Yang Terhormat,
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Ketua, Sekretaris, dan
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia
Rektor dan Wakil Rektor Universitas Indonesia
Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik Universitas Indonesia
Ketua, Sekretaris dan
Anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
Para Dekan dan Wakil Dekan
di lingkungan Universitas Indonesia Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Ketua, Sekretaris dan
Anggota Senat Akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Para Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Para Staf Pengajar, Karyawan
dan Mahasiswa Universitas Indonesia Hadirin yang saya muliakan
Bismillahir Rahmaanir Rahiim,
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
Salam sejahtera bagi kita
semua,
Hadirin sekalian
marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat-Nya yang begitu besar pada kita semua, sehingga pada hari yang
penuh kebahagiaan ini kita dapat bertemu di Balai Sidang UI, memenuhi undangan
Rektor Universitas Indonesia.
Selanjutnya
ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, atas kepercayaan dan kehormatan
yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar Tetap Ilmu
Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Rektor
Universitas Indonesia, Ketua dan para anggota Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia, serta Dewan Guru Besar Fakultas yang telah menilai dan menyetujui
pengusulan pengangkatan saya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia, serta
dapat menerima saya menjadi bagian dalam lingkungan akademik yang sangat
terhormat ini.
Selanjutnya
tidak lupa saya sampaikan salut dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
Dra. Siti Dharmayati Utoyo Lubis, MA.,Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia periode 2004-2008, yang dipenghujung masa jabatannya
berhasil memproses pengusulan jabatan guru besar saya. Dan kepada hadirin yang
telah hadir memberi perhatian untuk memenuhi undangan upacara pengukuhan ini,
saya beserta keluarga menghaturkan banyak terima kasih.
Hadirin yang saya muliakan,
Pada kesempatan ini saya
akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Psikologi
Pendidikan yang berjudul:
MEMBANGUN
PERAN PSIKOLOG DALAM
PENDIDIKAN
NASIONAL
Pada tahun 1952 untuk pertama kalinya dunia pendidikan
Indonesia mengenal kata „pemeriksaan
psikologis‟, yang
diucapkan Slamet Iman Santoso dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar
Universitas Indonesia. Inilah momentum awal dunia pendidikan Indonesia
digugah untuk menggunakan pemeriksaan psikologis bagi siswa.
Slamet Iman
Santoso (1979) berpendapat bahwa pendidikan ditujukan untuk kepentingan orang
dan bukan sebaliknya, sehingga pendidikan harus disusun secara plastis, supaya
dapat menghadapi variasi banyak orang. Ia menganjurkan agar sepanjang sekolah
para siswa harus diperiksa secara psikologis, mengenai kecerdasannya dalam cara
berpikir, kecerdasannya dalam cara bekerja dan wataknya. Dengan adanya
pemeriksaan psikologis ini, dapat memberikan petunjuk supaya tiap-tiap siswa
dapat mencapai prestasi yang optimal.
Slamet Iman
Santoso menyadari bahwa pemeriksaan psikologis merupakan cara yang efektif dan
efisien untuk melihat potensi intelektual seseorang. Pada saat itu ia melihat
berbagai ragam potensi siswa menjadi satu di dalam kelas, sehingga yang terjadi
muncul keluhan dari siswa yang tidak mampu dan mereka menjadi stres, merasa
dikejar dalam belajar, diberi pelajaran tambahan, dan semua ini sering
menyebabkan siswa menderita jasmani dan jiwa.
Hal yang paling
parah adalah reaksi masyarakat malah menyalahkan pihak sekolah, bahwa nilai
sekolah terlalu tinggi tidak sesuai dengan masyarakat, gurunya amat kejam,
curang, dan lain-lain. Akhirnya, masyarakat menempuh jalan membeli ijasah agar
anak mereka bisa lulus sekolah dan bisa bekerja. Namun yang terjadi kemudian
ijasah yang dianggap sebagai kunci masuk dunia kerja, ternyata tidak “laku”.
Pemegang ijasah tidak halal tersebut sulit mendapat pekerjaan. Menurut Slamet
Iman Santoso kondisi drop outs atau misplacement sesuai dengan teori evolusi
sebagai hal yang natural, survival of the
fittest.
Namun yang salah
adalah membiarkan seleksi dilakukan oleh sekolah secara alamiah, karena proses
ini akan berjalan lambat dan mengganggu rasa harga diri anak.
Lebih lanjut
diingatkannya bahwa potensi para siswa di kelas tidak sama. Ia menyebutkan
dengan memberi perumpamaan kuda dan lembu. Siswa yang tergolong tipe kuda
adalah mereka yang sama sekali tidak
mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami pelajaran. Sedangkan siswa
tipe lembu adalah mereka yang lamban dalam menangkap pelajaran. Jadi keduanya
ini tidak cocok untuk dijadikan satu, karena akan menimbulkan rasa frustrasi
bagi semua pihak. Untuk itu perlu ada pendidikan yang bervariasi sesuai potensi
dan bakat siswa, untuk menjaga harga diri siswa. Dengan bersekolah sesuai
dengan kebutuhannya, maka akan memudahkan mereka masuk dalam dunia kerja,
memperoleh pekerjaan yang pas. Kita
semua tidak menginginkan bahwa anak-anak bersekolah memperoleh pendidikan
dengan susah payah namun mereka juga tidak mudah mendapatkan pekerjaan
dikarenakan keterbatasan kemampuan mereka yang tidak diasah sesuai dengan
pengalaman pendidikan yang mereka peroleh di sekolah .
Slamet Iman
Santoso mengingatkan bahwa kapasitas seseorang hampir tidak dapat dirubah lagi,
dan kalau dipaksakan maka timbul bahaya untuk orang tadi menjadi sakit, atau
bahkan membahayakan dan merugikan masyarakat. Namun sekolah dianjurkan untuk
mempertahankan standar nilai. Memang akan ada anak yang tidak mampu mencapai
standar nilai, namun disisi lain ada anak yang mampu mencapainya dan inilah
golongan yang dapat diharapkan untuk memajukan masyarakatnya.
Pidato
pengukuhan Slamet Iman Santoso sebagai Guru Besar Universitas Indonesia pada
Februari 1952, saya kutip dari buku Pembinaan
Watak Tugas Utama Pendidikan (Santoso, 1979) dan kemudian menjadi inspirasi
penulisan naskah pidato saya ini.
Hadirin
yang saya hormati,
Pada
tahun ajaran 2002/2003 – setengah abad setelah pidato pengukuhan Slamet Iman
Santoso – kita disodorkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) rata-rata
untuk seluruh mata pelajaran secara nasional pada tingkat SMP/MTs adalah 5,93.
Tingkat pencapaian NUAN ini dapat ditafsirkan secara rata-rata, lulusan SMP/MTs
menguasai 59,30% dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai. Dan kalau NUAN
ini dikelompokkan menjadi lima katagori yaitu baik sekali (diatas 7,51), baik
(6,51-7,50), sedang (5,51-6,00) , kurang (4,51-5,50) dan kurang sekali (dibawah
4,51) maka yang paling banyak yaitu sebesar 68,37% SMP masuk dalam katagori
kurang dan kurang sekali 7,48% (Anam, 2005). Data ini bisa kita artikan lebih
dari 75% siswa tingkat SMP berprestasi kurang dan hanya 0,013% yang masuk
katagori baik sekali. Tiga tahun sebelumnya, tahun ajaran 1998/1999, rata-rata
nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai
minimum untuk lulus adalah 6.
Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus
(Oey-Gardiner, 2000).
Sekarang
kita lihat pula peringkat Indeks Daya Saing Pertumbuhan Indonesia . Dari data
yang dikeluarkan oleh World
Economics Forum (WEF) tahun 2007 peringkat
Indonesia (54), bandingkan dengan
Malaysia (21) apalagi Singapura (7). Demikian pula peringkat
Indeks Pembangunan Manusia, dari
data yang
|
dikeluarkan
|
oleh
|
United Nations
|
Development
|
||
Programme
|
(UNDP)
|
tahun
|
2008,
|
menunjukkan
|
peringkat
|
|
Indonesia
|
(107),
Malaysia (63) dan
|
Singapura
|
(25)
|
dari 175
|
||
negara.
|
Simak
pula data BPS (2008), tentang masih adanya 12,24 juta orang yang buta aksara
(7,49%) dan masih dimilikinya 11 juta anak yang putus sekolah di Indonesia, dan
angka partisipasi kasar (APK) SMA yang rendah (52%) dibandingkan negara lain
yang sudah mendekati angka 100%. Dan data Susenas (2004),tentang pendidikan
tertinggi rata-rata penduduk Indonesia, yang berusia 15-64 tahun pada jenjang
Sekolah Dasar.
Hal-hal
yang saya kemukakan tadi adalah potret pendidikan nasional Indonesia, yang
menurut saya akar utamanya pada potensi individu. Menurut saya pendidikan kita
belum melihat siswa sebagai individu yang unik, bahwa ada individual differences. Selama Indonesia merdeka sampai dengan era
reformasi berarti – 53 tahun -, praksis pendidikan nasional baru sampai ke
masalah kuantitas belum menyentuh pada peningkatan kualitas. Kebijakan pemerintah
saat itu masih pada tahap pemerataan pendidikan. Sekolah Dasar dibangun secara
besar-besaran, agar anak Indonesia yang berusia 7-12 tahun memperoleh akses
luas untuk belajar ke sekolah. Gurupun direkruit secara instan melalui program
pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), berupa program diploma dua tahun.
Kebijakan ini berjalan terus sampai pada satu titik, di tahun 1998 kita
menyadari bahwa ada yang kurang beres dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia. Di saat kita bersibuk diri dengan masalah pemerataan pendidikan, dan
program wajib belajar 6 tahun, dunia luar ternyata sudah jauh memikirkan
kedepan perubahan yang akan terjadi dan kompetensi apa yang dibutuhkan bagi
individu untuk mampu bersaing.
Sekarang kita
berada di abad XXI, milenium ketiga yang memiliki karakteristik jauh lebih
kompleks dari milenium sebelumnya; sebuah peradaban dimana ilmu pengetahuan (knowledge) sebagai suatu kekuatan baru.
Menurut Zuhal (2008) inilah wujud
perekonomian dunia secara global setelah depresiasi sumber daya alam yang
terjadi secara besar-besaran di tahun 1980an, dimana manusia tidak lagi dapat
mengandalkan sumber daya alam (SDA) seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan
hutan. Manusia kini mengandalkan kemampuan berpikirnya, kemampuan otaknya;
menjadikan pengetahuan sebagai basis baru bagi kesejahteraan suatu bangsa.
Perekonomian
Berbasis Pengetahuan (Knowledge Based
Economy) pada akhirnya mematahkan
pendapat sumber daya alam sebagai
landasan dari ekonomi (Resource Based
Economy). Sebenarnya sudah sejak dua dekade yang lalu masalah ini
diingatkan oleh Alvin Toffler (1990) dalam bukunya Powershift. Toffler (1990) menyebutkan bahwa knowledge akan memegang
7
peran penting dalam
kehidupan manusia. Bahwa jenis pertumbuhan ekonomi yang timbul adalah tidak
lagi tergantung pada otot tapi pada otak manusia (mind). Menurut Harrison dan Huntington (2000) dalam bukunya yang
berjudul Culture Matters : How Values Shape Human Progress, hanya
pendidikan yang merupakan sebuah
strategi untuk bertahan dan menang, menentukan kemajuan dari setiap masyarakat,
negara, dan bangsa di seluruh dunia, baik ditinjau dari sisi politik, sosial,
maupun ekonomi.
Melalui pidato
pengukuhan ini saya mengajak hadirin melihat fakta masih rendahnya peringkat
Indeks Daya Saing Pertumbuhan, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
serta gambaran keluaran tertinggi pendidikan nasional masih didominasi pada
tingkat Sekolah Dasar, sebagai suatu persoalan kurang dilibatkannya ilmu
psikologi dalam dunia pendidikan nasional kita secara keseluruhan.
Hadirin yang saya muliakan,
Salah satu
amanat yang tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 setelah
Pemerintah Republik Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diperkuat dalam pasal 31 Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan
pengajaran. Dalam upaya memenuhi
tuntutan konstitusi, saat itu pula Pemerintah membentuk lembaga yang
bertanggung jawab pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa.
Sebagai lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, Departemen Pendidikan
Nasional sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional memiliki visi “terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara
Indonesia agar
8
berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah”.
Sejalan dengan visi
tersebut, Departemen Pendidikan Nasional memiliki kemauan besar agar pada tahun
2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas
dan Kompetitif. Untuk mencapai visi pendidikan
nasional diatas, ada tujuh misi pendidikan nasional yaitu:
1) mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat
Indonesia;
2) meningkatkan mutu pendidikan
yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional dan internasional.
3) meningkatkan relevansi
pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global
4) membantu dan memfasilitasi
pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat
dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
5) meningkatkan
kesiapan masukan dan
kualitas proses
pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
6) meningkatkan keprofesionalan
dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar
nasional dan global;
7) mendorong peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
sebagai pengganti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989
merupakan jawaban dari reformasi pendidikan yang disesuaikan dengan perubahan
global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika kita amati
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, yang terkait dengan peran psikolog dalam pendidikan nasional, maka
jelaslah terlihat belum diakuinya profesi psikolog di sekolah. Perhatikan
penjelasan Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pasal 39, “tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong
belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi
sumber belajar”. Titik.
Sedangkan dalam
Bab V tentang Peserta Didik pasal 12 disebutkan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”. Pemeriksanaan bakat, minat dan kemampuan secara efektif dan
efisien bias dilakukan dengan menggunakan instrument yang membutuhkan pengetahuan
dan kompetensi psikodiagnostik. Kegiatan pemeriksaan psikologis ini jelas
merupakan ranah kompetensi profesional profesi psikolog, sehingga terasa
janggal jika psikolog tidak tercantum dalam salah satu tenaga kependidikan.
Menurut pendapat
saya reformasi pendidikan di Indonesia yang telah dilakukan melalui penataan
peraturan perundang-undangan ini masih belum tuntas, belum menyentuh hal yang
substansial, meneropong siswa sebagai seorang individu yang unik.
Saya merasa kita
belum banyak memetik pelajaran dari hasil pendidikan nasional 100 tahun pertama
Kebangkitan Nasional kita. Persoalan pendidikan bukan hanya masalah fisik
seperti gedung sekolah, sarana prasarana, kurikulum, laboratorium,
perpustakaan, dls tetapi menyangkut peserta didik sebagai subjek.
Karakteristik
pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya
belajar, budaya, ekonomi belum dieksplore lebih dalam. Justru disini letak
masalah yang kita hadapi dengan skor-skor indeks yang dikeluarkan lembaga internasional
tersebut.
Dalam praktek saat ini sudah banyak sekolah
yang menggunakan jasa psikolog untuk melakukan pemeriksaan psikologis.
Sekurang-kurangnya menjelang tahun ajaran baru melalui biro psikologi atau
kantor konsultan psikologi, sekolah menyelenggarakan pemeriksaan psikologis
bagi calon siswa baru. Biasanya hasil pemeriksaan psikologis yang berupa
psikogram digunakan untuk melihat besaran skor IQ (Intelligence Quotience)
, skor CQ (Creativity Quotience) dan skor TC (Task Commitment) yang dijadikan dasar
untuk seleksi calon siswa program percepatan belajar (akselerasi). Ada juga
sekolah yang hanya membutuhkan besaran skor IQ untuk menyeleksi calon siswa
program sekolah bertaraf internasional (SBI). Dan yang paling banyak adalah
pemeriksaan psikologis untuk membantu penjurusan siswa SMA IPA/IPS/Bahasa, dan
penjurusan program studi ke Perguruan Tinggi.
Namun
peran psikolog disini masih berada di luar lingkaran sekolah, mereka bekerja
hanya sesuai pesanan, “tukang tes”. Kompetensi lain yang dimiliki psikolog
masih belum digunakan, terjadilah pemubaziran ilmu. Padahal psikotes tidak
sekedar mengetahui besaran skor IQ saja, banyak hal yang bisa dibaca melalui
hasil pemeriksaan psikologis yang diterima sekolah. Saya meyakini sekolah
membutuhkan seseorang yang dapat memahami dan menindak lanjuti hal-hal yang ada
dalam psikogram dan uraian lengkap tersebut, dan orang tersebut tidak lain
adalah psikolog.
Hadirin
yang saya hormati,
Saya
menganjurkan jika ada kesempatan merevisi Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, psikolog harus
dimasukkan sebagai salah satu unsur dari tenaga kependidikan.
Dengan
memiliki tenaga psikolog di dalam sekolah, akan memudahkan sekolah untuk
membantu siswa yang bermasalah sedini mungkin.
Pada kesempatan
yang terbatas ini saya ingin memperkenalkan hal-hal atau lingkup kegiatan apa
saja yang bisa dilakukan oleh psikolog di dunia pendidikan.
Psikolog
Pendidikan mempelajari hal-hal tentang prevalensi seperti ADHD, kesulitan
belajar, dyslexia, gangguan bicara
serta gangguan ketidakmampuan seperti keterbelakangan mental, cerebral plasy, epilepsi dan buta.
Dengan kompetensi ini maka psikolog dapat membantu orangtua lebih memahami
kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa, untuk memilih intervensi
pendidikan yang lebih tepat dalam upaya mengoptimasikan potensi baik siswa.
Psikolog
Pendidikan mempelajari perkembangan sosial, moral dan kognitif anak. Ia dapat
memahami karakteristik pembelajar usia sekolah, usia remaja, usia dewasa muda
dan usia dewasa madya serta usia lanjut, karena seorang psikolog pendidikan
memiliki wawasan tentang perkembangan manusia. Disamping itu seorang psikolog
pendidikan mampu melihat perbedaan individual seperti kecerdasan, kreativitas,
gaya belajar dan motivasi. Dengan gambaran karakteristik yang berbeda setiap
siswa memerlukan tantangan-tantangan yang berbeda dalam pembelajarannya
Psikolog
Pendidikan juga mempelajari tentang motivasi, dan memiliki kemampuan melakukan
riset sehingga psikolog dapat melihat tingkat minat, tujuan pribadi yang
memelihara perilaku mereka dan kepercayaan mereka tentang sebab dari kesuksesan
atau kegagalan mereka. Untuk itu diharapkan seorang psikolog pendidikan mampu
membangkitkan motivasi siswa.
Psikolog
Pendidikan juga menguasai aplikasi desain instruksional dan teknologi, sistem
tutoring intelijen yaitu suatu sistem komputer yang menyediakan umpan balik
kepada murid tanpa intervensi manusia, berbagai metode belajar mengajar seperti
belajar kooperatif (cooperative
learning), belajar kolaboratif (collaborative
learning), belajar berdasarkan masalah (problem-based
learning) dan penggunaan komputer untuk
mendukung belajar kolaboratif.
Psikolog
Pendidikan membantu mengumpulkan informasi untuk guru dan orangtua ketika siswa
mempunyai masalah akademik atau perilaku.
Mereka menolong mengevaluasi kemampuan berpikir siswa dan melakukan pemeriksaan
psikologis dari sisi kekuatan dan kelemahan siswa. Bersama-sama, guru, orangtua
dan psikolog pendidikan memformulasikan rencana untuk menolong siswa belajar
lebih efektif.
Psikolog
pendidikan bekerja sebagai konselor dan juga dapat mengevaluasi kepantasan dari
program akademik, prosedur manajemen perilaku dan pelayanan lain di sekolah.
Secara lengkap
saya sampaikan aktivitas seorang psikolog pendidikan sebagai berikut:
1.
Melakukan asesmen kebutuhan pembelajaran dan emosional siswa, sehingga
mampu memberi saran tentang cara terbaik untuk mendukung pembelajaran dan
perkembangan diri mereka.
2.
Mengembangkan dan mendukung program terapeutik dan manajemen perilaku.
3.
Mendesain dan mengembangkan ragam kursus dalam berbagai topik untuk
orangtua, guru dan lainnya yang terlibat dengan masalah pendidikan siswa .
4.
Membuat laporan untuk membuat rekomendasi formal dalam tindakan yang
perlu ditindaklanjuti.
5.
Memberi saran, melakukan negosiasi, membujuk dan mendukung guru,
orangtua dan profesional pendidikan lainnya.
6.
Menghadiri konferensi kasus yang melibatkan tim multidisiplin dalam
bagaimana baiknya menemui kebutuhan sosial, emosional, perilaku dan
pembelajaran siswa.
7.
Memprioritaskan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan siswa.
8.
Bekerjasama dengan profesional lain dan memfasilitasi pertemuan,
diskusi, dan kursus-kursus.
9.
Mengembangkan
dan mengulas kebijakan.
10.
Membuat
penelitian.
11. Menyelenggarakan kursus online.
12.
Mengidentifikasi anak berbakat di kelas dan memberikan pengajaran yang
sesuai.
Kalau kita
melihat di Amerika, psikolog pendidikan/ sekolah di Amerika Serikat merupakan
salah satu jenis pekerjaan yang paling cepat berkembang dengan pertumbuhan 26%.
Satu dari empat psikolog bekerja dalam setting
pendidikan. Sementara di Indonesia kebanyakan psikolog terserap di dunia
industri. Pekerjaan sebagai psikolog pendidikan/sekolah belum populer,
hanya sekolah-sekolah swasta
papan atas yang telah menggunakan jasa psikolog pendidikan/sekolah.
Fenomena ini
menarik untuk dikaji, tidak hanya berkaitan dengan citra bahwa gaji psikolog
lebih tinggi dari guru, sehingga sekolah merasa ”takut” mempunyai psikolog dan
lebih memilih menggunakan jasa psikolog dari biro psikologi saja. Tetapi lebih
dari itu ada satu alasan penting yang masuk akal jika profesi psikolog diakui
sebagai tenaga kependidikan. Hal ini berkaitan dengan anggaran dan kewajiban
lain yang muncul sebagaimana Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Ssistem Pendidikan Nasional. Dalam ayat (1) Pasal 40
tersebut disebutkan pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh (a)
penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, (b)
penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, (c) pembinaan karier sesuai
dengan tuntutan dan pengembangan kualitas, (d) perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaaan intelektual; dan (e) kesempatan
untuk menggunakan sarana, prasarana, fasilitas pendidikan untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan tugas.
Dan satu
persoalan lain yang sebenarnya menjadi masalah intern komunitas psikolog
Indonesia, yakni berkaitan dengan ketersediaan tenaga psikolog itu sendiri.
Bagaimana kemampuan Fakultas-Fakultas Psikologi yang ada di Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan psikolog pendidikan/sekolah (berarti tingkatan S2) bagi
semua sekolah yang ada? Apakah jumlah lulusan profesi psikologi pendidikan yang
ada mencukupi?
Bagaimana dengan
kompetensinya sebagai psikolog pendidikan/sekolah? Pertanyaan lainnya yang saya
tujukan pada HIMPSI dan komunitas Kolokium Psikologi Indonesia tentang sebutan apa yang digunakan
untuk psikolog yang bekerja di sekolah, apakah psikolog pendidikan atau
psikolog sekolah?
Saat ini kalau
kita melihat dalam pendidikan psikologi di Indonesia, di tingkat pasca sarjana
ada pendidikan sains psikologi, pendidikan profesi psikologi dan pendidikan
terapan psikologi. Untuk lingkup psikologi pendidikan, saat ini yang ada adalah
program sains dan program profesi. Mereka yang masuk progam sains, bisa berasal
dari sarjana strata 1 non psikologi, sedangkan mereka yang masuk program
profesi berlatar belakang sarjana psikologi. Perbedaan yang mendasar adalah
pada penguasaan prinsip-prinsip psikodiagnostika dan intervensi psikologi. Dan
bagi psikolog di sekolah, aktivitas mereka lebih berat ke klinis sehingga yang
cocok bekerja di sekolah adalah mereka yang berlatar belakang S2 profesi
psikologi.
Namun jika jalan
pikiran ini yang kita pilih, akan merepotkan pemerintah karena berarti perlu
ada dua macam tenaga kependidikan psikologi, (1) psikologi pendidikan
(sebutannya apa? Mereka tidak dapat disebut psikolog karena bukan mengambil
jalur program profesi. Ini jika kita mengacu kurikulum yang berlaku saat ini)
dan (2) psikolog sekolah. Inilah pergulatan dalam pikiran saya selama lima
tahun terakhir ini, setelah mengamati dari dekat bahwa lulusan profesi
psikologi pendidikan Fakultas Psikologi UI hanya 20%-30% yang bekerja di
sekolah.
Kembali ke
ajakan saya bahwa pemerintah perlu membangun peran psikolog dalam pendidikan
nasional, maka dengan berpijak pada realitas yang ada seperti disebutkan
diatas, pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengajak Himpsi bersama
Komunitas Kolokium Psikologi Indonesia dapat menyusun kurikulum dan kompetensi
psikolog pendidikan/ sekolah sesuai dengan tuntutan jaman.
Hadirin yang saya muliakan,
Dalam paparan
diawal pidato saya, disebutkan kasus yang dihadapi Slamet Iman Santoso selaku
dokter spesialis jiwa adalah masalah stres, siswa yang putus sekolah atau salah
tempat.
Persoalan ini dari
perspektif psikolog berkait erat sekali lagi dengan adanya individual differences, sehingga bila terjadi stres adalah normal,
karena terjadi dari adanya ketidak tepatan antara kapasitas intelektual siswa
dengan jenis sekolah, antara kapasitas intelektual dengan tuntutan pekerjaan,
antara minat dengan jenis pekerjaan yang dihadapi, misalnya.
Dalam
klasifikasi taraf kecerdasan, ada taraf yang disebut slow learner atau lamban belajar. Jika siswa berada pada taraf ini, tentu saja tidak cocok untuk mengikuti
pendidikan dengan kurikulum kelas reguler dan bukan juga cocok untuk bersekolah
di SLB, karena taraf kecerdasan siswa masih sedikit lebih baik dari anak-anak
dengan taraf keterbelakangan mental yang bersekolah di SLB. Namun dengan adanya
tempo kerja mereka yang lamban dalam menangkap dan memahami pelajaran, juga
tidak membuat mereka sesuai dengan siswa biasa. Kalau anak-anak dengan katagori
lamban belajar ini disatukan, maka yang terjadi adalah rasa frustrasi.
Sementara siswa lainnya di kelas yang sama dan kebetulan memiliki taraf
kecerdasan yang jauh lebih baik menjadi tidak termotivasi dalam mengikuti
kelas. Sebaik-baiknya anak-anak dengan katagori ini memiliki jenis sekolah
tersendiri saja, agar harga diri dan kesehatan mental mereka terjaga.
Fenomena anak
dengan golongan slow learner cukup
banyak terjadi di sekolah-sekolah. Kalau saja ada 52,9 juta anak usia sekolah
(BPS, 2006) maka jika 22,5,% nya adalah mereka yang tergolong dalam IQ 70-89 ,
diperkirakan ada 10, 5 juta anak usia sekolah tergolong slow learner. Mereka dengan taraf kecerdasan ini sangat sulit
menamatkan jenjang Sekolah Dasar sekalipun. Kalau pun juga tamat SD, anak harus
mengulang kelas beberapa kali, juga masih dengan kemampuan dasar calistung
(membaca, menulis dan berhitung) yang amat rendah.
Melihat daya
saing SDM Indonesia yang rendah, indeks pembangunan manusia Indonesia yang
juga masih jauh
16
ketinggalan dengan negara
serumpun sekalipun, maka sudah saatnya pemerintah, mengkaji ulang pendidikan
formal yang ada. Pendidikan formal yang ada dengan wajib belajar 9 tahun hanya
dengan asumsi jika rata-rata anak usia sekolah di Indonesia semua memiliki
taraf kecerdasan rata-rata (IQ 90-109, Skala Wechsler). Padahal secara
statistik, diasumsikan mereka yang mampu tamat SD berjumlah 45%, mampu tamat
SMP 22,5% . Dengan gambaran ini saya menyarankan pemerintah untuk membuat
alternatif SMP bagi siswa dengan katagori lamban belajar. Bentuk sekolah formal
yang saya sarankan berupa sekolah kejuruan setingkat dengan SMP, berisikan
keterampilan-keterampilan praktis yang dibutuhkan masyarakat . Begitu pula
untuk tingkat SMA, siswa yang memiliki potensi kecerdasan hanya rata-rata atas,
sebaiknya diarahkan masuk SMK, agar nantinya terserap di dunia kerja. Mereka
tidak perlu masuk universitas, namun cukup melanjutkan ke program vokasional,
dan menjadi spesialis dalam bidang minatnya masing-masing.
Bagi siswa
dengan taraf kecerdasan 145 keatas (Skala Wechsler) bias diproyeksikan untuk
terus belajar sampai jenjang setinggi-tingginya di negara-negara yang memiliki
reputasi dalam bidang sains dan teknologi yang berkembang. Anak-anak yang
disebut anak berbakat intelektual atau akademik ini harus dipersiapkan
sebaik-baiknya untuk menghadapi perubahan-perubahan besar di masa depan.
Mereka dibina
terus menerus dan difokuskan untuk menjadi SDM Unggulan yang akan menunjang industri
strategis masa depan. Siswa berbakat intelektual tinggi (highly gifted) seharusnya diarahkan dalam pendidikan yang berbasis
iptek. Menurut Zuhal (2008) karena ada lead
time yang panjang bagi siswa untuk mencapai tahap dalam menguasai
pengetahuan dan teknologi.
Untuk membantu
mewujudkan semua diatas, perlu dibangun peran psikolog dalam sistem pendidikan
nasional. Saya membayangkan akan ada pemeriksaan psikologis besar-besaran pada
peserta didik. Mungkin secara bertahap dulu di tingkat SMP, karena saat ini
sudah banyak tersedia SMK meskipun masih perlu
lagi banyak dipersiapkan
SMK-SMK dengan jenis yang lebih spesifik agar masing-masing lulusannya dapat
berkiprah di dunia kerja dengan merasa berhasil. Rasa keberhasilan, kebahagiaan
ini pada gilirannya akan memperkuat kesehatan mental seseorang. Dan yang jelas
individu akan memiliki pengakuan (harga diri) dari luar berupa imbalan atas
hasil karyanya. Berarti dengan bekerja yang sesuai dengan kompetensi, akan
membuat jumlah angka pengangguran berkurang. Dan ini berarti akan menaikkan
daya saing bangsa.
Pemeriksaan
psikologis di tingkat SMP juga akan membawa APM untuk SMA menjadi tinggi,
karena pemerintah hanya mengarahkan siswa yang mampu melanjutkan SMA dan
diproyeksikan akan berhasil menamatkan pendidikan tingginya.
Jadi
dengan adanya psikolog
di sekolah, khususnya
di
Sekolah Dasar dapat
mengarahkan anak dengan pilihan pendidikan dan karir yang tepat. Tidak harus
semua anak SD, masuk SMP, dan terus SMA serta Universitas karena ada anak yang
secara kapasitas intelektual tidak cukup mampu belajar di SMP. Anak-anak SD
dengan kapasitas intelektual yang kurang sekali IQ 70-90, jika tidak diarahkan
ke sekolah kejuruan setaraf SMP, bagai buah simalakama. Jika tidak melanjutkan
pendidikan dasarnya dan langsung bekerja sebagai buruh atau tenaga kerja kasar,
maka upah yang diperolehpun rendah.
Dan pada
akhirnya lebih memilih menganggur daripada bekerja dengan upah minim. Mereka
inilah penyumbang terbesar gambaran pendidikan tertinggi Indonesia adalah
Sekolah Dasar.
Pada suatu masa
Drost (2000) menyatakan kefrustrasiannya bahwa Indonesia menjadi satu-satunya
negara di dunia tempat semua anak harus mempunyai kemampuan intelektual yang
sama. Karena semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu
lulusan SMA. Mengapa? Ternyata yang lulus UMPTN hanya lebih kurang 10%, lainnya
diluluskan karena ada tempat. Dan ini berlaku juga untuk PT swasta. Mereka yang
ditolak oleh PT-PT yang bermutu lari ke ratusan PT swasta yang mau menerima
mereka. Maka, sebagai contoh, nilai rata-rata dan yang diterima di UI adalah
7,8% sedangkan di sebuah PTN di luar Jawa hanya 4,9%. Akibatnya yang gugur
secara nasional di PTN 85%, di PTS 90%,
18
Berbeda dengan Undang-Undang Republik Indonesia
No.20 Tahun 2003 tentang Ssitem Pendidikan nasional, maka di Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan Pasal 35 tentang Tenaga Kependidikan, telah mengakomodasi profesi
psikolog sebagai salah satu tenaga kependidikan sebatas di SDLB, SMPLB, dan
SMALB. Sedangkan pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK tidak disebutkan sama
sekali. Melihat paparan diatas sebelumnya, saya kira keberadaan psikolog
pendidikan tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus saja.
Untuk itu saya juga berharap jika ada
kesempatan merevisi
PP
No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, agar memasukkan
profesi psikolog juga di jenjang pendidikan formal lain.
Hadirin
yang saya hormati,
Berikut
saya kutipkan pandangan dari seorang pakar psikologi dan seorang pakar
pendidikan tentang apa yang perlu dibekali pada siswa sebagai generasi masa
depan :
”Students generally find the basic academic
subject threatening or dull... if the next generation is to face the future
with zest and self-confidence, we must educate them to be original as well as
competent. For better or worse, our future is closely
tied to human creativity.”
(Csikszentmihalyi, 1997)
”Seven Survival Skills for future generation:
Critical thinking and problem-solving, collaboration across networks and
leading by
influence, agility and adaptability,
initiative and entrepreneurialism, effective oral and written communication,
accessing and analyzing information, curiosity and imagination. Indeed, the Seven Survival Skills are for future generations what the ’Three
R’s’ were for previous generation.”
(Wagner, 2008)
Mihaly
Csikszentmihalyi, seorang profesor psikologi berkebangsaan Hongaria yang saat
ini bekerja di Claremont Graduate University. Ia juga dikenal sebagai salah
seorang tokoh
psikologi positif tingkat
dunia bersama dengan misalnya, Martin Seligman, Ed Diener, C.R Snyder, Albert
Bandura, dan lain-lain yang fokus terhadap kekuatan dan kebajikan yang dimiliki
seseorang sehingga membuat hidup lebih bermakna. Sedangkan Tony Wagner adalah Co-Founder Change Leadership Group di
Harvard dan penerima grant dari Bill & Melinda Gates Foundation dalam bidang pendidikan,
serta penulis buku The Global Achievement
Gap.
Pesan yang ingin
disampaikan adalah sistem sekolah saat ini belum mengakomodasi kebutuhan masa
depan anak bangsa. Untuk itu perlunya mengembangkan kreativitas, daya inovasi,
mental wirausaha dan kemampuan kolaborasi demi suksesnya generasi muda di masa
depan.
Joseph Coates
seorang konsultan masa depan dalam bukunya yang berjudul 2025 Scenarios of US and Global Society Reshaped by Science and Technology memperkirakan di tahun 2025 ekonomi dunia akan dipengaruhi
oleh perkembangan lima bidang sains yaitu Teknologi Informasi (Information Technology), Teknologi
Material (Materials Technology),
Genetika (Genetics) dan Teknologi
Energi (Energy Technology) dan
Lingkungan (Environmentalism).
Pertanyaan saya
siapakah di Indonesia yang bisa diandalkan untuk menjadi pekerja terdidik (knowledge worker) dalam lima bidang
diatas? Anak-anak yang katagorikan sebagai anak berbakat intelektual tinggi (highly gifted) dengan IQ 145 keatas
(dalam skala Wechsler). Secara teoritis, dalam populasi ada sekitar 1 %,
sehingga bila kita memiliki 52,9 juta anak usia sekolah maka sekurang-kurangnya
ada 529 ribu anak Indonesia memiliki prospek sebagai pekerja terdidik.
Contoh
cerita sukses tentang pembinaan anak-anak berbakat intelektual atau akademik
ini kita ketahui bersama dilakukan oleh Prof. Johannes Surya, Ph.D dengan
proyek TOFInya.
Proses seleksi yang ketat
dan pembinaan seperti yang telah dilakukan Tim Olimpiade Fisika Indonesia
(TOFI) selama 13 tahun telah membuktikan bahwa anak Indonesia ada yang dapat
diandalkan dan dibanggakan. Disebutkan bahwa sampai saat ini Indonesia sudah
meraih 29 medali emas, 20 perak, dan 38 perunggu dalam olimpiade fisika.
Untuk kompetisi
lain seperti The First Step to Nobel
Prize in Physics Indonesia
mempunyai 4 medali emas (Surya, 2008). Disebutkan
pula bahwa para alumni TOFI kini tersebar di berbagai perguruan tinggi terbaik
di luar dan di dalam negeri seperti Princeton, MIT, Caltech, Stanford,
Maryland, Wisconsin dls, dls. Diantara mereka disebutkan meraih gelar Ph.D
dalam usia 23 tahun, bahkan ada yang mendapat gelar profesor dalam usia 25
tahun.
Menurut saya hal
yang lebih penting lagi bahwa setelah kejuaran mereka raih, gelar tinggi
akademik mereka miliki, apa yang mereka berikan bagi masa depan bangsa ini?
Jika Indonesia
ingin jauh lebih maju, maka belajar dari pengalaman negara maju lainnya, harus
sangat gandrung pada ilmu pengetahuan. Menurut Zuhal (2008) negara-negara yang
bangkit industrinya menunjukkan kegairahan terhadap iptek. Untuk itu masyarakat
secara umum perlu disadari bahwa besarnya peran iptek dalam pembangunan akan
membawa dampak yang signifikan dalam produktivitas suatu bangsa dan pada
gilirannya akan mampu menumbuhkan inovasi untuk meningkatkan daya saing bangsa
pada persaingan global. dan ketrampilan mental wirausaha.
Departemen
Pendidikan Nasional dapat menjadikan Pusat-Pusat Kajian Keberbakatan Fakultas
Psikologi di setiap propinsi sebagai mitra untuk melakukan pemeriksaan
psikologis dan melakukan intervensi, melakukan pelatihan-pelatihan dan konseling baik individual
maupun kelompok, serta melakukan riset-riset sehubungan dengan masalah
perkembang siswa.
Pendidikan bagi
anak berbakat intelektual atau akademik tinggi harus dilakukan secara khusus.
Mereka inilah justru andalan utama dan tulang punggung masyarajat berbasis
pengetahuan yang akan memegang peran masa depan. Kepada mereka psikolog di
sekolah dapat memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan dasar yang dibutuhkan
untuk meningkatkan daya saing seperti
ketrampilan berfikir kreatif,
ketrampilan bekerjasama, keterampilan pemecahan masalah
Keberadaan
psikolog sebagai tenaga kependidikan di sekolah, saya harapkan akan bisa lebih
mengoptimalkan kualitas keluaran pendidikan nasional di masa depan.
Hadirin yang saya muliakan,
Pada akhir pidato ini, kembali saya panjatkan
puji syukur
tak terhingga ke hadirat
Allah SWT atas karunia yang dilimpahkan-Nya pada saya dan keluarga, berkat
rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menduduki jabatan guru besar di Universitas
Indonesia.
Penghargaan yang
tinggi saya tujukan kepada Rektor Universitas Indonesia dan Dewan Guru Besar
Universitas Indonesia yang telah menyetujui pengusulan saya untuk memangku
jabatan Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia beserta
Dewan Guru Besar Fakultas yang telah menerima saya di lingkungan akademik yang
terhormat ini. Tuntunan dan bimbingan Saudara sekalian senantiasa saya
harapkan.
Kepada Dr.
Wilman Dahlan Mansoer, MOP, Dekan Fakultas Psikologi yang sekarang, beserta Dr.
Tjut Rifameutia Ali Nafis, MA Wakil Dekan, serta Dra. Siti Dharmayati Utoyo
Lubis, MA, PhD Dekan Fakultas Psikologi yang lama, terima kasih atas segala perhatian, dukungan
dan bantuan yang diberikan dalam mengusulkan saya sebagai guru besar.
Ucapan terima
kasih, penghargaan dan hormat saya sampaikan ke sejumlah dosen dan pimpinan
Fakultas Psikologi UI yang telah mengantarkan, membina dan mendukung
pengembangan karir saya di Fakultas Psikologi UI maupun sebagai psikolog
praktek.
Prof.Dr. Ashar Sunyoto
Munandar (alm) yang sebagai Dekan (1981-1984), telah memberikan banyak
kesempatan dan
dukungan untuk pengembangan
karir saya. Khususnya pengalaman pertama saya begitu lulus menjadi Sarjana
Psikologi untuk bekerja magang sebagai staf Biro Pendidikan sebelum saya
diterima sebagai asisten dosen di Bagian Psikologi Perkembangan dan akhirnya
mengusulkan saya sebagai CPNS;
Prof.Dr. Fawzia Aswin Hadis
yang sebagai Kepala Bagian Psikologi Perkembangan pada tahun 1981 telah
menerima saya sebagai staf Bagian Psikologi Perkembangan. Beliau adalah guru
pertama dalam karier saya, yang sedikit banyak mempengaruhi gaya saya dalam
mengajar;
Prof.Dr. Utami Munandar guru
yang banyak berjasa dalam hidup saya, sejak awal saya berkarier di Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia banyak memberikan dukungan, semangat, nasihat,
teguran, perhatian, kesempatan, dan berbagai pengalaman berharga yang membentuk
saya menekuni bidang psikologi keberbakatan; saya sampaikan pula rasa hormat
saya pada beliau.
Prof.Dr. Yaumil Agoes Achir
(almh) yang sejak awal mengajak saya untuk bergabung bersama dengan teman
sejawat lainnya mendirikan Bagian Psikologi Pendidikan. Beliau salah satu sosok
model bagi karier saya. Satu hal yang mengagumkan dan tidak pernah saya lupa,
adanya kepedulian besar almarhumah walau dalam keadaan sakit keras
menyemangati saya untuk menjadi guru besar.
Prof.Dr. Sarlito Wirawan
Sarwono yang sejak menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi banyak mendukung
dan memberi kesempatan bagi pengembangan diri saya untuk berkiprah di tingkat
internasional menghadiri berbagai konferensi tentang keberbakatan. Beliau
adalah tempat curhat, penasehat, pembina yang memompakan energi untuk menjadi
guru besar;
Prof.Dr. Soesmaliyah
Soewondo terima kasih atas kehangatan personal yang diberikan; Prof.Dr.
Suprapti Sumarmo Markam terima kasih atas perhatian dan kepedulian terhadap
masalah karier saya, Prof.Dr. Siti Marliah Tambunan terima kasih atas dukungan
moril yang diberikan;
Dra. Semiati Ibnu Umar,
Psikolog yang telah memberi kesempatan saya belajar untuk mengelola biro
psikologi dan menjadikan saya - sesibuk apapun- mencintai praktek psikologi
sampai saat ini.
Kepada semua
guru dan dosen yang telah mendidik saya dari TK hingga Perguruan Tinggi, saya
ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa dan bimbingan
merekalah pada hari ini saya dapat menyampaikan pidato pengukuhan ini. Ucapan
terima kasih secara khusus kepada Prof.Dr. Moegiadi, MA (alm), yang telah
membimbing tesis saya dan membuat saya kagum atas penguasaan ilmunya; Dr.
Engeline Bonang, Psikolog yang telah menjadi ko-promotor disertasi saya dan
telah mampu meyakinkan saya agar mantap untuk mengikuti Program Doktor
Psikologi disaat saya sedang hamil anak keempat;
Prof. Dr. Conny Semiawan,
yang membuat saya merasa terhormat sebagai fresh
graduate saat itu dapat menjadi bagian dalam kegiatan Kelompok Kerja
Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPAB) yang terdiri dari pakar-pakar
pendidikan Indonesia, di saat beliau menjabat sebagai Ketua Pusat Kurikulum
Bapak Supangat (Alm) dari
OTO/Bappenas yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjadi visiting scholar di Purdue University,
saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.
Kepada Professor John
Feldhusen Ph.D, dari Gifted Education
Resource Institute (GERI) Purdue
University saya sangat terkesan
dengan segala perhatian, kebaikan, kehangatan, keramahan, dukungan serta
kesempatan yang diberikan selama saya di West Lafayette, sehingga saya banyak
belajar tentang berbagai layanan pendidikan anak berbakat di negara bagian Midwest. Saya juga tidak lupa kebaikan
dan pertolongan yang diberikan
Keluarga Hadar Gumay, dan teman sejawat Adriana Ginanjar selama saya di Purdue.
Kepada
Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kepercayaan pada saya
sebagai narasumber program percepatan belajar untuk sekolah-sekolah dibawah
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah sejak tahun 1999 sampai dengan
2005, sehingga program percepatan belajar (akselerasi) di seluruh Indonesia
dapat diwujudkan, saya sampaiakn penghargaan dan terima kasih
setinggi-tingginya.
Begitu pula
kepada para Kepala Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar
(akselerasi), saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama yang
baik sampai saat ini. Juga kepada teman-teman media massa yang telah
membesarkan kepakaran saya selama ini terima kasih atas kepercayaan dan jalinan
kerjasamanya.
Ucapan terima
kasih secara khusus saya sampaikan pada Prof.Dr. Arief Rahman, M.Pd beserta
staf SMA Lab School yang
telah memberikan tantangan
pertama kali tentang program akselerasi dari sisi psikologis, dan Bapak H.
Maulwi Saelan dari Al Azhar Syifa Budi atas kerjasama dan dukungan yang selalu
diberikan. Kepada para mahasiswa dan para alumni yang selama ini bergiat
membantu, mendukung, dan menghidupkan Pusat Kajian Keberbakatan dengan
berbagai aktivitas saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya.
Khusus kepada
teman-teman sejawat Bidang Studi Psikologi Pendidikan : Dr. Frieda M.
Mangunsong, M.Ed., Kepala Bidang Studi Psikologi Pendidikan,.Stephani Yuanita,
S.Psi.,M.Psi., Sekretaris Bidang Studi Psikologi Pendidikan, Prof.Dr. Soetarlinah
Sukadji, Dra.Miranda D. Zarfiel, M.Psi., Dra.Evita Singgih,M.Psi., Dra.
Diennaryati Tjokrosuprihatono, M.Psi., Drs. Gagan Hartana TB, M.Psi. T.,
Dra.Puji Lestari Suharso, M.Psi., Dr. Rosemini AP, M.Psi., Dr. Lucia R,M.
Royanto, M.Sp.Ed., Dra. Wahyu Indianti, M.Si., Dra. Farida Kurniawati, M.Sp.Ed,
Dra. Linda Primana,M.Si., Dra. Eva Septiana Barlianto, M.Psi., Wuri
Prasetyawati A, Psi.,M.Psi., Airin Y.Saleh, S.Psi., M.Psi,Patricia,
S.Psi.,M.Psi., Widayatri Sekka Udaranti, S.Psi.,M.Psi., Dianti Endang
Kusumawardhani, Psi.,M.Si., Adih Respati, S.Psi., saya ucapkan terima kasih
sebesar-besarnya atas semua kepedulian, kerjasama, bantuan yang diberikan.
Demikianpula kepada Saudari Helmi, Saudara Saridja, Saudara Andi, Saudari Denok
dan Saudari Khairunisa yang selama ini selalu membantu kegiatan sehari-hari,
saya ucapkan banyak terima kasih.
Hadirin sekalian yang
terhormat,
Sembah sujud dan
rasa terima kasih saya yang tidak terhingga kepada almarhum ayahnda Doelli
Hawadi dan ibunda Hj. Puti Dalima Iskandar yang telah membesarkan dan mendidik
saya dengan limpahan kasih sayang dan penuh kebahagiaan. Ayahnda yang selalu
memberikan rasa bangga dan percaya diri pada saya. Ibunda yang sepanjang
hidupnya mengabdi untuk suami dan anak-anaknya. Nilai-nilai ketaqwaan,
kejujuran, kerajinan, kegigihan, ketekunan, keuletan, kegigihan, ketegaran
tidak mudah menyerah oleh nasib, dan disiplin dalam waktu yang ditunjukkan
ibunda, menjadi anutan saya selama ini. Kepada mertua saya, almarhum dr. H. Ali
Akbar dan Hj. Elly sembah sujud dan terima kasih atas pengertian, dukungan
yang diberikan
26
selama ini. Kepada kakak
beradikku, Arie, Nita, Siska, Wina, Bibin, Ade, dan Dian dan keluarga
masing-masing terima kasih atas segala doa, dukungan dan cinta selama ini.
Begitupula buat para ipar,
keponakan dari keluarga dr.H. Ali Akbar terima kasih atas segala doa, kerjasama
dan bantuan yang diberikan.
Kepada suamiku
tercinta, H. Zulkfili Akbar, yang dirahmati Allah. Kau adalah jantung hatiku,
belahan jiwa, imam, tempatku berlabuh di kala gundah, sahabat berbagi suka
duka. Hanya Allah yang tahu apa yang kurasakan. Terima kasih atas semua cinta,
pengorbanan, pengertian, dukungan, kerjasama, kehangatan, dan limpahan kasih
sayang yang engkau berikan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah
ayah berikan pada bunda selama ini.
Kepada
anak-anakku Aidil, Chica, Ardha, Nazura, Ali dan Gladyz, permata hatiku, bunda
sangat bangga pada kalian semua. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungan
yang telah kalian berikan sampai saat ini. Semoga dengan ridho Allah SWT
kalianpun dapat mencapai cita-cita tinggi kalian. Jangan mudah menyerah. Doa
bunda menyertai selalu. Juga untuk Septi yang telah memberikan Marvel Bless,
sebagai anugerah tak ternilai yang diberikan Allah SWT.
Akhirnya, sekali
lagi saya menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah saya
sebut diatas dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu telah
membantu dalam perjalanan hidup dan karier saya. Dan kepada hadirin semua yang
telah dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan pidato pengukuhan ini, saya
mengucapkan terima kasih. Mohon maaf jika ada kekeliruan, kekhilafan dalam
ucapan pidato pengukuhan saya ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan
hidayah Nya kepada kita semua. Amin.
Wabillahittaufiq walhidayah
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Saiful. (2005). Indra Djati Sidi. Dari ITB Untuk
Pembaruan Pendidikan.
Jakarta : Teraju
Mizan BPS.
(2008).
Badan
Pusat Statistik.(2008). Data Strategis
BPS. Jakarta
:
Badan Pusat Statistik.
Binde, Jerome. (2001). Keys to
the 21st Century. Paris : UNESCO.
Borland, James H.
(2003). Rethinking Gifted Education. NY:
Teachers College Press.
Departemen Pendidikan Nasional R.I. (2003). UU Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta : Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.
Drost, J.Sj (2000). Reformasi
Pengajaran. Jakarta : Grasindo Gibbon, Carol Taylor Fitz. (1996). Monitoring Education. Britain : Cassel
Education.
Hawadi, Reni Akbar. (2007). Menemukenali dan
Mengembangkan Bakat Anak sebagai Upaya
Mempersiapkan Generasi Penerus. Orasi Ilmiah. Dipresentasikan dalam Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia ke 54. Depok : 5 Maret 2007.
Hatta, Radjasa M. (2008). Meningkatkan Daya Saing Manusia Indonesia.
Dalam Menapaki Perjalanan Bangsa. Catatan
80 Tokoh Nasional. (Hal 642 –
653). Jakarta : Lembaga Jangka Indonesia
bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga RI.
28
Jacobson, Stephen L., Conway, James A. (1990). Educational Leadership in an
Age of Reform. NY : Longman.
Makagiansar, Makaminan. (2002). Saling Asih, Saling Asuh,
Saling
Asah.
Merrell, Kenneth W.,Ervin, Ruth A., Gimpel, Gretchen, A. (2006). School Psychology For The 21 st Century.
Foundations and Practices. London : The Guilford Press.
Monks, Franz., Peters, Willy. (1992). Talent For The Future. Assen : Van Gorcum.
Santoso, S.I. (1979). Pembinaan
Watak Tugas Utama Pendidikan.
Jakarta : UI Press.
Soedijarto. (2008). Landasan dan
Arah Pendidikan Nasional Kita.
Jakarta : Kompas.
Studer, J.R. (2005).
The Professional School Counselor. US
:
Thomson Brooks/Cole
Surya, Yohannes. (2008). Manusia
Unggul Indonesia. Dalam Menapaki
Perjalanan Bangsa. Catatan 80 Tokoh Nasional.(Hal 688 – 698). Jakarta :
Lembaga Jangka Indonesia bekerja sama
dengan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga RI.
Suyanto. (2006). Di Belantara
Pendidikan Bermoral. Yogyakarta :
UNY Press.
Tilaar, H.A.R. (2004).
Paradigma Baru
Pendidikan Nasional.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi
Pendidikan Nasional. Suatu
Tinjauan
Kritis. Jakarta :
Rineka Cipta.
Universitas Airlangga, Fakultas Psikologi.(2003). Pendidikan
Psikologi
di Indonesia.
Surabaya : Sinopsis Lokakarya
Kolokium Psikologi Indonesia.
29
Wagner, Tony. (2008). The Global
Achievement GAP. NY : Basic
Books.
Yudhoyono, Susilo Bambang. ( 2008). Indonesia Unggul. Jakarta :
PT Gramedia.
Zuhal. (2008). Kekuatan Daya Saing Indonesia. Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan. Jakarta : Kompas.
www.allpsychologyschools.com/faqs/school-psychology.ph
http://www.idp-
europe.org/indonesia/docs/SALAMANCA_indo.pdf
http://www.psikologi.ui.ac.id/campus_facility.php?ch=10&tp=03 http://himpsi.org/content/view/1/3/ http://www.tofi.or.id/?mod=profile&read=aboutus
http://ditptksd.go.id/index.php?option=com_content&view=artic le&id=61:mendiknas-optimis-wajib-belajar-9-tahun-tercapai-2009&catid=1:berita-terbaru