Senin, 09 April 2018

Penilaian Holistik Sikap Sosial dan Spritual dengan Kompetensi Pengetahuan dan Keterampilan di Pendidikan Dasar dan Menengah

PENILAIAN HOLISTIK SIKAP SOSIAL DAN SPIRITUAL DENGAN KOMPETENSI PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN DI PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH 
Lydia Freyani Hawadi 
Guru Besar Universitas Indonesia 

Disampaikan dalam Seminar Penilaian Sikap Sosial dan Sikap Spiritual di Pendidikan Dasar dan Menengah, diselenggarakan oleh Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, pada hari Rabu, tanggal 28 Oktober 2015. 

PENDAHULUAN
Penilaian sikap sosial dan spiritual di Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan oleh guru dalam Kurikulum 2013, yaitu untuk melihat Kompetensi Inti-1 (KI-1) sikap spiritual dan Kompetensi Inti-2 (KI-2) sikap sosial. Penilaian sikap dilakukan guru secara holistik dengan penilaian terhadap kompetensi Pengetahuan dan kompetensi Keterampilan.

Penilaian Sikap, Pengetahuan,dan Keterampilan diambil dari konsep Taksonomi Bloom (1956) cognitive (knowledge), psychomotor (skill) dan affective (attitude). Selama ini dalam kurikulum yang berlaku di Indonesia,penilaian pembelajaran hanya dilihat dari sisi knowledge saja. Baru dalam Kurikulum 2013 ketiga domain pembelajaran ini dilihat menjadi satu kesatuan Dengan demikian setiap guru pengampu mata pelajaran harus mampu menjabarkan secara operasional berupa indikator dari sikap yang harus dikembangkan peserta didik sehingga ia bisa disebut kompeten dalam mata pelajaran tersebut. Secara jelas hal ini tertuang dalam Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Bab II huruf C angka 2 tentang Teknik dan Instrumen Penilaian, menyebutkan ada tiga aspek penilaian kompetensi yaitu, aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan. K13 lahir dari sejumlah keprihatinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas berbagai kondisi baik faktor internal dan eksternal nasional Indonesia. Dari sisi internal, Indonesia dihadapi oleh jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar, diprediksi dalam periode tahun 2020-2035 berjumlah 70% dari populasi. Sementara kualitas SDM Indonesia masih sangat rendah.
Rata-rata lamanya pendidikan orang Indonesia masih setara SMP. Kemudian dari faktor eksternal, arus globalisasi dengan berbagai masalahnya, dan satu hal yang jelas terlihat adalah masih jauh ketinggalannya capaian anak-anak Indonesia dalam studi internasional TIMSS (Trends in International Mathematical and Science Study) dan PISA (Program for International Student Assesment). Hal ini ditenggarai karena banyak materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia. Dan terakhir keberadaan K13 diharapkan sebagai penyempurnaan pola pikir. Adanya beberapa perubahan yang diharapkan terjadi seperti pola pembelajaran berpusat pada peserta didik, pembelajaran interaktif, pembelajaran jejaring, pembelajaran siswa aktif, pembelajaran berbasis kelompok, pembelajaran berbasis multimedia, pembelajaran berbasis potensi khusus peserta didik, pembelajaran berbasis multi disiplin dan pembelajaran kritis. Bersandar pada dua teori, yaitu pertama, teori pendidikan berdasarkan standar (standard - based education) dan kedua, teori kurikulum berbasis kompetensi (competency - based curriculum) K13 menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warga negara dan memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan dan bertindak. Sikap spiritual terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial terkait dengan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sikap spiritual mengandung makna hubungan antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan sikap sosial sebagai perwujudan hubungan antara individu dengan sesama manusia dalam upaya harmonisasi kehidupan. Penilaian sikap spiritual dan sosial dalam mata pelajaran dalam bentuk indikator diserahkan sepenuhnya pada guru. Guru diberi kebebasan untuk membuat indikator, ibarat dua mobil yang menuju Bogor dapat menggunakan arah jalan yang berbeda dengan satu tujuan yang sama.
Demikian pula di dalam K13 bisa jadi guru mata pelajaran atau bidang studi yang sama memiliki indikator yang berbeda. Apakah penilaian yang dilakukan seperti ini valid dan reliable? Apakah dengan indikator yang berbeda akan menghasilkan tujuan pembentukan sikap yang sama? Saya serahkan pada pakar Psikometri. MANUSIA MAHLUK SOSIAL : PENDAPAT PARA PAKAR Manusia adalah binatang politik (zoon politicon), adalah ungkapan Aristoteles (384 SM-322 SM), seorang filsuf Yunani untuk menunjukkan bahwa manusia bukan hewan, walau sama-sama memiliki naluri berkelompok namun berbeda. Adalah kata politikon merujuk makna yang dalam bahwa manusia itu hidup berkelompok, lebih tepatnya bermasyarakat, dalam satu tatanan hukum dan adat istiadat. Jadi kebermaknaan manusia jika ia hidup berada dalam konteks sosial. Dalam pandangan Socrates, manusia mengembangkan potensi dirinya dan merealisasikannya di dalam masyarakat, inilah hidup sejatinya manusia, hidup yang baik (good life). Bukan sekedar hidup tapi hidup yang mengandung kebajikan-kebajikan (virtues). Bagi Aristoteles kebajikan praktikal terlihat dalam kualitas dari mental dalam menghadapi saat-saat sulit, bahaya, sakit, dan lain sebagainya tanpa rasa takut (courage) dan kualitas untuk menjadi baik, keinginan menolong orang (generosity), sebagai makhluk individual sosial keseimbangan terjadi jika manusia memiliki relasi dengan manusia. Perilaku hidup berkelompok manusia dengan binatang sesuatu yang tidak sama. Jika hewan berkelompok merupakan hal naluriah, alami. bawaan lahir dan bersifat statis. Sejak dahulu sampai dengan sekarang jika kita amati misalnya semut, perilaku sama tidak berubah. Sedangkan manusia, perilaku hidup berkelompok tepatnya perilaku hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang dinamis, hasil dari proses belajar. Hal ini terkait karena manusia juga makhluk yang memiliki rasio, nalar, akal, yang membedakan manusia dengan hewan. Bagi Carl Rogers (1902-1987), manusia hidup bukan sekedar bertahan hidup, namun memiliki tujuan untuk memperoleh apa yang terbaik bagi keberadaannya Hidup bersosial itu membuat manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Adam Smith (1723-1790) seorang filsuf berlatar belakang ekonomi klasik, menyebutnya dengan istilah homo homini socius. Jadi manusia selalu membutuhkan manusia lainnya. Kebutuhan manusia untuk bersama manusia lainnya terkait diungkapkan oleh Abraham Maslow (1908-1970) dalam teorinya yang dikenal dengan nama Teori Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of needs). Bagi Maslow yang dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik, setiap manusia berusaha untuk berfungsi penuh sebagai individu dengan merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Dan adalah Erik Homburger Erikson (1902-1994) seorang psikolog perkembangan yang dikenal dengan Teori Tahapan Perkembangan Psikososial (Stages of psychosocial development), menggaris bawahi bahwa manusia harus menemukan identitas dirinya dalam potensi-potensi yang ada dalam masyarakat dengan perkembangan yang selaras dengan masyarakat. Urie Bronfenbrenner (1917-2005) dengan Teori Sistem Ekologi (Ecological systems theory) menjelaskan proses perkembangan individu dibentuk oleh interaksinya dengan lingkungan, dan setiap tingkatan lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda pada perkembangan individu. Bagaimana suatu perilaku itu terbentuk, Albert Bandura ( 1925- sekarang) meyakini bahwa kepribadian merupakan hasil dari interaksi lingkungan, perilaku dan proses psikologik seseorang. Hal yang sangat mempengaruhi perilaku manusia adalah pembelajaran observasional (modeling). Namun pembentukan perilaku bukan hanya melalui pengamatan saja, tetapi bisa dengan mudah melalui kondisioning,seperti yang disampaikan oleh Ivan Pavlov (1849-1936 ). Juga bisa melalui instrumental, pemberian hadiah untuk respons yang tepat, seperti kata B.F. Skinner (1904-1990). PROSES PEMBENTUKAN SIKAP : TEORI BELAJAR Keluarga adalah institusi pendidikan pertama dan utama bagi anak. Melalui keluargalah pertama kalinya anak memperoleh pengetahuan dan pemahaman hal-hal yang perlu ia ketahui sebagai anggota masyarakat. Termasuk disini bagaimana sikap seorang anak terbentuk adalah merupakan hasil belajar dari keluarganya. Berikut dibawah ini disampaikan proses pembentukan sikap dari sudut pandang teori belajar. . Pertama. Kondisioning Klasik : Belajar berdasarkan asosiasi.. Misalnya, seorang anak melihat ibunya bersikap kurang menyenangkan setiap kali bertemu dengan etnis tertentu. Awalnya, seorang anak bersikap netral terhadap kelompok etnis tertentuidan melihat karakteristik dari kelompok etnis (aksen bicara, cara berpakaian dan warna kulit, dls) tersebut. Anak belum belajar untuk mengkatagorisasikan karakteristik yang dilihatnya sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu. Setelah beberapa cues khusus ini muncul berpasangan dengan reaksi negatif emosional ibunya, terjadilah apa yang disebut kondisioning klasik, dan si anakpun akan bereaksi negatif terhadap kelompok etnis tersebut .Reaksi yang ditampilkan anak dapat terjadi tanpa anak harus mempunyai kesadaran ada perubahan raut wajah ibunya yang membentuk sikap ibu terhadap kelompok etnis tertentu. Tidak hanya kondisioning klasik berkontribusi membentuk sikap kita, sikap bisa terbentuk tanpa kita menyadari bahwa stimuli tersebut merupakan kondisioning. Sebagai misal, ada satu eksperimen dimana sejumlah siswa diperlihatkan foto seorang asing berjalan ke toko kelontong atau berjalan ke apartemennya. Dalam waktu yang singkat satu kelompok siswa diperlihatkan foto yang memunculkan perasaan positif seperti pasangan penganten,orang sedang bermain kartu dan tertawa. Kelompok siswa lainnya diperlihatkan foto yang memunculkan perasaan negatif yaitu foto orang yang di operasi jantung, manusia serigala. Para kelompok siswa eskperimen ini tidak menyadari bahwa mereka telah diekspose dengan foto kedua, yang mempengaruhi sikap mereka terhadap orang asing. Ekspose foto kedua yang bersifat positif mempengaruhi sikap more favourable terhadap orang asing dibandingkan dengan kelompok eksperimen yang diperlihatkan foto bersifat negatif. Temuan ini menyatakan bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh subliminal conditioning yaitu kondisioning klasik yang terjadi karena tidak adanya kesiagaan kesadaran saat stimuli terlibat. Kedua. Kondisioning Interumental : Hadiah untuk pendapat yang benar. Dicontohkan saat kampanye Pilpres AS seorang anak berusia 7 tahun telah memiliki pendirian, bahwa ia adalah pemilih Republikan. Sebenarnya anak-anak pada usia ini memiliki pemahaman yang sangat sedikit tentang pilihan dia yang berbeda dengan pilihan temannya, Tetapi anak-anak ini dengan PDnya mengklaim bahwa Republikan lebih baik dari Demokrat. Mengapa? Karena anak-anak ini telah diberikan pujian ataupun diberi hadiah dalam berbagai ragam oleh orang tuanya saat menyatakan hal tersebut. Sebagai akibat, anak-anak melihat pendapat manakah yang dianggap correct oleh orang-orang yang dia identifikasi. Suatu perilaku yang diikuti oleh positive outcomes diperkuat dan cenderung diulangi.Sebaliknya jika suatu perilaku diikuti oleh negative outcomes, melemah dan tidak akan diulang kembali. Inilah yang disebut belajar instrumental. Dengan memberikan hadiah pada anak-anak berupa senyuman, pujian, pelukan berarti dukungan “right” untuk pernyataan anak, maka orangtua dan lingkungan memiliki peran aktif dalam pembentukan sikap anak. Ketiga. Belajar Observasi : Belajar melalui contoh. Perilaku baru yang muncul dari seorang anak merupakan hasil pengamatan anak dari orang lain. Saat formasi sikap terbentuk, belajar melalui contoh berperan besar. Ingat contoh orangtua yang mengatakan pada anak jangan merokok, kurang baik. Sebenarnya pesan yang sampai adalah apa yang dilakukan orangtua, bukan pada apa yang dikatakan. Baik anak-anak maupun orang dewasa, sikap mereka banyak dipengaruhi apa yang mereka lihat baik dari buku, majalah, film, TV, dan lain sebagainya. Merujuk pada ketiga hal diatas, pembentukan sikap telah berjalan sejak anak lahir dan sebelum masuk sekolah. Pada saat anak mulai bersekolah, sikap-sikap yang terbentuk pada anak akan diperkuat atau diperlemah di sekolah. Perilaku baik akan diperkuat, dan perilaku tidak baik akan dikikis. K 13 memberikan obligasi dan otoritas pada pihak sekolah, tepatnya guru untuk membentuk sikap sosial dan spiritual pada peserta didik K 13 : MANUSIA SEUTUHNYA Dengan tiga aspek penilaian yang ada, telah mencerminkan bahwa dalam K13 telah mewakili otak kiri dan otak kanan. Juga menggambarkan manusia seutuhnya dengan tiga pengukuran Q yaitu Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). IQ mengukur kemampuan intelektual peserta didik yang meliputi kemampuan penalaran verbal, penalaran non verbal, kemampuan logika, kemampuan abstraksi, wawasan. Sumbangan terhadap kesuksesan individu hanya 20% selebihnya bertumpu pada yang disebut oleh Daniel Goleman (1995) kecerdasan emosional. Kerangka berpikir Goleman untuk Emotional Intelligence adalah adanya pengenalan (recognition) Self dan Social, berikut pengaturannya (regulation). Menurut Goleman, individu haru memiliki kesadaran diri, yang disebutnya dengan self-awareness. Adanya self –awareness dalam bentuk kesadaran diri terhadap emosi-emosinya serta penilaan diri yang akurat, akan membantu pengaturan diri individu dalam bentuk pengelolaan diri (self management). Hasil dari pengeloaan diri terlihat dalam bentuk adanya upaya untuk dapat dipercaya (trustworthiness), keberhati-hatian (conscientiousness) , kemampuan menyesuaikan diri (adaptability), capaian (achievement), dorongan untuk sukses (drive to succed) dan inisiatif (initiative). Kesadaran diri juga sebagai pintu masuk individu untuk pengenalan kesadaran sosialnya dalam bentuk empati dan layanan sosial. Melalui self management dan social awareness, individu kemudian melakukan pengaturan pengelolaan hubungan (relationship management) dalam benrtuk pengaruh, kepemimpinan yang inspiratif,membangun orang lain dan kelompok. Skala Sosial dalam K13 memuat enam kemampuan yaitu jujur, disiplin, tanggung jawab,toleransi, gotong royong, santun dan percaya diri, Keenam ini bisa dimasukkan dalam aspek-aspek kecerdasan emosional yaitu keterampilan sosial (toleransi), kesadaran diri (percaya diri), pengaturan diri (disiplin, motivasi (tanggung jawab), dan empati (jujur). K 13 dengan Sikap Spiritualnya melengkapi Q ketiga yaitu SQ (Spiritual Quotient) yang dipelopori oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dengan menyebut bahwa SQ adalah the ultimate intelligence. Penyebutan ini menunjukkan betapa aspek spiritual merupakan satu hal yang penting bagi kemanusiaan individu. PENUTUP Kelahiran K 13 sebagai amanah dari UU Sisitem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dan dipicu oleh himbauan Presiden SBY saat itu tahun 2010 dalam penyusunan RPJMN yang mengingatkan bahwa tujuan pendidikan untuk membentuk manusia seutuhnya, yang selama ini pendidikan nasional baru memberikan perhatian terbesar pada aspek kognitif saja. Jadi diharakan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Kurikulum yang bisa menjawab tantangan kedepan agar generasi emas Indonesia Indonesia siap bersaing di era globalisasi dan meraih prestasi baik di tingkat internasional. Kita berharap Peraturan Menteri yang mengatur tentang penilaian sikap spiritual dan sosial segera terbit agar penilaian guru valid dan reliable.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia