Senin, 22 Oktober 2018

SKB Untuk Pemberantasan Buta Aksara

Jakarta [SAPULIDI News] - Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen PAUDNI Kemdikbud) menggalakkan keberadaan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB). Tujuannya, pemberantasan buta aksara melalui jalur pendidikan formal dan non formal.

SKB adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas, di bawah Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota yang mengusung tugas pengembangan model pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal di tingkat kabupaten/kota.

SKB memiliki sejumlah program dan layanan yang menitikberatkan pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Diantaranya, program kesetaraan Paket A (setara SD), dan paket B (setara SMP) bagi anak-anak putus sekolah, dan kurang beruntung lainnya. Sebanyak 151 SKB yang tersebar di kabupaten/kota di 25 provinsi saat didirikan pada 23 Juni 1978, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 206/O/1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sanggar Kegiatan Belajar.

Uniknya, Dirjen PAUDNI Kemdikbud Lydia Freyani Hawadi menuturkan, ketika 
Sosialisasi SKB di program Sarapan Pagi, Radio KBR 68H, terdapat pemilihan pendidikan kewirausahaan dan ketrampilan berdasarkan potensi daerah yang dimiliki.

"Jadi, tidak hanya belajar pendidikan formal, pendidikan kewirausahaan diberikan menurut potensi daerah masing-masing," ujarnya di Studio Pusat Informasi dan Humas, hari ini (24/12).

Mengintip kisah manis dari kesuksesan pendidikan kewirausahaan melalui SKB, mengungkapkan,"Itu, kita punya contoh dari SKB Banyumas, dan Kalibagor untuk sentra kerajinan batik Purwokerto." Kedua SKB tersebut merupakan contoh keberhasilan dari SKB ketika mberikan pendidikan membatik pada peserta didik, yang kemudian menjadikan Purwokerto sebagai sentra kerajinan batik.

Intervensi Pengembangan SKB
Saat ini, keberadaan SKB perlu mendapat intervensi pengembangan. Sebagai informasi, SKB merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga (PLSPO) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di era otonomi daerah. Sehingga, SKB ini berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kotamadya.

Pasca diberlakukan otonomi daerah, landasan hukum keberadaan SKB hanya berupa peraturan bupati atau peraturan walikota. Tidak ada payung hukum yang berlaku secara nasional yang mengatur keberadaan SKB.

"Akibatnya, nasib SKB tidak dapat memberdayakan masyarakat di daerah dengan efektif karena seolah-olah kehilangan induk," tutur Lydia.

Adapun intervensi pengembangan berupa pemberian bantuan dan untuk penguatan program layanan. Sebanyak Rp 600 juta untuk 10 SKB percontohan di Indonesia digelontorkan. Usai sosialisasi, Lydia berpesan akan pentingnya sinergi positif antara pemerintah pusat (Kemdikbud), pemerintah daerah (Dinas Pendidikan Daerah ), maupun pamong belajar sebagai pengelola SKB maupun BPKP untuk intervensj pembenahan. "sinergi kerjasama itu penting supaya dapat efektif lagi SKB," tutupnya.

Sumber : Kemdikbud

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia