Senin, 09 April 2018

Pentingnya Memahami Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini dan Strategi Parenting untuk Pencegahan Perilaku Korupsi

PENTINGNYA MEMAHAMI KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DAN STRATEGI PARENTING UNTUK PENCEGAHAN PERILAKU KORUPSI 
Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.M., Psikolog 
Guru Besar Universitas Indonesia 


Disampaikan dalam acara Seminar Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Menciptakan Masyarakat yang Adil, Makmur dan Sejahtera yang diselenggarakan oleh APTISI Komisariat VII Jawa Barat, di Garut, pada hari Selasa, 3 April 2018. Pendahuluan Berdasarkan penjelasan teori perkembangan moral yang dikemukakan Piaget, anak mulai memahami konsep “benar” dan “salah” ketika memasuki usia 4 tahun awal kehidupannya (Santrock, 2014). Pada usia ini, anak sudah mampu menjelaskan tentang bohong, mencuri, hukuman dan keadilan. Dengan kata lain, pada usia prasekolah ini anak sudah bisa dikenalkan nilai-nilai moral oleh figur otoritas anak seperti orangtua, ataupun orang dewasa di sekitarnya yang berada dalam sistem mikro lingkungan kehidupan anak.. Bagaimana caranya? Sesuai dengan karakteristik perkembangan intelektual anak usia dini yang masih bersifat konkrit maka orangtua dapat menanamkan nilai moral melalui perilaku sederhana yang mudah dilakukan anak dalam kehidupan sehari-harinya.

Dengan contoh perilaku yang sederhana dan mudah ditemui dalam keseharian, anak lebih mudah memahami dan merasakan dampak dari perilaku yang dibicarakan. Adanya pengetahuan tentang karakteristik perkembangan anak usia pra sekolah disertai pemahaman tentang strategi parenting yang akan dilakukan akan membawa keberhasilan orangtua dan sistem mikro anak dalam pencegahan perilaku korupsi. Perekembangan Kognitif dan Bahasa Secara kognitif, anak usia prasekolah berada pada tahap preoperasional. Pada tahapan ini anak sudah memiliki kemampuan symbolic function, dimana anak sudah mampu menggunakan simbol-simbol representasi mental yang berupa bahasa, gambar, ataupun permainan (Martorell, Papalia & Feldman, 2014; Morrison, 2009).

Anak usia prasekolah juga mememiliki beberapa tugas kognitif yang perlu dikembangkan dan dipenuhi, salah satunya adalah kemampuan mengelompokkan/klasifikasi dalam memilah perbedaan dan persamaan suatu objek (Essa, 2011). Kemampuan klasifikasi ini menuntut anak untuk mampu mengenali kesamaan dan perbedaan karakteristik satu hal dengan yang lainnya, dimana kemampuan mengidentifikasi persamaan dan perbedaan ini juga merupakan salah satu karakteristik khas anak usia prasekolah (Martorell, Papalia & Feldman, 2014; Morrison, 2009). Pada usia prasekolah, secara kognitif perilaku anak juga dapat mulai dibentuk melalui konsekuensi yang akan diperoleh anak. Perilaku tertentu akan terus menerus dilakukan jika individu memperoleh konsekuensi menyenangkan; dan perilaku yang tidak akan diulangi adalah perilaku yang memperoleh konsekuensi yang tidak disenangi (Essa, 2011). Berdasarkan karakteristik perkembangan kognitif dan bahasa anak usia prasekolah tersebut, penanaman nilai moral sejak dini dalam upaya pencegahan perlaku korupsi dapat dilakukan dalam komunikasi lisan antara orangtua dan anak. Dalam penanamannya, nilai moral ini sendiri dapat disederhanakan dalam penyampaian perilaku yang “boleh” dan “tidak boleh” dilakukan anak. Contohnya, “Mengambil barang teman tanpa izin itu tidak boleh. Itu tandanya kita mencuri barang orang lain”, atau “Kita harus meminta izin sebelum meminjam mainan teman”. Demikian pula orangtua dapat menggunakan media gambar dan permainan, dimana anak diminta untuk menunjukkan perilaku yang “baik dan benar”, serta buruk dan salah” . Perkembangan Sosial Menurut Teori Perkembangan Sosial Erikson, anak usia prasekolah berada pada tahap perkembangan initiative vs guilt. Dengan karakteristik ini, Erikson menjelaskan bahwa anak prasekolah senang mengembangkan sikap inisiatitf (initiative) dalam melakukan berbagai kegiatan di sekitarnya (Morrison, 2009). Namun, anak juga dapat mengembangkan rasa bersalah atas tindakan yang mereka lakukan jika tidak diberikan kesempatan atau dukungan dari orang dewasa di sekitarnya (guilt). Sikap inisiatif ini merupakan gambaran dari anak prasekolah yang merasa bisa melakukan segala hal dan selalu ingin melakukan sesuatu terus menerus dan secara bersamaan mereka juga belajar bahwa tidak semua tindakan yang kita lakukan diterima secara sosial (Martorell, Papalia & Feldman, 2014). Konflik initiative vs guilt ini perlu untuk diselesaikan di tahap perkembangan ini karena kegagalan menyelesaikan konflik ini akan mengkibatkan anak tumbuh menjadi individu yang terus menerus berusaha mencapai apa yang diinginkan, merasa diri yang paling benar dan tidak toleran (Martorell, Papalia & Feldman, 2014). Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memberikan kesempatan tanggungjawab dan kesempatan bagi anak untuk melakukan beragam hal secara mandiri dengan bimbingan dan batasan konsisten yang diberikan orangtua (Martorell, Papalia & Feldman, 2014). Misalnya,orangtua meminta anak untuk membawa piring kotor ke bak cuci piring, membereskan mainannya ketempatnya, menggantung handuk setelah mandi dan lain sebagainya. Hal ini dapat membantu anak mencapai keseimbangan yang sehat dan terhindar dari rasa bersalah dan kecenderungan untuk bersaing secara berlebihan di lingkungan sosial.Banyaknya larangan yang diberikan orangtua ketika anak ingin melakukan sesuatu dapat menimbulkan rasa inferioritas dan rasa bersalah yang lebih berkembang dalam diri anak. Berdasarkan perkembangan sosial anak prasekolah ini, orangtua dapat mencegah perilaku korupsi sejak usia dini pada anak dengan memberi kesempatan anak untuk memulai melakukan suatu kegiatan dan memberikan tanggung jawab kepada anak. Perkembangan Emosional Dalam perkembangan emosional, masa prasekolah merupakan masa dimana anak mulai belajar self-regulation, artinya anak sudah mulai mampu mengontrol emosi, perilaku, menahan nafsu dan membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain (Morrison, 2009). Secara emosional, Santrock (2014) mengemukakan bahwa anak-anak yang memasuki usia prasekolah sudah dapat mengenali tanda – tanda emosi yang mereka dan orang lain rasakan, di antaranya rasa malu, bangga dan rasa bersalah. Trentacosta dan Fine (2009, dalam Santrock, 2014) mengemukakan bahwa anak usia 3 hingga 5 tahun dengan perilaku menunjukkan korelasi positif dengan kompetensi sosial (seperti empati) dan korelasi negatif dengan masalah internal (seperti kecemasan yang berlebihan) serta masalah eksternal (seperti perilaku agresif) lainnya. Selain itu, dengan pemahaman mengenai emosi yang dirasakan anak dapat lebih banyak mengembangkan perilaku prososial dan toleransi dalam kehidupannya (Ensor, Spencer & Hughes, 2010, dalam Santrock, 2014).

Dari penjelasan mengenai perkembangan emosional tersebut, diketahui bahwa anak usia prasekolah sudah mampu dan memahami emosi yang dirasakan diri sendiri maupun orang lain. Tahap perkembangan ini dapat dimanfaatkan orangtua dalam menanamkan nilai moral pada anak. Orangtua dapat menyentuh aspek emosi anak dengan menanyakan apa yang dirasakannya jika diperlakukan tindakan “x” oleh orang lain. Misalnya, orangtua dapat menanyakan perasaan anak ketika ada orang lain/teman yang merebut mainannya. Perasaan sedih atau negatif yang diungkapkan anak dapat dibantu orangtua dengan menjelaskan refleksi perasaan tersebut pada orang lain yang menerima perlakuan yang sama. Dengan mengenali perasaan yang tidak menyenangkan yang akan diterima anak tersebut, anak dapat memahami bahwa perilaku yang menimbulkan perasaan tidak menyenang tersebut tidak boleh dilakukan karena memberikan konsekuensi yang buruk. Hal ini pun juga berlaku kondisi sebaliknya. Refleksi perasaan menyenangkan yang sama dengan yang dirasakan anak kepada orang lain tersebut dapat membantu anak mengelompokkan bahwa perilaku yang menghasilkan perasaan menyenangkan tersebut merupakan perilaku yang boleh untuk dilakukan kepada orang lain. Lickona (2004) mengemukakan sepuluh nilai kebajikan yang penting dalam pembentukan karakter seseorang. Tanpa adanya karakter dalam diri seseorang, individu tersebut tidak dapat dikatakan sukses dalam kehidupannya.

Sepuluh nilai kebajikan tersebut adalah:
1. Kebijaksanaan (wisdom)
2. Keadilan (justice)
3. Ketabahan (fortitude)
4. Pengendalian diri (self-control)
5. Cinta (love)
6. Sikap positif (positive attitude)
7. Kerja keras (hard work)
8. Integritas (integrity)
 9. Rasa bersyukur (gratitude)
10. Kerendahan hati (humility)

Perkembangan Moral Perilaku moral merefleksikan perilaku ideal, nilai-nilai dan standar dari suatu masyarakat. Nilai-nilai ini diinternalisasikan individu secara sukarela sebagai suara hati nurani. Bagaimana penanaman nilai-nilai ini berlangsung ada beberapa penjelasan. Teori Belajar menyebutkan bahwa nilai-nilai moral ini berlangsung secara bertahap melalui pemberian hadiah dan hukuman dari orang tua atas perilaku yang bisa diterima. Freud percaya bahwa anak telah mampu mengembangkan kontrol impuls-impuls pusat dirinya melalu identifikasi orangtua dan internalisasi nilai-nilai dan standar pada usia 4 atau 5 tahun. Sama halnya dengan Freud, Piaget juga melihat bahwa awalnya anak bersifat egosentris. Tahapan awal yang disebut heteronomous, dimana anak melihat dalam pandangan kacamata figur otoritas dan memahami mereka sebagai mereka. Melalui permainan dengan teman sebaya anak mengembangkan sikap fairness, justice dan hak-hak individu. Dan melalui debat dan konflik negosiasi, anak berkembang menjadi mandiri dalam berpikir tentang aturan dan tanggung jawab. Baru di akhir masa kanak-kanak, anak memasuki tahap autonomus. Kemampuan berpikir memungkinkan anak berpikir abstrak dan objektif tentang perilaku.

Psikolog Lawrence Kohlberg (1927 – 1987) mengembangkan tahapan moral Piaget dalam tiga tahapan perkembangan moral, yaitu preconventional reasoning, conventional reasoning dan postconventional reasoning (Morrison, 2009). Pada anak usia dini dengan rentang usia 0 hingga 6 tahun, tahapan perkembangan moral anak berada pada tahap preconventional reasoning. Menurut Kohlberg, tahapan preconventional reasoning ini merupakan tahapan pemikiran moral dimana anak memahami moral sebagai hal baik dan buruk berdasarkan hadiah (rewards) dan hukuman (punsihment) yang diberikan figur otoritas anak atau orang dewasa di sekitar anak (Morrison, 2009). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pemahaman nilai-nilai moral, anak usia 0 hingga 6 tahun sudah bisa memahaminya dengan anak menghubungkan suatu tindakan yang dilakukan dengan konsekuensi yang akan diterima/dihadapi. Selanjutnya, Kohlberg (dalam Morrison, 2009) mengemukakan dua subtahap dalam tahap preconventional reasoning yang dilalui anak, yaitu:

1. Punishment and obedience orientation Ketika memasuki subtahap ini, anak sering memiliki pemikiran moral yang berkaitan dengan hukuman (Santrock, 2014). Morrison (2009) menjelaskan aat memasuki subtahap ini, anak memberikan respons perilaku berdasarkan konsekuensi fisik yang diterima (Morrison, 2009). Kohlberg juga menjelaskan bahwa anak akan menilai apakah suatu tindakan memberikan kesenangan pada diri mereka ketika mereka memasuki subtahap punishment and obedience orientation ini (Morrison, 2009). Peran orang tua pada tahapan ini adalah dengan memberikan reward dan punishment yang efektif, misalnya memuji anak ketika melakukan hal yang diharapkan seperti mau berbagi, sabar mengantri, meminta izin dan mengembalikan saat meminjam barang miik orang lain, dan sebagainya. Tidak hanya memberi hadiah secara langsung, orangtua juga dapat menggambarkan perasaan senang yang diterima anak ketika memperoleh perilaku baik dari orang lain sebagai bentuk hadiah yang diterima anak jika melakukan tindakan yang baik. Penggambaran atau penjelasan mengenai konsekuensi menyenangkan yang diterima tersebut dapat menguatkan pemahaman anak bahwa perilaku baik merupakan sesuatu yang boleh terus menerus dilakukan dalam keseharian.

Orangtua juga dapat memberi hukuman pada perilaku yang kurang sesuai seperti meminta anak membereskan sendiri makanan yang ditumpahkan, mengurangi waktu bermain anak karena dia telah merebut mainan milik anak lain. Atau orangtua dapat menjelaskan mengenai kesedihan atau perasaan negatif yang diperoleh jika diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain. Adanya pengurangan hal yang disenangi anak ini dapat memberikan efek penguatan bahwa perilaku yang tidak menyenangkan bukanlah sesuatu yang boleh dilakukan kepada orang lain. Dengan catatan, dalam pemberian hukuman ini sebaiknya orangtua menerapkan negative punishment yaitu penarikan/pengambilan hal yang disenangi dari anak sebagai bentuk penguatan agar tidak ada pengulangan kembali dari perilaku yang tidak diinginkan. Lebih disarankan bagi orangtua untuk melakukan hal ini daripada memberikan hukuman dalam bentuk tindakan tambahan kepada anak, seperti memukul, memaki atau menampar.

2. Instrumental-relativist orientation Subtahap ini juga disebut sebagai dalam individualism, instrumental purpose and exchange dalam Santrock (2014). Memasuki tahapan ini, anak mulai melakukan suatu tindakan dengan tujuan untuk memenuhi kepuasan diri mereka sendiri (Morrison, 2009). Pada tahapan ini, anak ingin memenuhi apa yang mereka inginkan tetapi juga mengizinkan orang lain untuk melakukan hal yang sama kepada mereka (Santrock, 2014). Pada masa ini, anak meyakini tindakan yang benar adalah tindakan yang sama-sama dilakukan satu sama lain, contohnya keyakinan yang meyakini bahwa orang lain akan bersikap baik kepada kita jika kita juga bersikap baik kepada mereka (Santrock, 2014). Dalam subtahapan ini, orangtua dapat berperan dengan menjelaskan akibat dari setiap perilaku yang dilakukan. Penjelasan orangtua mengenai dampak tindakan-tindakan yang dilakukan ini bertujuan untuk menumbuhkan pemahaman mengenai konsekuensi dari perilaku tersebut. Selain itu, penjelasan yang diberikan ini juga merupakan awal mula perkembangan empati bagi anak, dimana hal ini turut mengembangkan aspek perkembangan emosional dan sosial anak. Contohnya, orangtua dapat menjelaskan pentingnya berbagi, karena anak senang mendapat sesuatu dari orang lain maka orang lain juga akan sama senangnya jika diperlakukan dengan cara yang sama.

Strategi Parenting Pencegahan Perilaku Korupsi Pada Anak Sejak Usia Dini Penerapan disiplin merupakan salah satu teknik yang dapat dilaksanakan orangtua dalam pembentukan anak yang bermoral selama pengasuhan. Hoffman (1988, dalam Santrock, 2014) mengemukakan tiga teknik disiplin yang biasa digunakan orangtu dalam pengasuhan, yaitu love withdrawal, power assertion dan induction. Dari ketiga teknik disiplin tersebut, induction merupakan teknik disiplin yang paling baik diterapkan dalam pengasuhan. Induction merupakan teknik disiplin dengan penerapan orangtua yang memberikan penalaran dan penjelasan bagaimana perilaku yang dilakukan anak juga mempengaruhi tindakan orang lain (Santrock, 2014). Penerapan teknik disiplin induction memungkinkan orangtua untuk menstimulasi kognitif anak dengan memberikan alasan-alasan yang ditawarkan orangtua (Santrock, 2014). Dalam teknik ini dapat disimpulkan bahwa terdapat interaksi dua arah antar orangtua dan anak dalam penyampaian nilai-nilai moral yang diberikan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua dalam mengembangkan moral pada anak adalah (Eisenberg & Valiente, 2002, dalam Santrock, 2014)
a. Menjadi orangtua yang hangat dan suportif bagi anak, bukan orangtua yang menghukum anak
b. Membangun hubungan orangtua dan anak yang positif dalam keluarga (secure attachment)
c. Menggunakan teknik disiplin induction
d. Memberikan kesempatan pada anak untuk mempelajari perspektif dan perasaan orang lain
e. Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan proses berpikir dalam menentukan pilihan-pilihan moral
f. Mencontohkan perilaku dan pemikiran moral, dan memberi kesempatan pada anak untuk melakukan hal yang sama
g. Memberikan penjelasan kepada anak mengenai perilaku yang diharapkan dan penjelasan mengapa perilaku tersebut perlu dilakukan (proactive strategies)
h. Menumbuhkan moralitas internal daripada moralitas eksternal
i. Menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap orang lain Kesimpulan Pencegahan perilaku korupsi tersebut dapat diberikan kepada anak sejak usia dini.

Penanaman nilai-nilai moral kepada anak usia dini dapat dimulai ketika anak sudah menginjak usia 4 tahun atau disebut juga usia prasekolah. Penanaman nilai-nilai moral dapat diberikan dengan mengenalkan kelompok perilaku sederhana dari kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang “boleh” dan tidak boleh“ dilakukan. Penjelasan mengenai kelompok perilaku tersebut dapat dikaitkan dengan perasaan/emosi yang diterima anak ataupun konsekuensi lainnya yang dapat diterima anak. Konsekuensi yang diterima anak ini dapat menjadi bentuk penguatan atas perilaku yang “boleh” dilakukaan atau pelemahan terhadap kemunculan perilaku yang “tidak boleh” dilakukan. Selain itu, penjelasan mengenai konsekuensi yang diterima dari perilaku tertentu tersebut juga membantu anak memahami bahwa mereka akan diperlakukan sama oleh orang lain dengan apa yang mereka lakukan kepada orang lain tersebut. Penjelasan-penjelasan yang diberikan orangtua kepada anak ini merupakan metode penanaman moral yang paling baik dikarenakan metode ini melibatkan interaksi dua arah antara orangtua dan anak selama orangtua menjelaskan alasan perilaku dan konsekuensi yang disampaikan.

Daftar Pustaka
Brooks, J. (2011). The process of parenting. New York : McGraw Hill. Essa, E.L. (2011). Introduction to early childhood education (6th ed.). Belmont : Wadsworth. Martorell, G., Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014).
A Child's World: Infancy through Adolescence. New York: McGraw-Hill. Morrison, G. S. (2009). Early Childhood Education Today Eleventh Edition.
New Jersey: Pearson. Santrock, J. W. (2014). Child Development Thirteenth Edition. New York: McGraw-Hill. Priyowidodo, G. (2006). Pendidikan antikorupsi berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi: Solusi cegah tangkal korupsi usia dini, Jurnal Huanitas, 8 (2), p. 51 – 66.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia