Rabu, 12 September 2018

Perempuan, Terbanyak Tak Bisa Baca Tulis

KBR68H, Jakarta- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) ke-48 tingkat nasional. Peringatan HAI diselenggarakan pada tanggal 8 September setiap tahun berdasarkan atas ketetapan UNESCO. Peringatan ini untuk meningkatkan komitmen dan membangkitkan semangat berbagai pihak dalam pemberantasan buta aksara.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi menjelaskan, peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) di Indonesia sangat penting karena di negara berpenduduk 24o juta jiwa lebih ini, angka buta aksara masih tinggi, berkisar 6,5 juta jiwa lebih.

”Meski kita sudah dianggap berhasil mengurangi jumlah itu dibanding tahun lalu namun angka buta aksara di dalam negeri masih terbilang cukup tinggi. Tahun lalu kita berhasil mengurangi sebanyak satu juta. Atas prestasi itu kita mendapat penghargaan dari UNESCO,” jelas Lydia Freyani Hawadi dalam acara perbincangan Daerah Bicara KBR68H bekerjasama dengan Kemendikbud di Gedung C, Kemendikbud RI, Rabu (18/9).

Setiap tahun HAI terus diselenggarakan. Tujuannya untuk memberikan apresiasi kepada kepala daerah, baik Provinsi, Kabupaten/Kota. ”Bagi daerah yang berhasil menurunkan tuna aksara di daerahnya akan mendapatkan penghargaan dalam setiap perayaan,” tegasnya.

Papua Tertinggi
Saat ini terdapat 13 Kabupaten/Kota memiliki angka buta aksara di atas rata-rata Nasional. Daerah tertinggi itu antara lain wilayah Papua. Untuk mengentaskan tuna aksara di Bumi Cenderawasih itu, Pemerintah Pusat menggelontorkan anggaran sebesar Rp12 miliar lebih.

”Untuk koridor 1 Sumatra itu bersih, tidak ada tuna aksara. Kemudian yang di Jawa itu, Jawa Tengah dan Jawa timur. Kalau Kalimantan itu, di Kalimantan Barat yang paling banyak. Untuk Sulawesi, hampir seluruhnya, minus Sulawesi Utara. Kalau koridor 5, itu Papua. Jumlahnya masih sangat ekstrim, 35 persen lebih masih tuna aksara. Ke depan kita akan fokus untuk menangani Papua. Untuk daerah 6, itu ada NTT dan NTB yang juga masih tinggi,” ungkapnya.

Upaya untuk menurunkan jumlah 6,5 juta tuna aksara di seluruh Indonesia terus dilakukan. Targetnya bisa mencapai angka nol persen. ”Targetnya memang nol persen tuna aksara. Tapi, ini tidak mudah. Kita masih berjuang sampai saat ini. Kita juga perlu bantuan dan komitmen dari seluruh Provinsi, Kabupaten dan Kota,” kata Lydia Freyani.

Definisi buta aksara, kata dia, adalah kemampuan seseorang dalam berbicara dan menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

”Tuna aksara itu bukan berarti mereka tidak mengerti sama sekali dengan bahasa. Semisal di Jawa Timur. Di Provinsi itu banyak Pondok Pesantren, dan banyak yang bisa berbahasa dan menulis Arab. Namun, ini tidak masuk dalam penilaian. Yang jadi target kami adalah mampu berbahasa dan menulis dengan bahasa Indonesia,” terang Lydia Freyani atau biasa dipanggil Reni itu.

Dari jumlah tuna aksara di Indonesia, perempuan kembali menjadi jumlah terbanyak yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Baik menulis, atau membaca. ”Lagi-lagi perempuan yang terbanyak jumlahnya. Jika kita analisa, perempuan sebagai makhluk domestik yang kebanyakan beraktifitas di rumah, ngurus anak, rumah tangga. Sedang  yang mencari nafkah kebanyakan adalah laki-laki, itu menjadi anggapan bahwa laki-laki yang paling perlu menguasai membaca dan menulis,” tambah dia.

Bukan hanya di Indonesia, di luar negeri pun, perempuan masih mendominasi angka tuna aksara. ”Ini karena perempuan masih mengalami diskriminasi. Salah satu education for all indikatornya adalah rendahnya angka dalam kesetaraan ini. Jadi, kesetaraan ini harus bagus dan tinggi. Indikator tuna aksara adalah, dia tidak menguasai bahasa nasionalnya. Meski mampu berbahasa ibu dengan baik, maka seseorang tersebut masih disebut tuna aksara,” ujarnya.

Kemendikbud memiliki program keaksaraan dasar. Program ini diperuntukkan bagi mereka yang sama sekali tidak bisa membaca dan menulis sama sekali dengan menggunakan bahasa Indonesia.

”Paket selama tiga bulan itu dilakukan secara terus menerus dan intensif, serta disesuaikan dengan kesibukan masing-masing, semisal berkebun, dan sebagainya. Setalah lulus, program ini akan ditingkatkan, dan dimaintance secara terus menerus, agar kemampuannya tidak menurun. Program yang lebih tinggi itu disebut Keaksaraan Usaha Mandiri. Dengan program ini kita juga membantu dengan uang, yang bisa dijadikan income generating. Kenapa? Karena tuna aksara ini juga tak lepas dari kondisi kemiskinan. Jika mereka tidak bisa membaca dan menulis akses mereka juga terbatas. Bantuan ini dimaksudkan agar mereka bisa belajar dan berwirausaha,” jelasnya.

Namun, berbagai program ini tidak mudah dilakukan, bahkan kerap kali memperoleh penolakan dari masyarakat yang buta aksara.

”Kita punya kader-kader, dan tutor-tutor di daerah yang bertugas untuk mengentaskan tuna aksara dan melakukan pendekatan persuasif ketika ada penolakan, baik oleh ibu-ibu atau anak-anak. Karena, jumlah 6,5 juta tuna aksara itu usia 15 tahun  sampai 59 tahun,” ujarnya.

Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI, Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi menegaskan, semua program pengentasan tuna aksara ada di setiap Dinas Pendidikan di daerah. Untuk mengetahui besaran dan daerah mana saja yang memiliki jumlah tuna aksara, masyarakat bisa langsung meminta informasi ke Dinas setempat. ”Program ini bersifat terbuka, dan bisa diakses oleh semua pihak,” tegasnya.

Perayaan Hari Aksara Internasional ke-48 tahun ini akan bertempat di kantor Kemendikbud, Jakarta, dengan tema ”Keaksaraan Abad 21 Membangun Karakter Keunggulan Bangsa.” Semua daerah akan diundang dalam peringatan acara ini. Terutama daerah yang berhasil menurunkan angka tuna aksara di wilayahnya.

Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Editor: Vivi Zabkie


Sumber:  http://kbr.id/09-2013/perempuan__terbanyak_tak_bisa_baca_tulis/34166.html

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia