Jumat, 20 Oktober 2017

Anak Autis Bukan Tanpa Masa Depan

JAKARTA. Anak autis bukan anak yang tanpa masa depan. Mereka sama dengan anak lainnya yang memiliki harapan.
JAKARTA. Anak autis bukan anak yang tanpa masa depan. Mereka sama dengan anak lainnya yang memiliki harapan.
Hal itu disampaikan Dirjen PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, ketika  mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, pada Peringatan Hari Autis Sedunia yang diselenggarakan Komite Orang Tua Siswa Autis Kota Bekasi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Sabtu (13/4).
Menurut Dirjen, selain memiliki harapan, anak autis juga punya hak untuk hidup layak dan hak mendapatkan pendidikan yang sesuai. “Kita harus memahami bahwa autisme adalah suatu kondisi seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal,” tambah Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi.
Dunia, kata Reni Akbar-Hawadi–sapaan akrab Lydia Freyani Hawadi–telah memberikan perhatian besar pada anak-anak disabilitas termasuk Autis. Resolusi PBB Nomor 61/106 Tahun 2006 tentang konvensi hak-hak penyandang disabilitas mendorong semua negara untuk menindaklanjutinya.
“Indonesia sudah meretifikasi konvesi ini melalui UU No. 19 yang intinya memuat secara komprehensif hak-hak penyandang disabilitas di bidang sosial, ekonomi, politik, sipil, dan budaya,” tambah Guru Besar Psikologi Anak di Universitas Indonesia itu lagi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2001 menyatakan bahwa anak dengan keistimewaan khusus juga memiliki hak keberfungsian sosial untuk melakukan aktivitas dan partisipasi secara aktif sesuai dengan kondisi kesehatannya dan faktor kontekstual (lingkungan dan personal).
Make things the real”
Tahun 2012 bertempat di Incheon, Korsel, dunia mengajak seluruh bangsa untuk mewujudkan dunia nyata untuk para penyandang disabilitas dengan moto ‘make things the real‘ yang implementasinya semua sektor layanan publik termasuk pendidikan memasukkan kebijakan dan menerapkan layanan yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Bulan-bulan terakhir ini Tim Kelompok Kerja Program untuk para penyandang disabilitas di bawah koordinasi Kemenkesra dan Kemlu, sedang bekerja menyusun rekomendasi program yang diharapkan dapat membantu mereka dalam meningkatkan keberfungsian sosial secara optimal,” tambah Dirjen lagi.
Bagi Indonesia, ujar Dirjen, komitmen Incheon itu cukup serius mengingat banyak hal yang harus diperbaiki dan banyak hal yang akan terus bertambah.
Karena, katanya, bila prediksi WHO benar bahwa 10 persen dari populasi adalah penyandang disabilitas, berarti sekitar 20 juta penyandang disabilitas di Indonesia, memerlukan akses sosial sesuai standar. Jumlah tersebut bisa jadi akan meningkat bila masalah kesehatan dasar tidak terselesaikan dengan tuntas.
Sebagai contoh, kata Dirjen, ibu hamil dengan masalah gizi yang melahirkan anak yang tidak optimal perkembangannya berjumlah 59,9 persen, anak bawah tiga tahun yang mengalami gangguan gizi berjumlah 17,9 persen, anak yang mengalami stunting dan mengalami disabilitas fisik dan intelegensia, serta adanya anak yang mengalami hambatan tumbuh kembang karena fisik, mental, motorik, dan sensoris.
Pendidikan inklusi
Hambatan itu akan menimbulkan masalah lebih jauh, terutama bagaimana anak usia dini bila tidak mendapatkan layanan pendidikan sedini mungkin. Sedangkan dari data Kementerian Kesra, dari 1,5 persen individu dengan kebutuhan khusus (lebih kurang 2 juta orang) yang mendapatkan layanan pendidikan sekitar 20 persen yang diselenggarakan di SLB.
“Sayangnya pemerintah menghadapi banyak keterbatasan untuk menambah SLB dan memenuhi layanan pendidikan untuk semua penyandang disabilitas yang demikian lebar variannya,” papar Dirjen lagi.
Untuk mengatasi keterbatasan itu, Dirjen menjelaskan saat ini telah ditetapkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Di antaranya adalah semua anak unik, dan keunikannya merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi anak. Kemudian, semua anak mempunyai hak yang sama untuk tidak didiskriminasikan dan memperoleh pendidikan yang bermutu, termasuk semua anak mempunyai kemampuan untuk mengikuti pendidikan tanpa melihat kelainannya.
“Sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat bertanggung jawab dan mampu mendidik, mengajarkan, dan belajar agar setiap individu memiliki kemampuan untuk merespon kebutuhan pembelajaran yang berbeda,” tambah Dirjen lagi.
Dengan mengacu keputusan itu, lanjut Dirjen, pendidikan inklusi menjadi pendidikan untuk semua di mana lembaga pendidikan pada umumnya mengakomodasi semua anak kebutuhan khusus, termasuk menerapkan kurikulum serta pembelajaran yang bersifat individual dan interaktif dengan prespektif kurikulum lebih menekankan pada pengembangan kemampuan akedemis yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam keberfungsian sosial.
Selain itu, jenis anak berkebutuhan khusus yang dapat mengikuti pendidikan inklusi adalah anak dengan gangguan penglihatan, pendengaran komunikasi, kecerdasan, emosi dan perilaku, autis, gangguan jamak, dan kesulitan atau lambat belajar, serta gifted.
“Guru dalam pendidikan inklusi dituntut untuk melibatkan orangtua, profesi lain, atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi,” kata Dirjen. (Sugito/HK)

Copyright © Ren Lydia Freyani Hawadi | Guru Besar Universitas Indonesia