Selasa, 06 Februari 2018

Ini Pencapaian PUS 2000-2015

Pendidikan untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA) telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah Indonesia sejak pertama kali disepakati pada tahun 2000 melalui Deklarasi Dakkar. Menyikapi kesepakatan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyusun rencana pelaksanaan program PUS tahun 2000-2015.
 
Setiap tahunnya, kemajuan pelaksanaan PUS di Indonesia dan negara-negara anggota UNESCO terus dimonitoring oleh UNESCO dan hasilnya dilaporkan melalui Education for All Global Monitoring Report (EFA-GMR).
 
Adapun program prioritas tersebut meliputi 6 (enam) program PUS, yaitu program PAUD, program Pendidikan Dasar, program Pendidikan Kecakapan Hidup, program Kesetaraan, program Pengarusutamaan Gender, dan program Peningkatan Mutu Pendidikan.
 
Berikut beberapa pencapaian PUS sebagaimana yang dipaparkan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI), Lydia Freyani Hawadi, pada Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Untuk Semua (PUS) tahun 2014 di Kuta, Bali (05/05/2014).
 
Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak umur 3-6 tahun sampai dengan tahun 2013 adalah 67,4 persen. Ini menandakan adanya perningkatan sebesar 4.39 persen dari tahun 2012, yaitu 63.01 persen. Diharapkan pada 2014 dapat mencapai angka 72 persen.
 
Sedangkan, program Satu Desa Satu PAUD pada 2013 masih terdapat 23.429 ribu dari 77.394 desa di seluruh Indonesia atau 30.27 persen desa yang belum memiliki PAUD. “Hal ini merupakan tantangan berat yang harus menjadi perhatian semua pihak, baik pusat maupun daerah,” jelas Lydia Freyani Hawadi.
Untuk program Pendidikan Dasar, pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun lalu sudah menerapkan wajib belajar 9 (Sembilan) tahun dengan membebaskan biaya sekolah untuk SD dan SMP. Program ini dinilai berhasil, terlihat dari capaian Angka Partisipasi Murni (APM) SD pada 2013 sebesar 95.71 persen dan APK SMP sebesar 100.16 persen. Termasuk sejak 2013 telah dicanangkan secara resmi Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang turut mendukung program pendidikan berkelanjutan.
 
Namun demikian, menurut Lydia Freyani Hawadi, masih terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan, antara lain rata-rata lama belajar masyarakat Indonesia yang masih minim hanya sekitar 8,8 tahun (tidak tamat SMP). Hal ini tidak lepas dari angka putus sekolah (drop out) yang masih cukup besar.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan capaian Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), Pemerintah sudah melakukan beberapa terobosan seperti memperbesar porsi SMK dibanding SMA. Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan adanya program keahlian yang disesuaikan dengan potensi wilayah daerah masing-masing (contoh perikanan dan kelautan), tetapi sayangnya sampai saat ini program keahlian tersebut masih kurang peminat.
Hal lain yang masih menjadi kendala dalam peningkatan capaian PKH adalah belum optimalnya peran lembaga kursus dan pelatihan (LKP). LKP yang ada saat ini belum memenuhi 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, layanan LKP belum mencapai target yang ditetapkan dalam Renstra dimana 50 persen anak putus sekolah dan putus lanjut terlayani oleh PKH.
 
Untuk Literacy education atau pendidikan keaksaraan, Indonesia telah berhasil mencapai target yang ditetapkan 3 tahun lebih cepat, sehingga sampai dengan akhir tahun 2013 jumlah penduduk tuna aksara umur 15-59 tahun sebesar 4,02 persen atau turun sekitar 0.19 persen dari tahun sebelumnya yaitu 4.21 persen. Dengan prestasi dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan tuna aksara, pada Bulan September tahun 2012, pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Ditjen PAUDNI menerima penghargaan King Sejong Literacy Prize dari UNESCO.
 
Lebih lanjut, untuk pelaksanaan program Pengarusutamaan gender (PUG) khususnya Pendidikan berbasis gender sudah cukup berhasil di Indonesia. Hal ini dapat dilihat beragamnya program PUG yang memadukan pendidikan perempuan dengan PKH serta kewirausahaan.
 
Lydia Freyani juga memaparkan pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius. Banyak pendidik PAUD dan Dikdas yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan S1. “Untuk itu diperlukan peningkatan kuota program kualifikasi dan kompetensi guru/pendidik tidak hanya menggunakan dana APBN saja, tetapi juga dapat memberdayakan sumber-sumber lainnya, seperti bekerja sama dengan pihak swasta melalui corporate social responsibility (baik itu perusahaan kecil dan besar) dan juga melibatkan kementerian atau lembaga lain,” ujarnya.
 
Sementara itu, Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan melalui program-program peningkatan kualifikasi, kompetensi guru dan sertifikasi guru, pelaksanaan Kurikulum 2013 peningkatan akreditasi sekolah, dan lain sebagainya. “Kita berharap semua pihak, termasuk pusat maupun daerah dapat bersama-sama mengejar pencapaian target 2015 sehingga menjadi keberhasilan Indonesia,” harapnya. (Arifah/PIH)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia