Oleh: Prof. Dr. Thomas Suyatno
Politisi, Pendidik, Bankir
Sekitar tahun
1985, ketika saya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional
(Depinas) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), sahabat saya,
Sdr. Dr. Yoseano Waas (almarhum) sebagai seorang tokoh dan kader senior Soksi
memperkenalkan Ibu Reni Hawadi, demikian panggilan akrab Prof. Dr. Lydia
Freyani Hawadi.
Kesan mendalam
saya, dari perkenalan pertama dengan Ibu Reni, adalah bahwa saya berhadapan
dengan seorang cendikiawan yang cerdas, keras, dan sederhana. Dalam sikap
kesederhanaannya dalam kehidupan dan pembicaraan, beliau menunjukkan
integritasnya sebagai cendekiawan dan pendidik. Saya berpendapat bahwa bekerja
keras disertai integritas moral itulah yang seharusnya merupakan sifat khas
yang harus dimiliki oleh setiap insan pendidik. Sebagai pendidik, kita harus
selalu memberikan keteladanan.
Perkenalan yang
semula hanya terbatas sebagai teman seperjuangan di Soksi dan terbatas sebagai
sahabat, ternyata kemudian berkembang menjadi sangat akrab. Kami cukup sering
berdialog dengan Ibu Reni dan suaminya, bang Akbar. Sebagai sesama Ikatan
Keluarga Lemhannas (IKAL), kami sangat sering berdiskusi tentang masalah
kenegaraan, politik, dan ekonomi. Selain itu, beliau sebagai seorang pendidik
di Fakultas Psikologi UI, kami sering bertukar-pikiran dan gagasan mengenai
dunia pendidikan di Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous)
serta era TUNA (Turbulent, Uncertain, Novel, Ambiguous), berlanjut dengan
Turbulensi Disrupsi, berkembang menjadi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka
(MBKM). Di masa pandemic Covid-19 yang berkepanjangan dan tidak satu orang pun
tahu kapan akan berakhir, kami sering bertanya: apakah pandemic seyogyanya
sebagai warning terhadap kondisi comfort zone? Dan apakah seyogyanya pandemic
merupakan momentum untuk mengubah bencana menjadi peluang, bahkan untuk
bertransformasi dan bereformasi?
Sifat-sifatnya
yang tabah, konsekuen, kerja keras, jujur, disiplin, dan terus terang cukup
saya kenal. Sebagai intelektualis, cendikiawan, pendidik, dan Guru Besar, Prof.
Reni dikenal sebagai seorang yang menekankan nalar.
Penekanan pada
nalar ini sebenarnya lumrah saja dilakukan oleh seorang pendidik – apalagi
intelektual, karena justru yang hakiki membedakan manusia sebagai animal
rationalist dari animal lain adalah
kemampuannya menggunakan nalar atau rasionya. Memang dalam diri manusia ada nalar
dan naluri, sedang dalam titah lainnya hanya ada naluri; aksi dan reaksi muncul
secara naluriah, demi penyelamatan diri dan jenis, serta karena ada hasrat
mengembangbiakkan dirinya.
Ketika beliau
diangkat menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non-formal dan
Informal pada tahun 2012 sampai dengan 2014, banyak orang seperti tersentak
oleh kehadirannya. Konsep-konsepnya, pikiran, dan gagasan yang dituangkan,
menyadarkan orang-orang di lingkungan kerjanya untuk tidak bertindak demi reservasi
diri dan prokreasi kita semata-mata, baik dalam harafiah maupun dalam arti yang
lebih luas. Pikiran dan gagasan Prof. Reni merangsang orang, khususnya
teman-teman sejawatnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI serta
kawan-kawan seperjuangan di Soksi, FKPPI, dan berbagai karya serta pengabdian
lainnya untuk membuka mata pada ruang-ruang perbendaharaan intelektual yang
memungkinkan manusia melibatkan diri di dalamnya menjadi lebih kaya secara
spiritual. Kekayaan spiritual dan kesadaran intelektual inilah yang mencirikan
manusia sebagai makhluk tertinggi di antara semua mahluk ciptaan-Nya.
Saat menjadi
pendidik maupun menjadi birokrat, beliau menekankan kekuatan penalaran
individual dalam akal budi peserta didik dan stafnya, bahkan teman-teman seperjuangan
di Soksi. Kesan saya, beliau mencita-citakan individu yang mampu berpikir
mandiri, yang kemudian karenanya dapat membentuk masyarakat demokratis, bukan
masyarakat otoriter, di mana manusia-manusia mau didikte. Sebaliknya, adanya
individu-individu yang berpikir mandiri akan merupakan sumber kreativitas dan
daya inovasi untuk dasar kemajuan masa depan bangsa Indonesia.
Sikap dan
kegiatan Prof. Reni bersumber pada pengetahuan yang didapatkan dari merasa dan
berpikir. Penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik
tertentu di dalam menemukan kebenaran. Di dalam setiap diskusi dan dalam masa
hidupnya, Prof. Reni hampir selalu menekankan kekuatan nalarnya, selain
nalurinya.
Prof. Reni adalah
seorang Islam yang saleh, secara totalitas bertawakal, dan mengimani
kepercayaannya secara menyeluruh. Semua ajaran agama dihayati dengan penalaran
yang jelas. Beliau berpendirian bahwa selain dari pada dirinya sendiri, pada
akhirnya seseorang itu dalam menjalankan perintah-perintahNya harus mempertanggungjawabkan
diri langsung kepada Tuhan Sang Mahapencipta, bukan kepada orang lain.
Kenyataannya, beliau orang yang sangat patuh dalam melaksanakan agama Islam.
Sebagai orang yang kuat penalarannya, beliau adalah deep thinker, orang yang
berpikiran mendalam, mempunyai disiplin sebagai pribadi dan pengendalian diri
yang kuat. Meminjam istilah kejawen, saya dapat mengatakan bahwa Prof. Reni
adalah orang yang tahan matiraga. Tidak mengejar kekayaan, melainkan nrimo ing
pandum. Sepengetahuan saya, beliau sangat hormat kepada orangtuanya, terutama
Ibunya, tentu juga menyayangi suami dan putra-putrinya. Justru karena
martabatnyalah seorang Ibu harus dihormati, sebagai ibu dari anak-anaknya,
sebagai istri bagi suaminya, juga karena profesinya sehubungan dengan kepandaiannya.
Perempuan memang harus diangkat, dijunjung, dan dihormati—bukan dilecehkan.
Beliau melangkah
dan mengisi hidup ini dengan totalitas pengetahuan yang bersumber pada nalar,
naluri, serta wahyu. Wahyu didapatnya melalui agama yang dianutnya, yang
merupakan komunikasinya dengan Tuhan. Mengikuti perjalanan Prof. Reni, kita
menjadi mengerti bahwa ada dua jalan hidup ini, yakni: jalan ilmu pengetahuan
dan teknologi bagi cendekiawan dan jalan tindakan bagi pelaksanaan karya atau
tugas. Selesai tugas sebagai Dirjen dan berbagai karya pengabdian lainnya,
Prof. Reni kembali ke dunianya: pendidik dan cendekiawan. Beliau seolah diam.
Namun diamnya itu justru membuat suara kebenaran terdengar.
Banyak yang
dengan terus terang, banyak pula yang diam-diam memuji, membenarkan, serta
menggunakan pikiran dan gagasan Prof. Reni, yang tatkala bertugas seperti
tercurah dalam bentuk konsep-konsep, baik secara mendasar maupun secara
praktikal.
Pada akhirnya
saya ingin menekankan bahwa hidup ini relatif pendek, majemuk, dan memiliki
banyak keterbatasan. Kebebasan itu perlu di dalam berbagai keterbatasan.
Mengutip Rene Descartes, filsuf ternama Perancis yang mengatakan Cogito Ergo Sum, yang artinya, “Saya berpikir
maka saya ada”. Tetapi jelas, biasanya kemauan itu lebih besar daripada
kemampuan. Juga kebahagiaan itu perlu ada dalam keterbatasan itu. Dan hanya
mereka yang mau dan mampu bersyukur kepada Tuhan, dapat merasakan kebahagiaan
itu.
Pada kesempatan ini, saya, istri,
anak-anak, dan cucu-cucu menyampaikan selamat ulang tahun ke-65 pada 22 Maret
2022 kepada Prof. Reni, dengan harapan semoga Tuhan Yang Mahaesa selalu
memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bersama keluarga dan terus berkarya
demi pembangunan sistem politik dan sistem pendidikan nasional kita.
Jakarta, 25 Januari 2022
Thomas Suyatno