Pendidikan untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA)
telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah Indonesia sejak pertama
kali disepakati pada tahun 2000 melalui Deklarasi Dakkar. Menyikapi
kesepakatan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyusun rencana
pelaksanaan program PUS tahun 2000-2015.
Setiap tahunnya, kemajuan pelaksanaan
PUS di Indonesia dan negara-negara anggota UNESCO terus dimonitoring
oleh UNESCO dan hasilnya dilaporkan melalui Education for All Global Monitoring Report (EFA-GMR).
Adapun
program prioritas tersebut meliputi 6 (enam) program PUS, yaitu program
PAUD, program Pendidikan Dasar, program Pendidikan Kecakapan Hidup,
program Kesetaraan, program Pengarusutamaan Gender, dan program
Peningkatan Mutu Pendidikan.
Berikut
beberapa pencapaian PUS sebagaimana yang dipaparkan Direktur Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI), Lydia
Freyani Hawadi, pada Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Untuk Semua
(PUS) tahun 2014 di Kuta, Bali (05/05/2014).
Angka
Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak
umur 3-6 tahun sampai dengan tahun 2013 adalah 67,4 persen. Ini
menandakan adanya perningkatan sebesar 4.39 persen dari tahun 2012,
yaitu 63.01 persen. Diharapkan pada 2014 dapat mencapai angka 72 persen.
Sedangkan,
program Satu Desa Satu PAUD pada 2013 masih terdapat 23.429 ribu dari
77.394 desa di seluruh Indonesia atau 30.27 persen desa yang belum
memiliki PAUD. “Hal ini merupakan tantangan berat yang harus menjadi
perhatian semua pihak, baik pusat maupun daerah,” jelas Lydia Freyani
Hawadi.
Untuk
program Pendidikan Dasar, pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun
lalu sudah menerapkan wajib belajar 9 (Sembilan) tahun dengan
membebaskan biaya sekolah untuk SD dan SMP. Program ini dinilai
berhasil, terlihat dari capaian Angka Partisipasi Murni (APM) SD pada
2013 sebesar 95.71 persen dan APK SMP sebesar 100.16 persen. Termasuk
sejak 2013 telah dicanangkan secara resmi Pendidikan Menengah Universal
(PMU) yang turut mendukung program pendidikan berkelanjutan.
Namun demikian, menurut Lydia Freyani
Hawadi, masih terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan,
antara lain rata-rata lama belajar masyarakat Indonesia yang masih minim
hanya sekitar 8,8 tahun (tidak tamat SMP). Hal ini tidak lepas dari
angka putus sekolah (drop out) yang masih cukup besar.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan
capaian Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), Pemerintah sudah
melakukan beberapa terobosan seperti memperbesar porsi SMK dibanding
SMA. Selain itu pemerintah juga telah mengupayakan adanya program
keahlian yang disesuaikan dengan potensi wilayah daerah masing-masing
(contoh perikanan dan kelautan), tetapi sayangnya sampai saat ini
program keahlian tersebut masih kurang peminat.
Hal lain yang masih menjadi kendala
dalam peningkatan capaian PKH adalah belum optimalnya peran lembaga
kursus dan pelatihan (LKP). LKP yang ada saat ini belum memenuhi 8
(delapan) Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, layanan LKP belum
mencapai target yang ditetapkan dalam Renstra dimana 50 persen anak
putus sekolah dan putus lanjut terlayani oleh PKH.
Untuk Literacy education atau
pendidikan keaksaraan, Indonesia telah berhasil mencapai target yang
ditetapkan 3 tahun lebih cepat, sehingga sampai dengan akhir tahun 2013
jumlah penduduk tuna aksara umur 15-59 tahun sebesar 4,02 persen atau
turun sekitar 0.19 persen dari tahun sebelumnya yaitu 4.21 persen.
Dengan prestasi dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan
tuna aksara, pada Bulan September tahun 2012, pemerintah Indonesia,
melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Ditjen PAUDNI
menerima penghargaan King Sejong Literacy Prize dari UNESCO.
Lebih lanjut, untuk pelaksanaan
program Pengarusutamaan gender (PUG) khususnya Pendidikan berbasis
gender sudah cukup berhasil di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
beragamnya program PUG yang memadukan pendidikan perempuan dengan PKH
serta kewirausahaan.
Lydia Freyani juga memaparkan
pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan di Indonesia masih
menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius. Banyak pendidik PAUD dan
Dikdas yang belum memenuhi kualifikasi pendidikan S1. “Untuk itu
diperlukan peningkatan kuota program kualifikasi dan kompetensi
guru/pendidik tidak hanya menggunakan dana APBN saja, tetapi juga dapat
memberdayakan sumber-sumber lainnya, seperti bekerja sama dengan pihak
swasta melalui corporate social responsibility (baik itu perusahaan kecil dan besar) dan juga melibatkan kementerian atau lembaga lain,” ujarnya.
Sementara
itu, Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan
melalui program-program peningkatan kualifikasi, kompetensi guru dan
sertifikasi guru, pelaksanaan Kurikulum 2013 peningkatan akreditasi
sekolah, dan lain sebagainya. “Kita berharap semua pihak, termasuk pusat
maupun daerah dapat bersama-sama mengejar pencapaian target 2015
sehingga menjadi keberhasilan Indonesia,” harapnya. (Arifah/PIH)