Mukanya bulat, sorot
matanya tajam, berkulit kering dan hitam
legam, rambutnya berwarna kemerah-merahansebatas kuping dan ikal seperti tidak
pernah disisir, hidungnya pesek nyaris
tanpa senyum .
Namanya
Karpet. Titik.
Usianya berselisih tiga
tahun dengan saya, rumahnya berjarak dua puluh meter dari pagar rumah saya.
Saya dan adik-adik memiliki hubungan persahabatan yang erat dengannya..
Namanya
Karpet. Titik.
Teman kecil saya dan adik-adik, yang sampai sekarang masih
melekat dalam ingatan jangka panjang saya..
“Karpet, ayo temani saya ke kamar mandi ya. Saya masih
mau ngobrol,” ujar saya sore itu.
Kami belum lama
berteman. Ngobrol dengan Karpet sangat menyenangkan.Saya hanya bisa bertemu dengannya di hari Minggu,
karena Senin sampai dengan Jumat waktu saya dihabiskan dengan pelajaran di
sekolah. Saya juga banyak mengikuti kursus yang jadwalnya tidak bisa diganggu
gugat. Saya hanya bermain dengan Karpet pada hari Minggu.
“Kamu tolong pegangin gayungnya ya.”
Karpet berdiri di samping tembok pembatas bak air dengan closet, seperti ‘asisten gayung’ yang memegangi gayung berisi air...Setiap kali gayung kosong, Karpet dengan sigap mengisinya kembali, menciduk gayung dari dalam bak. Kami mengobrol tentang dirinya, orangtuanya, kegiatannya, rumahnya, sekolahnya dan apa saja termasuk bekas jahitan di wajahnya. . Cerita dan asal usul Karpet membuat saya tertarik untuk terus ngobrol. Sampai lupa entah berapa lama saya nongkrong di dalam kamar mandi.
“Reni, tok …tok…tok…kok berduaan di kamar mandi?” tiba-tiba
saja terdengar ketukan dan suara mami di luar pintu kamar mandi.
Seketika itu pula, obrolan saya dengan Karpet terhenti. Sakit perut dan
keinginan tahu tentang Karpet membuat saya berfikir pragmatis, tidak lagi berpikir
panjang. Karpet diajak sekalian ke kamar mandi untuk melanjutkan obrolan perkenalan kami yang
terputus.
Saya dan Karpet kemudian
meninggalkan kamar mandi menuju halaman rumah yang ada pohon jambu kelutuk.
Saya ajak Karpet naik pohon, tanpa ragu ia menyusul ikut manjat pohon. Saya dan Karpet memetik buah
jambu kelutuk yang sudah matang… Sambil memetik buah jambu yang berwarna kuning
saya berteriak…”bi Amaaah…biii.. tolong tangkep niih… “terus saya lempar ke
bawah jambu-jambu untuk ditangkap bi Amah yang biasanya mengembangkan apron nya
untuk menangkap jambu-jambu. Biasanya juga bi Amah akan bikinkan
saya dan adik-adik stoop jambu. Atau kalau pengen buat rujak
tumbuk, jambu yang saya petik yang masih mengkel. Di dapur saya ikutan ngulek
bumbunya, yaitu gula jawa, asem jawa
dengan beberapa cabe merah dan rawit, garem secukupnya , untuk kemudian jambu di bebek. Nikmaaat...
***.
Minggu sore selepas Ashar, ia sedang mengumpulkan ranting
dari pohon benalu. Saya baru saja selesai mandi sore kala itu. Dengan gesit,
gadis kecil yang rambut ikalnyasebatas kupingmelepas tali benalu yang melekat
pada ranting. Tali-tali benalu itu berwarna kuning. Saya sering menjadikannya mie-mie-an ketika bermain jualan-jualan-an dengan adik-adik atau
tetangga sebelah kanan saya. Saya
melihat Karpet dari kejauhan yang mengumpulkan banyak ranting kayu. Sorot
matanya tajam, kulitnya kelam dan kering, kakinya bersandal jepit yang sudah
butut menarik perhatian saya yang terus
melihat apa yang ia akan lakukan dengan ranting-ranting kayu tersebut.
Saya kemudian berjalan mendekatinya,dengan ramah ramah saya
sapa anak kecil sebaya Siska, adik saya nojmor tiga.
“Hai, rumah kamu di mana?” Tanya saya ingin tahu.
“Di sana.” Jawabnya menunjuk rumah kardus yang berada tepat di seberang rumah kami.
“Nama saya Reni.” Lanjut saya mengenalkan diri.
“Saya Karpet.”
Jawabnya mengulurkan tangan dengan wajah datar.
Namanya Karpet. Nama yang unik … selama ini aku hanya
mengenal karpet sebagai alas yang ada di
bawah meja makan dan meja kursi ruang tamuku… makanya aku bisa terus mengingat
Si Karpet sampai sekarang. Aku tidak tahu apakah itu nama ia sebenarnya atau
panggilan saja. Sore hari itu juga, saya berteman dengan Karpet, anak seorang
gembel. Namun saya tidak melihat sekat yang membedakan kami, dan Karpetpun juga
tidak terlihat canggung. Bahasa tubuhnya sama seperti kanak-kanak lain, teman
sepantaran saya dan adik-adik saya. Biasa saja.
Di gubuk kardus yang ia tunjukkan, seorang ibu mengenakan
kain batik lusuh dengan kebaya motif kembang yang transparan.. Ia sedang
berjongkok di depan batu bata dan ranting kayu bakar sebagai kompornya untuk memasak. Ia sedang mengaduk-aduk panci
di depannya.Saya kemudian mengikuti Karpet menuju ibu itu.Dan berdiri disamping
kanannya, dengan posisi membelakangi
rumah saya dan menghadap jalan raya Gunung Sahari.
“Dari
mana, Non?” Tanya emaknya Karpet ramah.
“Itu
rumah saya.” Jawab saya sambil memutar
badanke arah kanan dan menunjuk ke arah rumah.
Ibu
Karpet sedang memasak mengaduk sayur di panci. Panci kumuh berukuran sedang itu
penyok di banyak sisi. Dan disebalahnya ada kaleng bekas susu di sampingnya.
Setelah
berkenalan, saya mencoba membuka suara “Itu untuk masak apa, Bu?” Tanya saya
penasaran, sambil menunjuk kaleng bekas itu.
“ oh
ini untuk masak air, untuk bikin kopi non. Untuk Bapake” Jawabnya tanpa
ragu dan percaya diri, sambil menengadahkan mukanya ke arah suaminya yang berada sekitar 50 meter di depan kami.
Karpet
kemudian menyerahkan kumpulan ranting kayu yang ia kumpulkan tadi. Aku pun
mengikutinya ikut berjongkok. .Dari tempat saya duduk, ada seorang laki-laki
paruh baya bertelanjang dada ditemani banyak karung berwarna putih kecokelatan.
Terlihat jelas banyak panu memenuhi dada dan punggungnya. Lelaki tua yang berbadan
kerempengdan bertopi anyaman terlihat sedang memilah-milah botol bekas dari karung
di depannya. Lelaki ituadalah ayahnya si Karpet.
Rumah
Karpet berdinding kardus bekas. Ada plastik bekas berukuran besar yang
digunakan untuk menutupi dinding itu. Beberapa bata disusun menjadi lantainya,
namun lebih banyak menyisakan lantai tanah. Di sisi kiri ruangan, ada beberapa
tumpukan baju, tas kresek, dan kardus yang diikat dengan tali rafia.
Tak lama
kemudian, Karpet menghampiri saya dengan wajah cemong penuh bedak putih. Ia
baru saja selesai mandi dari ember berwarna hitam yang diletakkan di atas bata
tak jauh dari tempat saya duduk. Rambut merah ikalnya yang basah terlihatrapih disisir.
Karpet
adalah anak satu-satunya.. Seumur itu mungkin 7 tahun, ia telah ikut “bekerja” untuk keluarganya. Ia ikut berkeliling orangtuanya mengais kertas dan botol bekas.
Karpet tidak pernah bersekolah. Dan ia tidak bisa membaca dan menulis. Namun ia
memiliki rasa percaya diri yang besar. Ia memiliki semangat.
“Main ke
sini nggak dicariin nanti, Non?”
Tanya emak si Karpet, dan lamunan saya membuyar begitu saja.
“Tidak,
Bu. Tidak apa-apa.” Jawab saya.
Ada sayur
kangkung dan beberapa ekor ikan kue
yang dihidangkan. Keluarga Karpet sedang bersiap untuk makan bersama. Emak si Karpet memberikan piring kaleng dengan motif
khas berwarna kuning dominan oranye. Ada pulau-pulau
sebesar biji keranji menghiasi piring kaleng yang sudah mengelupas itu. Tak
lupa, emak si Karpet mengajak saya ikut
bergabung. Canggung, namun saya langsung menyomot ikan kue di piring Karpet.
Suasana keluarga yang sangat hangat.
Tidak
berapa terdengan suara di luar rumah kardus...“Masuuknon….noh, dicariin
Mami.” Bi Amah, asisten rumah tanggaku yang sedang nyapu halaman dari daun
pohon Mahoni yang meranggas memanggil sambil memekik.
Setelah
cepat-cepat menghabiskan nasi dan lauk ikan kue di piring, saya minta maaf
karena harus permisi pulang, seraya
mengucapkan terima kasih pada emak si Karpet.