JAKARTA. Kecerdasan intelektual tidak cukup bagi seseorang untuk meraih kesuksesan. Dibutuhkan pula kreativitas dan komitmen terhadap tugas. Oleh karena itu, tidak hanya kecerdasan yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak usia dini.
Demikian dinyatakan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog kepada para pejabat aparatur negara yang menjadi peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan XLIX di Gedung Pancagatra Lembaga Pertahanan Nasional, Jakarta, Selasa (26/3). Program pendidikan tersebut merupakan bagian dari tahap yang harus dilalui para peserta untuk menduduki jenjang karier yang lebih tinggi.
“Sebenarnya tidak perlu memiliki kecerdasan yang tinggi untuk sukses, cukup di atas rata-rata. Banyak faktor lain dibandingkan kecerdasan yang lebih mempengaruhi keberhasilan,” kata Dirjen PAUDNI yang merupakan psikolog keberbakatan itu.
Dijelaskan Dirjen, 80 persen keberhasilan seseorang justru didapat dari pengasuhan (nurture), sisanya barulah dari bawaan (nature). Oleh karena itulah pendidikan memiliki peran yang samat penting. Berbagai penelitian membuktikan ini. Kecerdasan intelektual (Intelligence quotient -IQ) bukanlah faktor tunggal, apalagi faktor utama dalam memperoleh keberhasilan hidup.
Ini sesuai dengan teori keberbakatan dari J. S. Renzulli tahun 1978 yang mengungkapkan “the three ring coneption of giftedness”. Menurut Renzulli, seseorang yang berbakat memiliki tiga komponen yang saling berkaitan, yakni kecerdasan intelektual, kreativitas yang tinggi, dan komitmen terhadap tugas.
“Kedisiplinan, keuletan, kerajinan, dan ketangguhan merupakan bagian dari komitmen terhadap tugas,” kata Dirjen.
Teori ini sejalan dengan berbagai hasil penelitian yang telah dikaji. Salah satunya adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Dirjen PAUDNI yang juga Guru Besar Universitas Indonesia dalam bidang keberbakatan ini. Penelitian itu menyebutkan, 20 persen murid di sekolah menengah atas (SMA) unggulan tenryata memiliki kecerdasan intelektual di bawah rata-rata (ber-IQ di bawah 90). Penelitian tersebut dilakukan di 20 SMA unggulan yang tersebar di 18 provinsi.
“Ternyata ada faktor-faktor nonintelektif yang mempengaruhi keberhasilan, seperti ketekunan, keuletan, kerajinan, kedisiplinan belajar, dan ketangguhan siswa. Ini merupakan variabel terbesar yang paling berkontribusi pada keberhasilan siswa menjadi peserta didik di sekolah unggulan,” kata Dirjen yang lebih dikenal dengan nama Reni Akbar-Hawadi ini.
Anak mandiri dan tertib, siap masuk sekolah
Oleh karena itu, Dirjen menegaskan, kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) bukanlah syarat bagi calon murid diterima di sekolah dasar (SD). Seharusnya, faktor lain seperti kemandirian dan ketertiban calon murid yang menjadi pertimbangan.
“Bukan calistung yang menjadi ukuran seorang anak bisa diterima di SD. Kesalahan seperti ini sudah terjadi selama 30 tahun. Saya harap ini tidak lagi terjadi. Saya tegaskan, mengajarkan calistung adalah tugas guru kelas 1 SD, bukan guru TK,” ujar Dirjen.
Dijelaskan Dirjen, kemandirian adalah salah satu bagian dari kreativitas, satu komponen keberhasilan yang disebutkan pada teori keberbakatan dari Renzulli. “Orang yang kreatif adalah orang yang mandiri,” kata Dirjen. Oleh karena itulah, Dirjen mengharapkan agar para orang tua mengajarkan kemandirian terhadap anak sejak dini.
“Saya paling suka liat anak-anak kecil yang aktif lari kesana kemari. Kalau melihat anak umur tiga tahun masih mengekor ibunya, kasihan ibunya tidak bisa melakukan apa-apa. Anaknya tidak bisa mandiri karena selalu dibantu oleh orang tua. Itu tidak bagus,” kata Dirjen.
Selain kemandirian, karakter yang perlu dibangun adalah kemampuan bersikap tertib. Dalam hal ini, kata Dirjen, anak dilatih untuk bersikap sabar saat mengantri, misalnya ketika ingin mencuci tangan. Selain itu, anak juga dapat ajek berperilaku saat meletakan barangnya dan menggunakan mainan dan permainannya secara bergantian dengan teman. Anak pun dapat ajek pula dalam menjaga kebersihan, misalnya dengan membuang sampah di tempatnya.
“Ini yang seharusnya yang menjadi indikator seorang anak sudah siap untuk masuk ke sekolah dasar,” ujar Dirjen sekali lagi menegaskan. (Dina Julita/HK)