KBR68H, Jakarta-
 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali memperingati Hari Aksara 
Internasional (HAI) ke-48 tingkat nasional. Peringatan HAI 
diselenggarakan pada tanggal 8 September setiap tahun berdasarkan atas 
ketetapan UNESCO. Peringatan ini untuk meningkatkan komitmen dan 
membangkitkan semangat berbagai pihak dalam pemberantasan buta aksara.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian 
Pendidikan & Kebudayaan RI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi 
menjelaskan, peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) di Indonesia 
sangat penting karena di negara berpenduduk 24o juta jiwa lebih ini, 
angka buta aksara masih tinggi, berkisar 6,5 juta jiwa lebih.
”Meski kita sudah dianggap berhasil mengurangi jumlah itu dibanding 
tahun lalu namun angka buta aksara di dalam negeri masih terbilang cukup
 tinggi. Tahun lalu kita berhasil mengurangi sebanyak satu juta. Atas 
prestasi itu kita mendapat penghargaan dari UNESCO,” jelas Lydia Freyani
 Hawadi dalam acara perbincangan Daerah Bicara KBR68H bekerjasama dengan
 Kemendikbud di Gedung C, Kemendikbud RI, Rabu (18/9).
Setiap tahun HAI terus diselenggarakan. Tujuannya untuk memberikan 
apresiasi kepada kepala daerah, baik Provinsi, Kabupaten/Kota. ”Bagi 
daerah yang berhasil menurunkan tuna aksara di daerahnya akan 
mendapatkan penghargaan dalam setiap perayaan,” tegasnya.
Papua Tertinggi
Saat ini terdapat 13 Kabupaten/Kota memiliki angka buta aksara di atas 
rata-rata Nasional. Daerah tertinggi itu antara lain wilayah Papua. 
Untuk mengentaskan tuna aksara di Bumi Cenderawasih itu, Pemerintah 
Pusat menggelontorkan anggaran sebesar Rp12 miliar lebih. 
”Untuk koridor 1 Sumatra itu bersih, tidak ada tuna aksara. Kemudian 
yang di Jawa itu, Jawa Tengah dan Jawa timur. Kalau Kalimantan itu, di 
Kalimantan Barat yang paling banyak. Untuk Sulawesi, hampir seluruhnya, 
minus Sulawesi Utara. Kalau koridor 5, itu Papua. Jumlahnya masih sangat
 ekstrim, 35 persen lebih masih tuna aksara. Ke depan kita akan fokus 
untuk menangani Papua. Untuk daerah 6, itu ada NTT dan NTB yang juga 
masih tinggi,” ungkapnya.
Upaya untuk menurunkan jumlah 6,5 juta tuna aksara di seluruh Indonesia 
terus dilakukan. Targetnya bisa mencapai angka nol persen. ”Targetnya 
memang nol persen tuna aksara. Tapi, ini tidak mudah. Kita masih 
berjuang sampai saat ini. Kita juga perlu bantuan dan komitmen dari 
seluruh Provinsi, Kabupaten dan Kota,” kata Lydia Freyani.
Definisi buta aksara, kata dia, adalah kemampuan seseorang dalam 
berbicara dan menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 
”Tuna aksara itu bukan berarti mereka tidak mengerti sama sekali dengan 
bahasa. Semisal di Jawa Timur. Di Provinsi itu banyak Pondok Pesantren, 
dan banyak yang bisa berbahasa dan menulis Arab. Namun, ini tidak masuk 
dalam penilaian. Yang jadi target kami adalah mampu berbahasa dan 
menulis dengan bahasa Indonesia,” terang Lydia Freyani atau biasa 
dipanggil Reni itu. 
Dari jumlah tuna aksara di Indonesia, perempuan kembali menjadi jumlah 
terbanyak yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Baik menulis, atau 
membaca. ”Lagi-lagi perempuan yang terbanyak jumlahnya. Jika kita 
analisa, perempuan sebagai makhluk domestik yang kebanyakan beraktifitas
 di rumah, ngurus anak, rumah tangga. Sedang  yang mencari nafkah 
kebanyakan adalah laki-laki, itu menjadi anggapan bahwa laki-laki yang 
paling perlu menguasai membaca dan menulis,” tambah dia. 
Bukan hanya di Indonesia, di luar negeri pun, perempuan masih 
mendominasi angka tuna aksara. ”Ini karena perempuan masih mengalami 
diskriminasi. Salah satu education for all indikatornya adalah rendahnya
 angka dalam kesetaraan ini. Jadi, kesetaraan ini harus bagus dan 
tinggi. Indikator tuna aksara adalah, dia tidak menguasai bahasa 
nasionalnya. Meski mampu berbahasa ibu dengan baik, maka seseorang 
tersebut masih disebut tuna aksara,” ujarnya. 
Kemendikbud memiliki program keaksaraan dasar. Program ini diperuntukkan
 bagi mereka yang sama sekali tidak bisa membaca dan menulis sama sekali
 dengan menggunakan bahasa Indonesia.
”Paket selama tiga bulan itu dilakukan secara terus menerus dan 
intensif, serta disesuaikan dengan kesibukan masing-masing, semisal 
berkebun, dan sebagainya. Setalah lulus, program ini akan ditingkatkan, 
dan dimaintance secara terus menerus, agar kemampuannya tidak menurun. 
Program yang lebih tinggi itu disebut Keaksaraan Usaha Mandiri. Dengan 
program ini kita juga membantu dengan uang, yang bisa dijadikan income 
generating. Kenapa? Karena tuna aksara ini juga tak lepas dari kondisi 
kemiskinan. Jika mereka tidak bisa membaca dan menulis akses mereka juga
 terbatas. Bantuan ini dimaksudkan agar mereka bisa belajar dan 
berwirausaha,” jelasnya.
Namun, berbagai program ini tidak mudah dilakukan, bahkan kerap kali memperoleh penolakan dari masyarakat yang buta aksara. 
”Kita punya kader-kader, dan tutor-tutor di daerah yang bertugas untuk 
mengentaskan tuna aksara dan melakukan pendekatan persuasif ketika ada 
penolakan, baik oleh ibu-ibu atau anak-anak. Karena, jumlah 6,5 juta 
tuna aksara itu usia 15 tahun  sampai 59 tahun,” ujarnya.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian 
Pendidikan & Kebudayaan RI, Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi 
menegaskan, semua program pengentasan tuna aksara ada di setiap Dinas 
Pendidikan di daerah. Untuk mengetahui besaran dan daerah mana saja yang
 memiliki jumlah tuna aksara, masyarakat bisa langsung meminta informasi
 ke Dinas setempat. ”Program ini bersifat terbuka, dan bisa diakses oleh
 semua pihak,” tegasnya.
Perayaan Hari Aksara Internasional ke-48 tahun ini akan bertempat di 
kantor Kemendikbud, Jakarta, dengan tema ”Keaksaraan Abad 21 Membangun 
Karakter Keunggulan Bangsa.” Semua daerah akan diundang dalam peringatan
 acara ini. Terutama daerah yang berhasil menurunkan angka tuna aksara 
di wilayahnya. 
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 
Editor: Vivi Zabkie
Sumber:  http://kbr.id/09-2013/perempuan__terbanyak_tak_bisa_baca_tulis/34166.html
Tulisan Paling Sering Dibaca
- 
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia Prof Dr Lydia Freyani Hawadi MSi MM Psikolog mengatakan Pemeri...
- 
Oleh: Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, M.M., Psikolog Makalah ini disampaikan sebagai bahan masukan untuk penyusunan Kurikulum dan Silabu...
- 
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia Prof Dr Lydia Freyani Hawadi MSi MM Psikolog mengatakan geraka...
- 
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Indonesia Prof Dr Lydia Freyani Hawadi MSi MM Psikolog mengatakan sekolah merupakan garda terdepan...
Kategori
- Berita (516)
- Insight (103)
- Kata Mereka (85)
- Narasumber (74)
- Antologi (58)
- Wisata (32)
- Wawancara (20)
- Makalah (17)
- Curhat (13)
- Kegiatan (10)
- Buku Kaleidoskop 2013 (7)
- Keluarga (4)
- Konsultan Perkawinan (3)
- Buku (2)
- Artikel dan Makalah (1)
Arsip Tulisan
- Maret (12)
- Maret (3)
- Februari (20)
- Januari (18)
- Oktober (26)
- September (2)
- Agustus (25)
- Juli (24)
- Juni (26)
- Maret (9)
- Desember (44)
- November (9)
- Januari (46)
- Juli (12)
- Juni (7)
- Desember (2)
- November (17)
- Oktober (48)
- September (48)
- Agustus (50)
- Juli (70)
- Juni (26)
- April (51)
- Maret (47)
- Februari (46)
- Januari (41)
- Desember (17)
- Oktober (164)
- September (11)
 

 
 
 
 
