Pendidikan
adalah hak setiap warga negara. Dimanapun berada, apapun latar belakang
sosial ekonominya, pendidikan sudah semestinya hadir sebagai penuntun
dalam kehidupan setiap orang.
Atas dasar keyakinan itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) hadir
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai ujung tombak akses
pendidikan di masyarakat, PKBM berupaya meraih yang sulit terjangkau.
"Reach
the Unreachable bukan sekedar slogan, tapi menjadi motivasi kita semua
untuk bergerak dan berdaya guna. Masyarakat marjinal kadang tidak
mengerti hak-hak mereka, jadi kita harus menjembataninya," kata Ketua
Forum Komunikasi PKBM Indonesia (FKPKBMI), Sri Sumarwati, di sela Rapat
Koordinasi Program Pendidikan Masyarakat 2013 yang digelar Direktorat
Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia
Dini, Non Formal dan Informal (PAUDNI) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud), di Yogyakarta, Selasa (4/6). Sri didampingi
Jaelani Abubakar, Sekjen FKPKBMI yang juga ketua PKBM Kurnia, Pangkal
Pinang, Bangka Belitung.
Saat
ini, angka buta aksara di Indonesia masih berkisar pada angka 8 juta
jiwa. Sebagian besar adalah usia 45 tahun ke atas dan didominasi
perempuan.
Jumlah buta aksara juga ada di kelompok lebih muda. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak putus sekolah di kelas 1 atau 2 SD. Para
pemuda buta aksara ini ada yang jadi anak jalanan, pengangguran,
pekerja domestik sampai terjun ke dunia kriminal dan pelacuran.
"Mereka
semua tidak mendapatkan akses pada pendidikan karena kemiskinan atau
budaya di lingkungannya. Kondisi-kondisi tak terelakkan itu membuat
kemiskinan struktural berlanjut ibarat lingkaran setan," kata Sri yang
memiliki anak asuh tidak kurang dari 160 orang di Yogyakarta.
Melayani
yang tak terjangkau tentu bukan tugas pemerintah semata. Menurut
Jaelani, masyarakat juga harus bergerak. Karena itu, PKBM terus tumbuh
sejak 2005 lalu. Hingga saat ini, tidak kurang dari 10 ribu PKBM di
seluruh Indonesia, dimana sebagian besar dari mereka tergabung dalam
FKPKBMI.
"Kita
bergerak bersama pemerintah menuntaskan buta aksara serta menurunkan
angka pengangguran dan kemiskinan. Memang belum banyak yang kami
lakukan, tapi semuanya nyata," kata Jaelani.
Jaelani
lewat PKBM Kurnia pimpinannya kini mendidik masyarakat lewat kecakapan
hidup. Berbagai kursus seperti kursus menjahit, Bahasa Inggris, tata
boga sampai keterampilan mekanik, telah dinikmati banyak masyarakat
berstatus ekonomi rendah.
"Kebanyakan
yang datang ke tempat saya adalah anak-anak muda pengangguran dan
ibu-ibu yang butuh tambahan biaya rumah tangganya. Mereka saya rekrut
serbagai pegawai di usaha yang bernanung di bawah PKBM Kurnia," kata
Jaelani.
Peran
serta masyarakat dalam membantu program pengentasan buta aksara sangat
dihargai. Dirjen Paudni, Lydia Ferani Hawadi yang akrab disapa Reni,
mengakui tanpa dukungan masyarakat akan sulit mengatasi berbagai program
non formal.
"Masyarakat
yang paling tahu, apa yang terjadi di sekitarnya. Karena itu respon
masyarakat yang tinggi dala PKBM atau semacamnya, sangat dihargai," kata
Reni, saat membuka acara Rakornas.
Meski
demikian, niat yang mulia harus disertai dengan manajemen dan tujuan
yang jelas. Jangan sampai ada upaya-upaya tidak terpuji byang sekedar
menginginkan keuntungan dari berbagai penghargaan berupa bantuan sosial
yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga PKBM.
"Jangan
sapai bansos-bansos yang ada tidak bisa dipertanggungjawabkan
akuntabilitasnya. Maka pemerintah akan terus mengupayakan layanan PKBM
yang terbaik kepada masyarakat luas lewat peningkatan kualitas PKBM,"
tegas Reni.
Saat
ini, kata Reni, pemerintah tengah terus menerus mencari
terobosan-terobosan baru dalam upaya menuntaskan buta aksara. Meski
dinilai luar biasa dalam program pengentasan, tetap saja masih ada buta
aksara yang harus diberdayakan.
"Karena
itu pemerintah sangat mengharapkan ide-ide dan masukan dari masyarakat
terkait program-program rakyat seperti ini. Menjangkau yang tak
terjangkau harus dijadikan kerja nyata," tandas Reni. (dianw)
Sumber: www.waspadamedan.com