Rabu, 08 Agustus 2018

Apakah Anak Anda Memiliki Teman Khayalan?

Selama berbulan-bulan, si tiga tahun Ella Kuckes dari Barrington, Rhode Island, bersikeras agar ibunya, Niki, menjawab ketukan pelan di pintu. “Tweety ada di luar,” katanya. Bersama mereka membuka pintu, dan Ella menyambut teman khayalannya masuk untuk diajak bercakap-cakap sepanjang sore.

Hampir separuh dari semua anak di dunia ini punya teman khayalan, seiring dengan berkembangnya imajinasi dan ketertarikan mereka terhadap dunia sandiwara. Selain itu, teman bermain khayalan ini membuat anak punya tempat untuk mengeksplorasi dunia, termasuk hal-hal yang mungkin baru atau mengesalkan. Jika orang di dunia nyata si kecil bisa sakit atau sedih, begitu pun mungkin dengan si teman khayalan, begitu kata Marjorie Taylor, Ph.D., penulis Imaginary Companions and the Children Who Create Them. Karena anak menguasai apa yang dialami oleh si teman khayalan, bila ‘si teman’ berhasil melalui suatu insiden yang menakutkan bisa membuat mereka merasa tenang. Bila teman khayalan anak Anda pergi (banyak anak bilang kalau si teman sudah pindah atau malah meninggal), teman khayalan lain mungkin akan menggantikan untuk beberapa tahun mendatang. Kalau si kecil memperkenalkan Anda pada teman khayalannya, apa yang harus Anda lakukan?

Pada usia balita, kemampuan kognitif anak meningkat pesat. Dia semakin akrab dengan lingkungan sekitar dan menyadari bahwa dia tidak sendiri. Ia bahkan sudah bisa menciptakan dunia sendiri berbekal pengalaman melihat dan mendengarkan hal-hal yang dekat dengan keseharian. Si kecil bisa tiba-tiba membicarakan monster di bawah tempat tidur, bercakap-cakap dengan boneka beruang, atau tertawa bersama seorang teman yang hanya ada di dalam imajinasinya.

Anak laki-laki cenderung mengkhayalkan superhero sebagai sahabat yang selalu menemani dia. Sementara anak perempuan mungkin menyukai fantasi seputar dunia peri dan putri raja. “Perbedaan itu ada karena lingkungan sehari-hari anak. Orang tua cenderung membelikan mobil-mobilan atau robot superhero kepada anak laki-laki sementara adik perempuan mendapat hadiah boneka. Sehingga terbentuk citra di dalam benak anak bahwa laki-laki identik dengan superhero dan perempuan ‘sebaiknya’ bermain boneka,” kata Dr. Reni Akbar Hawadi, MPsi, psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia.

Sebuah riset menyatakan anak-anak memiliki teman khayalan hingga usia 7 tahun. Setelah itu, mereka mulai meninggalkan si sahabat atau paling tidak jarang membicarakan keberadaan teman khayalan secara terbuka.

Sebenarnya, teman khayalan adalah salah satu cara mengeksplorasi dunia nyata, bukan karena anak telah terlena di dalam dunia fantasi, seperti yang mungkin Anda perkirakan. Pembicaraan sehari-hari dengan sahabat imajiner – seperti kelas musik yang menyenangkan, pekerjaan rumah yang terlalu rumit, sampai masakan ibu yang sangat lezat – membuat anak peka sekaligus membuat dia senantiasa mengapresiasi kondisi keseharian. Si teman juga membantu anak mengatasi berbagai konflik. Dia bisa berkhayal jika suatu hari si sahabat menolak bermain bersama atau bisa saja mereka berdebat lalu mencari mencari solusi atas pertengkaran mereka berdua.

Menjadi anak usia 3 atau empat tahun, dan menyadari bahwa dunia semakin luas, bisa sangat menakutkan bagi anak. Memiliki seorang teman, meskipun hanya ada dalam khayalan, akan sangat membantu anak melewati masa-masa sulit. Sahabat imajiner adalah tempat bagi anak untuk mencurahkan perasaan, bahkan balita memiliki kisah yang hanya ia bagi dengan seseorang yang ia percaya tidak akan membocorkan rahasia sehingga dia bisa bercerita dengan bebas.


Manfaat bagi Anak

Kontras dengan yang mungkin Anda bayangkan, menciptakan teman khayalan tidak hanya tipikal untuk anak penyendiri dan tertutup. Anak tunggal atau anak sulung yang terpaut usia jauh dengan adiknya memang cenderung memiliki sahabat imajiner, namun anak yang berasal dari keluarga besar juga kerap menciptakan teman khayalan. Bagi anak-anak, teman khayalan adalah sesuatu yang unik. Satu teman imajiner khusus diciptakan oleh satu anak.

Anak yang memiliki teman khayalan tidak lantas ditakdirkan menjadi penyendiri. Justru sebaliknya, mereka sangat suka berinteraksi dengan orang lain. Ketika tidak ada orang untuk diajak bicara, mereka menciptakan seseorang.

Faktanya, teman khayalan diasosiasikan dengan kepribadian positif. Penelitian menyebutkan bahwa anak yang memiliki teman khayalan punya kemampuan berempati lebih baik dibandingkan teman sebaya yang tidak punya sahabat imajiner. Studi lain juga menyatakan anak-anak tersebut memperoleh nilai tes bahasa yang lebih tinggi, mampu bersosialisasi dengan baik, dan yang paling penting punya lebih banyak teman.

Ada satu alasan lagi mengapa keberadaan sahabat imajiner penting bagi anak, yakni terkait naluri kekuasaan. Coba pikirkan keseharian balita: Ia terus-menerus mendengar, “Sayang, jangan main di dapur” dan “Jangan kebanyakan makan kue, nanti sakit gigi!” Dia selalu menerima perintah dari orang dewasa. Ketika ia berkuasa penuh atas si teman khayalan, tentu itu sebuah sensasi tersendiri yang sangat langka bagi balita.



Manfaat bagi Orang Tua

Menurut beberapa teori psikologi, anak kerap menggunakan teman khayalan mereka sebagai media menyatakan keinginan terpendam. “Khayalan sering berisi mimpi yang tidak atau belum bisa terpenuhi. Maka orang tua harus peka membaca kebutuhan dan keinginan anak,” kata Dr. Reni. Dialog antara anak dan orang tua menjadi jalan terbaik untuk mengetahui kebutuhan anak, disesuaikan dengan nilai-nilai yang diterapkan keluarga tentu saja. “Teman khayalan bisa menjadi jalan untuk mengevaluasi pola asuh yang Anda terapkan selama ini. Menjadikan diskusi sebagai kebiasaan yang berlaku di dalam keluarga akan memberikan manfaat yang besar bagi anak dan orang tua,” kata Dr. Reni.

Selain itu, anak sering menciptakan sosok teman khayalan sebagai versi ideal atas diri mereka. Misalnya, anak yang pemalu memiliki sahabat imajiner dengan kepribadian yang humoris, populer, dan punya banyak teman. Sejauh sosok si teman khayalan bernilai positif, akan sangat baik bagi anak jika dia mampu “meniru” kepribadian tersebut. “Jika anak mengkhayalkan seseorang yang pandai menyanyi, misalnya, bisa jadi ia memang bercita-cita menjadi penyanyi terkenal. Akan sangat baik jika Anda mampu membantu dia mewujudkan khayalannya,” jelas Dr. Reni.

Lagi-lagi, dialog menjadi jembatan antara Anda dan anak untuk mendiskusikan hal-hal yang baik untuk ditiru dan sikap yang perlu dijauhi. Melalui dialog seputar si sahabat imajiner, hubungan Anda dan si kecil bisa makin akrab.


Perlukan Anda ikut berkhayal?

Jangan ragu mengakui keberadaan si teman khayalan. Hal itu mengasah imajinasi anak. Dan jangan khawatir, anak tidak akan kehilangan kontak dengan dunia nyata karena teman khayalan. Jika Anda bertanya seputar si sahabat dan membiarkan anak menjawab, Anda memastikan bahwa sang sahabat berada di dalam kendali anak.

Namun bukan berarti Anda harus membuatkan makan malam ekstra atau membiarkan anak melimpahkan kesalahan kepada teman khayalan saat dia memecahkan vas bunga. Anak perlu tahu bahwa si sahabat hanya ada di dalam khayalan. Anda bisa “mengembalikan” anak ke dunia nyata saat diperlukan. Selebihnya, nikmati keajaiban yang dilakukan anak bersama “si sahabat setia” dan petik berbagai manfaat.


Bermanfaat

Teman khayalan bisa memberikan berbagai manfaat selama proses tumbuh kembang anak.

•    Memberi kesempatan anak mengembangkan kreativitas melalui berbagai jenis permainan dan mencoba banyak hal baru berdasarkan imajinasi.

•    Sebagai media untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi.

•    Mengembangkan emosi dan tindakan, seperti rasa takut atau marah berikut cara mengekspresikan perasaan tersebut.

•    Memberi kesempatan kepada anak untuk mengatur dan mengontrol si sahabat, karena dalam keseharian balita terbiasa diatur oleh orang-orang di sekitarnya.

•    Memberi ruang bagi kehidupan pribadi yang tidak boleh dimasuki oleh orang dewasa.


Bermasalah

Selain mendatangkan manfaat, keberadaan sahabat imajiner bisa menjadi masalah yang akan menjauhkan anak dari dunia nyata.

•    Satu-satunya teman anak. Bagaimanapun, ia perlu bersosialisasi dengan dunia nyata. Jika anak kesulitan mendapatkan teman atau tidak tertarik untuk bersosialisasi, Anda perlu berkonsultasi dengan psikolog anak.

•    Pelarian dari kenyataan. Tidak jarang sahabat imajiner adalah bentuk pelarian anak atas kesepian, rasa takut, atau cemas yang ia rasakan. “Tidak baik jika anak terlalu banyak mengkhayal. Untuk menghindari hal itu, jangan biarkan anak terlalu lama menyendiri dan tidak melakukan aktivitas apapun,” kata Dr. Reni.

•    Kambing hitam. Sebaiknya anak tidak dibiasakan melimpahkan kesalahan yang ia perbuat kepada sahabat imajiner. Mengajarkan tanggung jawab tanpa menjatuhkan harga diri anak menjadi tantangan Anda sebagai orang tua.



Ambil Tindakan

Sebagai orang tua, Anda bisa mengambil tindakan berikut jika si kecil bersahabat dengan tokoh khayalannya.

•    Biarkan anak mengarahkan respons Anda. Jika ia tidak ingin Anda memasuki pertemanan mereka, izinkan. Jika ia ingin Anda ikut bermain, lakukan.

•    Sebisa mungkin, jangan menambahkan ide cerita ke dalam plot imajinasi anak agar anak tetap berada di dunia nyata sekaligus memberi kesempatan dia mengembangkan imajinasi.

•    Jika teman khayalan selalu menjadi kambing hitam setiap kali anak melakukan kesalahan, segera fokuskan diri untuk mengambil konsekuensi. Sebagai contoh, ketika anak mengatakan bahwa si sahabat telah menumpahkan susu, minta anak untuk berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan seperti sahabatnya. Lalu katakan, Anda akan membantu dia membersihkan susu yang telah ditumpahkan si teman.

•    Seiring pertambahan usia anak, kenalkan dia dengan berbagai kegiatan menarik yang bisa dia lakukan bersama teman satu kelas, kerabat, atau tetangga dekat. Dengan demikian, ia bisa merasakan kesenangan yang nyata dan perlahan ia akan meninggalkan teman khayalannya.


Sumber: http://www.babylonish.com/blog/2015/05/apakah-anak-anda-memiliki-teman-khayalan

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia