Kamis, 19 Oktober 2017

Membangun Peran Psikologi Dalam Pendidikan Nasional

Yang Terhormat,


Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia

Rektor dan Wakil Rektor Universitas Indonesia

Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia

Ketua, Sekretaris dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia

Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Indonesia Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Para Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Para Staf Pengajar, Karyawan dan Mahasiswa Universitas Indonesia Hadirin yang saya muliakan


Bismillahir Rahmaanir Rahiim,

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Salam sejahtera bagi kita semua,

Hadirin sekalian marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya yang begitu besar pada kita semua, sehingga pada hari yang penuh kebahagiaan ini kita dapat bertemu di Balai Sidang UI, memenuhi undangan Rektor Universitas Indonesia.

Selanjutnya ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, atas kepercayaan dan kehormatan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Rektor Universitas Indonesia, Ketua dan para anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, serta Dewan Guru Besar Fakultas yang telah menilai dan menyetujui pengusulan pengangkatan saya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia, serta dapat menerima saya menjadi bagian dalam lingkungan akademik yang sangat terhormat ini.

Selanjutnya tidak lupa saya sampaikan salut dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dra. Siti Dharmayati Utoyo Lubis, MA.,Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia periode 2004-2008, yang dipenghujung masa jabatannya berhasil memproses pengusulan jabatan guru besar saya. Dan kepada hadirin yang telah hadir memberi perhatian untuk memenuhi undangan upacara pengukuhan ini, saya beserta keluarga menghaturkan banyak terima kasih.


Hadirin yang saya muliakan,

Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Psikologi Pendidikan yang berjudul:

MEMBANGUN PERAN PSIKOLOG DALAM

PENDIDIKAN NASIONAL

Pada tahun 1952   untuk pertama kalinya dunia pendidikan

Indonesia mengenal kata „pemeriksaan psikologis‟, yang diucapkan Slamet Iman Santoso dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia. Inilah momentum awal dunia pendidikan Indonesia digugah untuk menggunakan pemeriksaan psikologis bagi siswa.

Slamet Iman Santoso (1979) berpendapat bahwa pendidikan ditujukan untuk kepentingan orang dan bukan sebaliknya, sehingga pendidikan harus disusun secara plastis, supaya dapat menghadapi variasi banyak orang. Ia menganjurkan agar sepanjang sekolah para siswa harus diperiksa secara psikologis, mengenai kecerdasannya dalam cara berpikir, kecerdasannya dalam cara bekerja dan wataknya. Dengan adanya pemeriksaan psikologis ini, dapat memberikan petunjuk supaya tiap-tiap siswa dapat mencapai prestasi yang optimal.

Slamet Iman Santoso menyadari bahwa pemeriksaan psikologis merupakan cara yang efektif dan efisien untuk melihat potensi intelektual seseorang. Pada saat itu ia melihat berbagai ragam potensi siswa menjadi satu di dalam kelas, sehingga yang terjadi muncul keluhan dari siswa yang tidak mampu dan mereka menjadi stres, merasa dikejar dalam belajar, diberi pelajaran tambahan, dan semua ini sering menyebabkan siswa menderita jasmani dan jiwa.

Hal yang paling parah adalah reaksi masyarakat malah menyalahkan pihak sekolah, bahwa nilai sekolah terlalu tinggi tidak sesuai dengan masyarakat, gurunya amat kejam, curang, dan lain-lain. Akhirnya, masyarakat menempuh jalan membeli ijasah agar anak mereka bisa lulus sekolah dan bisa bekerja. Namun yang terjadi kemudian ijasah yang dianggap sebagai kunci masuk dunia kerja, ternyata tidak “laku”. Pemegang ijasah tidak halal tersebut sulit mendapat pekerjaan. Menurut Slamet Iman Santoso kondisi drop outs atau misplacement sesuai dengan teori evolusi sebagai hal yang natural, survival of the fittest.

Namun yang salah adalah membiarkan seleksi dilakukan oleh sekolah secara alamiah, karena proses ini akan berjalan lambat dan mengganggu rasa harga diri anak.

Lebih lanjut diingatkannya bahwa potensi para siswa di kelas tidak sama. Ia menyebutkan dengan memberi perumpamaan kuda dan lembu. Siswa yang tergolong tipe kuda adalah mereka yang sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami pelajaran. Sedangkan siswa tipe lembu adalah mereka yang lamban dalam menangkap pelajaran. Jadi keduanya ini tidak cocok untuk dijadikan satu, karena akan menimbulkan rasa frustrasi bagi semua pihak. Untuk itu perlu ada pendidikan yang bervariasi sesuai potensi dan bakat siswa, untuk menjaga harga diri siswa. Dengan bersekolah sesuai dengan kebutuhannya, maka akan memudahkan mereka masuk dalam dunia kerja, memperoleh pekerjaan yang pas. Kita semua tidak menginginkan bahwa anak-anak bersekolah memperoleh pendidikan dengan susah payah namun mereka juga tidak mudah mendapatkan pekerjaan dikarenakan keterbatasan kemampuan mereka yang tidak diasah sesuai dengan pengalaman pendidikan yang mereka peroleh di sekolah .

Slamet Iman Santoso mengingatkan bahwa kapasitas seseorang hampir tidak dapat dirubah lagi, dan kalau dipaksakan maka timbul bahaya untuk orang tadi menjadi sakit, atau bahkan membahayakan dan merugikan masyarakat. Namun sekolah dianjurkan untuk mempertahankan standar nilai. Memang akan ada anak yang tidak mampu mencapai standar nilai, namun disisi lain ada anak yang mampu mencapainya dan inilah golongan yang dapat diharapkan untuk memajukan masyarakatnya.

Pidato pengukuhan Slamet Iman Santoso sebagai Guru Besar Universitas Indonesia pada Februari 1952, saya kutip dari buku Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan (Santoso, 1979) dan kemudian menjadi inspirasi penulisan naskah pidato saya ini.
  
Hadirin yang saya hormati,

Pada tahun ajaran 2002/2003 – setengah abad setelah pidato pengukuhan Slamet Iman Santoso – kita disodorkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) rata-rata untuk seluruh mata pelajaran secara nasional pada tingkat SMP/MTs adalah 5,93. Tingkat pencapaian NUAN ini dapat ditafsirkan secara rata-rata, lulusan SMP/MTs menguasai 59,30% dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai. Dan kalau NUAN ini dikelompokkan menjadi lima katagori yaitu baik sekali (diatas 7,51), baik (6,51-7,50), sedang (5,51-6,00) , kurang (4,51-5,50) dan kurang sekali (dibawah 4,51) maka yang paling banyak yaitu sebesar 68,37% SMP masuk dalam katagori kurang dan kurang sekali 7,48% (Anam, 2005). Data ini bisa kita artikan lebih dari 75% siswa tingkat SMP berprestasi kurang dan hanya 0,013% yang masuk katagori baik sekali. Tiga tahun sebelumnya, tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah  6.   Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000).

Sekarang kita lihat pula peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan Indonesia . Dari data yang dikeluarkan oleh World

Economics Forum (WEF) tahun 2007 peringkat Indonesia (54), bandingkan dengan Malaysia (21) apalagi Singapura (7). Demikian pula    peringkat  Indeks Pembangunan Manusia, dari
data  yang
dikeluarkan
oleh
United  Nations
Development
Programme
(UNDP)
tahun
2008,
menunjukkan
peringkat
Indonesia
(107),  Malaysia  (63)  dan
Singapura
(25)
dari  175
negara.







Simak pula data BPS (2008), tentang masih adanya 12,24 juta orang yang buta aksara (7,49%) dan masih dimilikinya 11 juta anak yang putus sekolah di Indonesia, dan angka partisipasi kasar (APK) SMA yang rendah (52%) dibandingkan negara lain yang sudah mendekati angka 100%. Dan data Susenas (2004),tentang pendidikan tertinggi rata-rata penduduk Indonesia, yang berusia 15-64 tahun pada jenjang Sekolah Dasar.



Hal-hal yang saya kemukakan tadi adalah potret pendidikan nasional Indonesia, yang menurut saya akar utamanya pada potensi individu. Menurut saya pendidikan kita belum melihat siswa sebagai individu yang unik, bahwa ada individual differences. Selama Indonesia merdeka sampai dengan era reformasi berarti – 53 tahun -, praksis pendidikan nasional baru sampai ke masalah kuantitas belum menyentuh pada peningkatan kualitas. Kebijakan pemerintah saat itu masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah Dasar dibangun secara besar-besaran, agar anak Indonesia yang berusia 7-12 tahun memperoleh akses luas untuk belajar ke sekolah. Gurupun direkruit secara instan melalui program pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), berupa program diploma dua tahun. Kebijakan ini berjalan terus sampai pada satu titik, di tahun 1998 kita menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan, dan program wajib belajar 6 tahun, dunia luar ternyata sudah jauh memikirkan kedepan perubahan yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi individu untuk mampu bersaing.

Sekarang kita berada di abad XXI, milenium ketiga yang memiliki karakteristik jauh lebih kompleks dari milenium sebelumnya; sebuah peradaban dimana ilmu pengetahuan (knowledge) sebagai suatu kekuatan baru. Menurut Zuhal (2008) inilah wujud perekonomian dunia secara global setelah depresiasi sumber daya alam yang terjadi secara besar-besaran di tahun 1980an, dimana manusia tidak lagi dapat mengandalkan sumber daya alam (SDA) seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan hutan. Manusia kini mengandalkan kemampuan berpikirnya, kemampuan otaknya; menjadikan pengetahuan sebagai basis baru bagi kesejahteraan suatu bangsa.

Perekonomian Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based Economy) pada akhirnya mematahkan pendapat sumber daya alam sebagai landasan dari ekonomi (Resource Based Economy). Sebenarnya sudah sejak dua dekade yang lalu masalah ini diingatkan oleh Alvin Toffler (1990) dalam bukunya Powershift. Toffler (1990) menyebutkan bahwa knowledge akan memegang

7


Lydia Freyani Hawadi

peran penting dalam kehidupan manusia. Bahwa jenis pertumbuhan ekonomi yang timbul adalah tidak lagi tergantung pada otot tapi pada otak manusia (mind). Menurut Harrison dan Huntington (2000) dalam bukunya yang berjudul Culture Matters : How Values Shape Human Progress, hanya pendidikan yang merupakan sebuah strategi untuk bertahan dan menang, menentukan kemajuan dari setiap masyarakat, negara, dan bangsa di seluruh dunia, baik ditinjau dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.

Melalui pidato pengukuhan ini saya mengajak hadirin melihat fakta masih rendahnya peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia serta gambaran keluaran tertinggi pendidikan nasional masih didominasi pada tingkat Sekolah Dasar, sebagai suatu persoalan kurang dilibatkannya ilmu psikologi dalam dunia pendidikan nasional kita secara keseluruhan.


Hadirin yang saya muliakan,

Salah satu amanat yang tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 setelah Pemerintah Republik Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diperkuat dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Dalam upaya memenuhi tuntutan konstitusi, saat itu pula Pemerintah membentuk lembaga yang bertanggung jawab pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa.

Sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memiliki visi “terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia agar


8


berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”.

Sejalan dengan visi tersebut, Departemen Pendidikan Nasional memiliki kemauan besar agar pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif. Untuk mencapai visi pendidikan nasional diatas, ada tujuh misi pendidikan nasional yaitu:

1)       mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;

2)      meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional dan internasional.

3)      meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global

4)      membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;

5)      meningkatkan  kesiapan  masukan  dan  kualitas  proses

pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

6)      meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;

7)      mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 merupakan jawaban dari reformasi pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  
Jika kita amati Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang terkait dengan peran psikolog dalam pendidikan nasional, maka jelaslah terlihat belum diakuinya profesi psikolog di sekolah. Perhatikan penjelasan Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pasal 39, “tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar”. Titik.

Sedangkan dalam Bab V tentang Peserta Didik pasal 12 disebutkan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”. Pemeriksanaan bakat, minat dan kemampuan secara efektif dan efisien bias dilakukan dengan menggunakan instrument yang membutuhkan pengetahuan dan kompetensi psikodiagnostik. Kegiatan pemeriksaan psikologis ini jelas merupakan ranah kompetensi profesional profesi psikolog, sehingga terasa janggal jika psikolog tidak tercantum dalam salah satu tenaga kependidikan.

Menurut pendapat saya reformasi pendidikan di Indonesia yang telah dilakukan melalui penataan peraturan perundang-undangan ini masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang substansial, meneropong siswa sebagai seorang individu yang unik.

Saya merasa kita belum banyak memetik pelajaran dari hasil pendidikan nasional 100 tahun pertama Kebangkitan Nasional kita. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium, perpustakaan, dls tetapi menyangkut peserta didik sebagai subjek.

Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, ekonomi belum dieksplore lebih dalam. Justru disini letak masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional tersebut.



Dalam praktek saat ini sudah banyak sekolah yang menggunakan jasa psikolog untuk melakukan pemeriksaan psikologis. Sekurang-kurangnya menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi atau kantor konsultan psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis bagi calon siswa baru. Biasanya hasil pemeriksaan psikologis yang berupa psikogram digunakan untuk melihat besaran skor IQ (Intelligence Quotience)

,  skor CQ (Creativity Quotience) dan skor TC (Task Commitment) yang dijadikan dasar untuk seleksi calon siswa program percepatan belajar (akselerasi). Ada juga sekolah yang hanya membutuhkan besaran skor IQ untuk menyeleksi calon siswa program sekolah bertaraf internasional (SBI). Dan yang paling banyak adalah pemeriksaan psikologis untuk membantu penjurusan siswa SMA IPA/IPS/Bahasa, dan penjurusan program studi ke Perguruan Tinggi.

Namun peran psikolog disini masih berada di luar lingkaran sekolah, mereka bekerja hanya sesuai pesanan, “tukang tes”. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog masih belum digunakan, terjadilah pemubaziran ilmu. Padahal psikotes tidak sekedar mengetahui besaran skor IQ saja, banyak hal yang bisa dibaca melalui hasil pemeriksaan psikologis yang diterima sekolah. Saya meyakini sekolah membutuhkan seseorang yang dapat memahami dan menindak lanjuti hal-hal yang ada dalam psikogram dan uraian lengkap tersebut, dan orang tersebut tidak lain adalah psikolog.


Hadirin yang saya hormati,

Saya menganjurkan jika ada kesempatan merevisi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, psikolog harus dimasukkan sebagai salah satu unsur dari tenaga kependidikan.

Dengan memiliki tenaga psikolog di dalam sekolah, akan memudahkan sekolah untuk membantu siswa yang bermasalah sedini mungkin.


Pada kesempatan yang terbatas ini saya ingin memperkenalkan hal-hal atau lingkup kegiatan apa saja yang bisa dilakukan oleh psikolog di dunia pendidikan.

Psikolog Pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi seperti ADHD, kesulitan belajar, dyslexia, gangguan bicara serta gangguan ketidakmampuan seperti keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsi dan buta. Dengan kompetensi ini maka psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa, untuk memilih intervensi pendidikan yang lebih tepat dalam upaya mengoptimasikan potensi baik siswa.

Psikolog Pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia dapat memahami karakteristik pembelajar usia sekolah, usia remaja, usia dewasa muda dan usia dewasa madya serta usia lanjut, karena seorang psikolog pendidikan memiliki wawasan tentang perkembangan manusia. Disamping itu seorang psikolog pendidikan mampu melihat perbedaan individual seperti kecerdasan, kreativitas, gaya belajar dan motivasi. Dengan gambaran karakteristik yang berbeda setiap siswa memerlukan tantangan-tantangan yang berbeda dalam pembelajarannya

Psikolog Pendidikan juga mempelajari tentang motivasi, dan memiliki kemampuan melakukan riset sehingga psikolog dapat melihat tingkat minat, tujuan pribadi yang memelihara perilaku mereka dan kepercayaan mereka tentang sebab dari kesuksesan atau kegagalan mereka. Untuk itu diharapkan seorang psikolog pendidikan mampu membangkitkan motivasi siswa.

Psikolog Pendidikan juga menguasai aplikasi desain instruksional dan teknologi, sistem tutoring intelijen yaitu suatu sistem komputer yang menyediakan umpan balik kepada murid tanpa intervensi manusia, berbagai metode belajar mengajar seperti belajar kooperatif (cooperative learning), belajar kolaboratif (collaborative learning), belajar berdasarkan masalah (problem-based learning) dan penggunaan komputer untuk mendukung belajar kolaboratif.

Psikolog Pendidikan membantu mengumpulkan informasi untuk guru dan orangtua ketika siswa mempunyai masalah akademik atau perilaku. Mereka menolong mengevaluasi kemampuan berpikir siswa dan melakukan pemeriksaan psikologis dari sisi kekuatan dan kelemahan siswa. Bersama-sama, guru, orangtua dan psikolog pendidikan memformulasikan rencana untuk menolong siswa belajar lebih efektif.

Psikolog pendidikan bekerja sebagai konselor dan juga dapat mengevaluasi kepantasan dari program akademik, prosedur manajemen perilaku dan pelayanan lain di sekolah.

Secara lengkap saya sampaikan aktivitas seorang psikolog pendidikan sebagai berikut:

1.       Melakukan asesmen kebutuhan pembelajaran dan emosional siswa, sehingga mampu memberi saran tentang cara terbaik untuk mendukung pembelajaran dan perkembangan diri mereka.

2.      Mengembangkan dan mendukung program terapeutik dan manajemen perilaku.

3.      Mendesain dan mengembangkan ragam kursus dalam berbagai topik untuk orangtua, guru dan lainnya yang terlibat dengan masalah pendidikan siswa .

4.      Membuat laporan untuk membuat rekomendasi formal dalam tindakan yang perlu ditindaklanjuti.

5.      Memberi saran, melakukan negosiasi, membujuk dan mendukung guru, orangtua dan profesional pendidikan lainnya.

6.      Menghadiri konferensi kasus yang melibatkan tim multidisiplin dalam bagaimana baiknya menemui kebutuhan sosial, emosional, perilaku dan pembelajaran siswa.

7.      Memprioritaskan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan siswa.

8.      Bekerjasama dengan profesional lain dan memfasilitasi pertemuan, diskusi, dan kursus-kursus.

9.      Mengembangkan dan mengulas kebijakan.

10.   Membuat penelitian.

11.    Menyelenggarakan kursus online.
      12.   Mengidentifikasi anak berbakat di kelas dan memberikan pengajaran yang sesuai.

Kalau kita melihat di Amerika, psikolog pendidikan/ sekolah di Amerika Serikat merupakan salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang dengan pertumbuhan 26%. Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting pendidikan. Sementara di Indonesia kebanyakan psikolog terserap di dunia industri. Pekerjaan sebagai psikolog pendidikan/sekolah belum populer,

hanya sekolah-sekolah swasta papan atas yang telah menggunakan jasa psikolog pendidikan/sekolah.

Fenomena ini menarik untuk dikaji, tidak hanya berkaitan dengan citra bahwa gaji psikolog lebih tinggi dari guru, sehingga sekolah merasa ”takut” mempunyai psikolog dan lebih memilih menggunakan jasa psikolog dari biro psikologi saja. Tetapi lebih dari itu ada satu alasan penting yang masuk akal jika profesi psikolog diakui sebagai tenaga kependidikan. Hal ini berkaitan dengan anggaran dan kewajiban lain yang muncul sebagaimana Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Ssistem Pendidikan Nasional. Dalam ayat (1) Pasal 40 tersebut disebutkan pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh (a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, (b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, (c) pembinaan karier sesuai dengan tuntutan dan pengembangan kualitas, (d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaaan intelektual; dan (e) kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Dan satu persoalan lain yang sebenarnya menjadi masalah intern komunitas psikolog Indonesia, yakni berkaitan dengan ketersediaan tenaga psikolog itu sendiri. Bagaimana kemampuan Fakultas-Fakultas Psikologi yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan psikolog pendidikan/sekolah (berarti tingkatan S2) bagi semua sekolah yang ada? Apakah jumlah lulusan profesi psikologi pendidikan yang ada mencukupi?

Bagaimana dengan kompetensinya sebagai psikolog pendidikan/sekolah? Pertanyaan lainnya yang saya tujukan pada HIMPSI dan komunitas Kolokium Psikologi Indonesia tentang sebutan apa yang digunakan untuk psikolog yang bekerja di sekolah, apakah psikolog pendidikan atau psikolog sekolah?

Saat ini kalau kita melihat dalam pendidikan psikologi di Indonesia, di tingkat pasca sarjana ada pendidikan sains psikologi, pendidikan profesi psikologi dan pendidikan terapan psikologi. Untuk lingkup psikologi pendidikan, saat ini yang ada adalah program sains dan program profesi. Mereka yang masuk progam sains, bisa berasal dari sarjana strata 1 non psikologi, sedangkan mereka yang masuk program profesi berlatar belakang sarjana psikologi. Perbedaan yang mendasar adalah pada penguasaan prinsip-prinsip psikodiagnostika dan intervensi psikologi. Dan bagi psikolog di sekolah, aktivitas mereka lebih berat ke klinis sehingga yang cocok bekerja di sekolah adalah mereka yang berlatar belakang S2 profesi psikologi.

Namun jika jalan pikiran ini yang kita pilih, akan merepotkan pemerintah karena berarti perlu ada dua macam tenaga kependidikan psikologi, (1) psikologi pendidikan (sebutannya apa? Mereka tidak dapat disebut psikolog karena bukan mengambil jalur program profesi. Ini jika kita mengacu kurikulum yang berlaku saat ini) dan (2) psikolog sekolah. Inilah pergulatan dalam pikiran saya selama lima tahun terakhir ini, setelah mengamati dari dekat bahwa lulusan profesi psikologi pendidikan Fakultas Psikologi UI hanya 20%-30% yang bekerja di sekolah.

Kembali ke ajakan saya bahwa pemerintah perlu membangun peran psikolog dalam pendidikan nasional, maka dengan berpijak pada realitas yang ada seperti disebutkan diatas, pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengajak Himpsi bersama Komunitas Kolokium Psikologi Indonesia dapat menyusun kurikulum dan kompetensi psikolog pendidikan/ sekolah sesuai dengan tuntutan jaman.


Hadirin yang saya muliakan,

 Dalam paparan diawal pidato saya, disebutkan kasus yang dihadapi Slamet Iman Santoso selaku dokter spesialis jiwa adalah masalah stres, siswa yang putus sekolah atau salah tempat.

Persoalan ini dari perspektif psikolog berkait erat sekali lagi dengan adanya individual differences, sehingga bila terjadi stres adalah normal, karena terjadi dari adanya ketidak tepatan antara kapasitas intelektual siswa dengan jenis sekolah, antara kapasitas intelektual dengan tuntutan pekerjaan, antara minat dengan jenis pekerjaan yang dihadapi, misalnya.

Dalam klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow learner atau lamban belajar. Jika siswa berada pada taraf ini, tentu saja tidak cocok untuk mengikuti pendidikan dengan kurikulum kelas reguler dan bukan juga cocok untuk bersekolah di SLB, karena taraf kecerdasan siswa masih sedikit lebih baik dari anak-anak dengan taraf keterbelakangan mental yang bersekolah di SLB. Namun dengan adanya tempo kerja mereka yang lamban dalam menangkap dan memahami pelajaran, juga tidak membuat mereka sesuai dengan siswa biasa. Kalau anak-anak dengan katagori lamban belajar ini disatukan, maka yang terjadi adalah rasa frustrasi. Sementara siswa lainnya di kelas yang sama dan kebetulan memiliki taraf kecerdasan yang jauh lebih baik menjadi tidak termotivasi dalam mengikuti kelas. Sebaik-baiknya anak-anak dengan katagori ini memiliki jenis sekolah tersendiri saja, agar harga diri dan kesehatan mental mereka terjaga.

Fenomena anak dengan golongan slow learner cukup banyak terjadi di sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah (BPS, 2006) maka jika 22,5,% nya adalah mereka yang tergolong dalam IQ 70-89 , diperkirakan ada 10, 5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner. Mereka dengan taraf kecerdasan ini sangat sulit menamatkan jenjang Sekolah Dasar sekalipun. Kalau pun juga tamat SD, anak harus mengulang kelas beberapa kali, juga masih dengan kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung) yang amat rendah.

Melihat daya saing SDM Indonesia yang rendah, indeks pembangunan manusia Indonesia yang juga masih jauh
16


ketinggalan dengan negara serumpun sekalipun, maka sudah saatnya pemerintah, mengkaji ulang pendidikan formal yang ada. Pendidikan formal yang ada dengan wajib belajar 9 tahun hanya dengan asumsi jika rata-rata anak usia sekolah di Indonesia semua memiliki taraf kecerdasan rata-rata (IQ 90-109, Skala Wechsler). Padahal secara statistik, diasumsikan mereka yang mampu tamat SD berjumlah 45%, mampu tamat SMP 22,5% . Dengan gambaran ini saya menyarankan pemerintah untuk membuat alternatif SMP bagi siswa dengan katagori lamban belajar. Bentuk sekolah formal yang saya sarankan berupa sekolah kejuruan setingkat dengan SMP, berisikan keterampilan-keterampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat . Begitu pula untuk tingkat SMA, siswa yang memiliki potensi kecerdasan hanya rata-rata atas, sebaiknya diarahkan masuk SMK, agar nantinya terserap di dunia kerja. Mereka tidak perlu masuk universitas, namun cukup melanjutkan ke program vokasional, dan menjadi spesialis dalam bidang minatnya masing-masing.

Bagi siswa dengan taraf kecerdasan 145 keatas (Skala Wechsler) bias diproyeksikan untuk terus belajar sampai jenjang setinggi-tingginya di negara-negara yang memiliki reputasi dalam bidang sains dan teknologi yang berkembang. Anak-anak yang disebut anak berbakat intelektual atau akademik ini harus dipersiapkan sebaik-baiknya untuk menghadapi perubahan-perubahan besar di masa depan.

Mereka dibina terus menerus dan difokuskan untuk menjadi SDM Unggulan yang akan menunjang industri strategis masa depan. Siswa berbakat intelektual tinggi (highly gifted) seharusnya diarahkan dalam pendidikan yang berbasis iptek. Menurut Zuhal (2008) karena ada lead time yang panjang bagi siswa untuk mencapai tahap dalam menguasai pengetahuan dan teknologi.

Untuk membantu mewujudkan semua diatas, perlu dibangun peran psikolog dalam sistem pendidikan nasional. Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP, karena saat ini sudah banyak tersedia SMK meskipun masih perlu



lagi banyak dipersiapkan SMK-SMK dengan jenis yang lebih spesifik agar masing-masing lulusannya dapat berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Rasa keberhasilan, kebahagiaan ini pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental seseorang. Dan yang jelas individu akan memiliki pengakuan (harga diri) dari luar berupa imbalan atas hasil karyanya. Berarti dengan bekerja yang sesuai dengan kompetensi, akan membuat jumlah angka pengangguran berkurang. Dan ini berarti akan menaikkan daya saing bangsa.

Pemeriksaan psikologis di tingkat SMP juga akan membawa APM untuk SMA menjadi tinggi, karena pemerintah hanya mengarahkan siswa yang mampu melanjutkan SMA dan diproyeksikan akan berhasil menamatkan pendidikan tingginya.

Jadi  dengan  adanya  psikolog  di  sekolah,  khususnya  di

Sekolah Dasar dapat mengarahkan anak dengan pilihan pendidikan dan karir yang tepat. Tidak harus semua anak SD, masuk SMP, dan terus SMA serta Universitas karena ada anak yang secara kapasitas intelektual tidak cukup mampu belajar di SMP. Anak-anak SD dengan kapasitas intelektual yang kurang sekali IQ 70-90, jika tidak diarahkan ke sekolah kejuruan setaraf SMP, bagai buah simalakama. Jika tidak melanjutkan pendidikan dasarnya dan langsung bekerja sebagai buruh atau tenaga kerja kasar, maka upah yang diperolehpun rendah.

Dan pada akhirnya lebih memilih menganggur daripada bekerja dengan upah minim. Mereka inilah penyumbang terbesar gambaran pendidikan tertinggi Indonesia adalah Sekolah Dasar.

Pada suatu masa Drost (2000) menyatakan kefrustrasiannya bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia tempat semua anak harus mempunyai kemampuan intelektual yang sama. Karena semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu lulusan SMA. Mengapa? Ternyata yang lulus UMPTN hanya lebih kurang 10%, lainnya diluluskan karena ada tempat. Dan ini berlaku juga untuk PT swasta. Mereka yang ditolak oleh PT-PT yang bermutu lari ke ratusan PT swasta yang mau menerima mereka. Maka, sebagai contoh, nilai rata-rata dan yang diterima di UI adalah 7,8% sedangkan di sebuah PTN di luar Jawa hanya 4,9%. Akibatnya yang gugur secara nasional di PTN 85%, di PTS 90%,

18


Berbeda dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Ssitem Pendidikan nasional, maka di Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 35 tentang Tenaga Kependidikan, telah mengakomodasi profesi psikolog sebagai salah satu tenaga kependidikan sebatas di SDLB, SMPLB, dan SMALB. Sedangkan pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK tidak disebutkan sama sekali. Melihat paparan diatas sebelumnya, saya kira keberadaan psikolog pendidikan tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus saja.

Untuk itu saya juga berharap jika ada kesempatan merevisi

PP   No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, agar memasukkan profesi psikolog juga di jenjang pendidikan formal lain.


Hadirin yang saya hormati,

Berikut saya kutipkan pandangan dari seorang pakar psikologi dan seorang pakar pendidikan tentang apa yang perlu dibekali pada siswa sebagai generasi masa depan :

”Students generally find the basic academic subject threatening or dull... if the next generation is to face the future with zest and self-confidence, we must educate them to be original as well as competent. For better or worse, our future is closely tied to human creativity.”

(Csikszentmihalyi, 1997)

”Seven Survival Skills for future generation: Critical thinking and problem-solving, collaboration across networks and leading by

influence, agility and adaptability, initiative and entrepreneurialism, effective oral and written communication, accessing and analyzing information, curiosity and imagination. Indeed, the Seven Survival Skills are for future generations what the ’Three R’s’ were for previous generation.”

(Wagner, 2008)


Mihaly Csikszentmihalyi, seorang profesor psikologi berkebangsaan Hongaria yang saat ini bekerja di Claremont Graduate University. Ia juga dikenal sebagai salah seorang tokoh

psikologi positif tingkat dunia bersama dengan misalnya, Martin Seligman, Ed Diener, C.R Snyder, Albert Bandura, dan lain-lain yang fokus terhadap kekuatan dan kebajikan yang dimiliki seseorang sehingga membuat hidup lebih bermakna. Sedangkan Tony Wagner adalah Co-Founder Change Leadership Group di Harvard dan penerima grant dari Bill & Melinda Gates Foundation dalam bidang pendidikan, serta penulis buku The Global Achievement Gap.

Pesan yang ingin disampaikan adalah sistem sekolah saat ini belum mengakomodasi kebutuhan masa depan anak bangsa. Untuk itu perlunya mengembangkan kreativitas, daya inovasi, mental wirausaha dan kemampuan kolaborasi demi suksesnya generasi muda di masa depan.

Joseph Coates seorang konsultan masa depan dalam bukunya yang berjudul 2025 Scenarios of US and Global Society Reshaped by Science and Technology memperkirakan di tahun 2025 ekonomi dunia akan dipengaruhi oleh perkembangan lima bidang sains yaitu Teknologi Informasi (Information Technology), Teknologi Material (Materials Technology), Genetika (Genetics) dan Teknologi Energi (Energy Technology) dan Lingkungan (Environmentalism).

Pertanyaan saya siapakah di Indonesia yang bisa diandalkan untuk menjadi pekerja terdidik (knowledge worker) dalam lima bidang diatas? Anak-anak yang katagorikan sebagai anak berbakat intelektual tinggi (highly gifted) dengan IQ 145 keatas (dalam skala Wechsler). Secara teoritis, dalam populasi ada sekitar 1 %, sehingga bila kita memiliki 52,9 juta anak usia sekolah maka sekurang-kurangnya ada 529 ribu anak Indonesia memiliki prospek sebagai pekerja terdidik.


Contoh cerita sukses tentang pembinaan anak-anak berbakat intelektual atau akademik ini kita ketahui bersama dilakukan oleh Prof. Johannes Surya, Ph.D dengan proyek TOFInya.

Proses seleksi yang ketat dan pembinaan seperti yang telah dilakukan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) selama 13 tahun telah membuktikan bahwa anak Indonesia ada yang dapat diandalkan dan dibanggakan. Disebutkan bahwa sampai saat ini Indonesia sudah meraih 29 medali emas, 20 perak, dan 38 perunggu dalam olimpiade fisika.

Untuk kompetisi lain seperti The First Step to Nobel Prize in Physics Indonesia mempunyai 4 medali emas (Surya, 2008). Disebutkan pula bahwa para alumni TOFI kini tersebar di berbagai perguruan tinggi terbaik di luar dan di dalam negeri seperti Princeton, MIT, Caltech, Stanford, Maryland, Wisconsin dls, dls. Diantara mereka disebutkan meraih gelar Ph.D dalam usia 23 tahun, bahkan ada yang mendapat gelar profesor dalam usia 25 tahun.

Menurut saya hal yang lebih penting lagi bahwa setelah kejuaran mereka raih, gelar tinggi akademik mereka miliki, apa yang mereka berikan bagi masa depan bangsa ini?

Jika Indonesia ingin jauh lebih maju, maka belajar dari pengalaman negara maju lainnya, harus sangat gandrung pada ilmu pengetahuan. Menurut Zuhal (2008) negara-negara yang bangkit industrinya menunjukkan kegairahan terhadap iptek. Untuk itu masyarakat secara umum perlu disadari bahwa besarnya peran iptek dalam pembangunan akan membawa dampak yang signifikan dalam produktivitas suatu bangsa dan pada gilirannya akan mampu menumbuhkan inovasi untuk meningkatkan daya saing bangsa pada persaingan global. dan ketrampilan mental wirausaha.

Departemen Pendidikan Nasional dapat menjadikan Pusat-Pusat Kajian Keberbakatan Fakultas Psikologi di setiap propinsi sebagai mitra untuk melakukan pemeriksaan psikologis dan melakukan intervensi, melakukan pelatihan-pelatihan dan konseling baik individual maupun kelompok, serta melakukan riset-riset sehubungan dengan masalah perkembang siswa.

Pendidikan bagi anak berbakat intelektual atau akademik tinggi harus dilakukan secara khusus. Mereka inilah justru andalan utama dan tulang punggung masyarajat berbasis pengetahuan yang akan memegang peran masa depan. Kepada mereka psikolog di sekolah dapat memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing seperti

ketrampilan berfikir kreatif, ketrampilan bekerjasama, keterampilan pemecahan masalah

Keberadaan psikolog sebagai tenaga kependidikan di sekolah, saya harapkan akan bisa lebih mengoptimalkan kualitas keluaran pendidikan nasional di masa depan.


Hadirin yang saya muliakan,

Pada akhir pidato ini, kembali saya panjatkan puji syukur

tak terhingga ke hadirat Allah SWT atas karunia yang dilimpahkan-Nya pada saya dan keluarga, berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menduduki jabatan guru besar di Universitas Indonesia.

Penghargaan yang tinggi saya tujukan kepada Rektor Universitas Indonesia dan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia yang telah menyetujui pengusulan saya untuk memangku jabatan Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia beserta Dewan Guru Besar Fakultas yang telah menerima saya di lingkungan akademik yang terhormat ini. Tuntunan dan bimbingan Saudara sekalian senantiasa saya harapkan.

Kepada Dr. Wilman Dahlan Mansoer, MOP, Dekan Fakultas Psikologi yang sekarang, beserta Dr. Tjut Rifameutia Ali Nafis, MA Wakil Dekan, serta Dra. Siti Dharmayati Utoyo Lubis, MA, PhD Dekan Fakultas Psikologi yang lama, terima kasih atas segala perhatian, dukungan dan bantuan yang diberikan dalam mengusulkan saya sebagai guru besar.

Ucapan terima kasih, penghargaan dan hormat saya sampaikan ke sejumlah dosen dan pimpinan Fakultas Psikologi UI yang telah mengantarkan, membina dan mendukung pengembangan karir saya di Fakultas Psikologi UI maupun sebagai psikolog praktek.

Prof.Dr. Ashar Sunyoto Munandar (alm) yang sebagai Dekan (1981-1984), telah memberikan banyak kesempatan dan

dukungan untuk pengembangan karir saya. Khususnya pengalaman pertama saya begitu lulus menjadi Sarjana Psikologi untuk bekerja magang sebagai staf Biro Pendidikan sebelum saya diterima sebagai asisten dosen di Bagian Psikologi Perkembangan dan akhirnya mengusulkan saya sebagai CPNS;

Prof.Dr. Fawzia Aswin Hadis yang sebagai Kepala Bagian Psikologi Perkembangan pada tahun 1981 telah menerima saya sebagai staf Bagian Psikologi Perkembangan. Beliau adalah guru pertama dalam karier saya, yang sedikit banyak mempengaruhi gaya saya dalam mengajar;

Prof.Dr. Utami Munandar guru yang banyak berjasa dalam hidup saya, sejak awal saya berkarier di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia banyak memberikan dukungan, semangat, nasihat, teguran, perhatian, kesempatan, dan berbagai pengalaman berharga yang membentuk saya menekuni bidang psikologi keberbakatan; saya sampaikan pula rasa hormat saya pada beliau.

Prof.Dr. Yaumil Agoes Achir (almh) yang sejak awal mengajak saya untuk bergabung bersama dengan teman sejawat lainnya mendirikan Bagian Psikologi Pendidikan. Beliau salah satu sosok model bagi karier saya. Satu hal yang mengagumkan dan tidak pernah saya lupa, adanya kepedulian besar almarhumah walau dalam keadaan sakit keras menyemangati saya untuk menjadi guru besar.

Prof.Dr. Sarlito Wirawan Sarwono yang sejak menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi banyak mendukung dan memberi kesempatan bagi pengembangan diri saya untuk berkiprah di tingkat internasional menghadiri berbagai konferensi tentang keberbakatan. Beliau adalah tempat curhat, penasehat, pembina yang memompakan energi untuk menjadi guru besar;

Prof.Dr. Soesmaliyah Soewondo terima kasih atas kehangatan personal yang diberikan; Prof.Dr. Suprapti Sumarmo Markam terima kasih atas perhatian dan kepedulian terhadap masalah karier saya, Prof.Dr. Siti Marliah Tambunan terima kasih atas dukungan moril yang diberikan;

Dra. Semiati Ibnu Umar, Psikolog yang telah memberi kesempatan saya belajar untuk mengelola biro psikologi dan menjadikan saya - sesibuk apapun- mencintai praktek psikologi sampai saat ini.


Kepada semua guru dan dosen yang telah mendidik saya dari TK hingga Perguruan Tinggi, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa dan bimbingan merekalah pada hari ini saya dapat menyampaikan pidato pengukuhan ini. Ucapan terima kasih secara khusus kepada Prof.Dr. Moegiadi, MA (alm), yang telah membimbing tesis saya dan membuat saya kagum atas penguasaan ilmunya; Dr. Engeline Bonang, Psikolog yang telah menjadi ko-promotor disertasi saya dan telah mampu meyakinkan saya agar mantap untuk mengikuti Program Doktor Psikologi disaat saya sedang hamil anak keempat;


Prof. Dr. Conny Semiawan, yang membuat saya merasa terhormat sebagai fresh graduate saat itu dapat menjadi bagian dalam kegiatan Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPAB) yang terdiri dari pakar-pakar pendidikan Indonesia, di saat beliau menjabat sebagai Ketua Pusat Kurikulum


Bapak Supangat (Alm) dari OTO/Bappenas yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjadi visiting scholar di Purdue University, saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Kepada Professor John Feldhusen Ph.D, dari Gifted Education Resource Institute (GERI) Purdue University saya sangat terkesan dengan segala perhatian, kebaikan, kehangatan, keramahan, dukungan serta kesempatan yang diberikan selama saya di West Lafayette, sehingga saya banyak belajar tentang berbagai layanan pendidikan anak berbakat di negara bagian Midwest. Saya juga tidak lupa kebaikan dan pertolongan yang diberikan Keluarga Hadar Gumay, dan teman sejawat Adriana Ginanjar selama saya di Purdue.

Kepada Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kepercayaan pada saya sebagai narasumber program percepatan belajar untuk sekolah-sekolah dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah sejak tahun 1999 sampai dengan 2005, sehingga program percepatan belajar (akselerasi) di seluruh Indonesia dapat diwujudkan, saya sampaiakn penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.

Begitu pula kepada para Kepala Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar (akselerasi), saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama yang baik sampai saat ini. Juga kepada teman-teman media massa yang telah membesarkan kepakaran saya selama ini terima kasih atas kepercayaan dan jalinan kerjasamanya.

Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan pada Prof.Dr. Arief Rahman, M.Pd beserta staf SMA Lab School yang

telah memberikan tantangan pertama kali tentang program akselerasi dari sisi psikologis, dan Bapak H. Maulwi Saelan dari Al Azhar Syifa Budi atas kerjasama dan dukungan yang selalu diberikan. Kepada para mahasiswa dan para alumni yang selama ini bergiat membantu, mendukung, dan menghidupkan Pusat Kajian Keberbakatan dengan berbagai aktivitas saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Khusus kepada teman-teman sejawat Bidang Studi Psikologi Pendidikan : Dr. Frieda M. Mangunsong, M.Ed., Kepala Bidang Studi Psikologi Pendidikan,.Stephani Yuanita, S.Psi.,M.Psi., Sekretaris Bidang Studi Psikologi Pendidikan, Prof.Dr. Soetarlinah Sukadji, Dra.Miranda D. Zarfiel, M.Psi., Dra.Evita Singgih,M.Psi., Dra. Diennaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi., Drs. Gagan Hartana TB, M.Psi. T., Dra.Puji Lestari Suharso, M.Psi., Dr. Rosemini AP, M.Psi., Dr. Lucia R,M. Royanto, M.Sp.Ed., Dra. Wahyu Indianti, M.Si., Dra. Farida Kurniawati, M.Sp.Ed, Dra. Linda Primana,M.Si., Dra. Eva Septiana Barlianto, M.Psi., Wuri Prasetyawati A, Psi.,M.Psi., Airin Y.Saleh, S.Psi., M.Psi,Patricia, S.Psi.,M.Psi., Widayatri Sekka Udaranti, S.Psi.,M.Psi., Dianti Endang Kusumawardhani, Psi.,M.Si., Adih Respati, S.Psi., saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua kepedulian, kerjasama, bantuan yang diberikan. Demikianpula kepada Saudari Helmi, Saudara Saridja, Saudara Andi, Saudari Denok dan Saudari Khairunisa yang selama ini selalu membantu kegiatan sehari-hari, saya ucapkan banyak terima kasih.



Hadirin sekalian yang terhormat,

Sembah sujud dan rasa terima kasih saya yang tidak terhingga kepada almarhum ayahnda Doelli Hawadi dan ibunda Hj. Puti Dalima Iskandar yang telah membesarkan dan mendidik saya dengan limpahan kasih sayang dan penuh kebahagiaan. Ayahnda yang selalu memberikan rasa bangga dan percaya diri pada saya. Ibunda yang sepanjang hidupnya mengabdi untuk suami dan anak-anaknya. Nilai-nilai ketaqwaan, kejujuran, kerajinan, kegigihan, ketekunan, keuletan, kegigihan, ketegaran tidak mudah menyerah oleh nasib, dan disiplin dalam waktu yang ditunjukkan ibunda, menjadi anutan saya selama ini. Kepada mertua saya, almarhum dr. H. Ali Akbar dan Hj. Elly sembah sujud dan terima kasih atas pengertian, dukungan yang diberikan

26


selama ini. Kepada kakak beradikku, Arie, Nita, Siska, Wina, Bibin, Ade, dan Dian dan keluarga masing-masing terima kasih atas segala doa, dukungan dan cinta selama ini.

Begitupula buat para ipar, keponakan dari keluarga dr.H. Ali Akbar terima kasih atas segala doa, kerjasama dan bantuan yang diberikan.

Kepada suamiku tercinta, H. Zulkfili Akbar, yang dirahmati Allah. Kau adalah jantung hatiku, belahan jiwa, imam, tempatku berlabuh di kala gundah, sahabat berbagi suka duka. Hanya Allah yang tahu apa yang kurasakan. Terima kasih atas semua cinta, pengorbanan, pengertian, dukungan, kerjasama, kehangatan, dan limpahan kasih sayang yang engkau berikan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah ayah berikan pada bunda selama ini.

Kepada anak-anakku Aidil, Chica, Ardha, Nazura, Ali dan Gladyz, permata hatiku, bunda sangat bangga pada kalian semua. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungan yang telah kalian berikan sampai saat ini. Semoga dengan ridho Allah SWT kalianpun dapat mencapai cita-cita tinggi kalian. Jangan mudah menyerah. Doa bunda menyertai selalu. Juga untuk Septi yang telah memberikan Marvel Bless, sebagai anugerah tak ternilai yang diberikan Allah SWT.

Akhirnya, sekali lagi saya menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah saya sebut diatas dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu telah membantu dalam perjalanan hidup dan karier saya. Dan kepada hadirin semua yang telah dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan pidato pengukuhan ini, saya mengucapkan terima kasih. Mohon maaf jika ada kekeliruan, kekhilafan dalam ucapan pidato pengukuhan saya ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah Nya kepada kita semua. Amin.


Wabillahittaufiq walhidayah




Lydia Freyani Hawadi

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh






DAFTAR PUSTAKA


Anam,   Saiful.   (2005).    Indra   Djati    Sidi.    Dari   ITB   Untuk

Pembaruan Pendidikan.  Jakarta  :          Teraju  Mizan  BPS.

(2008).

Badan  Pusat  Statistik.(2008).    Data  Strategis  BPS.  Jakarta  :

Badan Pusat Statistik.

Binde, Jerome. (2001). Keys to the 21st Century. Paris : UNESCO.

Borland,  James  H.  (2003).  Rethinking  Gifted  Education.  NY:

Teachers College Press.

Departemen  Pendidikan  Nasional  R.I.   (2003).    UU   Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Drost, J.Sj (2000). Reformasi Pengajaran. Jakarta : Grasindo Gibbon, Carol Taylor Fitz. (1996). Monitoring Education. Britain : Cassel Education.

Hawadi,        Reni        Akbar.         (2007).         Menemukenali        dan

Mengembangkan Bakat Anak sebagai Upaya Mempersiapkan Generasi Penerus. Orasi Ilmiah. Dipresentasikan dalam Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ke 54. Depok : 5 Maret 2007.

Hatta, Radjasa M. (2008). Meningkatkan Daya Saing Manusia Indonesia. Dalam Menapaki Perjalanan Bangsa. Catatan 80 Tokoh Nasional. (Hal 642 653). Jakarta : Lembaga Jangka Indonesia bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

28


Hidayat, Komaruddin., Widjanarko, Putut. (2008). Reinventing Indonesia. Jakarta : Mizan.

Jacobson, Stephen L., Conway, James A. (1990). Educational Leadership in an Age of Reform. NY : Longman.

Makagiansar, Makaminan.  (2002).   Saling   Asih,   Saling  Asuh,

Saling Asah.

Merrell, Kenneth W.,Ervin, Ruth A., Gimpel, Gretchen, A. (2006). School Psychology For The 21 st Century. Foundations and Practices. London : The Guilford Press.

Monks, Franz., Peters, Willy. (1992). Talent For The Future. Assen : Van Gorcum.

Santoso, S.I. (1979). Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan.

Jakarta : UI Press.

Soedijarto. (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta : Kompas.

Studer, J.R.    (2005). The Professional School Counselor. US :

Thomson Brooks/Cole

Surya, Yohannes. (2008). Manusia Unggul Indonesia. Dalam Menapaki Perjalanan Bangsa. Catatan 80 Tokoh Nasional.(Hal 688 698). Jakarta : Lembaga Jangka Indonesia bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga RI.

Suyanto. (2006). Di Belantara Pendidikan Bermoral. Yogyakarta :

UNY Press.

Tilaar,  H.A.R.  (2004).  Paradigma  Baru  Pendidikan  Nasional.

Jakarta : PT Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional. Suatu

Tinjauan Kritis. Jakarta : Rineka Cipta.

Universitas  Airlangga,   Fakultas   Psikologi.(2003).    Pendidikan

Psikologi  di  Indonesia.  Surabaya  :      Sinopsis  Lokakarya

Kolokium Psikologi Indonesia.

29


Lydia Freyani Hawadi

Wagner, Tony. (2008). The Global Achievement GAP. NY : Basic

Books.

Yudhoyono, Susilo Bambang. ( 2008). Indonesia Unggul. Jakarta :

PT Gramedia.

Zuhal. (2008). Kekuatan Daya Saing Indonesia. Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan. Jakarta : Kompas.





www.allpsychologyschools.com/faqs/school-psychology.ph

http://www.idp-

europe.org/indonesia/docs/SALAMANCA_indo.pdf




Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia