Kamis, 05 Oktober 2017

Namanya Karpet

1965
Namanya Karpet. Titik.
Mukanya bulat, sorot matanya tajam, berkulit kering dan  hitam legam, rambutnya berwarna kemerah-merahansebatas kuping dan ikal seperti tidak pernah disisir,  hidungnya pesek nyaris tanpa senyum .
Namanya Karpet. Titik.
Usianya berselisih tiga tahun dengan saya, rumahnya berjarak dua puluh meter dari pagar rumah saya. Saya dan adik-adik memiliki hubungan persahabatan yang erat dengannya..
Namanya Karpet. Titik.
Teman kecil saya  dan adik-adik, yang sampai sekarang masih melekat dalam ingatan jangka panjang saya..
“Karpet,  ayo temani saya ke kamar mandi ya. Saya masih mau ngobrol,” ujar saya sore itu.
Kami belum lama berteman. Ngobrol dengan Karpet sangat menyenangkan.Saya  hanya bisa bertemu dengannya di hari Minggu, karena Senin sampai dengan Jumat waktu saya dihabiskan dengan pelajaran di sekolah. Saya juga banyak mengikuti kursus yang jadwalnya tidak bisa diganggu gugat.  Saya hanya bermain dengan Karpet  pada hari Minggu.
“Kamu tolong pegangin gayungnya ya.”

Karpet berdiri di samping tembok pembatas bak air dengan closet,  seperti ‘asisten gayung’ yang memegangi gayung berisi air...Setiap kali gayung kosong,  Karpet dengan sigap mengisinya kembali, menciduk gayung dari dalam bak.  Kami mengobrol tentang dirinya, orangtuanya, kegiatannya, rumahnya, sekolahnya dan apa saja termasuk bekas jahitan di wajahnya.  . Cerita dan asal usul Karpet membuat saya tertarik untuk terus ngobrol. Sampai lupa entah berapa lama saya nongkrong di dalam kamar mandi.
“Reni, tok …tok…tok…kok berduaan di kamar mandi?” tiba-tiba saja terdengar ketukan dan suara mami di luar  pintu kamar mandi.
Seketika itu pula, obrolan saya  dengan Karpet terhenti. Sakit perut dan keinginan tahu tentang Karpet membuat  saya berfikir pragmatis, tidak lagi berpikir panjang.  Karpet diajak  sekalian ke kamar mandi  untuk melanjutkan obrolan perkenalan kami yang terputus.
Saya  dan Karpet kemudian meninggalkan kamar mandi menuju halaman rumah yang ada pohon jambu kelutuk. Saya ajak Karpet naik pohon, tanpa ragu ia menyusul ikut  manjat pohon. Saya dan Karpet memetik buah jambu kelutuk yang sudah matang… Sambil memetik buah jambu yang berwarna kuning saya berteriak…”bi Amaaah…biii.. tolong tangkep niih… “terus saya lempar ke bawah jambu-jambu untuk ditangkap bi Amah yang biasanya mengembangkan apron nya untuk menangkap jambu-jambu. Biasanya juga bi Amah  akan bikinkan  saya dan adik-adik stoop jambu. Atau kalau pengen buat rujak tumbuk, jambu yang saya petik yang masih mengkel. Di dapur saya ikutan ngulek bumbunya, yaitu gula jawa, asem jawa  dengan beberapa cabe merah dan rawit, garem secukupnya , untuk  kemudian jambu di bebek. Nikmaaat... 
***.
Minggu sore selepas Ashar, ia sedang mengumpulkan ranting dari pohon benalu. Saya baru saja selesai mandi sore kala itu. Dengan gesit, gadis kecil yang rambut ikalnyasebatas kupingmelepas tali benalu yang melekat pada ranting. Tali-tali benalu itu berwarna kuning. Saya sering menjadikannya mie-mie-an ketika bermain jualan-jualan-an dengan adik-adik atau tetangga sebelah kanan saya.  Saya melihat Karpet  dari kejauhan  yang mengumpulkan banyak ranting kayu. Sorot matanya tajam, kulitnya kelam dan kering, kakinya bersandal jepit yang sudah butut  menarik perhatian saya yang terus melihat apa yang ia akan lakukan dengan  ranting-ranting  kayu tersebut.
Saya  kemudian  berjalan mendekatinya,dengan ramah ramah saya sapa anak kecil sebaya Siska, adik saya nojmor tiga.
“Hai, rumah kamu di mana?” Tanya saya ingin tahu.
“Di sana.” Jawabnya menunjuk rumah kardus yang berada  tepat di seberang rumah kami.
“Nama saya Reni.” Lanjut saya  mengenalkan diri.
“Saya  Karpet.” Jawabnya mengulurkan tangan dengan wajah datar.
Namanya Karpet. Nama yang unik … selama ini aku hanya mengenal karpet sebagai alas  yang ada di bawah meja makan dan meja kursi ruang tamuku… makanya aku bisa terus mengingat Si Karpet sampai sekarang. Aku tidak tahu apakah itu nama ia sebenarnya atau panggilan saja. Sore hari itu juga, saya berteman dengan Karpet, anak seorang gembel. Namun saya tidak melihat sekat yang membedakan kami, dan Karpetpun juga tidak terlihat canggung. Bahasa tubuhnya sama seperti kanak-kanak lain, teman sepantaran saya dan adik-adik saya. Biasa saja.
Di gubuk kardus yang ia tunjukkan, seorang ibu mengenakan kain batik lusuh dengan kebaya motif kembang yang transparan.. Ia sedang berjongkok di depan batu bata dan ranting kayu bakar  sebagai kompornya  untuk memasak. Ia sedang mengaduk-aduk panci di depannya.Saya kemudian mengikuti Karpet menuju ibu itu.Dan berdiri disamping kanannya, dengan posisi  membelakangi rumah saya dan menghadap jalan raya Gunung Sahari.
“Dari mana, Non?” Tanya  emaknya  Karpet ramah.
“Itu rumah saya.” Jawab saya  sambil memutar badanke arah kanan dan menunjuk ke arah rumah.
Ibu Karpet sedang memasak mengaduk sayur di panci. Panci kumuh berukuran sedang itu penyok di banyak sisi. Dan disebalahnya ada kaleng bekas susu di sampingnya.
Setelah berkenalan, saya mencoba membuka suara “Itu untuk masak apa, Bu?” Tanya saya penasaran, sambil menunjuk kaleng bekas itu.
“ oh ini  untuk masak air, untuk bikin kopi non. Untuk Bapake” Jawabnya tanpa ragu dan percaya diri, sambil menengadahkan mukanya ke arah suaminya  yang berada sekitar 50 meter di depan kami.
Karpet kemudian menyerahkan kumpulan ranting kayu yang ia kumpulkan tadi. Aku pun mengikutinya ikut berjongkok. .Dari tempat saya duduk, ada seorang laki-laki paruh baya bertelanjang dada ditemani banyak karung berwarna putih kecokelatan. Terlihat jelas banyak panu memenuhi dada dan punggungnya. Lelaki tua yang berbadan kerempengdan bertopi anyaman terlihat sedang memilah-milah botol bekas dari karung di depannya. Lelaki ituadalah ayahnya si Karpet.
Rumah Karpet berdinding kardus bekas. Ada plastik bekas berukuran besar yang digunakan untuk menutupi dinding itu. Beberapa bata disusun menjadi lantainya, namun lebih banyak menyisakan lantai tanah. Di sisi kiri ruangan, ada beberapa tumpukan baju, tas kresek, dan kardus yang diikat dengan tali rafia.
Tak lama kemudian, Karpet menghampiri saya dengan wajah cemong penuh bedak putih. Ia baru saja selesai mandi dari ember berwarna hitam yang diletakkan di atas bata tak jauh dari tempat saya duduk. Rambut  merah ikalnya yang basah terlihatrapih disisir.
Karpet adalah anak satu-satunya.. Seumur itu mungkin 7 tahun,  ia telah ikut “bekerja”  untuk keluarganya.  Ia ikut berkeliling  orangtuanya mengais kertas dan botol bekas. Karpet tidak pernah bersekolah. Dan ia tidak bisa membaca dan menulis. Namun ia memiliki rasa percaya diri yang besar. Ia memiliki semangat.
“Main ke sini nggak dicariin nanti, Non?” Tanya emak si Karpet, dan lamunan saya  membuyar begitu saja.
“Tidak, Bu. Tidak apa-apa.” Jawab saya.
Ada sayur kangkung dan beberapa ekor ikan kue yang dihidangkan. Keluarga Karpet sedang bersiap untuk makan bersama. Emak si  Karpet memberikan piring kaleng dengan motif khas berwarna kuning dominan oranye. Ada pulau-pulau sebesar biji keranji menghiasi piring kaleng yang sudah mengelupas itu. Tak lupa, emak si Karpet mengajak saya  ikut bergabung. Canggung, namun saya langsung menyomot ikan kue di piring Karpet. Suasana keluarga yang sangat hangat. 

Tidak berapa terdengan suara di luar rumah kardus...“Masuuknon….noh, dicariin Mami.” Bi Amah, asisten rumah tanggaku yang sedang nyapu halaman dari daun pohon Mahoni yang meranggas memanggil sambil memekik.
Setelah cepat-cepat menghabiskan nasi dan lauk ikan kue di piring, saya minta maaf karena harus  permisi pulang, seraya mengucapkan terima kasih pada emak si Karpet.
Lampu di teras rumah sudah mulai menyala, pertanda hari sudah mulai gelap.Saya melambaikan tangan pada Karpet.”.besok-besok kita main lagi ya”. Ini lah awal saya berkenalan dengan si Karpet.

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia