lulus cepat akan tetap terakomodasi. Selain itu, sistem ini juga dapat mengakomodasi murid-murid reguler untuk menyesuaikan porsi pendidikan berdasarkan kemampuannya.

“Jadi, yang cerdas istimewa tetap bisa lulus tiga tahun, seperti kalau dia ikut kelas akselerasi. Sementara murid reguler bisa memilih untuk lulus tiga atau empat tahun,” kata Herry menjelaskan.

Bukan Hanya Lulus Lebih Cepat

Sementara itu, Guru Besar Psikologi Pendidikan Anak Berbakat UI Lydia Freyani Hawadi menyatakan, “Apapun sistem pendidikannya, kelas akselerasi seharusnya tetap ada. Sebab, kebutuhan murid-murid cerdas istimewa berbeda dari murid-murid kelas reguler.”

Menurut Lydia, murid-murid cerdas istimewa bukan hanya berhak lulus lebih cepat karena mereka mampu, tetapi juga berhak mendapat materi pelajaran yang dalam dan kaya. Selain itu, sekolah juga wajib memberikan pendidikan non-akademik sesuai minat anak tersebut.

“Ini bukan berbicara soal eksklusifitas anak cerdas istimewa. Tetapi, ini karena anak cerdas istimewa sangat perfeksionis sehingga mudah frustasi dan stress. Selain itu, mereka cenderung memiliki nilai bagus di mata pelajaran yang disuka, tetapi rendah di mata pelajaran yang tidak disukai,” kata Lydia.

Idealnya, murid-murid seperti itu dimasukkan ke kelas akselerasi dan berhak diajar oleh guru yang bijak, berkemampuan akademik tinggi, serta pandai bergaul. Selain itu, sekolah juga perlu menyediakan buku-buku referensi dan lab untuk praktik.

“Sarana yang harus dipersiapkan memang banyak. Dibandingkan pendingin ruangan atau dispenser minum, kebutuhan pendidikan seperti buku, guru yang kompeten, lab, dan kegiatan non-akademik adalah hal yang lebih esensial bagi anak-anak cerdas istimewa,” kata Lydia.

Dia melanjutkan, kalau kelas akselerasi ditiadakan hanya karena kecurangan di lapangan, berarti pemerintah perlu mengoreksi pola pikir mereka.

“Seharusnya, pelaksanaan kelas akselerasi terus diawasi dan dievaluasi secara rutin mulai dari tes seleksi hingga kelulusan murid-murid akselerasinya. Kalau ada kecurangan, pemerintah perlu menindak tegas. Jadi, kelas akselerasi tetap berjalan dengan ideal,” kata Lydia.

Pasalnya, anak-anak cerdas istimewa layaknya berlian untuk masa depan istimewa. “Kalau potensi anak-anak berbakat seperti itu sudah diolah dengan baik di dalam negeri, kita akan siap ketika mencetak generasi emas nanti,” kata Lydia.

Sumber: https://whatsonpamulang.com/2015/12/22/peniadaan-kelas-akselerasi-menuai-kritik/

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia